Saira Anggun Prameswari dinikahi Cakra hanya karena sang suami ingin menebus kesalahan setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa nenek. Sayangnya, keluarga suaminya justru menuduhnya "mandul" tanpa tahu dia belum pernah disentuh Cakra sama sekali. Hanya saja, kedatangan mantan kekasih Cakra ke Indonesia dengan seorang anak kecil yang diklaim darah daging pria tersebut mengubah pertahanan wanita itu. Haruskah Saira tetap bertahan dalam pernikahan tanpa cinta? Atau menegaskan posisi dirinya sebagai istri sah Cakra?
Lihat lebih banyakSaira menarik napas pelan sebelum melangkah mendekati mereka.Cakra sekilas menoleh, lalu kembali fokus pada Shopia yang masih sibuk dengan makanannya. Tidak ada senyuman, tidak ada pertanyaan apakah dia senang berbelanja. Saira sudah terbiasa.“Sudah selesai?” tanya Cakra datar.Saira mengangguk. “Kita pulang sekarang?”Cakra meneguk minumannya, lalu berdiri. “Ayo.”Mereka bertiga meninggalkan gerai makanan cepat saji dan berjalan menuju mobil. Shopia, dengan langkah kecilnya, menggenggam tangan Cakra tanpa ragu. Saira, seperti biasa, hanya mengikuti dari belakang.Perjalanan pulang berlangsung dalam keheningan. Shopia sempat berceloteh sebentar, tetapi seiring waktu, suara cerianya meredup. Kepalanya mulai terkulai, kelopak matanya semakin berat, dan akhirnya ia tertidur di bangku belakang.Saat mobil berhenti di depan rumah, Cakra menoleh ke belakang. “Dia tertidur.”Saira ikut menoleh dan melihat wajah polos Shopia yang terlelap dengan napas teratur. Tanpa menunggu jawaban, Cakra
Malam itu, seperti yang telah disepakati—atau lebih tepatnya, seperti yang telah diputuskan oleh Cakra—Indira akhirnya mengantar Shopia ke rumah mereka tepat setelah matahari sepenuhnya terbenam.Begitu keluar dari kamar setelah berganti pakaian, Saira langsung melihat seorang gadis kecil duduk di ruang tamu, memeluk boneka beruangnya erat. Anak itu, Shopia, tengah duduk bersama Bi Surti, menonton kartun di televisi."Cakra mana, Bi?" tanya Saira sambil memindai ruangan. Suaminya tidak ada di sana.Bi Surti tersenyum. "Bapak sedang ganti baju, Bu."Saira mengangguk paham, lalu mengalihkan pandangan ke arah Shopia yang tampak lugu. Meski hatinya masih enggan menerima keberadaan anak itu, ia tahu benar bahwa Shopia bukanlah seseorang yang bisa disalahkan dalam kisah rumit ini.Bahkan jika dugaannya terbukti benar."Kamu sudah makan?" Saira akhirnya membuka suara, berjongkok di depan Shopia seraya menampilkan senyum. Mencoba bersikap biasa.Namun, Shopia hanya mengangkat wajah, menatapny
"Siapa dia?"Saira menoleh ke arah sang suami. Sorot mata pria itu sekilas mengikuti mobil yang baru saja melaju di depan mereka, tetapi ekspresinya tetap datar, nyaris tak terbaca.“Maksudmu … dia?” Dengan ragu, Saira mengutarakan asumsinya, telunjuknya terarah pada mobil Anggara.Cakra hanya menjawab dengan anggukan, lalu melajukan mobilnya tanpa banyak bicara. Namun, beberapa detik kemudian, dia memperjelas subjek pertanyaannya. “Dia yang jalan bersamamu tadi.”“Itu Pak Anggara, pemilik yayasan yang baru.”“Dia setiap hari ke kampus?”Pertanyaan itu meluncur begitu saja, terdengar datar tetapi sarat arti. Saira mengernyit, sedikit bingung dengan arah pembicaraan, tetapi tetap menjawab juga, “Tergantung. Dia hanya akan ke kampus setiap hari Senin dan Selasa, sisanya menyesuaikan jadwal.”Pria yang sedang duduk di kursi kemudi itu melirik Saira sekilas, lalu kembali menatap ke jalan. Dia hanya mengangguk-angguk kecil sambil jemarinya mengetuk setir pelan.“Kamu bahkan sangat hafal ja
Seharian penuh, Saira tenggelam dalam pekerjaannya sebagai dosen: mengajar, memeriksa tugas mahasiswa, menyusun materi kuliah, dan mengurus program kerja baru yang baru saja dilimpahkan padanya. Namun di tengah kesibukan itu, satu pertanyaan Sekar terus mengusik pikirannya.Benarkah Anggara memiliki perhatian lebih padanya? Atau hanya perasaannya saja?Banyak hal ingin ia tanyakan, tetapi Saira memilih bungkam. Ia sadar sepenuhnya, dirinya adalah seorang istri. Melibatkan diri lebih jauh dengan Anggara hanya akan memicu masalah baru. Hubungannya dengan Cakra saja sudah cukup memusingkan. Jika ia terjebak dalam hubungan lain yang rumit, segalanya bisa semakin kacau.Hari yang panjang itu akhirnya berlalu. Saira merapikan barang-barangnya, memasukkan laptop ke dalam tas, lalu meraih ponselnya untuk memesan taksi. Baru saja jemarinya mengetuk layar, suara Sekar memecah fokusnya.“Loh, Saira? Kok masih di sini?”Saira mendongak. Sekar berdiri di depannya, napasnya sedikit tersengal, dengan
Saira mendongak, menatap Anggara dengan bingung. Cara pria itu berbicara membuat pikirannya tak menentu. Apakah ia salah paham, atau memang Anggara hanya sedang bercanda?Mengingat pria itu terlihat jauh lebih ramah daripada Cakra, Saira hampir merasa lega. Tapi ada sesuatu dalam cara Anggara berbicara yang membuat bulu kuduknya berdiri. Pikiran tentang kemungkinan lain semakin membuatnya bergidik ngeri.“Saya… Saya kurang paham maksud Pak Angga,” ucapnya pelan, suaranya ragu. Ia melirik sekilas ke arah Jehian yang duduk di sudut, sibuk dengan gawainya, tampak tak peduli pada pembicaraan mereka.Anggara tersenyum kecil, senyum ramah yang biasa diterbitkan tetapi sulit ditebak maknanya. "Proposal kamu bagus. Saya rasa jika dibahas lebih mendalam, ini bisa ditinjau ulang," katanya santai, sebelum tersenyum samar. Setelah jeda yang terasa terlalu lama bagi Saira, ia menambahkan, "Tentu saja, ada beberapa hal yang perlu kamu lakukan agar ini berhasil."Saira meneguk ludah, pikirannya berp
Saira tertegun sejenak, menatap pria muda yang tersenyum ke arahnya dari balik jendela mobil. Senyuman yang baru saja ia lihat itu pernah ia dapatkan kemarin sore.Tenggorokannya mendadak kering saat akhirnya ia mengenali sosok pria tersebut.Anggara Pratama—pemilik baru yayasan yang telah mengakuisisi universitas tempatnya bekerja. Nama itu telah menjadi topik pembicaraan hangat di lingkungan kampus selama beberapa minggu terakhir.Meski bukan pertama kalinya mereka berjumpa, bertemu langsung dalam situasi seperti ini membuat Saira merasa gugup. Terlebih saat suasana hatinya sedang buruk seperti sekarang.“Pak Anggara,” Saira mengangguk sopan, menyapa pria itu.Anggara membalas anggukan dengan senyuman khasnya, lebar dan hangat. “Kampus masih jauh. Kalau kamu jalan kaki seperti ini, pasti terlambat, kan? Saya tidak keberatan kalau kamu mau ikut.”“Ah, ti—tidak apa-apa, Pak. Saya sudah pesan taksi online. Sebentar lagi pasti datang,” jawab Saira, mencoba tersenyum selebar mungkin. Nam
Pagi itu, Saira dan Cakra benar-benar berangkat bersama. Cakra duduk di balik kemudi dengan raut wajah datar, sementara Saira diam di kursi penumpang, sesekali melirik jam tangannya.Sejak semalam, Saira bertanya-tanya tentang alasan Cakra yang mendadak mengajaknya berangkat bersama. Terlebih kali ini menggunakan mobil pribadi miliknya. Namun, ia memilih menahan diri dan tidak mengungkapkan rasa penasarannya. Mungkin pria itu sedang bersikap baik? Atau karena pertemuannya dengan sang kakek semalam?Hanya saja, ketika mobil mereka melintasi rumah Indira, dada Saira mendadak terasa sesak. Pandangannya tertuju pada sebuah mobil yang terparkir rapi di halaman depan. Plat nomor yang telah ia hafal diluar kepala, begitu familiar, hingga langsung mengenali mobil itu milik suaminya.Dengan napas yang tertahan, ia menoleh tajam ke arah Cakra. Sorot matanya penuh penghakiman. "Apa semalam kamu salah parkir di halaman rumah orang? Atau kamu sudah bosan jadi kamu menjualnya?” Cakra yang tidak m
Tubuh Cakra sedikit menegang mendengar ucapan Prawirya. Pandangannya langsung tertuju pada pria tua itu, berusaha menebak ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara. Namun, wajah Prawirya tetap tenang. Dengan gerakan perlahan, ia menyesap teh dari cangkirnya sebelum kembali berbicara.“Sudah dua tahun menikah,” ujar Prawirya dengan nada lembut. “Bagaimana hubungan kalian?”Cakra menarik napas singkat sebelum menjawab. “Soal itu... hubungan kami masih banyak kekurangan. Kami masih perlu belajar. Bagaimanapun, menyatukan dua pemikiran yang berbeda bukanlah hal yang mudah.”Prawirya tertawa kecil, namun suaranya terdengar penuh pengertian. “Aku mengerti. Apalagi dengan sifat cucuku yang keras kepala seperti itu. Kamu pasti sulit untuk menghadapinya.”Cakra tetap diam meski hatinya terasa berdesir. Ia tahu benar apa yang dimaksud Prawirya, tapi memilih untuk mendengarkan lebih dulu tanpa menyela.“Aku sebenarnya tidak ingin ikut campur dalam rumah tangga kalian,” lanjut Prawirya sambil me
Jemari Saira masih berada dalam genggaman Cakra, namun rasa hangat itu tak cukup menenangkan debaran di dadanya. Bukan karena sentuhan Cakra, tetapi sosok Kakek Prawirya yang berdiri di balik jendela ruang tamu.Ia baru menyadari jika sang Kakek sedang mengamati mereka dari dalam rumah.Semoga saja Kakek tak mendengar apa pun ….***“Akhirnya kalian datang juga,” suara serak Prawirya menyambut kedatangan mereka.Di ujung meja makan panjang, pria tua dengan rambut sebagian besar memutih itu duduk tenang. Tubuhnya tampak kurus dalam balutan kemeja putih sederhana, tetapi kewibawaannya tetap terasa.Sorot matanya terus mengamati langkah pasangan itu, yang tampak berjalan berdampingan dengan mesra, bahkan saling tersenyum.“Maaf, Kek, kami terlambat,” ujar Saira ketika mereka sampai di hadapan Prawirya. Sementara itu, Cakra menyerahkan paper bag cokelat yang sedari tadi digenggamnya.“Ini untuk Kakek. Kemarin kami datang ke butik langganan keluarga. Saira bilang ini motif favorit Kakek. S
“Dua tahun menikah, belum bisa hamil juga?” Ambar Wiradana menggeram saat melihat satu garis tunggal pada alat uji kehamilan di tangannya. Sesaat kemudian, benda pipih berwarna putih biru itu dilempar ke meja, memantul sekali sebelum jatuh dengan bunyi ringan.Saira menelan ludah, menundukkan kepala seperti anak kecil yang tertangkap basah. “Jawab!”“Mungkin belum waktunya, Ma,” jawabnya lirih, nyaris tak terdengar.“Lalu kapan? Sampai kapan aku harus menunggu?” Saira mendongak sedikit, berusaha menata suaranya agar tetap tenang. “Saira dan Cakra sudah berusaha yang terbaik.”“Kalau memang sudah berusaha, setidaknya sudah membuahkan hasil!”Suara Ambar kembali menggema di ruangan. Tatapan wanita paruh baya itu penuh amarah, membuat nyali Saira ciut. Hasil pemeriksaan kesehatan Saira menunjukkan dirinya sehat dan subur, tapi bagaimana mungkin ada kehidupan tumbuh di rahimnya jika sang suami bahkan tak pernah menyentuhnya?Saira ingin sekali berteriak, ingin membuka semua kenyataan pa...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen