Saira Anggun Prameswari dinikahi Cakra hanya karena sang suami ingin menebus kesalahan setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa nenek. Sayangnya, keluarga suaminya justru menuduhnya "mandul" tanpa tahu dia belum pernah disentuh Cakra sama sekali. Hanya saja, kedatangan mantan kekasih Cakra ke Indonesia dengan seorang anak kecil yang diklaim darah daging pria tersebut mengubah pertahanan wanita itu. Haruskah Saira tetap bertahan dalam pernikahan tanpa cinta? Atau menegaskan posisi dirinya sebagai istri sah Cakra?
View MoreBab 1. MAHASISWA MISKIN
"Hai Kuli, cepat kemari!”
Terdengar mahasiswa senior memanggil seorang pemuda yang sedang berjalan di selasar Universitas Matrix.
Mahasiswa yang dipanggil kuli tentu saja tidak menoleh, dia tetap terus berjalan menelusuri Selasar menuju kantin.
Kemudian empat orang mahasiswa Senior langsung menghadang langkah Jaka dengan senyum penuh dengan hinaan terlukis di wajah mereka.
Jaka Kelud langsung berhenti dan menatap keempat mahasiswa senior yang menghadangnya dengan tatapan tidak suka.
Meskipun Jaka merupakan orang miskin, dia tetap tidak suka jika ada orang yang bersikap kasar kepadanya.
Jaka masih bisa mentoleransi orang yang menghina kemiskinannya, akan tetapi jika ada yang berniat mengganggunya maka rasa takut dan rendah dirinya akan menghilang seketika itu juga.
Jaka Kelud sendiri merupakan mahasiswa semester dua, sedangkan mahasiswa senior dan teman-temannya yang menghadang Jaka merupakan mahasiswa semester enam dan merupakan ketua BEM Universitas Matrix.
Mahasiswa yang memimpin para mahasiswa senior ini bernama Yoga yang berasal dari keluarga konglomerat, dengan statusnya ini tentu saja dia selalu memandang rendah setiap mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin.
Apalagi dia tahu kalau Jaka Kelud masuk Universitas Matrix ini menggunakan beasiswa yang membuatnya bisa belajar tanpa harus membayar biaya semester dan lainnya.
“Ada apa kak?”Jaka bertanya dengan sopan ke arah mahasiswa yang menghadang langkahnya.
“Kamu ini benar-benar orang miskin yang tidak tahu diri. Kalau dipanggil tuan muda sebaiknya kamu cepat datang dan mendekat, Dasar orang miskin, apa kamu ingin kami hajar terlebih dahulu agar kamu bisa mendengar saat kami panggil?”
“Betul sekali, kalau jadi mahasiswa yang mengandalkan beasiswa itu jangan terlalu belagu, dasar miskin tapi sok bergaya dasar sombong dan tak tahu diri.”
Jaka yang awalnya sudah menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Yoga untuk menanyakan alasan dia dipanggil segera berniat untuk melanjutkannya langkah kakinya lagi ketika mendengar hinaan mahasiswa senior di depannya.
Tentu saja Yoga tidak senang melihat Jaka ingin melanjutkan langkahnya dan seperti menghiraukan perkataannya.
“Berhenti, kamu mau kemana lagi? Cepat kemari,!”
Yoga yang melihat Jaka menghiraukan perkataan anak buahnya segera melambaikan tangannya sambil berteriak dengan menampilkan ekspresi tidak sukanya.
“Cepat menghadap tuan muda.”
Salah seorang mahasiswa senior yang menghadangnya langsung mendorong dada Jaka untuk segera menghadap Yoga.
Tubuh Jaka sedikit terhuyung terkena dorongan mahasiswa senior yang menghadangnya.
Jaka menatap mahasiswa itu dengan tatapan tidak suka terlihat jelas dari sorot matanya yang tajam.
“Kenapa kakak mendorongku?”
“Ha ha ha ha… lihatlah si Kuli mulai marah, ha ha ha ha…”
Bukannya minta maaf, mahasiswa senior ini malah tertawa penuh dengan hinaan sambil menunjuk ke arah Jaka yang sedang menatap ke arahnya dengan mata penuh tatapan tidak senang.
“Cepat pergi sana menghadap tuan muda Yoga!”
Sekali lagi mahasiswa senior yang menghadangnya menghardik dan terlihat tidak sabar melihat sikap Jaka.
Jaka memandangi keempat mahasiswa senior di depannya dan Yoga yang sedang menatap ke arahnya bersama anak buahnya yang lain dengan silih berganti.
Akhirnya Jaka menghela nafas berat sebelum akhirnya berjalan ke arah Yoga dan menyapanya.
“Hallo kak, ada apa kakak memanggilku.”
“Nah begitu baru anak yang baik, Jadi orang miskin itu jangan belagu. Apa kamu tidak ingin tetap kuliah di Universitas ini? Belikan aku rokok di minimarket, ini uangnya.”
Yoga melemparkan uang lembaran seratus ribu rupiah ke wajah Jaka dengan ekspresi penuh dengan penghinaan tergambar jelas di wajahnya, setelah menyampaikan perkataan penuh dengan ancaman.
Dengan cepat Jaka pergi ke minimarket yang ada di dekat Universitas untuk membeli rokok pesanan Yoga dengan perasaan kesal, setelah memungut uang seratus ribu rupiah di lantai.
Tak lama kemudian Jaka sudah kembali dan menyerahkan sebungkus rokok dan korek api kepada Yoga dengan tatapan datar.
Dalam hati Jaka sebenarnya sangat marah dan benci diperintah oleh Yoga, tapi dia menyadari keadaan dirinya yang hanya mahasiswa miskin bisa kuliah di Universitas ternama ini saja dengan jalur Beasiswa.
Jaka tidak ingin membuat keributan yang akan membuatnya mendapatkan poin dan beasiswa yang didapatkan akan dicabut oleh pihak Universitas.
Hal ini bagi Jaka bukanlah sesuatu yang memalukan, yang penting dia tidak disuruh melakukan perbuatan jahat atau abnormal.
“Ambil kembaliannya untuk kamu saja, sana cepat pergi baumu itu mengganggu penciuman kami.”
Yoga melemparkan uang lima puluh ribu rupiah kembalian membeli rokok ke lantai seperti sebelumnya saat dia menyuruh Jaka untuk membeli rokok.
Hati Jaka langsung memanas melihat sikap arogan kakak seniornya ini, dengan menahan sabar Jaka mengambil uang lima puluh ribu rupiah itu di lantai kemudian pergi meninggalkan mereka tanpa banyak bicara.
“Ha ha ha ha…. dasar pecundang tetap saja pecundang, makanya jadi orang itu jangan terlalu belagu.”
Suara tawa anak buah Yoga menggema di selasar Universitas berbasis teknologi yang sangat ternama di kota Jakarta ini.
Sementara Yoga dan teman-temannya tampak memandangi punggung Jaka sambil bergosip menghinanya.
Dengan cepat Jaka meninggalkan Yoga dan yang lainnya, melanjutkan perjalanannya ke kantin untuk makan siang.
Selepas berkuliah, Jaka yang mesti mencari tambahan langsung menuju area konstruksi tempatnya bekerja paruh waktu dengan bis.
Tak berselang setengah jam, kini terpampang di hadapannya sebuah area konstruksi gedung apartemen lima puluh lantai yang sedang dalam pembangunan.
“Hai Jaka, kamu sudah datang ayo cepat ganti pakaianmu kita mulai kerja.”
“Siap.”
Begitu memasuki lokasi konstruksi, Jaka sudah disambut seorang mandor proyek dengan ramah.
Ketekunan dan sikap kooperatif Jaka selama bekerja di lokasi konstruksi membuat semua rekan kerjanya sangat menyukainya.
Apalagi tidak suka bicara dan tidak suka membantah setiap perintah mandor atau rekan kerjanya yang meminta bantuan.
Bekerja di lokasi Konstruksi adalah pekerjaan paruh waktu yang dilakukan Jaka Kelud Setiap pulang Kuliah, lebih tepatnya Jaka mulai bekerja pukul empat sore hingga sepuluh malam.
Saat ini Jaka Kelud sudah berganti pakaian kerja dengan helm keamanan terpasang di kepalanya untuk menghindari benda kecil jatuh menimpanya yang akan menyebabkan kecelakaan yang tidak perlu.
Waktu berlalu dengan cepat tidak terasa jam kerja Jaka hampir selesai, saat ini waktu sudah menunjukkan waktu pukul sembilan malam yang berarti satu jam lagi jam kerja Jaka Kelud sudah selesai.
Saat ini Jaka sedang asyik dengan pekerjaannya mengambil batu batu bata dan dipindahkan ke sebuah troli yang akan dibawa ke atas menggunakan crane.
Pada saat sedang asik membungkuk untuk merapikan batu bata di depannya sambil menunggu troli crane yang baru saja naik menuju lantai dua puluh turun lagi untuk kembali mengangkut batu bata, tiba-tiba dari langit turun hujan batu bata.
Brak brak brak…
“Jaka...!”
“Jaka…!”
***
Saira menghela napas panjang. Ia tak tahu apa niat lelaki itu, tapi ia hanya bisa berharap ini adalah sesuatu yang baik bagi hubungannya dengan Cakra.Beberapa jam kemudian, suara pintu yang terbuka pelan membuatnya mengalihkan pandangan dari langit-langit kamar. Obat yang ia minum tadi siang sudah bereaksi, membuatnya mengantuk berat. Namun, hingga saat ini, Saira belum benar-benar tidur. Ia hanya berbaring dalam diam, pikirannya dipenuhi berbagai hal yang sulit dijelaskan.Cakra melangkah masuk, membawa nampan berisi beberapa camilan dan segelas teh hangat. Tanpa berkata apa-apa, ia meletakkan nampan itu di atas meja kecil di samping tempat tidur."Kamu mau?" tanyanya akhirnya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Saira melirik nampan itu sejenak sebelum kembali menatap Cakra. "Aku nggak minta makanan."Cakra duduk di tepi tempat tidur yang kosong. "Aku yang bawa."Saira diam. Tatapannya tertuju pada bungkusan kecil berisi biskuit dan beberapa potong roti. Ia mengenali cam
Kotak kecil berwarna hitam itu masih teronggok di atas meja. Saira menatapnya dengan ragu—penasaran dengan isinya, tetapi enggan untuk membukanya.Cakra menggeser kotak itu ke arahnya. "Buka saja," ucapnya singkat.Dengan tarikan napas pelan, Saira akhirnya meraih kotak itu dan membuka penutupnya. Mata cokelatnya sedikit membesar saat melihat isinya—sebuah gelang emas bertatahkan permata kecil yang berkilauan halus di bawah cahaya.Entah bagaimana Cakra bisa tahu seleranya, tapi desain gelang itu begitu simpel, nyaris serupa dengan koleksi perhiasan yang sering ia pakai."Itu buat kamu," ujar Cakra datar. "Anggap saja sebagai permintaan maaf soal Mama kemarin."Sejenak, Saira membisu. Matanya menatap gelang itu, lalu beralih ke wajah Cakra. Sekilas, ia menangkap kegugupan samar dalam sorot mata laki-laki itu.Namun, perasaan hangat yang sempat muncul di dadanya langsung menguap begitu saja.Soal Mama.Saira menutup kembali kotak itu dengan tenang, lalu mengulurkannya kembali kepada Ca
Cakra melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.Hanya satu hal yang ada di pikirannya—Saira.Begitu tiba di rumah, ia langsung turun dan melangkah cepat menuju kamar wanita itu. Namun, yang ia temukan di sana hanyalah Bi Surti yang tengah merapikan tempat tidur.Mendengar suara langkah kaki, Bi Surti menoleh. Wajahnya sedikit tegang saat melihat Cakra."Pak Cakra," sapanya hati-hati."Di mana Saira?" tanya Cakra, suaranya terdengar tegang.Bi Surti menunduk ragu. Baru beberapa menit yang lalu ia memberi tahu majikannya bahwa Saira hanya beristirahat di kamar. Tapi sekarang, saat Cakra tiba, wanita itu malah tidak ada."Ibu ada di balkon, Pak... katanya mau bekerja," jawab Bi Surti sedikit bimbang. Ia ragu sejenak sebelum menambahkan, "Tapi dari tadi Ibu belum makan, Pak."Tatapan Cakra langsung tertuju pada nampan di atas meja kecil. Makanan di sana masih utuh—nasi putih, buah potong, dan semangkuk sup sama sekali tidak tersentuh. Hanya segelas air yang berkurang sedikit.Astaga.Ap
Keesokan harinya.Di ruang rapat kantor, Cakra duduk di kursi utama dengan ekspresi serius. Layar proyektor di hadapannya menampilkan presentasi proyek hotel baru di Semarang. Bram, sahabat sekaligus rekan bisnisnya, tengah menjelaskan detail rencana konstruksi—mulai dari anggaran hingga desain interior yang akan dibahas lebih lanjut bersama tim sore nanti.Namun, pikiran Cakra tidak sepenuhnya berada di ruangan itu. Kejadian semalam terus terputar di kepalanya—tatapan penuh luka Saira, suaranya yang bergetar saat menuntut kebenaran, dan keheningan yang seolah menjadi jurang di antara mereka.Bahkan sampai pagi ini dia belum bisa bicara dengan Saira. Wanita itu menutup diri. Sedangkan Cakra tak ingin mengganggubya terlebih dahulu. "Cak, dengerin nggak?" Suara Bram memecah lamunannya. Pria yang berusia sama dengannya itu melayangkan protes saat apa yang telah ia utarakan tak diberikan sanggahan maupun pujian. Hanya di hadiahi tatapan kosong dari Cakra. Sementata Cakra mengalihkan
Suara Cakra terdengar dingin. Telunjuknya terangkat menunjuk ke arah pintu. Ambar yang mendengar itu langsung menoleh, menatap putranya dengan tidak percaya. "Apa?" "Keluar, Ma," ulang Cakra, kali ini lebih tegas. "Mama sudah kelewatan." Wajah Ambar menegang. "Kamu sudah berani mengusir Mamamu sendiri?" Cakra mengepalkan rahang, berusaha menahan emosi yang jelas hampir meledak. "Mama sudah melampaui batas." Ambar menatap putranya dengan mata menyala. "Kamu lebih memilih perempuan ini daripada orang yang melahirkanmu?" Cakra tidak menghindari tatapan ibunya. Matanya tajam, penuh ketegasan. "Aku tidak memilih siapa pun, Ma. Tapi kalau Mama terus bersikap seperti ini, aku tidak akan diam saja." Hening. Untuk sesaat, hanya napas berat yang terdengar. Ambar mengepalkan tangannya sebelum akhirnya mengalihkan tatapan ke Saira yang masih duduk diam. Pakaiannya basah, rambutnya juga. Air yang tadi disiramkan masih menetes dari ujung helainya. "Perempuan ini sudah merusak semuanya!"
Saira menelan ludah dengan susah payah. Ia yakin wajahnya seperti kepiting rebus sekarang! sementara Cakra menarik kembali tangannya dengan ekspresi datar, seolah tidak menyadari akibat dari tindakannya. Ia buru-buru menunduk, kembali menyendok nasi goreng untuk mengalihkan perhatian dari detak jantungnya yang tak karuan. Namun, bukannya berhasil menenangkan diri, pikirannya justru semakin kacau. Kenapa Cakra begitu santai? Seolah menyentuh wajahnya adalah hal biasa? "Kamu nggak makan lagi?" Cakra bertanya tiba-tiba, memecah keheningan. Saira tersentak. "Hah? Aku—aku udah kenyang," jawabnya tergesa. Cakra melirik piringnya yang masih tersisa setengah. "Padahal tadi kelihatan lapar." "Udah cukup. Takut mual." Saira beranjak, meraih gelasnya untuk meneguk air. Ia butuh sesuatu untuk menetralkan kegugupan yang tiba-tiba menyerangnya. Namun, saat hendak berjalan ke wastafel, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Rasa pusing yang tadi sempat mereda kini kembali menyerang,
Setelah mandi, tubuh Saira terasa lebih segar, meski sesekali rasa lemas dan sakit kepala masih menyerangnya. Ia mengenakan pakaian santai lalu turun ke dapur dengan rambut yang masih sedikit lembap. Begitu mencapai anak tangga terakhir, aroma sedap langsung menyeruak, menyambutnya. Sepasang matanya otomatis tertuju pada sosok Cakra yang berdiri di depan kompor. Ia berhenti di ambang pintu, menatap punggung pria itu dengan tatapan tak percaya. Saat bertanya tadi, ia mengira Cakra akan memesan makanan, bukan memasak sendiri. Seumur hidupnya, ia tak pernah melihat suaminya menyentuh dapur. Biasanya, ia yang harus repot menyiapkan makanan—itu pun kalau Cakra bersedia menyantapnya. "Kamu… masak?" tanyanya ragu. Tanpa menoleh, Cakra hanya mengangguk singkat. Tangannya lincah menaruh telur mata sapi di atas sepiring nasi goreng sebelum membawa dua piring porselen ke meja makan. Saira mendekat, masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang dilihatnya. “Nggak ada bahan lain di kulkas
Rasanya baru beberapa jam Saira memejamkan mata, tetapi ternyata pagi datang terlalu cepat.Ia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali saat cahaya matahari menyelinap masuk dari sela-sela tirai. Sekilas, ia terkejut karena matahari sudah meninggi, tetapi ingat bahwa semalam ia sudah mengirimkan surat keterangan dokter ke bagian personalia.Suara gemerisik terdengar di sebelahnya. Ia mendongak, mendapati Cakra sudah bangun lebih dulu.Lelaki itu duduk di tepi ranjang, fokus pada komputer jinjing di pangkuannya. Cahaya layar memantulkan siluet wajahnya yang tetap datar, seolah keberadaan Saira tidak berarti apa-apa baginya.Saira melirik jam dinding. Pukul sembilan pagi.Seharusnya, lelaki itu sudah berangkat ke kantor. Tapi kali ini, ia masih di kamarnya."Sudah bangun?"Suara bariton Cakra memecah keheningan. Lelaki itu menoleh sekilas ke arah Saira sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.Saira menggeliat pelan, lalu duduk bersandar di kepala ranjang, tepat di samping Cakra. "
Aku berubah pikiran.Saira menoleh, menatap suaminya dengan alis sedikit berkerut. Entah apa yang membuat lelaki itu tiba-tiba berkata begitu.Tatapannya jatuh ke wajah Cakra, mencari tanda-tanda keseriusan. Tapi, seperti biasa, lelaki itu hanya menampilkan ekspresi datarnya."Kamu sendiri yang bilang nggak mau ada kesempatan di antara kita," suara Saira terdengar datar. "Jadi, untuk apa diungkit lagi?"Cakra tetap berbaring, menatap langit-langit kamar seakan ada sesuatu yang menarik di sana. "Aku cuma ingin tahu isi kesepakatan yang kamu tawarkan tadi."Saira menghela napas pelan. Ia memang sudah tidak ingin menaruh harapan lagi pada lelaki itu. Terlebih, kejadian tadi seolah membuka matanya lebar-lebar. Dia tidak punya hak untuk menuntut apa pun dari Cakra, sekalipun berstatus sebagai istrinya."Memangnya kalau sudah dengar, kamu akan setuju?""Kalau menguntungkan, mungkin bisa kupertimbangkan."Saira hampir tertawa. Tentu saja. Lelaki ini selalu melihat segalanya dari sudut pandan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments