Saira Anggun Prameswari dinikahi Cakra hanya karena sang suami ingin menebus kesalahan setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa nenek. Sayangnya, keluarga suaminya justru menuduhnya "mandul" tanpa tahu dia belum pernah disentuh Cakra sama sekali. Hanya saja, kedatangan mantan kekasih Cakra ke Indonesia dengan seorang anak kecil yang diklaim darah daging pria tersebut mengubah pertahanan wanita itu. Haruskah Saira tetap bertahan dalam pernikahan tanpa cinta? Atau menegaskan posisi dirinya sebagai istri sah Cakra?
Lihat lebih banyakRasanya baru beberapa jam Saira memejamkan mata, tetapi ternyata pagi datang terlalu cepat.Ia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali saat cahaya matahari menyelinap masuk dari sela-sela tirai. Sekilas, ia terkejut karena matahari sudah meninggi, tetapi ingat bahwa semalam ia sudah mengirimkan surat keterangan dokter ke bagian personalia.Suara gemerisik terdengar di sebelahnya. Ia mendongak, mendapati Cakra sudah bangun lebih dulu.Lelaki itu duduk di tepi ranjang, fokus pada komputer jinjing di pangkuannya. Cahaya layar memantulkan siluet wajahnya yang tetap datar, seolah keberadaan Saira tidak berarti apa-apa baginya.Saira melirik jam dinding. Pukul sembilan pagi.Seharusnya, lelaki itu sudah berangkat ke kantor. Tapi kali ini, ia masih di kamarnya."Sudah bangun?"Suara bariton Cakra memecah keheningan. Lelaki itu menoleh sekilas ke arah Saira sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.Saira menggeliat pelan, lalu duduk bersandar di kepala ranjang, tepat di samping Cakra. "
Aku berubah pikiran.Saira menoleh, menatap suaminya dengan alis sedikit berkerut. Entah apa yang membuat lelaki itu tiba-tiba berkata begitu.Tatapannya jatuh ke wajah Cakra, mencari tanda-tanda keseriusan. Tapi, seperti biasa, lelaki itu hanya menampilkan ekspresi datarnya."Kamu sendiri yang bilang nggak mau ada kesempatan di antara kita," suara Saira terdengar datar. "Jadi, untuk apa diungkit lagi?"Cakra tetap berbaring, menatap langit-langit kamar seakan ada sesuatu yang menarik di sana. "Aku cuma ingin tahu isi kesepakatan yang kamu tawarkan tadi."Saira menghela napas pelan. Ia memang sudah tidak ingin menaruh harapan lagi pada lelaki itu. Terlebih, kejadian tadi seolah membuka matanya lebar-lebar. Dia tidak punya hak untuk menuntut apa pun dari Cakra, sekalipun berstatus sebagai istrinya."Memangnya kalau sudah dengar, kamu akan setuju?""Kalau menguntungkan, mungkin bisa kupertimbangkan."Saira hampir tertawa. Tentu saja. Lelaki ini selalu melihat segalanya dari sudut pandan
Cahaya temaram dari lampu di langit-langit membuat Saira mengerjap beberapa kali. Aroma antiseptik menyusup ke hidungnya, dan hawa dingin dari pendingin ruangan membuat kulitnya menggigil samar. Perlahan, pandangannya mulai jelas. Tirai berwarna biru muda, botol infus tergantung di tiang besi di samping tempat tidur. Rumah sakit? Kenapa dia ada di sini? Keningnya mengerut saat mencoba mengingat apa yang terjadi, tapi kepalanya terasa berat. Tubuhnya juga lemas. Saat Saira berusaha mengangkat tubuhnya, suara berat menghentikannya. "Jangan bangun." Refleks, ia menoleh. Cakra. Pria itu duduk di kursi tak jauh dari ranjangnya, dengan tubuh condong ke depan, kedua lengan bertumpu di lutut. Matanya tajam, tapi ekspresinya sulit dibaca. Beberapa detik kemudian, Cakra berdiri dan berjalan mendekat. "Kenapa aku di sini?" "Kamu pingsan." Saira mengerutkan dahi, mencoba mengingat, tapi pikirannya tetap kosong. Tangannya bergerak, berusaha bangkit, namun sebelum sempat melakukannya, je
Sementara itu, di sisi lain…Cakra duduk di pinggir kolam selama beberapa menit, membiarkan secangkir kopi buatannya sendiri mendingin di atas meja. Tatapannya kosong, terarah pada ikan-ikan yang sesekali muncul ke permukaan sebelum kembali tenggelam.Pakaian pria itu telah berganti dengan baju santai yang biasa ia kenakan di rumah. Hawa dingin malam membalut tubuhnya, tapi bahkan rambut basah seusai mandi tak mampu meredakan bara api yang berkecamuk di kepalanya.Saira…Wanita itu memenuhi pikirannya, bersama dengan ucapannya yang terus terngiang.Benarkah dia yang egois?Benarkah semua keputusannya selama ini hanya membuat Saira tidak bahagia?Dan benarkah dia terlalu menutup diri hingga pernikahan mereka berubah menjadi seperti ini?Tsk. Omong kosong.Tapi semakin ia mencoba menepis pemikiran itu, semakin dalam kata-kata Saira mengakar di benaknya.Kesalahpahaman di antara mereka terasa seperti lingkaran tak berujung. Dan yang paling menyebalkan adalah—ia sendiri tidak tahu bagaima
Saira duduk di tepi ranjang, tidak bergerak. Tubuhnya masih dibalut pakaian kerja yang kusut, wajahnya tak kalah sembab karena air mata.Malam bergerak semakin larut.Sudah belasan menit berlalu setelah Saira bertengkar dengan Cakra tadi. Entah kemana perginya lelaki itu, tetapi istrinya masih setia menumpahkan tangisannya sampai saat ini. Bi Surti duduk di sebelahnya, menggenggam tangan wanita itu dengan lembut. Berusaha memberikan dukungan padanya. "Bu, hari sudah malam. Sebaiknya Ibu makan dulu."Saira menggeleng pelan, tatapannya kosong ke arah dinding di hadapannya. "Saya nggak lapar, Bi."Bukan hanya rasa lapar yang hilang, tapi juga semua keinginannya untuk menjalani sore ini seperti yang telah ia rencanakan—semuanya lenyap dalam sekejap "Kalau begini terus, Ibu bisa sakit."Saira menghela napas pendek, suaranya nyaris seperti bisikan. "Mau saya sehat, sakit, hidup, atau mati… dia juga nggak akan peduli."Bi Surti terdiam sesaat, lalu jemarinya mengusap lembut punggung tang
Cakra mendorong pintu rumah dengan sedikit keras. Langkahnya cepat, suaranya menggema di lantai marmer yang dingin. Tanpa ragu, ia menaiki tangga, lalu berhenti di depan pintu kamar yang sedikit terbuka.Di dalam, Saira sedang membungkuk di samping ranjang, tangannya sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper terbuka di lantai. Wajahnya basah, tapi tangannya tidak berhenti bergerak mengemasi baju-bajunya.Cakra berdiri di ambang pintu, rahangnya mengatup. Pandangannya terkunci pada sosok istrinya yang kini telah menutup koper berwarna hitam itu.Tanpa sepatah kata, lelaki itu melangkah masuk dan menarik koper yang hendak dibawa pergi Saira dengan kasar.Saira tersentak, lalu mendongak dengan mata merah dan bengkak. Ia mengusap pipinya cepat-cepat, lalu berdiri tegak di hadapan suaminya."Apa sih maumu?" protesnya dengan suara serak, tapi bernada tajam.Cakra tak menghiraukannya dan menjauhkan koper dari hadapan Saira."Kamu tetap di sini!" balas pria itu tak kalah tegas."Kembalikan kope
Mobil yang ditumpangi Saira dan Cakra masih melaju di jalan raya, hanya tinggal beberapa kilometer lagi sebelum sampai di rumah. Di tengah perjalanan yang hening itu, ponsel di saku celana Cakra bergetar. Getaran cukup kuat hingga menarik perhatian Saira. Ia melirik ke arah suaminya, tetapi begitu melihat nama Indira terpampang di layar, ekspresinya berubah. Seketika, ia membuang pandangan dan memilih diam. Cakra sendiri tak menunjukkan minat untuk mengangkat panggilan itu. Ia hanya menekan tombol volume agar ponsel berhenti bergetar. "Nggak mau angkat?" tanya Saira tanpa menoleh. "Nanti saja, baru nyetir," sahut pria itu santai. Namun, di sisi lain, perut Saira terasa geli. Ia tahu persis—kalau dirinya tidak ada, Cakra pasti langsung mengangkat panggilan itu tanpa ragu, bukan? Tak lama kemudian, ponsel Cakra kembali bergetar. Kali ini lebih lama. Saira mendesah lelah. "Sudahlah, angkat saja sana!" serunya, lalu sengaja mengalihkan pandangan ke luar jendela, seolah tak tertarik
"Aku nggak butuh kesepakatan." Cakra menolak tanpa ingin bertanya soal kesempatan apa yang Saira tawarkan.Pria itu bahkan memilih fokus pada jalanan di hadapannya. "Tapi kamu melarangku ini-itu, sementara kamu bebas melakukan apa saja! Itu nggak adil buatku, Cakra!" Suara Saira meninggi, menyiratkan kemarahan dan kekecewaan yang tak lagi bisa ia tahan lagi. Cakra terdiam. Tatapannya tertuju pada wajah Saira yang kini mengeras. Ia bisa melihat sorot terluka di mata wanita itu, dan entah kenapa membuat dadanya terasa sesak.Namun, alih-alih melunak, ia justru mendengus pelan. "Dari awal, nggak ada yang bilang pernikahan ini akan adil."Saira kembali melemparkan tatapan tajam. "Justru karena itu aku mau kita adil sekarang! Aku cuma ingin ada aturan yang jelas. Kalau kamu bisa melakukan apa saja, aku juga harusnya punya kebebasan yang sama."Cakra mengetukkan jemarinya ke kemudi. Wajahnya tetap dingin, nyaris tanpa ekspresi. "Aku nggak tertarik bikin aturan atau kesepakatan. Yang jela
Cakra menepati kata-katanya.Sudah seminggu berlalu sejak ia menyatakan kesediaannya untuk mengantar jemput Saira. Setiap hari, ia selalu datang tepat waktu tanpa terlambat sedikit pun.Namun, bukannya merasa nyaman, Saira justru semakin sesak dengan rutinitas itu. Ia kehilangan kebebasannya.Dulu, ia bisa mampir sebentar ke coffee shop bersama Sekar setelah mengajar, sekadar berbincang atau menikmati rum regal favoritnya tanpa terburu-buru. Sekarang? Bahkan merencanakannya saja tidak sempat.Sama seperti hari ini...Sejak siang hingga menjelang petang, jadwal mengajarnya tergantikan dengan rapat program baru bersama Sekar, Jehian, Anggara, dan beberapa dosen lainnya.Saira keluar lebih dulu bersama Sekar, sementara yang lain masih membahas beberapa hal di dalam ruangan. Begitu melewati pintu utama, matanya langsung menangkap sosok Cakra yang berdiri santai di depan mobil.Pria itu mengambil tempat di bawah pohon rindang, bersandar dengan satu tangan di saku celana, ekspresi wajahnya
“Dua tahun menikah, belum bisa hamil juga?” Ambar Wiradana menggeram saat melihat satu garis tunggal pada alat uji kehamilan di tangannya. Sesaat kemudian, benda pipih berwarna putih biru itu dilempar ke meja, memantul sekali sebelum jatuh dengan bunyi ringan.Saira menelan ludah, menundukkan kepala seperti anak kecil yang tertangkap basah. “Jawab!”“Mungkin belum waktunya, Ma,” jawabnya lirih, nyaris tak terdengar.“Lalu kapan? Sampai kapan aku harus menunggu?” Saira mendongak sedikit, berusaha menata suaranya agar tetap tenang. “Saira dan Cakra sudah berusaha yang terbaik.”“Kalau memang sudah berusaha, setidaknya sudah membuahkan hasil!”Suara Ambar kembali menggema di ruangan. Tatapan wanita paruh baya itu penuh amarah, membuat nyali Saira ciut. Hasil pemeriksaan kesehatan Saira menunjukkan dirinya sehat dan subur, tapi bagaimana mungkin ada kehidupan tumbuh di rahimnya jika sang suami bahkan tak pernah menyentuhnya?Saira ingin sekali berteriak, ingin membuka semua kenyataan pa...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen