Share

Bab 7

Penulis: Sinar Rembulan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-10 16:45:47

Setelah makan malam yang penuh ketegangan, Saira memilih menghindari semua orang dan mengunci diri di kamar. Ia duduk di pinggir ranjang, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya tumpah juga. Keinginannya dalam hidup sederhana saja—hanya ingin dicintai.

Namun, entah kesalahan apa yang telah ia perbuat di masa lalu, sehingga takdir membawanya masuk ke keluarga Wiradana ini.

Keluarga terpandang itu tidak pernah benar-benar menganggapnya sebagai bagian dari mereka. Setiap kata yang diucapkan Ambar dan Sandrina selalu melukai hatinya.

Dan, yang paling menyakitkan adalah sikap Cakra, yang tetap dingin, bahkan tak pernah sekalipun membelanya. Bahkan ketika adiknya bertindak di luar batas seperti malam ini, Cakra—suaminya, yang seharusnya melindungi dan menjaga nama baiknya—tetap diam tanpa melakukan apa-apa.

Saira tahu, sejak awal dia bukanlah istri yang diinginkan Cakra. Namun, setelah dua tahun pernikahan, apakah hati Cakra benar-benar tidak sedikit pun tergerak untuknya?

Apakah tidak ada kemungkinan mereka saling mencintai, layaknya suami istri yang sesungguhnya? Mungkin itu hanyalah harapan yang harus ia pendam sendiri.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Panggilan masuk dari kakeknya, Prawirya, muncul di layar. Saira menyeka air matanya yang membasahi wajah, lalu meraih ponselnya.

“Saira?” suara Prawirya terdengar khawatir. “Kamu di sana?”

“Iya, Kek?” Saira berdeham sejenak, berusaha menenangkan suara. “Saira di sini.”

“Ada apa dengan suara kamu?”

“Oh, ini … kayaknya cuma kurang minum saja. Akhir-akhir ini banyak kerjaan jadi lupa minum,” jawab Saira dengan ringan, meski suaranya masih terdengar serak.

“Kamu dan Cakra bertengkar?”

“Enggak kok, Cakra dan Saira baik-baik saja, kami bahkan habis makan malam bersama tadi.” Saira berusaha terdengar santai.

Prawirya menghela napas panjang. “Kakek harap kalian memang baik-baik saja.”

“Kakek nggak perlu khawatir. Saira dan Cakra baik-baik saja. Kalau ada apa-apa, Saira pasti lapor ke Kakek!” Saira tertawa pelan, berusaha meyakinkan sang kakek.

“Baiklah. Saira, besok pagi biar Mbak Ning yang antar Kakek check-up. Kamu kerja saja, nggak perlu repot-repot urus Kakek.”

Beberapa jam sebelumnya, Saira memang mengirim pesan pada Prawirya untuk menemaninya check-up rutin, sebelum ia mengajar. Namun, seperti biasa, Prawirya menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan.

Padahal, Saira tak merasa terganggu. Justru ia merasa lebih tenang jika bisa mengawasi perkembangan kesehatan sang kakek.

“Saira mengajar setelah makan siang kok, Kek. Masih sempat untuk antar Kakek.”

“Nanti malah merepotkan kamu. Apa gunanya kamu bayar orang mahal-mahal untuk urus Kakek kalau ujung-ujungnya kamu juga yang turun tangan?”

“Tapi, sebagai cucu, apa salahnya berbakti ke Kakek? Lagipula nggak merepotkan sama sekali. Pokoknya besok pagi Saira jemput, ya?”

“Hm … Kamu memang seperti ibumu, keras kepala,” jawab Prawirya dengan nada khasnya.

Saira tersenyum kecil mendengar itu. “Ya sudah, sekarang Kakek istirahat ya, besok bangun pagi untuk check-up. Saira juga mau istirahat.”

Setelah itu, Prawirya menyetujuinya dan panggilan pun berakhir. Saira menghela napas lega. Meski air matanya masih terus mengalir, setidaknya Prawirya tidak curiga.

Di tengah semua kekacauan ini, satu-satunya kekuatan yang masih ia miliki hanyalah Prawirya. Selain cinta, hanya beliau yang menjadi alasannya bertahan dalam rumah tangga ini.

Saira menutup ponselnya dan meletakkannya di atas nakas. Lalu, ia berbaring di ranjang, meringkuk dengan air mata yang masih mengalir di wajahnya. Sambil memeluk guling, Saira bergumam pelan, “Kakek... Saira sudah berusaha mempertahankan semuanya. Tapi, bagaimana jika yang aku perjuangkan justru lebih peduli pada orang lain?”

Pertanyaan itu terdengar lirih, namun tanpa Saira sadari, ada yang mendengarnya dengan jelas.

Sosok itu berdiri mematung di depan pintu, tubuhnya membeku sejenak. Tangan kanannya yang sempat terangkat untuk mengetuk pintu kini tergantung di udara, lalu perlahan turun kembali ke samping tubuhnya, seolah urung untuk melanjutkan niatnya.

Cakra menarik napas pelan, lalu menjauh dari kamar itu. Langkahnya terasa berat saat ia berjalan menuju kamarnya sendiri. Namun, saat ia berbalik, terdengar isakan tangis Saira.

Seharusnya itu bukan masalah. Namun, entah mengapa, tangisan itu membuat dadanya terasa sesak. Cakra bingung dengan dirinya sendiri. Kenapa tangisan itu mampu membuat hatinya terasa nyeri?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Luthfie Ina
wahh launcing novel baru ya ka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 8

    Saat matahari mulai merayap naik, Saira sudah rapi dengan kemeja putih beraksen brokat dan celana panjang senada. Meski berusaha tampil sempurna, nyatanya sapuan bedak tebal tak mampu menutupi bekas tangis semalam yang tetap kentara di wajahnya.Di dapur, denting panci dan piring menjadi latar suasana pagi itu. Saira membantu Bi Surti menyusun sarapan, berusaha mengalihkan pikirannya dari kekosongan hatinya. Namun, ketenangan itu pecah oleh bunyi bel rumah yang nyaring, berkali-kali.“Siapa yang datang sepagi ini?” gumam Saira, alisnya berkerut tipis. Namun, sebelum sempat melangkah, Bi Surti sudah lebih sigap. “Biar saya saja, Bu,” ujarnya sambil bergegas ke pintu.Saira kembali ke pekerjaannya, rasa penasaran mulai mengusik. Samar-samar, ia mendengar percakapan singkat di depan pintu sebelum Bi Surti kembali dengan sebuah kantong kain merah muda di tangannya.“Siapa yang datang, Bi? Apa itu?” tanya Saira, pandangannya tertuju pada benda tersebut. “Mbak Indira, Bu. Mengantar beka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 9

    Kini, masalah bekal sudah selesai, tak ada lagi hal yang hanya membuat kepalanya pening.Saira menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dadanya.Setelah merasa cukup tenang, ia mengambil tas dan melangkah keluar rumah.Hari ini, ia harus menjemput kakeknya, Prawirya, untuk menepati janjinya semalam.Semoga saja, ini menjadi alasan yang sempurna untuk sejenak melarikan diri dari kerumitan yang memenuhi pikirannya***Rumah kembali lengang setelah kepergian Saira. Satu jam berlalu, dan suasana mulai berubah saat Cakra memulai aktivitasnya.Setelan jas hitam mahal melekat sempurna pada tubuh tegapn

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 10

    Di waktu yang sama, Saira menepati janjinya mengantar sang kakek tercinta ke rumah sakit. Ruang tunggu itu terasa dingin. Beberapa kali Saira mengusap lengannya, mencoba mengusir hawa beku yang membekap kulitnya.Ia duduk di samping kursi roda sang kakek, tapi pandangannya kosong. Mata cokelat itu menatap dinding kaca beberapa meter di depannya, namun pikirannya melayang entah ke mana.“Saira.” Suara Prawirya yang berat nan lembut mengoyak lamunan, diikuti dengan sentuhan hangat di bahu.Saira tersentak kecil. “Kakek?” Refleks ia menoleh, cepat, seperti ketakutan tertangkap basah. “Ada apa?”Pria tua itu tidak langsung menjawab. Tatapan matanya lembut tapi tajam, seakan mampu menembus lapisan pura-pura ceria yang dipasang cucunya. &ldq

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 11

    Saira melirik layar ponsel di tangan suaminya. Terpampang foto sebuah kotak bekal yang tergeletak di jalan depan rumah mereka—kotak makan milik Indira, wanita yang pagi tadi dengan percaya diri mengantarkan makanan untuk Cakra.Saira sudah menduga, Indira pasti mengadu."Tadi pagi Indira ke sini antar bekal. Tapi kenapa kamu nggak kasih ke aku dan malah kamu buang?" Suara Cakra menggelegar, memenuhi ruangan. Matanya menyala seperti kobaran api.Alih-alih gentar, Saira tersenyum miring. Ada kepahitan di balik tatapannya. "Kesal karena bekal dari wanita kesayanganmu dibuang begitu saja?""Jawab pertanyaanku!" bentak Cakra lagi.Saira menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi. Ia bersedekap, menatap Cakra tajam. "Ak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 12

    Saira menggenggam erat kunci mobil di tangannya, sorot matanya penuh kecurigaan. “Tengah malam begini, kamu mau ke mana?”Cakra, yang tampak tergesa-gesa, menghela napas pelan, berusaha tenang. Namun, tidak ada penjelasan yang keluar dari bibirnya. Melihat hal itu, Saira menebak jika tujuan Cakra bukanlah karena urusan kantor.“Indira tiba-tiba demam. Aku harus antar dia ke rumah sakit,” akhirnya, pria itu menyatakan niatnya.Mata Saira membelalak, keterkejutan itu hanya sesaat sebelum berganti dengan tatapan tajam.“Ini sudah tengah malam, dan kamu, seorang pria beristri, mau datang ke rumah wanita lain? Pakai mobilku pula?”Cakra menarik napas panjang, jelas menahan emosinya. “Mobil

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 13

    Bi Surti, yang sedang membereskan baju, berhenti sejenak dan menoleh ke arah Cakra. Dengan langkah pelan dan kepala sedikit menunduk, ia mendekat. Wajahnya tampak ragu, seolah mencari keberanian untuk berbicara."Bi, saya nggak mau tanya dua kali," suara Cakra terdengar tenang tetapi penuh peringatan.“Ah, itu..., Ibu menyeduh obat ini setiap malam, Pak,” jawab Bi Surti akhirnya, dengan suara lirih.Kening Cakra berkerut. Tatapan matanya tajam mengarah ke tumpukan obat-obatan itu. Bau menyengat yang sering tercium dari kamar Saira setiap malam kembali terlintas di pikirannya.Jadi, semua obat-obatan ini penyebabnya ....“Lalu kenapa ada bungkus-bungkus kosong yang disimpan di sini?” tanyanya, kali ini nadanya lebih datar, namun penuh selidik.Bi Surti menarik napas perlahan, matanya menatap Cakra dengan cemas. “Karena Nyonya Besar selalu menghitung bungkusnya, Pak. Beliau ingin memastikan Bu Saira menghabiskan obatnya. Jadi, bungkus ini sengaja saya simpan supaya Nyonya Besar tidak mar

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 14

    "Em... kayaknya informasi ini nggak terlalu penting buat kamu," ucap Sekar, tersenyum penuh arti.Saira menyipitkan mata, alisnya terangkat curiga. "Kalau nggak penting, kenapa kamu bahas? Jangan setengah-setengah dong!"Sekar menyeringai, memamerkan deretan giginya yang rapi. Ia menggaruk pelipisnya yang jelas-jelas nggak gatal. "Yakin mau tahu?" tanyanya, menatap Saira dalam.Saira mengangguk mantap. "Cepat bilang!"Sekar melirik kanan-kiri, lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Saira. Suaranya mengecil, seperti menyimpan rahasia besar. "Katanya, pemilik yayasan baru itu masih muda dan... belum menikah."Harapan di mata Saira langsung pudar. Ia mendecak kesal, lalu menoyor kepala Sekar tanpa ragu."Aduh!" Sekar meringis sambil tertawa."Serius? Aku pikir kabar penting, ternyata cuma gosip!" gerutu Saira. Ia berharap ada informasi yang lebih berfaedah daripada rumor seperti itu."Kan sudah dibilang nggak penting, kamu yang maksa tahu!" Sekar cengengesan, lalu menepuk pundak Saira pela

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 15

    Saat Saira sampai di ruang dosen dan membuka aplikasi pesan di ponselnya, sebuah pesan dari sang kakek langsung mencuri perhatian. Membacanya membuat tubuhnya seolah kehilangan tenaga.[Saira, hari ini Mbak Ning masak lebih banyak. Kamu dan Cakra bisa datang makan malam di rumah kakek?]Pesan itu dikirim beberapa jam lalu, tepat saat ia sibuk di ruang konferensi. Tubuhnya terasa lemas seketika. Saira menggigit bibirnya, pikirannya berputar cepat. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Mengabaikan undangan kakek bukan pilihan, tapi mengajak Cakra juga tak mudah. Pria itu tak pernah antusias menghadiri acara semacam ini.Didesahkannya napas panjang. Dia lantas mengirim pesan pada sekretaris Cakra. Jika memang tidak ada agenda, mungkin ia bisa mencoba membujuk Cakra. Meski kecil kemungkinannya pria itu mau mendengarkan.***Ketukan di pintu terdengar beberapa kali, bergema cukup keras saat Saira baru saja selesai merapikan rambutnya. Ia meletakkan sisir di atas meja, lalu berdiri.Wanita i

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16

Bab terbaru

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 28

    Mobil yang ditumpangi Saira dan Cakra masih melaju di jalan raya, hanya tinggal beberapa kilometer lagi sebelum sampai di rumah. Di tengah perjalanan yang hening itu, ponsel di saku celana Cakra bergetar. Getaran cukup kuat hingga menarik perhatian Saira. Ia melirik ke arah suaminya, tetapi begitu melihat nama Indira terpampang di layar, ekspresinya berubah. Seketika, ia membuang pandangan dan memilih diam. Cakra sendiri tak menunjukkan minat untuk mengangkat panggilan itu. Ia hanya menekan tombol volume agar ponsel berhenti bergetar. "Nggak mau angkat?" tanya Saira tanpa menoleh. "Nanti saja, baru nyetir," sahut pria itu santai. Namun, di sisi lain, perut Saira terasa geli. Ia tahu persis—kalau dirinya tidak ada, Cakra pasti langsung mengangkat panggilan itu tanpa ragu, bukan? Tak lama kemudian, ponsel Cakra kembali bergetar. Kali ini lebih lama. Saira mendesah lelah. "Sudahlah, angkat saja sana!" serunya, lalu sengaja mengalihkan pandangan ke luar jendela, seolah tak tertarik

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 27

    "Aku nggak butuh kesepakatan." Cakra menolak tanpa ingin bertanya soal kesempatan apa yang Saira tawarkan.Pria itu bahkan memilih fokus pada jalanan di hadapannya. "Tapi kamu melarangku ini-itu, sementara kamu bebas melakukan apa saja! Itu nggak adil buatku, Cakra!" Suara Saira meninggi, menyiratkan kemarahan dan kekecewaan yang tak lagi bisa ia tahan lagi. Cakra terdiam. Tatapannya tertuju pada wajah Saira yang kini mengeras. Ia bisa melihat sorot terluka di mata wanita itu, dan entah kenapa membuat dadanya terasa sesak.Namun, alih-alih melunak, ia justru mendengus pelan. "Dari awal, nggak ada yang bilang pernikahan ini akan adil."Saira kembali melemparkan tatapan tajam. "Justru karena itu aku mau kita adil sekarang! Aku cuma ingin ada aturan yang jelas. Kalau kamu bisa melakukan apa saja, aku juga harusnya punya kebebasan yang sama."Cakra mengetukkan jemarinya ke kemudi. Wajahnya tetap dingin, nyaris tanpa ekspresi. "Aku nggak tertarik bikin aturan atau kesepakatan. Yang jela

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 26

    Cakra menepati kata-katanya.Sudah seminggu berlalu sejak ia menyatakan kesediaannya untuk mengantar jemput Saira. Setiap hari, ia selalu datang tepat waktu tanpa terlambat sedikit pun.Namun, bukannya merasa nyaman, Saira justru semakin sesak dengan rutinitas itu. Ia kehilangan kebebasannya.Dulu, ia bisa mampir sebentar ke coffee shop bersama Sekar setelah mengajar, sekadar berbincang atau menikmati rum regal favoritnya tanpa terburu-buru. Sekarang? Bahkan merencanakannya saja tidak sempat.Sama seperti hari ini...Sejak siang hingga menjelang petang, jadwal mengajarnya tergantikan dengan rapat program baru bersama Sekar, Jehian, Anggara, dan beberapa dosen lainnya.Saira keluar lebih dulu bersama Sekar, sementara yang lain masih membahas beberapa hal di dalam ruangan. Begitu melewati pintu utama, matanya langsung menangkap sosok Cakra yang berdiri santai di depan mobil.Pria itu mengambil tempat di bawah pohon rindang, bersandar dengan satu tangan di saku celana, ekspresi wajahnya

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 25

    Saira menarik napas pelan sebelum melangkah mendekati mereka.Cakra sekilas menoleh, lalu kembali fokus pada Shopia yang masih sibuk dengan makanannya. Tidak ada senyuman, tidak ada pertanyaan apakah dia senang berbelanja. Saira sudah terbiasa.“Sudah selesai?” tanya Cakra datar.Saira mengangguk. “Kita pulang sekarang?”Cakra meneguk minumannya, lalu berdiri. “Ayo.”Mereka bertiga meninggalkan gerai makanan cepat saji dan berjalan menuju mobil. Shopia, dengan langkah kecilnya, menggenggam tangan Cakra tanpa ragu. Saira, seperti biasa, hanya mengikuti dari belakang.Perjalanan pulang berlangsung dalam keheningan. Shopia sempat berceloteh sebentar, tetapi seiring waktu, suara cerianya meredup. Kepalanya mulai terkulai, kelopak matanya semakin berat, dan akhirnya ia tertidur di bangku belakang.Saat mobil berhenti di depan rumah, Cakra menoleh ke belakang. “Dia tertidur.”Saira ikut menoleh dan melihat wajah polos Shopia yang terlelap dengan napas teratur. Tanpa menunggu jawaban, Cakra

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 24

    Malam itu, seperti yang telah disepakati—atau lebih tepatnya, seperti yang telah diputuskan oleh Cakra—Indira akhirnya mengantar Shopia ke rumah mereka tepat setelah matahari sepenuhnya terbenam.Begitu keluar dari kamar setelah berganti pakaian, Saira langsung melihat seorang gadis kecil duduk di ruang tamu, memeluk boneka beruangnya erat. Anak itu, Shopia, tengah duduk bersama Bi Surti, menonton kartun di televisi."Cakra mana, Bi?" tanya Saira sambil memindai ruangan. Suaminya tidak ada di sana.Bi Surti tersenyum. "Bapak sedang ganti baju, Bu."Saira mengangguk paham, lalu mengalihkan pandangan ke arah Shopia yang tampak lugu. Meski hatinya masih enggan menerima keberadaan anak itu, ia tahu benar bahwa Shopia bukanlah seseorang yang bisa disalahkan dalam kisah rumit ini.Bahkan jika dugaannya terbukti benar."Kamu sudah makan?" Saira akhirnya membuka suara, berjongkok di depan Shopia seraya menampilkan senyum. Mencoba bersikap biasa.Namun, Shopia hanya mengangkat wajah, menatapny

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 23

    "Siapa dia?"Saira menoleh ke arah sang suami. Sorot mata pria itu sekilas mengikuti mobil yang baru saja melaju di depan mereka, tetapi ekspresinya tetap datar, nyaris tak terbaca.“Maksudmu … dia?” Dengan ragu, Saira mengutarakan asumsinya, telunjuknya terarah pada mobil Anggara.Cakra hanya menjawab dengan anggukan, lalu melajukan mobilnya tanpa banyak bicara. Namun, beberapa detik kemudian, dia memperjelas subjek pertanyaannya. “Dia yang jalan bersamamu tadi.”“Itu Pak Anggara, pemilik yayasan yang baru.”“Dia setiap hari ke kampus?”Pertanyaan itu meluncur begitu saja, terdengar datar tetapi sarat arti. Saira mengernyit, sedikit bingung dengan arah pembicaraan, tetapi tetap menjawab juga, “Tergantung. Dia hanya akan ke kampus setiap hari Senin dan Selasa, sisanya menyesuaikan jadwal.”Pria yang sedang duduk di kursi kemudi itu melirik Saira sekilas, lalu kembali menatap ke jalan. Dia hanya mengangguk-angguk kecil sambil jemarinya mengetuk setir pelan.“Kamu bahkan sangat hafal ja

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 22

    Seharian penuh, Saira tenggelam dalam pekerjaannya sebagai dosen: mengajar, memeriksa tugas mahasiswa, menyusun materi kuliah, dan mengurus program kerja baru yang baru saja dilimpahkan padanya. Namun di tengah kesibukan itu, satu pertanyaan Sekar terus mengusik pikirannya.Benarkah Anggara memiliki perhatian lebih padanya? Atau hanya perasaannya saja?Banyak hal ingin ia tanyakan, tetapi Saira memilih bungkam. Ia sadar sepenuhnya, dirinya adalah seorang istri. Melibatkan diri lebih jauh dengan Anggara hanya akan memicu masalah baru. Hubungannya dengan Cakra saja sudah cukup memusingkan. Jika ia terjebak dalam hubungan lain yang rumit, segalanya bisa semakin kacau.Hari yang panjang itu akhirnya berlalu. Saira merapikan barang-barangnya, memasukkan laptop ke dalam tas, lalu meraih ponselnya untuk memesan taksi. Baru saja jemarinya mengetuk layar, suara Sekar memecah fokusnya.“Loh, Saira? Kok masih di sini?”Saira mendongak. Sekar berdiri di depannya, napasnya sedikit tersengal, dengan

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 21

    Saira mendongak, menatap Anggara dengan bingung. Cara pria itu berbicara membuat pikirannya tak menentu. Apakah ia salah paham, atau memang Anggara hanya sedang bercanda?Mengingat pria itu terlihat jauh lebih ramah daripada Cakra, Saira hampir merasa lega. Tapi ada sesuatu dalam cara Anggara berbicara yang membuat bulu kuduknya berdiri. Pikiran tentang kemungkinan lain semakin membuatnya bergidik ngeri.“Saya… Saya kurang paham maksud Pak Angga,” ucapnya pelan, suaranya ragu. Ia melirik sekilas ke arah Jehian yang duduk di sudut, sibuk dengan gawainya, tampak tak peduli pada pembicaraan mereka.Anggara tersenyum kecil, senyum ramah yang biasa diterbitkan tetapi sulit ditebak maknanya. "Proposal kamu bagus. Saya rasa jika dibahas lebih mendalam, ini bisa ditinjau ulang," katanya santai, sebelum tersenyum samar. Setelah jeda yang terasa terlalu lama bagi Saira, ia menambahkan, "Tentu saja, ada beberapa hal yang perlu kamu lakukan agar ini berhasil."Saira meneguk ludah, pikirannya berp

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 20

    Saira tertegun sejenak, menatap pria muda yang tersenyum ke arahnya dari balik jendela mobil. Senyuman yang baru saja ia lihat itu pernah ia dapatkan kemarin sore.Tenggorokannya mendadak kering saat akhirnya ia mengenali sosok pria tersebut.Anggara Pratama—pemilik baru yayasan yang telah mengakuisisi universitas tempatnya bekerja. Nama itu telah menjadi topik pembicaraan hangat di lingkungan kampus selama beberapa minggu terakhir.Meski bukan pertama kalinya mereka berjumpa, bertemu langsung dalam situasi seperti ini membuat Saira merasa gugup. Terlebih saat suasana hatinya sedang buruk seperti sekarang.“Pak Anggara,” Saira mengangguk sopan, menyapa pria itu.Anggara membalas anggukan dengan senyuman khasnya, lebar dan hangat. “Kampus masih jauh. Kalau kamu jalan kaki seperti ini, pasti terlambat, kan? Saya tidak keberatan kalau kamu mau ikut.”“Ah, ti—tidak apa-apa, Pak. Saya sudah pesan taksi online. Sebentar lagi pasti datang,” jawab Saira, mencoba tersenyum selebar mungkin. Nam

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status