Share

Bab 7

last update Last Updated: 2024-12-10 16:45:47

Setelah makan malam yang penuh ketegangan, Saira memilih menghindari semua orang dan mengunci diri di kamar. Ia duduk di pinggir ranjang, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya tumpah juga. Keinginannya dalam hidup sederhana saja—hanya ingin dicintai.

Namun, entah kesalahan apa yang telah ia perbuat di masa lalu, sehingga takdir membawanya masuk ke keluarga Wiradana ini.

Keluarga terpandang itu tidak pernah benar-benar menganggapnya sebagai bagian dari mereka. Setiap kata yang diucapkan Ambar dan Sandrina selalu melukai hatinya.

Dan, yang paling menyakitkan adalah sikap Cakra, yang tetap dingin, bahkan tak pernah sekalipun membelanya. Bahkan ketika adiknya bertindak di luar batas seperti malam ini, Cakra—suaminya, yang seharusnya melindungi dan menjaga nama baiknya—tetap diam tanpa melakukan apa-apa.

Saira tahu, sejak awal dia bukanlah istri yang diinginkan Cakra. Namun, setelah dua tahun pernikahan, apakah hati Cakra benar-benar tidak sedikit pun tergerak untuknya?

Apakah tidak ada kemungkinan mereka saling mencintai, layaknya suami istri yang sesungguhnya? Mungkin itu hanyalah harapan yang harus ia pendam sendiri.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Panggilan masuk dari kakeknya, Prawirya, muncul di layar. Saira menyeka air matanya yang membasahi wajah, lalu meraih ponselnya.

“Saira?” suara Prawirya terdengar khawatir. “Kamu di sana?”

“Iya, Kek?” Saira berdeham sejenak, berusaha menenangkan suara. “Saira di sini.”

“Ada apa dengan suara kamu?”

“Oh, ini … kayaknya cuma kurang minum saja. Akhir-akhir ini banyak kerjaan jadi lupa minum,” jawab Saira dengan ringan, meski suaranya masih terdengar serak.

“Kamu dan Cakra bertengkar?”

“Enggak kok, Cakra dan Saira baik-baik saja, kami bahkan habis makan malam bersama tadi.” Saira berusaha terdengar santai.

Prawirya menghela napas panjang. “Kakek harap kalian memang baik-baik saja.”

“Kakek nggak perlu khawatir. Saira dan Cakra baik-baik saja. Kalau ada apa-apa, Saira pasti lapor ke Kakek!” Saira tertawa pelan, berusaha meyakinkan sang kakek.

“Baiklah. Saira, besok pagi biar Mbak Ning yang antar Kakek check-up. Kamu kerja saja, nggak perlu repot-repot urus Kakek.”

Beberapa jam sebelumnya, Saira memang mengirim pesan pada Prawirya untuk menemaninya check-up rutin, sebelum ia mengajar. Namun, seperti biasa, Prawirya menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan.

Padahal, Saira tak merasa terganggu. Justru ia merasa lebih tenang jika bisa mengawasi perkembangan kesehatan sang kakek.

“Saira mengajar setelah makan siang kok, Kek. Masih sempat untuk antar Kakek.”

“Nanti malah merepotkan kamu. Apa gunanya kamu bayar orang mahal-mahal untuk urus Kakek kalau ujung-ujungnya kamu juga yang turun tangan?”

“Tapi, sebagai cucu, apa salahnya berbakti ke Kakek? Lagipula nggak merepotkan sama sekali. Pokoknya besok pagi Saira jemput, ya?”

“Hm … Kamu memang seperti ibumu, keras kepala,” jawab Prawirya dengan nada khasnya.

Saira tersenyum kecil mendengar itu. “Ya sudah, sekarang Kakek istirahat ya, besok bangun pagi untuk check-up. Saira juga mau istirahat.”

Setelah itu, Prawirya menyetujuinya dan panggilan pun berakhir. Saira menghela napas lega. Meski air matanya masih terus mengalir, setidaknya Prawirya tidak curiga.

Di tengah semua kekacauan ini, satu-satunya kekuatan yang masih ia miliki hanyalah Prawirya. Selain cinta, hanya beliau yang menjadi alasannya bertahan dalam rumah tangga ini.

Saira menutup ponselnya dan meletakkannya di atas nakas. Lalu, ia berbaring di ranjang, meringkuk dengan air mata yang masih mengalir di wajahnya. Sambil memeluk guling, Saira bergumam pelan, “Kakek... Saira sudah berusaha mempertahankan semuanya. Tapi, bagaimana jika yang aku perjuangkan justru lebih peduli pada orang lain?”

Pertanyaan itu terdengar lirih, namun tanpa Saira sadari, ada yang mendengarnya dengan jelas.

Sosok itu berdiri mematung di depan pintu, tubuhnya membeku sejenak. Tangan kanannya yang sempat terangkat untuk mengetuk pintu kini tergantung di udara, lalu perlahan turun kembali ke samping tubuhnya, seolah urung untuk melanjutkan niatnya.

Cakra menarik napas pelan, lalu menjauh dari kamar itu. Langkahnya terasa berat saat ia berjalan menuju kamarnya sendiri. Namun, saat ia berbalik, terdengar isakan tangis Saira.

Seharusnya itu bukan masalah. Namun, entah mengapa, tangisan itu membuat dadanya terasa sesak. Cakra bingung dengan dirinya sendiri. Kenapa tangisan itu mampu membuat hatinya terasa nyeri?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Luthfie Ina
wahh launcing novel baru ya ka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 8

    Saat matahari mulai merayap naik, Saira sudah rapi dengan kemeja putih beraksen brokat dan celana panjang senada. Meski berusaha tampil sempurna, nyatanya sapuan bedak tebal tak mampu menutupi bekas tangis semalam yang tetap kentara di wajahnya.Di dapur, denting panci dan piring menjadi latar suasana pagi itu. Saira membantu Bi Surti menyusun sarapan, berusaha mengalihkan pikirannya dari kekosongan hatinya. Namun, ketenangan itu pecah oleh bunyi bel rumah yang nyaring, berkali-kali.“Siapa yang datang sepagi ini?” gumam Saira, alisnya berkerut tipis. Namun, sebelum sempat melangkah, Bi Surti sudah lebih sigap. “Biar saya saja, Bu,” ujarnya sambil bergegas ke pintu.Saira kembali ke pekerjaannya, rasa penasaran mulai mengusik. Samar-samar, ia mendengar percakapan singkat di depan pintu sebelum Bi Surti kembali dengan sebuah kantong kain merah muda di tangannya.“Siapa yang datang, Bi? Apa itu?” tanya Saira, pandangannya tertuju pada benda tersebut. “Mbak Indira, Bu. Mengantar beka

    Last Updated : 2025-01-06
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 9

    Kini, masalah bekal sudah selesai, tak ada lagi hal yang hanya membuat kepalanya pening.Saira menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dadanya.Setelah merasa cukup tenang, ia mengambil tas dan melangkah keluar rumah.Hari ini, ia harus menjemput kakeknya, Prawirya, untuk menepati janjinya semalam.Semoga saja, ini menjadi alasan yang sempurna untuk sejenak melarikan diri dari kerumitan yang memenuhi pikirannya***Rumah kembali lengang setelah kepergian Saira. Satu jam berlalu, dan suasana mulai berubah saat Cakra memulai aktivitasnya.Setelan jas hitam mahal melekat sempurna pada tubuh tegapn

    Last Updated : 2025-01-06
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 10

    Di waktu yang sama, Saira menepati janjinya mengantar sang kakek tercinta ke rumah sakit. Ruang tunggu itu terasa dingin. Beberapa kali Saira mengusap lengannya, mencoba mengusir hawa beku yang membekap kulitnya.Ia duduk di samping kursi roda sang kakek, tapi pandangannya kosong. Mata cokelat itu menatap dinding kaca beberapa meter di depannya, namun pikirannya melayang entah ke mana.“Saira.” Suara Prawirya yang berat nan lembut mengoyak lamunan, diikuti dengan sentuhan hangat di bahu.Saira tersentak kecil. “Kakek?” Refleks ia menoleh, cepat, seperti ketakutan tertangkap basah. “Ada apa?”Pria tua itu tidak langsung menjawab. Tatapan matanya lembut tapi tajam, seakan mampu menembus lapisan pura-pura ceria yang dipasang cucunya. &ldq

    Last Updated : 2025-01-07
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 11

    Saira melirik layar ponsel di tangan suaminya. Terpampang foto sebuah kotak bekal yang tergeletak di jalan depan rumah mereka—kotak makan milik Indira, wanita yang pagi tadi dengan percaya diri mengantarkan makanan untuk Cakra.Saira sudah menduga, Indira pasti mengadu."Tadi pagi Indira ke sini antar bekal. Tapi kenapa kamu nggak kasih ke aku dan malah kamu buang?" Suara Cakra menggelegar, memenuhi ruangan. Matanya menyala seperti kobaran api.Alih-alih gentar, Saira tersenyum miring. Ada kepahitan di balik tatapannya. "Kesal karena bekal dari wanita kesayanganmu dibuang begitu saja?""Jawab pertanyaanku!" bentak Cakra lagi.Saira menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi. Ia bersedekap, menatap Cakra tajam. "Ak

    Last Updated : 2025-01-08
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 12

    Saira menggenggam erat kunci mobil di tangannya, sorot matanya penuh kecurigaan. “Tengah malam begini, kamu mau ke mana?”Cakra, yang tampak tergesa-gesa, menghela napas pelan, berusaha tenang. Namun, tidak ada penjelasan yang keluar dari bibirnya. Melihat hal itu, Saira menebak jika tujuan Cakra bukanlah karena urusan kantor.“Indira tiba-tiba demam. Aku harus antar dia ke rumah sakit,” akhirnya, pria itu menyatakan niatnya.Mata Saira membelalak, keterkejutan itu hanya sesaat sebelum berganti dengan tatapan tajam.“Ini sudah tengah malam, dan kamu, seorang pria beristri, mau datang ke rumah wanita lain? Pakai mobilku pula?”Cakra menarik napas panjang, jelas menahan emosinya. “Mobil

    Last Updated : 2025-01-10
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 13

    Bi Surti, yang sedang membereskan baju, berhenti sejenak dan menoleh ke arah Cakra. Dengan langkah pelan dan kepala sedikit menunduk, ia mendekat. Wajahnya tampak ragu, seolah mencari keberanian untuk berbicara."Bi, saya nggak mau tanya dua kali," suara Cakra terdengar tenang tetapi penuh peringatan.“Ah, itu..., Ibu menyeduh obat ini setiap malam, Pak,” jawab Bi Surti akhirnya, dengan suara lirih.Kening Cakra berkerut. Tatapan matanya tajam mengarah ke tumpukan obat-obatan itu. Bau menyengat yang sering tercium dari kamar Saira setiap malam kembali terlintas di pikirannya.Jadi, semua obat-obatan ini penyebabnya ....“Lalu kenapa ada bungkus-bungkus kosong yang disimpan di sini?” tanyanya, kali ini nadanya lebih datar, namun penuh selidik.Bi Surti menarik napas perlahan, matanya menatap Cakra dengan cemas. “Karena Nyonya Besar selalu menghitung bungkusnya, Pak. Beliau ingin memastikan Bu Saira menghabiskan obatnya. Jadi, bungkus ini sengaja saya simpan supaya Nyonya Besar tidak mar

    Last Updated : 2025-01-12
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 14

    "Em... kayaknya informasi ini nggak terlalu penting buat kamu," ucap Sekar, tersenyum penuh arti.Saira menyipitkan mata, alisnya terangkat curiga. "Kalau nggak penting, kenapa kamu bahas? Jangan setengah-setengah dong!"Sekar menyeringai, memamerkan deretan giginya yang rapi. Ia menggaruk pelipisnya yang jelas-jelas nggak gatal. "Yakin mau tahu?" tanyanya, menatap Saira dalam.Saira mengangguk mantap. "Cepat bilang!"Sekar melirik kanan-kiri, lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Saira. Suaranya mengecil, seperti menyimpan rahasia besar. "Katanya, pemilik yayasan baru itu masih muda dan... belum menikah."Harapan di mata Saira langsung pudar. Ia mendecak kesal, lalu menoyor kepala Sekar tanpa ragu."Aduh!" Sekar meringis sambil tertawa."Serius? Aku pikir kabar penting, ternyata cuma gosip!" gerutu Saira. Ia berharap ada informasi yang lebih berfaedah daripada rumor seperti itu."Kan sudah dibilang nggak penting, kamu yang maksa tahu!" Sekar cengengesan, lalu menepuk pundak Saira pela

    Last Updated : 2025-01-14
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 15

    Saat Saira sampai di ruang dosen dan membuka aplikasi pesan di ponselnya, sebuah pesan dari sang kakek langsung mencuri perhatian. Membacanya membuat tubuhnya seolah kehilangan tenaga.[Saira, hari ini Mbak Ning masak lebih banyak. Kamu dan Cakra bisa datang makan malam di rumah kakek?]Pesan itu dikirim beberapa jam lalu, tepat saat ia sibuk di ruang konferensi. Tubuhnya terasa lemas seketika. Saira menggigit bibirnya, pikirannya berputar cepat. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Mengabaikan undangan kakek bukan pilihan, tapi mengajak Cakra juga tak mudah. Pria itu tak pernah antusias menghadiri acara semacam ini.Didesahkannya napas panjang. Dia lantas mengirim pesan pada sekretaris Cakra. Jika memang tidak ada agenda, mungkin ia bisa mencoba membujuk Cakra. Meski kecil kemungkinannya pria itu mau mendengarkan.***Ketukan di pintu terdengar beberapa kali, bergema cukup keras saat Saira baru saja selesai merapikan rambutnya. Ia meletakkan sisir di atas meja, lalu berdiri.Wanita i

    Last Updated : 2025-01-16

Latest chapter

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 41

    Saira menghela napas panjang. Ia tak tahu apa niat lelaki itu, tapi ia hanya bisa berharap ini adalah sesuatu yang baik bagi hubungannya dengan Cakra.Beberapa jam kemudian, suara pintu yang terbuka pelan membuatnya mengalihkan pandangan dari langit-langit kamar. Obat yang ia minum tadi siang sudah bereaksi, membuatnya mengantuk berat. Namun, hingga saat ini, Saira belum benar-benar tidur. Ia hanya berbaring dalam diam, pikirannya dipenuhi berbagai hal yang sulit dijelaskan.Cakra melangkah masuk, membawa nampan berisi beberapa camilan dan segelas teh hangat. Tanpa berkata apa-apa, ia meletakkan nampan itu di atas meja kecil di samping tempat tidur."Kamu mau?" tanyanya akhirnya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Saira melirik nampan itu sejenak sebelum kembali menatap Cakra. "Aku nggak minta makanan."Cakra duduk di tepi tempat tidur yang kosong. "Aku yang bawa."Saira diam. Tatapannya tertuju pada bungkusan kecil berisi biskuit dan beberapa potong roti. Ia mengenali cam

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 40

    Kotak kecil berwarna hitam itu masih teronggok di atas meja. Saira menatapnya dengan ragu—penasaran dengan isinya, tetapi enggan untuk membukanya.Cakra menggeser kotak itu ke arahnya. "Buka saja," ucapnya singkat.Dengan tarikan napas pelan, Saira akhirnya meraih kotak itu dan membuka penutupnya. Mata cokelatnya sedikit membesar saat melihat isinya—sebuah gelang emas bertatahkan permata kecil yang berkilauan halus di bawah cahaya.Entah bagaimana Cakra bisa tahu seleranya, tapi desain gelang itu begitu simpel, nyaris serupa dengan koleksi perhiasan yang sering ia pakai."Itu buat kamu," ujar Cakra datar. "Anggap saja sebagai permintaan maaf soal Mama kemarin."Sejenak, Saira membisu. Matanya menatap gelang itu, lalu beralih ke wajah Cakra. Sekilas, ia menangkap kegugupan samar dalam sorot mata laki-laki itu.Namun, perasaan hangat yang sempat muncul di dadanya langsung menguap begitu saja.Soal Mama.Saira menutup kembali kotak itu dengan tenang, lalu mengulurkannya kembali kepada Ca

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 39

    Cakra melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.Hanya satu hal yang ada di pikirannya—Saira.Begitu tiba di rumah, ia langsung turun dan melangkah cepat menuju kamar wanita itu. Namun, yang ia temukan di sana hanyalah Bi Surti yang tengah merapikan tempat tidur.Mendengar suara langkah kaki, Bi Surti menoleh. Wajahnya sedikit tegang saat melihat Cakra."Pak Cakra," sapanya hati-hati."Di mana Saira?" tanya Cakra, suaranya terdengar tegang.Bi Surti menunduk ragu. Baru beberapa menit yang lalu ia memberi tahu majikannya bahwa Saira hanya beristirahat di kamar. Tapi sekarang, saat Cakra tiba, wanita itu malah tidak ada."Ibu ada di balkon, Pak... katanya mau bekerja," jawab Bi Surti sedikit bimbang. Ia ragu sejenak sebelum menambahkan, "Tapi dari tadi Ibu belum makan, Pak."Tatapan Cakra langsung tertuju pada nampan di atas meja kecil. Makanan di sana masih utuh—nasi putih, buah potong, dan semangkuk sup sama sekali tidak tersentuh. Hanya segelas air yang berkurang sedikit.Astaga.Ap

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 38

    Keesokan harinya.Di ruang rapat kantor, Cakra duduk di kursi utama dengan ekspresi serius. Layar proyektor di hadapannya menampilkan presentasi proyek hotel baru di Semarang. Bram, sahabat sekaligus rekan bisnisnya, tengah menjelaskan detail rencana konstruksi—mulai dari anggaran hingga desain interior yang akan dibahas lebih lanjut bersama tim sore nanti.Namun, pikiran Cakra tidak sepenuhnya berada di ruangan itu. Kejadian semalam terus terputar di kepalanya—tatapan penuh luka Saira, suaranya yang bergetar saat menuntut kebenaran, dan keheningan yang seolah menjadi jurang di antara mereka.Bahkan sampai pagi ini dia belum bisa bicara dengan Saira. Wanita itu menutup diri. Sedangkan Cakra tak ingin mengganggubya terlebih dahulu. "Cak, dengerin nggak?" Suara Bram memecah lamunannya. Pria yang berusia sama dengannya itu melayangkan protes saat apa yang telah ia utarakan tak diberikan sanggahan maupun pujian. Hanya di hadiahi tatapan kosong dari Cakra. Sementata Cakra mengalihkan

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 37

    Suara Cakra terdengar dingin. Telunjuknya terangkat menunjuk ke arah pintu. Ambar yang mendengar itu langsung menoleh, menatap putranya dengan tidak percaya. "Apa?" "Keluar, Ma," ulang Cakra, kali ini lebih tegas. "Mama sudah kelewatan." Wajah Ambar menegang. "Kamu sudah berani mengusir Mamamu sendiri?" Cakra mengepalkan rahang, berusaha menahan emosi yang jelas hampir meledak. "Mama sudah melampaui batas." Ambar menatap putranya dengan mata menyala. "Kamu lebih memilih perempuan ini daripada orang yang melahirkanmu?" Cakra tidak menghindari tatapan ibunya. Matanya tajam, penuh ketegasan. "Aku tidak memilih siapa pun, Ma. Tapi kalau Mama terus bersikap seperti ini, aku tidak akan diam saja." Hening. Untuk sesaat, hanya napas berat yang terdengar. Ambar mengepalkan tangannya sebelum akhirnya mengalihkan tatapan ke Saira yang masih duduk diam. Pakaiannya basah, rambutnya juga. Air yang tadi disiramkan masih menetes dari ujung helainya. "Perempuan ini sudah merusak semuanya!"

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 36

    Saira menelan ludah dengan susah payah. Ia yakin wajahnya seperti kepiting rebus sekarang! sementara Cakra menarik kembali tangannya dengan ekspresi datar, seolah tidak menyadari akibat dari tindakannya. Ia buru-buru menunduk, kembali menyendok nasi goreng untuk mengalihkan perhatian dari detak jantungnya yang tak karuan. Namun, bukannya berhasil menenangkan diri, pikirannya justru semakin kacau. Kenapa Cakra begitu santai? Seolah menyentuh wajahnya adalah hal biasa? "Kamu nggak makan lagi?" Cakra bertanya tiba-tiba, memecah keheningan. Saira tersentak. "Hah? Aku—aku udah kenyang," jawabnya tergesa. Cakra melirik piringnya yang masih tersisa setengah. "Padahal tadi kelihatan lapar." "Udah cukup. Takut mual." Saira beranjak, meraih gelasnya untuk meneguk air. Ia butuh sesuatu untuk menetralkan kegugupan yang tiba-tiba menyerangnya. Namun, saat hendak berjalan ke wastafel, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Rasa pusing yang tadi sempat mereda kini kembali menyerang,

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 35

    Setelah mandi, tubuh Saira terasa lebih segar, meski sesekali rasa lemas dan sakit kepala masih menyerangnya. Ia mengenakan pakaian santai lalu turun ke dapur dengan rambut yang masih sedikit lembap. Begitu mencapai anak tangga terakhir, aroma sedap langsung menyeruak, menyambutnya. Sepasang matanya otomatis tertuju pada sosok Cakra yang berdiri di depan kompor. Ia berhenti di ambang pintu, menatap punggung pria itu dengan tatapan tak percaya. Saat bertanya tadi, ia mengira Cakra akan memesan makanan, bukan memasak sendiri. Seumur hidupnya, ia tak pernah melihat suaminya menyentuh dapur. Biasanya, ia yang harus repot menyiapkan makanan—itu pun kalau Cakra bersedia menyantapnya. "Kamu… masak?" tanyanya ragu. Tanpa menoleh, Cakra hanya mengangguk singkat. Tangannya lincah menaruh telur mata sapi di atas sepiring nasi goreng sebelum membawa dua piring porselen ke meja makan. Saira mendekat, masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang dilihatnya. “Nggak ada bahan lain di kulkas

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 34

    Rasanya baru beberapa jam Saira memejamkan mata, tetapi ternyata pagi datang terlalu cepat.Ia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali saat cahaya matahari menyelinap masuk dari sela-sela tirai. Sekilas, ia terkejut karena matahari sudah meninggi, tetapi ingat bahwa semalam ia sudah mengirimkan surat keterangan dokter ke bagian personalia.Suara gemerisik terdengar di sebelahnya. Ia mendongak, mendapati Cakra sudah bangun lebih dulu.Lelaki itu duduk di tepi ranjang, fokus pada komputer jinjing di pangkuannya. Cahaya layar memantulkan siluet wajahnya yang tetap datar, seolah keberadaan Saira tidak berarti apa-apa baginya.Saira melirik jam dinding. Pukul sembilan pagi.Seharusnya, lelaki itu sudah berangkat ke kantor. Tapi kali ini, ia masih di kamarnya."Sudah bangun?"Suara bariton Cakra memecah keheningan. Lelaki itu menoleh sekilas ke arah Saira sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.Saira menggeliat pelan, lalu duduk bersandar di kepala ranjang, tepat di samping Cakra. "

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 33

    Aku berubah pikiran.Saira menoleh, menatap suaminya dengan alis sedikit berkerut. Entah apa yang membuat lelaki itu tiba-tiba berkata begitu.Tatapannya jatuh ke wajah Cakra, mencari tanda-tanda keseriusan. Tapi, seperti biasa, lelaki itu hanya menampilkan ekspresi datarnya."Kamu sendiri yang bilang nggak mau ada kesempatan di antara kita," suara Saira terdengar datar. "Jadi, untuk apa diungkit lagi?"Cakra tetap berbaring, menatap langit-langit kamar seakan ada sesuatu yang menarik di sana. "Aku cuma ingin tahu isi kesepakatan yang kamu tawarkan tadi."Saira menghela napas pelan. Ia memang sudah tidak ingin menaruh harapan lagi pada lelaki itu. Terlebih, kejadian tadi seolah membuka matanya lebar-lebar. Dia tidak punya hak untuk menuntut apa pun dari Cakra, sekalipun berstatus sebagai istrinya."Memangnya kalau sudah dengar, kamu akan setuju?""Kalau menguntungkan, mungkin bisa kupertimbangkan."Saira hampir tertawa. Tentu saja. Lelaki ini selalu melihat segalanya dari sudut pandan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status