Cakra menarik napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. Ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ibunya. "Ma—"
“Untuk apa mempertahankan pernikahan dengan wanita yang tidak bisa memberikan keturunan?" Suara Ambar terdengar meninggi, matanya menyala penuh emosi. "Kalian lebih baik urus perceraian saja!"
Bola mata Saira mulai berkaca-kaca, namun ia tetap diam.
Sebagai istri sah Ragamas Cakra Wiradana, mengapa ia begitu tak berdaya?
Saat dihina, ia hanya bisa menahan perih. Ketika mertuanya terang-terangan meminta mereka bercerai, ia kembali menelan sakit hati.
Cakra mencoba tetap tenang. Ia menggeleng pelan, suaranya tegas tapi tenang. “Kita sudah punya kesepakatan dengan Kakek Saira,” jawabnya, mengingatkan sang ibu.
Dua tahun lalu, Cakra berjanji pada Prawirya, kakek Saira, untuk menikahi cucunya sebagai bentuk tanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi. Prawirya hanya meminta satu hal: Cakra tidak boleh menceraikan Saira, apa pun yang terjadi.
Ambar mendengus kesal. “Mama akan bicara dengan Pak Tua itu! Cucunya jelas—”
“Mama tahu, keluarga kita tidak pernah melanggar janji,” potong Cakra dengan suara lebih tegas.
Ambar langsung terdiam. Namun, respons itu membuat Saira menoleh pada suaminya yang tetap dengan ekspresi datar.
Saira merasa bingung. Seharusnya ia senang mendengar Cakra tak ingin bercerai, tapi di sisi lain, ia tahu bahwa Cakra melakukan itu hanya untuk memenuhi janjinya.
“Mama sebenarnya juga tidak ingin ada perceraian. Reputasi keluarga Wiradana harus tetap dijaga. Tapi, kalau pernikahan ini tidak membawa keuntungan, buat apa diteruskan?” Ambar bersandar di kursinya, memijat pelipisnya.
"Kalau Kak Cakra nggak bisa cerai karena janji, masih ada cara lain," timpal Sandrina, seolah tak takut dengan teguran yang diberikan Ambar sebelumnya.
Mata gadis berusia dua puluhan itu menyipit, bibirnya melengkung sedikit. "Kebetulan Kak Indira sudah kembali ke Jogja. Mungkin ini saat yang tepat kalau dia memang jodoh Kakak?"
Cakra hanya menghela napas panjang, tak berminat melanjutkan pembicaraan. Padahal Saira tahu, yang membuat Cakra terganggu hari ini adalah mantan kekasihnya itu. "Indira tidak ada hubungannya dengan ini."
"Tapi Kak," Sandrina terus mendesak, "kalau Mbak Saira nggak bisa punya anak, kenapa nggak menikah lagi dengan Kak Indira? Dia wanita baik, pasti bisa memberikan Kakak keturunan!"
Sandrina menatap Saira, penuh tantangan. "Mbak Saira, bagaimana kalau Kak Cakra menikah lagi dengan Kak Indira?"
Pertanyaan itu membuat darah Saira mendidih. Betapa lancangnya gadis itu merendahkan dirinya.
"Jawab, Mbak! Jangan cuma diam saja!" desak Sandrina.
Ruangan menjadi hening. Semua mata tertuju pada Saira.
Perlahan, Saira mengangkat kepala, meletakkan alat makannya, lalu menatap Sandrina dengan sorot mata tajam. Ia tersenyum tipis sejenak.
"Sandrina, kamu ini mahasiswa, tapi cara berpikirmu dangkal sekali, dan pertanyaanmu tadi benar-benar nggak sopan!" kata Saira dengan nada tegas, matanya tajam menatap adik iparnya.
Rahang Sandrina hampir jatuh mendengar keberanian Saira. Ambar, yang sejak tadi diam, melirik menantunya dengan pandangan tak percaya. Mereka tidak menyangka Saira yang biasanya pendiam, kali ini berani berbicara.
"Pertanyaanmu tadi nggak hanya merendahkan aku, tapi juga semua perempuan yang mungkin sedang menghadapi situasi serupa. Belum bisa punya anak bukan berarti hina dan bukan alasan agar suami menikah lagi!" tambah Saira.
Sandrina tersenyum sinis. “Tapi kenyataannya begitu, kan, Mbak? Setelah menikah, tugas seorang wanita itu jelas—melahirkan anak. Kalau kamu belum juga bisa, apa salah kalau keluarga kami mempertimbangkan Kak Cakra menikah lagi?”
“Kalau begitu, kamu juga siap jawab kalau keluarga suamimu meminta hal yang sama?”
Bibir Sandrina membulat. “Kamu—”
“Apa kamu nggak berpikir, kamu juga perempuan? Nggak menutup kemungkinan kamu akan mengalami hal yang sama suatu saat nanti, kan?”
“Saira!” tegur Cakra, memperingatkan istrinya. Ia melemparkan tatapan tajam pada Saira, mencoba mencegah masalah ini semakin besar.
Sayangnya, Saira yang dulu gentar dengan tatapan itu, kini membalasnya dengan sorot mata yang sama.
“Kenapa? Kamu juga keberatan istrimu yang mandul ini membela diri?” cemoohnya penuh emosi. Namun, Cakra tidak sempat menjawab.
Ambar, yang tidak mau kalah, langsung menyela, "Kamu sendiri sudah mengakuinya, apa salahnya membiarkan Cakra mencari kesempatan dengan orang lain? Lagipula hubungan Cakra dan Indira sudah ada jauh sebelum dia bertemu kamu."
"Baik," jawab Saira sambil menatap Ambar, "kalau memang keluarga ini merasa dia lebih pantas jadi istri Cakra, aku nggak akan menghalangi dia menikah lagi. Tapi biarkan Cakra yang memutuskan dan menjelaskan pada Kakekku!"
Kata-kata Saira menggema di ruangan itu. Semua terdiam. Saira berdiri perlahan, menatap semua orang dengan sorot tajam sebelum melangkah keluar tanpa berkata apa-apa lagi.
Setelah Saira pergi, Ambar dan Sandrina mendengus kesal.
“Kamu lihat itu, Cakra? Istrimu sudah berani bersikap tidak sopan! Bahkan berani sama Mama!” Ambar berkata marah.
Sandrina melipat tangannya dan mendengkus, “Dasar ipar nggak tahu diri!”
“Sandrina, cukup!” potong Cakra dengan tegas.
“Tapi dia keterlaluan, Kak—”
“Dia nggak akan begitu kalau kamu nggak sopan!”
Teguran Cakra membuat Sandrina menutup mulutnya. Gadis itu mengamati wajah kakaknya. Sepertinya ada yang berubah. Cakra tidak suka jika Saira direndahkan.
Cakra berdiri dan berkata sebelum pergi, “Aku ke atas dulu, kalau Mama dan Sandrina masih ingin melanjutkan makan malamnya, silakan.”
Makan malam itu berakhir buruk. Ambar dan Sandrina pulang dengan kecewa karena tak mendapat hasil yang diinginkan.
Ambar mungkin masih berharap masalah ini bisa dibicarakan lagi, namun tidak dengan Sandrina. Ia masih kesal karena Cakra sempat menegurnya.
Sepanjang perjalanan pulang, dadanya bergejolak menahan amarah. Ia tidak akan diam saja setelah ini.
“Aku akan cari cara supaya Kakak bisa dekat lagi dengan Kak Indira!”
Setelah makan malam yang penuh ketegangan, Saira memilih menghindari semua orang dan mengunci diri di kamar. Ia duduk di pinggir ranjang, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya tumpah juga. Keinginannya dalam hidup sederhana saja—hanya ingin dicintai. Namun, entah kesalahan apa yang telah ia perbuat di masa lalu, sehingga takdir membawanya masuk ke keluarga Wiradana ini.Keluarga terpandang itu tidak pernah benar-benar menganggapnya sebagai bagian dari mereka. Setiap kata yang diucapkan Ambar dan Sandrina selalu melukai hatinya. Dan, yang paling menyakitkan adalah sikap Cakra, yang tetap dingin, bahkan tak pernah sekalipun membelanya. Bahkan ketika adiknya bertindak di luar batas seperti malam ini, Cakra—suaminya, yang seharusnya melindungi dan menjaga nama baiknya—tetap diam tanpa melakukan apa-apa.Saira tahu, sejak awal dia bukanlah istri yang diinginkan Cakra. Namun, setelah dua tahun pernikahan, apakah hati Cakra benar-benar tidak sedikit pun tergerak untuknya? Apakah tid
Saat matahari mulai merayap naik, Saira sudah rapi dengan kemeja putih beraksen brokat dan celana panjang senada. Meski berusaha tampil sempurna, nyatanya sapuan bedak tebal tak mampu menutupi bekas tangis semalam yang tetap kentara di wajahnya.Di dapur, denting panci dan piring menjadi latar suasana pagi itu. Saira membantu Bi Surti menyusun sarapan, berusaha mengalihkan pikirannya dari kekosongan hatinya. Namun, ketenangan itu pecah oleh bunyi bel rumah yang nyaring, berkali-kali.“Siapa yang datang sepagi ini?” gumam Saira, alisnya berkerut tipis. Namun, sebelum sempat melangkah, Bi Surti sudah lebih sigap. “Biar saya saja, Bu,” ujarnya sambil bergegas ke pintu.Saira kembali ke pekerjaannya, rasa penasaran mulai mengusik. Samar-samar, ia mendengar percakapan singkat di depan pintu sebelum Bi Surti kembali dengan sebuah kantong kain merah muda di tangannya.“Siapa yang datang, Bi? Apa itu?” tanya Saira, pandangannya tertuju pada benda tersebut. “Mbak Indira, Bu. Mengantar beka
Kini, masalah bekal sudah selesai, tak ada lagi hal yang hanya membuat kepalanya pening.Saira menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dadanya.Setelah merasa cukup tenang, ia mengambil tas dan melangkah keluar rumah.Hari ini, ia harus menjemput kakeknya, Prawirya, untuk menepati janjinya semalam.Semoga saja, ini menjadi alasan yang sempurna untuk sejenak melarikan diri dari kerumitan yang memenuhi pikirannya***Rumah kembali lengang setelah kepergian Saira. Satu jam berlalu, dan suasana mulai berubah saat Cakra memulai aktivitasnya.Setelan jas hitam mahal melekat sempurna pada tubuh tegapn
Di waktu yang sama, Saira menepati janjinya mengantar sang kakek tercinta ke rumah sakit. Ruang tunggu itu terasa dingin. Beberapa kali Saira mengusap lengannya, mencoba mengusir hawa beku yang membekap kulitnya.Ia duduk di samping kursi roda sang kakek, tapi pandangannya kosong. Mata cokelat itu menatap dinding kaca beberapa meter di depannya, namun pikirannya melayang entah ke mana.“Saira.” Suara Prawirya yang berat nan lembut mengoyak lamunan, diikuti dengan sentuhan hangat di bahu.Saira tersentak kecil. “Kakek?” Refleks ia menoleh, cepat, seperti ketakutan tertangkap basah. “Ada apa?”Pria tua itu tidak langsung menjawab. Tatapan matanya lembut tapi tajam, seakan mampu menembus lapisan pura-pura ceria yang dipasang cucunya. &ldq
Saira melirik layar ponsel di tangan suaminya. Terpampang foto sebuah kotak bekal yang tergeletak di jalan depan rumah mereka—kotak makan milik Indira, wanita yang pagi tadi dengan percaya diri mengantarkan makanan untuk Cakra.Saira sudah menduga, Indira pasti mengadu."Tadi pagi Indira ke sini antar bekal. Tapi kenapa kamu nggak kasih ke aku dan malah kamu buang?" Suara Cakra menggelegar, memenuhi ruangan. Matanya menyala seperti kobaran api.Alih-alih gentar, Saira tersenyum miring. Ada kepahitan di balik tatapannya. "Kesal karena bekal dari wanita kesayanganmu dibuang begitu saja?""Jawab pertanyaanku!" bentak Cakra lagi.Saira menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi. Ia bersedekap, menatap Cakra tajam. "Ak
Saira menggenggam erat kunci mobil di tangannya, sorot matanya penuh kecurigaan. “Tengah malam begini, kamu mau ke mana?”Cakra, yang tampak tergesa-gesa, menghela napas pelan, berusaha tenang. Namun, tidak ada penjelasan yang keluar dari bibirnya. Melihat hal itu, Saira menebak jika tujuan Cakra bukanlah karena urusan kantor.“Indira tiba-tiba demam. Aku harus antar dia ke rumah sakit,” akhirnya, pria itu menyatakan niatnya.Mata Saira membelalak, keterkejutan itu hanya sesaat sebelum berganti dengan tatapan tajam.“Ini sudah tengah malam, dan kamu, seorang pria beristri, mau datang ke rumah wanita lain? Pakai mobilku pula?”Cakra menarik napas panjang, jelas menahan emosinya. “Mobil
Bi Surti, yang sedang membereskan baju, berhenti sejenak dan menoleh ke arah Cakra. Dengan langkah pelan dan kepala sedikit menunduk, ia mendekat. Wajahnya tampak ragu, seolah mencari keberanian untuk berbicara."Bi, saya nggak mau tanya dua kali," suara Cakra terdengar tenang tetapi penuh peringatan.“Ah, itu..., Ibu menyeduh obat ini setiap malam, Pak,” jawab Bi Surti akhirnya, dengan suara lirih.Kening Cakra berkerut. Tatapan matanya tajam mengarah ke tumpukan obat-obatan itu. Bau menyengat yang sering tercium dari kamar Saira setiap malam kembali terlintas di pikirannya.Jadi, semua obat-obatan ini penyebabnya ....“Lalu kenapa ada bungkus-bungkus kosong yang disimpan di sini?” tanyanya, kali ini nadanya lebih datar, namun penuh selidik.Bi Surti menarik napas perlahan, matanya menatap Cakra dengan cemas. “Karena Nyonya Besar selalu menghitung bungkusnya, Pak. Beliau ingin memastikan Bu Saira menghabiskan obatnya. Jadi, bungkus ini sengaja saya simpan supaya Nyonya Besar tidak mar
"Em... kayaknya informasi ini nggak terlalu penting buat kamu," ucap Sekar, tersenyum penuh arti.Saira menyipitkan mata, alisnya terangkat curiga. "Kalau nggak penting, kenapa kamu bahas? Jangan setengah-setengah dong!"Sekar menyeringai, memamerkan deretan giginya yang rapi. Ia menggaruk pelipisnya yang jelas-jelas nggak gatal. "Yakin mau tahu?" tanyanya, menatap Saira dalam.Saira mengangguk mantap. "Cepat bilang!"Sekar melirik kanan-kiri, lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Saira. Suaranya mengecil, seperti menyimpan rahasia besar. "Katanya, pemilik yayasan baru itu masih muda dan... belum menikah."Harapan di mata Saira langsung pudar. Ia mendecak kesal, lalu menoyor kepala Sekar tanpa ragu."Aduh!" Sekar meringis sambil tertawa."Serius? Aku pikir kabar penting, ternyata cuma gosip!" gerutu Saira. Ia berharap ada informasi yang lebih berfaedah daripada rumor seperti itu."Kan sudah dibilang nggak penting, kamu yang maksa tahu!" Sekar cengengesan, lalu menepuk pundak Saira pela
Mobil yang ditumpangi Saira dan Cakra masih melaju di jalan raya, hanya tinggal beberapa kilometer lagi sebelum sampai di rumah. Di tengah perjalanan yang hening itu, ponsel di saku celana Cakra bergetar. Getaran cukup kuat hingga menarik perhatian Saira. Ia melirik ke arah suaminya, tetapi begitu melihat nama Indira terpampang di layar, ekspresinya berubah. Seketika, ia membuang pandangan dan memilih diam. Cakra sendiri tak menunjukkan minat untuk mengangkat panggilan itu. Ia hanya menekan tombol volume agar ponsel berhenti bergetar. "Nggak mau angkat?" tanya Saira tanpa menoleh. "Nanti saja, baru nyetir," sahut pria itu santai. Namun, di sisi lain, perut Saira terasa geli. Ia tahu persis—kalau dirinya tidak ada, Cakra pasti langsung mengangkat panggilan itu tanpa ragu, bukan? Tak lama kemudian, ponsel Cakra kembali bergetar. Kali ini lebih lama. Saira mendesah lelah. "Sudahlah, angkat saja sana!" serunya, lalu sengaja mengalihkan pandangan ke luar jendela, seolah tak tertarik
"Aku nggak butuh kesepakatan." Cakra menolak tanpa ingin bertanya soal kesempatan apa yang Saira tawarkan.Pria itu bahkan memilih fokus pada jalanan di hadapannya. "Tapi kamu melarangku ini-itu, sementara kamu bebas melakukan apa saja! Itu nggak adil buatku, Cakra!" Suara Saira meninggi, menyiratkan kemarahan dan kekecewaan yang tak lagi bisa ia tahan lagi. Cakra terdiam. Tatapannya tertuju pada wajah Saira yang kini mengeras. Ia bisa melihat sorot terluka di mata wanita itu, dan entah kenapa membuat dadanya terasa sesak.Namun, alih-alih melunak, ia justru mendengus pelan. "Dari awal, nggak ada yang bilang pernikahan ini akan adil."Saira kembali melemparkan tatapan tajam. "Justru karena itu aku mau kita adil sekarang! Aku cuma ingin ada aturan yang jelas. Kalau kamu bisa melakukan apa saja, aku juga harusnya punya kebebasan yang sama."Cakra mengetukkan jemarinya ke kemudi. Wajahnya tetap dingin, nyaris tanpa ekspresi. "Aku nggak tertarik bikin aturan atau kesepakatan. Yang jela
Cakra menepati kata-katanya.Sudah seminggu berlalu sejak ia menyatakan kesediaannya untuk mengantar jemput Saira. Setiap hari, ia selalu datang tepat waktu tanpa terlambat sedikit pun.Namun, bukannya merasa nyaman, Saira justru semakin sesak dengan rutinitas itu. Ia kehilangan kebebasannya.Dulu, ia bisa mampir sebentar ke coffee shop bersama Sekar setelah mengajar, sekadar berbincang atau menikmati rum regal favoritnya tanpa terburu-buru. Sekarang? Bahkan merencanakannya saja tidak sempat.Sama seperti hari ini...Sejak siang hingga menjelang petang, jadwal mengajarnya tergantikan dengan rapat program baru bersama Sekar, Jehian, Anggara, dan beberapa dosen lainnya.Saira keluar lebih dulu bersama Sekar, sementara yang lain masih membahas beberapa hal di dalam ruangan. Begitu melewati pintu utama, matanya langsung menangkap sosok Cakra yang berdiri santai di depan mobil.Pria itu mengambil tempat di bawah pohon rindang, bersandar dengan satu tangan di saku celana, ekspresi wajahnya
Saira menarik napas pelan sebelum melangkah mendekati mereka.Cakra sekilas menoleh, lalu kembali fokus pada Shopia yang masih sibuk dengan makanannya. Tidak ada senyuman, tidak ada pertanyaan apakah dia senang berbelanja. Saira sudah terbiasa.“Sudah selesai?” tanya Cakra datar.Saira mengangguk. “Kita pulang sekarang?”Cakra meneguk minumannya, lalu berdiri. “Ayo.”Mereka bertiga meninggalkan gerai makanan cepat saji dan berjalan menuju mobil. Shopia, dengan langkah kecilnya, menggenggam tangan Cakra tanpa ragu. Saira, seperti biasa, hanya mengikuti dari belakang.Perjalanan pulang berlangsung dalam keheningan. Shopia sempat berceloteh sebentar, tetapi seiring waktu, suara cerianya meredup. Kepalanya mulai terkulai, kelopak matanya semakin berat, dan akhirnya ia tertidur di bangku belakang.Saat mobil berhenti di depan rumah, Cakra menoleh ke belakang. “Dia tertidur.”Saira ikut menoleh dan melihat wajah polos Shopia yang terlelap dengan napas teratur. Tanpa menunggu jawaban, Cakra
Malam itu, seperti yang telah disepakati—atau lebih tepatnya, seperti yang telah diputuskan oleh Cakra—Indira akhirnya mengantar Shopia ke rumah mereka tepat setelah matahari sepenuhnya terbenam.Begitu keluar dari kamar setelah berganti pakaian, Saira langsung melihat seorang gadis kecil duduk di ruang tamu, memeluk boneka beruangnya erat. Anak itu, Shopia, tengah duduk bersama Bi Surti, menonton kartun di televisi."Cakra mana, Bi?" tanya Saira sambil memindai ruangan. Suaminya tidak ada di sana.Bi Surti tersenyum. "Bapak sedang ganti baju, Bu."Saira mengangguk paham, lalu mengalihkan pandangan ke arah Shopia yang tampak lugu. Meski hatinya masih enggan menerima keberadaan anak itu, ia tahu benar bahwa Shopia bukanlah seseorang yang bisa disalahkan dalam kisah rumit ini.Bahkan jika dugaannya terbukti benar."Kamu sudah makan?" Saira akhirnya membuka suara, berjongkok di depan Shopia seraya menampilkan senyum. Mencoba bersikap biasa.Namun, Shopia hanya mengangkat wajah, menatapny
"Siapa dia?"Saira menoleh ke arah sang suami. Sorot mata pria itu sekilas mengikuti mobil yang baru saja melaju di depan mereka, tetapi ekspresinya tetap datar, nyaris tak terbaca.“Maksudmu … dia?” Dengan ragu, Saira mengutarakan asumsinya, telunjuknya terarah pada mobil Anggara.Cakra hanya menjawab dengan anggukan, lalu melajukan mobilnya tanpa banyak bicara. Namun, beberapa detik kemudian, dia memperjelas subjek pertanyaannya. “Dia yang jalan bersamamu tadi.”“Itu Pak Anggara, pemilik yayasan yang baru.”“Dia setiap hari ke kampus?”Pertanyaan itu meluncur begitu saja, terdengar datar tetapi sarat arti. Saira mengernyit, sedikit bingung dengan arah pembicaraan, tetapi tetap menjawab juga, “Tergantung. Dia hanya akan ke kampus setiap hari Senin dan Selasa, sisanya menyesuaikan jadwal.”Pria yang sedang duduk di kursi kemudi itu melirik Saira sekilas, lalu kembali menatap ke jalan. Dia hanya mengangguk-angguk kecil sambil jemarinya mengetuk setir pelan.“Kamu bahkan sangat hafal ja
Seharian penuh, Saira tenggelam dalam pekerjaannya sebagai dosen: mengajar, memeriksa tugas mahasiswa, menyusun materi kuliah, dan mengurus program kerja baru yang baru saja dilimpahkan padanya. Namun di tengah kesibukan itu, satu pertanyaan Sekar terus mengusik pikirannya.Benarkah Anggara memiliki perhatian lebih padanya? Atau hanya perasaannya saja?Banyak hal ingin ia tanyakan, tetapi Saira memilih bungkam. Ia sadar sepenuhnya, dirinya adalah seorang istri. Melibatkan diri lebih jauh dengan Anggara hanya akan memicu masalah baru. Hubungannya dengan Cakra saja sudah cukup memusingkan. Jika ia terjebak dalam hubungan lain yang rumit, segalanya bisa semakin kacau.Hari yang panjang itu akhirnya berlalu. Saira merapikan barang-barangnya, memasukkan laptop ke dalam tas, lalu meraih ponselnya untuk memesan taksi. Baru saja jemarinya mengetuk layar, suara Sekar memecah fokusnya.“Loh, Saira? Kok masih di sini?”Saira mendongak. Sekar berdiri di depannya, napasnya sedikit tersengal, dengan
Saira mendongak, menatap Anggara dengan bingung. Cara pria itu berbicara membuat pikirannya tak menentu. Apakah ia salah paham, atau memang Anggara hanya sedang bercanda?Mengingat pria itu terlihat jauh lebih ramah daripada Cakra, Saira hampir merasa lega. Tapi ada sesuatu dalam cara Anggara berbicara yang membuat bulu kuduknya berdiri. Pikiran tentang kemungkinan lain semakin membuatnya bergidik ngeri.“Saya… Saya kurang paham maksud Pak Angga,” ucapnya pelan, suaranya ragu. Ia melirik sekilas ke arah Jehian yang duduk di sudut, sibuk dengan gawainya, tampak tak peduli pada pembicaraan mereka.Anggara tersenyum kecil, senyum ramah yang biasa diterbitkan tetapi sulit ditebak maknanya. "Proposal kamu bagus. Saya rasa jika dibahas lebih mendalam, ini bisa ditinjau ulang," katanya santai, sebelum tersenyum samar. Setelah jeda yang terasa terlalu lama bagi Saira, ia menambahkan, "Tentu saja, ada beberapa hal yang perlu kamu lakukan agar ini berhasil."Saira meneguk ludah, pikirannya berp
Saira tertegun sejenak, menatap pria muda yang tersenyum ke arahnya dari balik jendela mobil. Senyuman yang baru saja ia lihat itu pernah ia dapatkan kemarin sore.Tenggorokannya mendadak kering saat akhirnya ia mengenali sosok pria tersebut.Anggara Pratama—pemilik baru yayasan yang telah mengakuisisi universitas tempatnya bekerja. Nama itu telah menjadi topik pembicaraan hangat di lingkungan kampus selama beberapa minggu terakhir.Meski bukan pertama kalinya mereka berjumpa, bertemu langsung dalam situasi seperti ini membuat Saira merasa gugup. Terlebih saat suasana hatinya sedang buruk seperti sekarang.“Pak Anggara,” Saira mengangguk sopan, menyapa pria itu.Anggara membalas anggukan dengan senyuman khasnya, lebar dan hangat. “Kampus masih jauh. Kalau kamu jalan kaki seperti ini, pasti terlambat, kan? Saya tidak keberatan kalau kamu mau ikut.”“Ah, ti—tidak apa-apa, Pak. Saya sudah pesan taksi online. Sebentar lagi pasti datang,” jawab Saira, mencoba tersenyum selebar mungkin. Nam