Tidak sedikitpun terfikir dalam benak Safa kalau laki-laki yang dia cintai, tega mencampakkannya tepat dua hari sebelum akad mereka dilangsungkan. Dan parahnya lagi, lelaki itu malah memposting akad pernikahan dengan gadis lain di sosmed nya. Belum sembuh dari luka itu, lagi-lagi Safa dibuat hancur dan jatuh sedemikian rupa ketika sang nenek yang kembali jatuh sakit dan permintaannya untuk menikah dengan Afnan. Laki-laki yang sangat ingin Safa hindari karena beberapa insiden memalukan tiap kali mereka saling berpapasan. Ketika akad yang sudah matang dalam perencanaan bisa kandas dan hancur tak tersisa, lalu bagaimana dengan akad yang dilangsungkan karena paksaan? Bisakah berakhir bahagia?
View MoreMataku membulat sempurna. Ya Rabb! Apa yang sudah kulakukan? Dengan cepat aku melepaskan pelukan itu dan bergerak menjauh. Matilah aku! Kenapa aku malah memeluk Mas Afnan?“Kamu sengaja memancingku ya?” tudingnya.Aku terperangah dan menatapnya tajam. “Enggaklah!” jawabku cepat dan memalingkan wajah. Wajah yang terasa sudah sangat panas ini. Memancing apa? Tak mungkin aku akan bertindak serendahan itu. Ya, walaupun dia memang suamiku, tapi ‘kan pernikahan kami sebatas kontrak. Seperti yang sering ia bilang.Melalui ekor mata, aku melihat Mas Afnan menggelengkan kepala berulang kali dengan tatapan datarnya. Jeda seperkian detik, ia langsung melenggang pergi keluar kamar.Aku mendesah lega, tapi tunggu, aku baru teringat kalau ... seketika aku langsung terbeliak saat sadar kalau aku masih mengenakan handuk di atas lutut. Ya Allah! Benar-benar tak terselamatkan. Bisa-bisanya aku berpenampilan seperti ini sambil memeluknya tadi.
Laki-laki yang sudah rapih dengan setelan kaos polos coklat dengan celana bahan hitam itu mengerutkan kening, saat netra matanya mengarah pada meja makan.Aku dibuat cemas dengan sikapnya tersebut. Entah apa yang ia fikirkan saat melihat masakan yang kubuat pagi ini. Apa ada yang kurang? Atau tak ada makanan yang ia suka? Entahlah! Aku tak berani untuk menanyakan secara langsung. Alhasil yang kulakukan sekarang hanya diam, berdiri tepat di hadapannya dengan kedua tangan saling meremas kuat.“Ini semua kamu yang masak?”Aku mengangguk. Kalau bukan aku memang siapa lagi? Di rumah ini hanya ada kami berdua. Kedua Mertuaku, Mama Diana dan Papa Himawan ada urusan keluar. Masa iya hantu? Ada-ada saja pertanyaan suamiku itu.“Kenapa?”“Kenapa?” Aku mengerjap bingung. Kenapa apanya? Tunggu-tunggu! Ini aku yang lambat mikir atau memang pertanyaan dia yang aneh?Terdengar helaan nafas kasar darinya. Loh, ada apa ini
Seperti seakan baru saja mengalami satu detakan cepat saat Dokter mengatakan Nenek sudah tak punya banyak waktu lagi. Tak disangka, Nenek ternyata mengidap kanker paru-paru dan sekarang sudah memasuki stadium lanjut.Ya Allah, aku menangis sejadi-jadinya saat memasuki ruangan Nenek. Ternyata ini maksud dari keresahan hatiku selama ini. Aku adalah cucu yang buruk. Bisa-bisanya aku tak pernah tahu akan sakit yang sedang dideritanya selama ini.“Jangan nangis, Cucuku sayang.”Aku semakin terisak kuat kala merasakan jari jemari Nenekku menyentuh pipi dan menghapus air mataku dengan lembut. Kenapa semua menjadi serumit ini? Apa yang harus kulakukan sekarang?“Safa, Nenek, kami benar-benar minta maaf. Kami juga tidak menyangka Azzam akan melakukan perbuatan rendahan ini.”Aku memilih bungkam. Fokus pandanganku kini hanya serius menatap wajah Nenek yang semakin pucat. Tak ingin menghiraukan ucapan Pak Himawan, Papa dari lelaki yang sudah menghancurkan hatiku. Ya, memang dalam ruangan ini ked
Semua kebingungan di benakku akhirnya terpecahkan. Segala pertanyaan yang hinggap di kepala kini sudah terjawab. Sekarang apa yang harus kulakukan? Tidak ada. Semua sudah hancur sekarang. Segala angan dan harapan yang kupupuk bersamanya kini telah sirna tak berbekas.Hatiku sakit. Sakit sekali. Dia yang sangat kutunggu kehadirannya untuk mengucap akad, ternyata sudah mengucap akad atas nama gadis lain.Entah apa yang harus kujelaskan pada Nenek. Aku takut berita ini akan membuat kesehatan Nenek menurun lagi.“Safa!”Aku tertegun. Itu suara Nilam. Tetapi, kenapa dia ada di sini? “Kalau mau nangis, nangis aja, Saf! Aku tahu kamu lagi nggak baik-baik aja sekarang.” Suaranya bergetar dan serak. Dia pasti menangis juga. Duhai Allah, apa-apaan ini? Harusnya hari ini aku memberikan warna kebahagiaan pada mereka, tapi aku justru malah membuat mereka meneteskan air mata untukku.“Kamu sama siapa ke Jakarta, Nilam? Bukannya kamu ada tugas penting di desa?”“Aku nggak mungkin tenang, Safa. Apa
“Tapi aku takut ....” Tatapanku tertunduk dalam-dalam. “Aku belum bisa bahagiain Nenek, Zam. Aku belum bisa buat dia bangga sama aku.” Setetes air mata di pelupuk mataku jatuh. Dadaku selalu terasa sesak jika mengingat kondisi Nenek yang akhir-akhir ini, kondisi kesehatannya semakin menurun.Siapa yang akan siap siaga memelukku ketika ada suara petir di malam hari nanti? Siapa yang akan mencium keningku saat mau berangkat mengajar? Siapa yang akan cerewet mengingatkanku sarapan bila terburu-buru pergi ke TPA?Tidak! Aku tak akan sanggup membayangkan hari-hariku tanpa nenek.“Hei, tenang.”Bukannya tenang, tangisku semakin tak bisa dihentikan. Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Di tengah isakan itu, aku tertegun saat merasakan tubuhku yang ditarik pelan. Beberapa detik kemudian, dekapan hangat mulai kurasakan.“Ada aku di sini, kan? Semua pasti baik-baik saja.”Sesaat aku memang tersentuh atas perilaku Azzam, tetapi beberapa menit kemudian, aku langsung menarik diri dari dekapan
Hal yang kutakutkan kini menjadi kenyataan. TPA tempatku biasa mengajar akan mengadakan pengajian rutin yang dilakukan di Masjid Al-Ikhsan.“Tenang, Saf. Pasti Afnannya udah pulang, kok. Nggak mungkin seharian ada di Masjid, kan?” Nilam berusaha menenangkanku yang sedang kalut. “Percaya sama aku.”Aku menatapnya sejenak, lalu mengangguk. Semoga lelaki itu memang sudah pergi dan aku tidak akan menanggung malu untuk yang kedua kali.Namun, sayang beribu sayang. Harapan tidak kunjung menjadi nyata. Afnan, lelaki itu justru yang bertugas mengatur keberlangsungan acara bersama pihak DKM yang lain.Aku menghela nafas panjang. Ingin rasanya kabur detik ini juga. Namun, hal itu tak mungkin kulakukan karena akulah yang bertugas menjadi pembawa acara dalam pengajian kali ini.Tenang, Safa. Dia pasti nggak ingat sama kamu. Berulang kali aku menarik dan menghembuskan nafas secara pelan. Aku tidak boleh terlihat panik. Ustadzah Gina sudah memberikan amanah tugas dalam acara kali ini. Aku tidak bol
Dengan langkah-langkah yang lebar, aku keluar dari TPA tempat mengajar dan langsung mengambil sepeda yang terparkir di halaman. Jantungku bergejolak cepat, hampir mengimbangi kayuhan pada laju sepeda yang kunaiki kini menuju Puskesmas.Sepanjang perjalanan itu fikiranku amat kacau, membayangkan akan kondisi Nenek setelah mendapat kabar bahwa beliau baru saja jatuh dari kamar mandi. Semoga ia baik-baik saja, tak terbayang sehancur apa aku nanti kalau Nenek sampai kenapa-napa.Begitu sampai di Puskesmas, aku langsung melangkah masuk ke dalam dan mempertanyakan keberadaan Nenek pada Resepsionis yang berjaga.“Terima kasih, Sus.” Aku langsung berlari menuju kamar yang Suster itu katakan dan terenyak diam saat melihat Nenek yang terbaring di brankar. Senyum di wajahnya yang sudah mengkeriput itu muncul melihatku datang.“Nenek!” Aku langsung berlari menghampiri Nenek dan menangis di sana. “Nenek nggak kenapa-napa, kan?”Nenek tersenyum, lalu menggeleng. Satu tangannya terjulur mengusap pun
Entah sudah keberapa kali aku menguap karena menahan kantuk, dalam menyimak persidangan atas kasus yang dialami oleh Paman dari sahabatku, Nilam. Kalau bukan karena kasihan, tentu sudah sejak tadi aku meninggalkan ruangan ini. Tak betah sekali rasanya. Belum lagi, telinga yang terasa panas mendengar adu debat yang dilakukan kuasa hukum tersangka dengan kuasa hukum penuntut.“Masih lama nggak sih selesainya, Nil?” tanyaku dengan mata berair karena efek menahan kantuk ini. “Aku udah nggak kuat, aku keluar duluan aja ya.”Aku sudah bangun dari kursi dan hendak pergi, tetapi urung saat Nilam memegang tanganku. “Yah, Saf. Bentar dulu,” cegahnya dengan tatapan memelas. Tatapan yang membuatku merasa tak tega meninggalkannya.Aku menghela nafas pelan. Baiklah! Aku akan bersabar menunggu sebentar lagi. Selang beberapa menit kemudian, pandanganku spontan menoleh ke arah Nilam begitu hasil sidang diputuskan. Dia mendesah panjang dengan tatapan penuh kekecewaan karena kasus yang dialami pamannya
Entah sudah keberapa kali aku menguap karena menahan kantuk, dalam menyimak persidangan atas kasus yang dialami oleh Paman dari sahabatku, Nilam. Kalau bukan karena kasihan, tentu sudah sejak tadi aku meninggalkan ruangan ini. Tak betah sekali rasanya. Belum lagi, telinga yang terasa panas mendengar adu debat yang dilakukan kuasa hukum tersangka dengan kuasa hukum penuntut.“Masih lama nggak sih selesainya, Nil?” tanyaku dengan mata berair karena efek menahan kantuk ini. “Aku udah nggak kuat, aku keluar duluan aja ya.”Aku sudah bangun dari kursi dan hendak pergi, tetapi urung saat Nilam memegang tanganku. “Yah, Saf. Bentar dulu,” cegahnya dengan tatapan memelas. Tatapan yang membuatku merasa tak tega meninggalkannya.Aku menghela nafas pelan. Baiklah! Aku akan bersabar menunggu sebentar lagi. Selang beberapa menit kemudian, pandanganku spontan menoleh ke arah Nilam begitu hasil sidang diputuskan. Dia mendesah panjang dengan tatapan penuh kekecewaan karena kasus yang dialami pamannya ...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments