Dengan langkah-langkah yang lebar, aku keluar dari TPA tempat mengajar dan langsung mengambil sepeda yang terparkir di halaman. Jantungku bergejolak cepat, hampir mengimbangi kayuhan pada laju sepeda yang kunaiki kini menuju Puskesmas.
Sepanjang perjalanan itu fikiranku amat kacau, membayangkan akan kondisi Nenek setelah mendapat kabar bahwa beliau baru saja jatuh dari kamar mandi. Semoga ia baik-baik saja, tak terbayang sehancur apa aku nanti kalau Nenek sampai kenapa-napa.
Begitu sampai di Puskesmas, aku langsung melangkah masuk ke dalam dan mempertanyakan keberadaan Nenek pada Resepsionis yang berjaga.
“Terima kasih, Sus.” Aku langsung berlari menuju kamar yang Suster itu katakan dan terenyak diam saat melihat Nenek yang terbaring di brankar. Senyum di wajahnya yang sudah mengkeriput itu muncul melihatku datang.
“Nenek!” Aku langsung berlari menghampiri Nenek dan menangis di sana. “Nenek nggak kenapa-napa, kan?”
Nenek tersenyum, lalu menggeleng. Satu tangannya terjulur mengusap puncak kepalaku. “Kamu kenapa menangis, Sayang? Nenek baik-baik aja, kok.”
Bagaimana bisa baik-baik saja sedangkan ada luka perban di kepalanya? Ya Allah! Tangis tak dapat kubendung lagi. Dadaku terasa sesak sekali.
“Safa nggak mau ditinggal Nenek.” Setelah ditinggal pergi selama-lamanya oleh kedua orangtuaku, aku tak punya siapapun lagi di dunia ini kecuali Nenek Fatimah.
Seandainya boleh meminta, aku ingin sekali berdoa pada Sang Khaliq agar aku saja yang dipanggil duluan. Aku tak mau hidup sendirian.
“Iya, Nenek nggak akan ke mana-mana, kok,” Senyum di wajahnya tak jua luntur. Tetapi, entah kenapa melihatnya begitu hatiku justru semakin terasa sakit.
“Kamu udah selesai mengajar?”
Sesaat aku terdiam. Jeda seperkian detik, aku lantas menatapnya dan mengangguk. Terpaksa aku berbohong. Kalau berkata jujur langsung meninggalkan pekerjaan begitu tahu kabar Nenek yang paling kusayangi lebih dari apapun itu jatuh dari kamar mandi, aku yakin Nenek akan langsung menyuruh kembali.
“Safa sayang sama Nenek. Nenek harus sembuh lagi. Nenek mau lihat Safa nikah, kan?”
Nenek hanya tersenyum menatapku. Mulai saat itu, aku berjanji pada diriku sendiri. Tidak ada penundaan lagi. Secepatnya, aku akan meminta kepastian hubungan pada dia. Aku tak mau menyesal nanti.
...
“Gimana kondisi Nenek kamu, Saf? Nggak ada luka serius, kan?” tanya Nilam. Perempuan itu juga ikut menyusulku ke Puskesmas begitu tugas di TPA-nya selesai.
Aku menghela nafas pelan. “Alhamdulillah sih nggak ada, tapi ....”
“Tapi apa?” sambung Nilam dengan raut wajah yang terlihat penasaran.
Menarik nafas dalam, kemudian menundukkan pandangan. “Aku takut. Gimana kalau suatu saat Nenek pergi? Aku harus gimana, Nilam?” Setetes air mataku kembali mengalir saat berucap demikian. Semakin tidak mau difikirkan, semakin ketakutan-ketakutan itu menumpuk dalam fikiranku. “Aku takut ...,” keluhku lagi padanya.
Nilam langsung merengkuh tubuhku. “Nenek Fatimah bakal baik-baik aja, kok. Dan kalau suatu saat waktunya dia pulang ke pangkuan Sang Pencipta udah tiba, ya kamu harus terima, Saf. Kita semua ‘kan memang lagi menunggu giliran. Iya, kan?”
Benar! Tetapi, aku sama sekali belum siap jika hari itu tiba.
“Kalau bisa, mending aku aja yang pulang duluan. Aku nggak akan sanggup kalau hidup sebatang kara. Aku nanti kesepian.”
“Hush! Nggak boleh gitu ah!” sanggah Nilam cepat. “Terus aku ini apa? Hanya butiran debu yang nggak dianggap gitu?” celetuknya.
Aku tertawa kecil mendengarnya. Sekalian menggoda, akupun langsung mengangguk mengiyakan. Kulihat, Nilam memanyunkan bibirnya. Lucu. Perlahan, rasa takutku mulai memudar.
“Udah ah, kita shalat zuhur dulu yuk!” ajak Nilam seraya bangkit dari duduknya dan menarikku untuk ikut berdiri juga. Kami melangkah bersama menuju Masjid yang terletak tak jauh dari lokasi Puskesmas berada. Kalau tidak salah nama Masjid itu adalah Masjid Al-Ikhsan.
“Nenek pasti baik-baik aja, kan?” tanyaku lagi di tengah perjalanan kami menuju Masjid.
Nilam menghela nafas. “Iya-iya, Nenek kamu pasti baik-baik aja, kok.”
Aku menundukkan pandangan, kemudian membuang nafas gusar. Ya, semoga Nenek akan selalu baik-baik saja. Aku harus yakin itu.
Kuangkat wajah dan memokuskan pandangan ke depan. Loh? Langkahku seketika terhenti. Mataku memicing sekedar memastikan penglihatan di depan sana. Semoga itu salah. Namun, semakin diperhatikan lebih jeli, semua makin tampak jelas kalau orang itu memang dia! Ya ampun, kenapa dia bisa ada di sini?
“Nggak! Ini nggak mungkin!”
“Loh, bukannya dia cowok yang nggak sengaja kamu tabrak itu ya, Saf?” Rupanya Nilam pun memandangi objek yang sama denganku. Aku menggigit bibi bawahku dengan cemas. Tanpa fikir panjang lagi, aku langsung berbalik badan dan melangkah cepat menjauh dari area masjid.
“Eh, Safa! Kamu mau ke mana? Saf ...!” Bahkan, teriakan Nilam tak kutanggapi. Sebelum menanggung malu yang kedua kali, sebaiknya langsung pergi saja.
...
“Kenapa harus ketemu lagi coba? Dari sekian banyak desa yang menyebar luas di Indonesia, kenapa harus di desa ini sih?” Aku meraup wajah frustasi. Helaan nafas kasar berulang kali kukeluarkan. Antara kesal sekaligus cemas saat mengetahui fakta kalau lelaki yang kutabrak dulu adalah warga baru di desa ini. Tak hanya itu, menurut Ustadzah Gina yang kebetulan sering mengadakan acara kajian di Masjid tersebut, juga mengatakan kalau dia kini menjadi Marbot Masjid.
Melalui beliau juga, aku akhirnya mengetahui nama dari lelaki itu adalah Afnan. Baru menetap ke desa ini sekitar tiga minggu yang lalu.
“Yaudah sih, Saf! Lagian kejadian itu udah sebulan lalu. Pasti Afnan juga udah lupa, kok,” sahut Nilam. “Tapi, kalau diperhatiin lagi, Afnan itu lumayan ganteng juga.”
Aku memutar bola matanya. Memang sih, tapi ... ck! Intinya dia itu menyebalkan. “Masih kalah jauh sama pacar aku.” Setidaknya, Azzam tidak sok dan berwajah dingin sepertinya.
“Iyakah? Ah enggak, gantengan Afnan,” timpal Nilam dengan kukuh. Mataku spontan memicing tajam. Aku yakin dia mengatakan itu karena sengaja ingin membuatku semakin merasa kebakaran.
“Terus sekarang gimana dong? Mana sering banget lagi TPA ngadain acara di sana? Kalau ternyata dia masih ngenalin aku gimana? Pasti bakal diungkit lagi deh!”
“Nggak akan!” respon Nilam yang membuatku sontak menoleh cepat padanya.
“Bener? Kamu yakin?” sahutku dengan mata yang tertuju fokus padanya. Kalau benar demikian, itu artinya aku tidak perlu susah payah menghindarinya, ‘kan?
Nilam mengangguk dengan ekspresi wajah yang meyakinkan. “Ya, paling cuma diketawain,” sambungnya dengan enteng.
Sekejap aku bingung, namun tak membutuhkan waktu lama untuk mengerti kalau aku sedang dikerjai, langsung saja kulepas sendal dan bersiap hendak melemparkannya pada Nilam. Tapi sayang gadis itu sudah lebih dulu kabur. Awas saja nanti.
Hal yang kutakutkan kini menjadi kenyataan. TPA tempatku biasa mengajar akan mengadakan pengajian rutin yang dilakukan di Masjid Al-Ikhsan.“Tenang, Saf. Pasti Afnannya udah pulang, kok. Nggak mungkin seharian ada di Masjid, kan?” Nilam berusaha menenangkanku yang sedang kalut. “Percaya sama aku.”Aku menatapnya sejenak, lalu mengangguk. Semoga lelaki itu memang sudah pergi dan aku tidak akan menanggung malu untuk yang kedua kali.Namun, sayang beribu sayang. Harapan tidak kunjung menjadi nyata. Afnan, lelaki itu justru yang bertugas mengatur keberlangsungan acara bersama pihak DKM yang lain.Aku menghela nafas panjang. Ingin rasanya kabur detik ini juga. Namun, hal itu tak mungkin kulakukan karena akulah yang bertugas menjadi pembawa acara dalam pengajian kali ini.Tenang, Safa. Dia pasti nggak ingat sama kamu. Berulang kali aku menarik dan menghembuskan nafas secara pelan. Aku tidak boleh terlihat panik. Ustadzah Gina sudah memberikan amanah tugas dalam acara kali ini. Aku tidak bol
“Tapi aku takut ....” Tatapanku tertunduk dalam-dalam. “Aku belum bisa bahagiain Nenek, Zam. Aku belum bisa buat dia bangga sama aku.” Setetes air mata di pelupuk mataku jatuh. Dadaku selalu terasa sesak jika mengingat kondisi Nenek yang akhir-akhir ini, kondisi kesehatannya semakin menurun.Siapa yang akan siap siaga memelukku ketika ada suara petir di malam hari nanti? Siapa yang akan mencium keningku saat mau berangkat mengajar? Siapa yang akan cerewet mengingatkanku sarapan bila terburu-buru pergi ke TPA?Tidak! Aku tak akan sanggup membayangkan hari-hariku tanpa nenek.“Hei, tenang.”Bukannya tenang, tangisku semakin tak bisa dihentikan. Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Di tengah isakan itu, aku tertegun saat merasakan tubuhku yang ditarik pelan. Beberapa detik kemudian, dekapan hangat mulai kurasakan.“Ada aku di sini, kan? Semua pasti baik-baik saja.”Sesaat aku memang tersentuh atas perilaku Azzam, tetapi beberapa menit kemudian, aku langsung menarik diri dari dekapan
Semua kebingungan di benakku akhirnya terpecahkan. Segala pertanyaan yang hinggap di kepala kini sudah terjawab. Sekarang apa yang harus kulakukan? Tidak ada. Semua sudah hancur sekarang. Segala angan dan harapan yang kupupuk bersamanya kini telah sirna tak berbekas.Hatiku sakit. Sakit sekali. Dia yang sangat kutunggu kehadirannya untuk mengucap akad, ternyata sudah mengucap akad atas nama gadis lain.Entah apa yang harus kujelaskan pada Nenek. Aku takut berita ini akan membuat kesehatan Nenek menurun lagi.“Safa!”Aku tertegun. Itu suara Nilam. Tetapi, kenapa dia ada di sini? “Kalau mau nangis, nangis aja, Saf! Aku tahu kamu lagi nggak baik-baik aja sekarang.” Suaranya bergetar dan serak. Dia pasti menangis juga. Duhai Allah, apa-apaan ini? Harusnya hari ini aku memberikan warna kebahagiaan pada mereka, tapi aku justru malah membuat mereka meneteskan air mata untukku.“Kamu sama siapa ke Jakarta, Nilam? Bukannya kamu ada tugas penting di desa?”“Aku nggak mungkin tenang, Safa. Apa
Seperti seakan baru saja mengalami satu detakan cepat saat Dokter mengatakan Nenek sudah tak punya banyak waktu lagi. Tak disangka, Nenek ternyata mengidap kanker paru-paru dan sekarang sudah memasuki stadium lanjut.Ya Allah, aku menangis sejadi-jadinya saat memasuki ruangan Nenek. Ternyata ini maksud dari keresahan hatiku selama ini. Aku adalah cucu yang buruk. Bisa-bisanya aku tak pernah tahu akan sakit yang sedang dideritanya selama ini.“Jangan nangis, Cucuku sayang.”Aku semakin terisak kuat kala merasakan jari jemari Nenekku menyentuh pipi dan menghapus air mataku dengan lembut. Kenapa semua menjadi serumit ini? Apa yang harus kulakukan sekarang?“Safa, Nenek, kami benar-benar minta maaf. Kami juga tidak menyangka Azzam akan melakukan perbuatan rendahan ini.”Aku memilih bungkam. Fokus pandanganku kini hanya serius menatap wajah Nenek yang semakin pucat. Tak ingin menghiraukan ucapan Pak Himawan, Papa dari lelaki yang sudah menghancurkan hatiku. Ya, memang dalam ruangan ini ked
Laki-laki yang sudah rapih dengan setelan kaos polos coklat dengan celana bahan hitam itu mengerutkan kening, saat netra matanya mengarah pada meja makan.Aku dibuat cemas dengan sikapnya tersebut. Entah apa yang ia fikirkan saat melihat masakan yang kubuat pagi ini. Apa ada yang kurang? Atau tak ada makanan yang ia suka? Entahlah! Aku tak berani untuk menanyakan secara langsung. Alhasil yang kulakukan sekarang hanya diam, berdiri tepat di hadapannya dengan kedua tangan saling meremas kuat.“Ini semua kamu yang masak?”Aku mengangguk. Kalau bukan aku memang siapa lagi? Di rumah ini hanya ada kami berdua. Kedua Mertuaku, Mama Diana dan Papa Himawan ada urusan keluar. Masa iya hantu? Ada-ada saja pertanyaan suamiku itu.“Kenapa?”“Kenapa?” Aku mengerjap bingung. Kenapa apanya? Tunggu-tunggu! Ini aku yang lambat mikir atau memang pertanyaan dia yang aneh?Terdengar helaan nafas kasar darinya. Loh, ada apa ini
Mataku membulat sempurna. Ya Rabb! Apa yang sudah kulakukan? Dengan cepat aku melepaskan pelukan itu dan bergerak menjauh. Matilah aku! Kenapa aku malah memeluk Mas Afnan?“Kamu sengaja memancingku ya?” tudingnya.Aku terperangah dan menatapnya tajam. “Enggaklah!” jawabku cepat dan memalingkan wajah. Wajah yang terasa sudah sangat panas ini. Memancing apa? Tak mungkin aku akan bertindak serendahan itu. Ya, walaupun dia memang suamiku, tapi ‘kan pernikahan kami sebatas kontrak. Seperti yang sering ia bilang.Melalui ekor mata, aku melihat Mas Afnan menggelengkan kepala berulang kali dengan tatapan datarnya. Jeda seperkian detik, ia langsung melenggang pergi keluar kamar.Aku mendesah lega, tapi tunggu, aku baru teringat kalau ... seketika aku langsung terbeliak saat sadar kalau aku masih mengenakan handuk di atas lutut. Ya Allah! Benar-benar tak terselamatkan. Bisa-bisanya aku berpenampilan seperti ini sambil memeluknya tadi.
“Kamar kamu di sebelah sana!” tunjuk Mas Afnan sambil mengarahkan jarinya ke arah kamar di sebelah pojok. Sudah kuduga. Karena di sini tak ada yang mengawasi kami, Mas Afnan pasti ingin kamar kami terpisah.“Ya-ya.” Malas berdebat, aku langsung mengangkat tasku dan berjalan masuk. Kira-kira baru tiga langkah aku berjalan, Mas Afnan kembali memanggilku. Ya Allah! Mau apa lagi sih dia?“Kenapa lagi, Mas?” Aku memaksakan senyum begitu berhadapan dengannya. Tubuhku sudah sangat lelah, aku ingin segera istirahat.“Jangan coba-coba masuk ke kamarku!”Hah? Bola mataku mengerjap lebar. Apa maksudnya?Mas Afnan langsung melenggang pergi tanpa rasa bersalah setelah berucap demikian. Benar-benar! Sungguh, aku tak habis fikir. Dia fikir aku ini apa?...Keesokan paginya, aku memutuskan mengunjungi Nenek yang masih dirawat di Puskesmas Desa. Senyum di wajahnya menentramkan hatiku yang sedang gundah.
Sudah tiga minggu berlalu dari hari pernikahan kami berlangsung, Mas Afnan masih tetap berperilaku sama. Dingin dan tak peduli. Tetapi kalau marah, ucapannya selalu tak terkontrol. Aku merasa semakin hari, semakin Mas Afnan terasa jauh untuk kugapai.Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatku untuk menarik perhatiannya. Selama dua minggu belakangan ini, berbagai upaya kulakukan untuk membuat dia melirikku barang sedetik saja.Aku juga selalu berusaha tampil menarik di depannya. Kadang juga berpakaian agak terbuka demi membuat dia luluh. Untuk sekarang memang belum, tapi aku yakin suatu saat nanti upayaku ini akan membuahkan hasil.Karena, ini semua sudah bukan lagi tentangku. Semua ini kulakukan demi Nenek. Saat kunjunganku terakhir tiga mingguan yang lalu, Nenek bercerita kalau dia mimpi bermain dengan seorang bocah laki-laki sekitar tiga tahunan yang lucu dan menggemaskan.Saat aku bertanya siapakah anak itu, dengan senyuman lebar dan sepasang ma
Aku mendengus kesal karena Nilam yang sudah ngotot membawaku ke puskesmas. Dan kekesalanku itu semakin menjadi-jadi karena Nilam juga mengabari soal aku yang mual-mual tadi pada Nenek dan juga Mas Afnan.Lalu setelah melaporkan keadaanku pada mereka berdua, gadis itu malah berpamitan pergi. Menyebalkan! Awas saja nanti.Binar bahagia di wajah Nenek langsung terbit saja saat aku berkata alasan aku dibawa ke Puskesmas ini. “Masyaa Allah, Safa. jangan-jangan kamu hamil, Nak,” ujarnya yang membuat aku tercengang.Hamil? Tidak mungkinlah! Aku dan Mas Afnan belum pernah bermalam bersama. Jangankan hal-hal ekstrim begitu. Sekedar berpelukan yang murni tulus dari hati pun tak pernah.Justru, kalau aku hamil, akan menjadi masalah besar. Mas Afnan bisa-bisa mengira aku selingkuh.Tetapi, bagaimana caranya ya aku menjelaskan pada Nenek? Nenek sudah terlanjur sangat bahagia begitu. Aku jadi tak tega dan merasa bersalah.Apa aku bilang
Benar-benar pagi yang berbeda. Aku menggigit bibir bawah kuat. Debaran jantungku sejak bangun tadi pagi masih bergejolak hebat. Rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin. Biarlah satu dunia tahu kebahagiaan yang kini tengah aku rasakan.Masih terekam dengan jelas saat Mas Afnan memelukku semalam dan mengizinkan aku untuk tidur di kamarnya lagi. Bahkan, dengan tenang dan sabar dia mengelus kepalaku agar rasa kantukku hadir.Benar-benar malam yang indah. Andai saja Mas Afnan tahu kalau malam itu aku justru berdoa agar aku tidak diberikan rasa kantuk. Aku ingin lebih lama menikmati momen bersamanya.Huh, semoga saja ini menjadi awal rumah tangga kami yang membaik. Semoga setelah ini Mas Afnan berubah dan serius menerima pernikahan ini. Tak apa kalau dia belum mencintaiku. Asalkan dia mau bersikap hangat dan lembut saja, aku sudah sangat senang.Tap! Tap!Lamunanku dalam mengingat hal semalam tersadar seketika. Aku langsung menoleh cepat pada suara
“Kamu yakin nggak mau kuantar, Saf? Ini udah malam loh. Mana hujan juga,” ucap Nilam yang terlihat khawatir padaku.Aku tersenyum meyakinkan dia. “Aku nggak papa. Ini cuma hujan kecil, kok.” Selagi tidak diikuti dengan petir, maka aku akan baik-baik saja. Lagipula, ini juga baru pukul delapan malam. Belum terlalu larut dan jalanan yang akan kulewati nanti biasanya masih ramai orang-orang.Nilam menghela nafas. “Kenapa nggak nelpon suami kamu aja sih, Saf. Minta dijemput gitu.”Aku hanya tersenyum. Tidak mungkin aku meminta dijemputnya setelah apa yang telah terjadi kemarin. Sejak kejadian itu, antara Mas Afnan dan aku belum terucap sepatah katapun.Tadi pagi saja saat aku hendak berangkat ke TPA, aku hanya menyiapkan sarapan untuknya dan berpamitan pergi. Tidak tahu ia memakan masakanku atau tidak, aku belum siap kalau harus berhadapan dengannya lagi.“Yaudah, kalau gitu aku duluan ya, Nil. Assalamu’a
Karena aku tahu Mas Afnan tidak akan banyak berulah kali ini. Dengan sengaja aku merangkul lengannya. Dia sempat melirikku sinis, tapi tetap tak melepaskan gelayutan manjaku ini. Haha, kita lihat seberapa tahan kamu tidak tergoda dengan pesonaku, Mas.“Kalian nggak ada rencana bulan madu ke mana gitu?” tanya Papa kepada kami. Ya, saat ini kami tengah duduk-duduk santai di ruang keluarga sambil menonton TV.“Safa sibuk mengajar di TPA.”Seketika mataku membeliak. Kenapa Mas Afnan malah menjadikan aku tumbal? Halah, Mas. Bilang saja kalau kamu yang tak mau kita pergi. Malah menyalahkan orang lain! Nyebelin!“Benar begitu, Saf?” tanya Mama kepadaku.Saat aku membuka mulut hendak menjawab, Mas Afnan langsung menoleh kepadaku dan menatapku tajam. Seolah-olah dalam tatapan itu ia memperingatkan agar aku tidak menjawab apapun yang bertentangan dengannya.Tahu saja lelaki itu kalau aku ingin menjawab yang berlawan
Karena Mama dan Papa memutuskan menginap di rumah kami, meski dengan berat hati dan wajah yang sangat jelas menunjukkan kejengkelan, Mas Afnan meminta aku tidur di kamarnya untuk malam ini.Tapi, bukan berarti kita juga satu ranjang. Tidak! Mas Afnan akan tidur di sofa panjang dan akulah yang tidur di kasurnya.“Aku takut kamu tak bisa mengendalikan diri kalau kita seranjang. “ Itu yang dia katakan saat aku mempertanyakan alasan kami yang tetap tidur di tempat terpisah walau sudah satu kamar.Cukup salut juga aku padanya. Imannya begitu kuat hingga tak tergoda oleh rayuan perempuan. Sekalipun, perempuan itu adalah istrinya sendiri. Mungkin lain lagi ya ceritanya kalau istrinya itu adalah perempuan yang ia cintai.Tunggu! Aku jadi penasaran. Sebenarnya kriteria istri idaman menurut Mas Afnan itu seperti apa sih? Kalau aku berusaha menjadi seperti itu, mungkinkah Mas Afnan akan mulai menerima pernikahan ini dan mau belajar mencintaiku?Sa
“Kalau gitu, aku duluan ya, Saf.” Nilam beranjak bangun dari duduknya dan berpamitan pergi. Tepat tak lama dari itu, aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Tanpa perlu menoleh, sudah pasti itu Mas Afnan. Lewat sudut mata, aku melihat Mas Afnan mengambil tempat duduk tepat di depanku kini.“Jangan GR! Aku ke sini karena Mama kirim pesan, katanya mereka akan datang ke rumah.”Aku menelan ludah berat. Haha, memang apa yang kamu fikirkan, Safa? Dia datang ke sini karena inisiatif sendiri begitu? Itu jelas mustahil!...Sebelum ke rumah, aku dan Mas Afnan memutuskan mampir dulu ke pasar untuk berbelanja bahan masakan di dapur. Ya setidaknya ada satu kebaikan yang dilakukan Mas Afnan, dibalik sikap dingin dan ucapan kasarnya padaku selama ini, yaitu; dia tidak lupa akan kewajibannya dalam memberikan aku nafkah secara zahir.Aku sampai terkaget-kaget saat melihat nominal uang yang dikirim Mas Afnan tadi saat di mobil. Uang seba
Sudah tiga minggu berlalu dari hari pernikahan kami berlangsung, Mas Afnan masih tetap berperilaku sama. Dingin dan tak peduli. Tetapi kalau marah, ucapannya selalu tak terkontrol. Aku merasa semakin hari, semakin Mas Afnan terasa jauh untuk kugapai.Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatku untuk menarik perhatiannya. Selama dua minggu belakangan ini, berbagai upaya kulakukan untuk membuat dia melirikku barang sedetik saja.Aku juga selalu berusaha tampil menarik di depannya. Kadang juga berpakaian agak terbuka demi membuat dia luluh. Untuk sekarang memang belum, tapi aku yakin suatu saat nanti upayaku ini akan membuahkan hasil.Karena, ini semua sudah bukan lagi tentangku. Semua ini kulakukan demi Nenek. Saat kunjunganku terakhir tiga mingguan yang lalu, Nenek bercerita kalau dia mimpi bermain dengan seorang bocah laki-laki sekitar tiga tahunan yang lucu dan menggemaskan.Saat aku bertanya siapakah anak itu, dengan senyuman lebar dan sepasang ma
“Kamar kamu di sebelah sana!” tunjuk Mas Afnan sambil mengarahkan jarinya ke arah kamar di sebelah pojok. Sudah kuduga. Karena di sini tak ada yang mengawasi kami, Mas Afnan pasti ingin kamar kami terpisah.“Ya-ya.” Malas berdebat, aku langsung mengangkat tasku dan berjalan masuk. Kira-kira baru tiga langkah aku berjalan, Mas Afnan kembali memanggilku. Ya Allah! Mau apa lagi sih dia?“Kenapa lagi, Mas?” Aku memaksakan senyum begitu berhadapan dengannya. Tubuhku sudah sangat lelah, aku ingin segera istirahat.“Jangan coba-coba masuk ke kamarku!”Hah? Bola mataku mengerjap lebar. Apa maksudnya?Mas Afnan langsung melenggang pergi tanpa rasa bersalah setelah berucap demikian. Benar-benar! Sungguh, aku tak habis fikir. Dia fikir aku ini apa?...Keesokan paginya, aku memutuskan mengunjungi Nenek yang masih dirawat di Puskesmas Desa. Senyum di wajahnya menentramkan hatiku yang sedang gundah.
Mataku membulat sempurna. Ya Rabb! Apa yang sudah kulakukan? Dengan cepat aku melepaskan pelukan itu dan bergerak menjauh. Matilah aku! Kenapa aku malah memeluk Mas Afnan?“Kamu sengaja memancingku ya?” tudingnya.Aku terperangah dan menatapnya tajam. “Enggaklah!” jawabku cepat dan memalingkan wajah. Wajah yang terasa sudah sangat panas ini. Memancing apa? Tak mungkin aku akan bertindak serendahan itu. Ya, walaupun dia memang suamiku, tapi ‘kan pernikahan kami sebatas kontrak. Seperti yang sering ia bilang.Melalui ekor mata, aku melihat Mas Afnan menggelengkan kepala berulang kali dengan tatapan datarnya. Jeda seperkian detik, ia langsung melenggang pergi keluar kamar.Aku mendesah lega, tapi tunggu, aku baru teringat kalau ... seketika aku langsung terbeliak saat sadar kalau aku masih mengenakan handuk di atas lutut. Ya Allah! Benar-benar tak terselamatkan. Bisa-bisanya aku berpenampilan seperti ini sambil memeluknya tadi.