Hal yang kutakutkan kini menjadi kenyataan. TPA tempatku biasa mengajar akan mengadakan pengajian rutin yang dilakukan di Masjid Al-Ikhsan.
“Tenang, Saf. Pasti Afnannya udah pulang, kok. Nggak mungkin seharian ada di Masjid, kan?” Nilam berusaha menenangkanku yang sedang kalut. “Percaya sama aku.”
Aku menatapnya sejenak, lalu mengangguk. Semoga lelaki itu memang sudah pergi dan aku tidak akan menanggung malu untuk yang kedua kali.
Namun, sayang beribu sayang. Harapan tidak kunjung menjadi nyata. Afnan, lelaki itu justru yang bertugas mengatur keberlangsungan acara bersama pihak DKM yang lain.
Aku menghela nafas panjang. Ingin rasanya kabur detik ini juga. Namun, hal itu tak mungkin kulakukan karena akulah yang bertugas menjadi pembawa acara dalam pengajian kali ini.
Tenang, Safa. Dia pasti nggak ingat sama kamu. Berulang kali aku menarik dan menghembuskan nafas secara pelan. Aku tidak boleh terlihat panik. Ustadzah Gina sudah memberikan amanah tugas dalam acara kali ini. Aku tidak boleh mengecewakan seniorku itu.
“Safa, silahkan dimulai!”
Perintah dari Ustadzah Gina barusan langsung membuat degup jantungku bergejolak tak karuan. Oke, Safa. Tenang. Tarik nafas hembuskan. Bismillah! Semoga acara ini dimudahkan.
“Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Senyum tulus kuperlihatkan pada semua yang hadir dalam pengajian itu. Sebisa mungkin aku berusaha fokus dan selalu menghindar untuk tidak bersitatap dengan Afnan.
“Maka dari itu, izinkan saya, Safa selaku pembawa acara dari acara pengajian Majelis Taklim ini untuk membuka dengan bacaan Basmalah. Bismillahirrahmannir rahim. Acara akan diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur an yang akan dipimpin oleh Ustadz Hasan. Kepadanya, saya persilahkan.”
Aku turun dari podium dan kembali ke tempat semula. Seperti ada dorongan untukku menoleh ke samping dan betapa kagetnya aku saat melihat Afnan tengah menengok ke arahku juga. Debar jantungku kembali bergejolak hebat dan tanpa sadar sudah menggaruk belakang kepala karena salah tingkah. Sebisa mungkin aku tetap berusaha tenang meski rasanya ingin sekali pergi secepat mungkin.
...
Dalam kurun waktu kurang lebih 90 menit, acara pengajian di Masjid itu akhirnya selesai juga. Selesai berpamitan dengan semuanya, aku terburu-buru pergi. Aku harus meninggalkan Masjid itu secepat mungkin sebelum Afnan mengingatnya.
Bruk!
“Aw!” ringisku spontan karena kepala yang menubruk sesuatu. Ini akibatnya kalau berjalan tergesa-gesa dengan kepala yang tertunduk memperhatikan sendal.
“Kamu tidak papa?”
Seluruh persendianku seketika melemas mendengar suara itu. Ragu-ragu, aku memberanikan diri mengangkat wajah dan langsung terhenyak diam melihat wajah orang yang kutabrak barusan.
Dia lagi? Haish! Mati-matian menghindar, ternyata malah bertemu lagi dengan cara yang memalukan.
“Kamu tidak papa?” ulang Afnan karena yang pertama kali tak ada respon apapun.
Aku menggaruk belakang hijab. “I-iya, saya tidak papa.”
“Wajah kamu kaya nggak asing? Apa kita pernah ketemu sebelumnya?” tanya Afnan.
Aku menelan ludah dengan berat. Mataku bergerak gelisah ke kanan kiri. “Enggak. Kita nggak pernah ketemu.”
Dia diam.
“Saya duluan.” Tanpa menunggu jawaban Afnan, aku langsung berlalu pergi dari hadapannya dengan langkah terburu-buru.
“Hei, tunggu!”
Kedua tanganku saling mengepal. Kenapa dia memanggil? Gawat! Sepertinya lelaki itu sudah ingat siapa aku.
...
Dengan nafas yang tersenggal-senggal seperti habis lari maraton, akhirnya aku tiba di rumah. Tak ada lagi yang kulakukan selain langsung duduk di sofa dan merebahkan kepala di sana. Benar-benar hari yang menguras tenaga dan fikiran.
Ini semua karena Afnan. Dua kali bertemu, dua kali juga mempermalukan diri sendiri. Ya Allah, Safa. Benar-benar sudah tak terselamatkan! Sepertinya setelah ini, aku harus mendaftar jadi guru TPA private saja agar tidak bertemu lagi dengan Afnan.
Tok! Tok!
“Assalamu alaikum.”
Siapa yang datang bertamu? Keningku bertaut bingung. Apa jangan-jangan Afnan? Ah tidak mungkin!Yang benar saja Afnan sampai menyusul ke rumah. Jelas itu mustahil!
“Assalamu alaikum.”
Menghela nafas sejenak, kemudian bangkit dari sofa. Pelan tapi pasti, aku mulai membuka pintu.
“Wa alaikumussalam ....” Nafasku terasa tercekat melihat sosok lelaki di depannya kini. “Azzam?” “Hai, Saf.”
Aku mengerjap berulang kali. Berhalusinasikah? Bukankah harusnya lelaki itu masih berada di luar kota? Kenapa tiba-tiba ada di desa?
“Tapi aku takut ....” Tatapanku tertunduk dalam-dalam. “Aku belum bisa bahagiain Nenek, Zam. Aku belum bisa buat dia bangga sama aku.” Setetes air mata di pelupuk mataku jatuh. Dadaku selalu terasa sesak jika mengingat kondisi Nenek yang akhir-akhir ini, kondisi kesehatannya semakin menurun.Siapa yang akan siap siaga memelukku ketika ada suara petir di malam hari nanti? Siapa yang akan mencium keningku saat mau berangkat mengajar? Siapa yang akan cerewet mengingatkanku sarapan bila terburu-buru pergi ke TPA?Tidak! Aku tak akan sanggup membayangkan hari-hariku tanpa nenek.“Hei, tenang.”Bukannya tenang, tangisku semakin tak bisa dihentikan. Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Di tengah isakan itu, aku tertegun saat merasakan tubuhku yang ditarik pelan. Beberapa detik kemudian, dekapan hangat mulai kurasakan.“Ada aku di sini, kan? Semua pasti baik-baik saja.”Sesaat aku memang tersentuh atas perilaku Azzam, tetapi beberapa menit kemudian, aku langsung menarik diri dari dekapan
Semua kebingungan di benakku akhirnya terpecahkan. Segala pertanyaan yang hinggap di kepala kini sudah terjawab. Sekarang apa yang harus kulakukan? Tidak ada. Semua sudah hancur sekarang. Segala angan dan harapan yang kupupuk bersamanya kini telah sirna tak berbekas.Hatiku sakit. Sakit sekali. Dia yang sangat kutunggu kehadirannya untuk mengucap akad, ternyata sudah mengucap akad atas nama gadis lain.Entah apa yang harus kujelaskan pada Nenek. Aku takut berita ini akan membuat kesehatan Nenek menurun lagi.“Safa!”Aku tertegun. Itu suara Nilam. Tetapi, kenapa dia ada di sini? “Kalau mau nangis, nangis aja, Saf! Aku tahu kamu lagi nggak baik-baik aja sekarang.” Suaranya bergetar dan serak. Dia pasti menangis juga. Duhai Allah, apa-apaan ini? Harusnya hari ini aku memberikan warna kebahagiaan pada mereka, tapi aku justru malah membuat mereka meneteskan air mata untukku.“Kamu sama siapa ke Jakarta, Nilam? Bukannya kamu ada tugas penting di desa?”“Aku nggak mungkin tenang, Safa. Apa
Seperti seakan baru saja mengalami satu detakan cepat saat Dokter mengatakan Nenek sudah tak punya banyak waktu lagi. Tak disangka, Nenek ternyata mengidap kanker paru-paru dan sekarang sudah memasuki stadium lanjut.Ya Allah, aku menangis sejadi-jadinya saat memasuki ruangan Nenek. Ternyata ini maksud dari keresahan hatiku selama ini. Aku adalah cucu yang buruk. Bisa-bisanya aku tak pernah tahu akan sakit yang sedang dideritanya selama ini.“Jangan nangis, Cucuku sayang.”Aku semakin terisak kuat kala merasakan jari jemari Nenekku menyentuh pipi dan menghapus air mataku dengan lembut. Kenapa semua menjadi serumit ini? Apa yang harus kulakukan sekarang?“Safa, Nenek, kami benar-benar minta maaf. Kami juga tidak menyangka Azzam akan melakukan perbuatan rendahan ini.”Aku memilih bungkam. Fokus pandanganku kini hanya serius menatap wajah Nenek yang semakin pucat. Tak ingin menghiraukan ucapan Pak Himawan, Papa dari lelaki yang sudah menghancurkan hatiku. Ya, memang dalam ruangan ini ked
Laki-laki yang sudah rapih dengan setelan kaos polos coklat dengan celana bahan hitam itu mengerutkan kening, saat netra matanya mengarah pada meja makan.Aku dibuat cemas dengan sikapnya tersebut. Entah apa yang ia fikirkan saat melihat masakan yang kubuat pagi ini. Apa ada yang kurang? Atau tak ada makanan yang ia suka? Entahlah! Aku tak berani untuk menanyakan secara langsung. Alhasil yang kulakukan sekarang hanya diam, berdiri tepat di hadapannya dengan kedua tangan saling meremas kuat.“Ini semua kamu yang masak?”Aku mengangguk. Kalau bukan aku memang siapa lagi? Di rumah ini hanya ada kami berdua. Kedua Mertuaku, Mama Diana dan Papa Himawan ada urusan keluar. Masa iya hantu? Ada-ada saja pertanyaan suamiku itu.“Kenapa?”“Kenapa?” Aku mengerjap bingung. Kenapa apanya? Tunggu-tunggu! Ini aku yang lambat mikir atau memang pertanyaan dia yang aneh?Terdengar helaan nafas kasar darinya. Loh, ada apa ini
Mataku membulat sempurna. Ya Rabb! Apa yang sudah kulakukan? Dengan cepat aku melepaskan pelukan itu dan bergerak menjauh. Matilah aku! Kenapa aku malah memeluk Mas Afnan?“Kamu sengaja memancingku ya?” tudingnya.Aku terperangah dan menatapnya tajam. “Enggaklah!” jawabku cepat dan memalingkan wajah. Wajah yang terasa sudah sangat panas ini. Memancing apa? Tak mungkin aku akan bertindak serendahan itu. Ya, walaupun dia memang suamiku, tapi ‘kan pernikahan kami sebatas kontrak. Seperti yang sering ia bilang.Melalui ekor mata, aku melihat Mas Afnan menggelengkan kepala berulang kali dengan tatapan datarnya. Jeda seperkian detik, ia langsung melenggang pergi keluar kamar.Aku mendesah lega, tapi tunggu, aku baru teringat kalau ... seketika aku langsung terbeliak saat sadar kalau aku masih mengenakan handuk di atas lutut. Ya Allah! Benar-benar tak terselamatkan. Bisa-bisanya aku berpenampilan seperti ini sambil memeluknya tadi.
“Kamar kamu di sebelah sana!” tunjuk Mas Afnan sambil mengarahkan jarinya ke arah kamar di sebelah pojok. Sudah kuduga. Karena di sini tak ada yang mengawasi kami, Mas Afnan pasti ingin kamar kami terpisah.“Ya-ya.” Malas berdebat, aku langsung mengangkat tasku dan berjalan masuk. Kira-kira baru tiga langkah aku berjalan, Mas Afnan kembali memanggilku. Ya Allah! Mau apa lagi sih dia?“Kenapa lagi, Mas?” Aku memaksakan senyum begitu berhadapan dengannya. Tubuhku sudah sangat lelah, aku ingin segera istirahat.“Jangan coba-coba masuk ke kamarku!”Hah? Bola mataku mengerjap lebar. Apa maksudnya?Mas Afnan langsung melenggang pergi tanpa rasa bersalah setelah berucap demikian. Benar-benar! Sungguh, aku tak habis fikir. Dia fikir aku ini apa?...Keesokan paginya, aku memutuskan mengunjungi Nenek yang masih dirawat di Puskesmas Desa. Senyum di wajahnya menentramkan hatiku yang sedang gundah.
Sudah tiga minggu berlalu dari hari pernikahan kami berlangsung, Mas Afnan masih tetap berperilaku sama. Dingin dan tak peduli. Tetapi kalau marah, ucapannya selalu tak terkontrol. Aku merasa semakin hari, semakin Mas Afnan terasa jauh untuk kugapai.Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatku untuk menarik perhatiannya. Selama dua minggu belakangan ini, berbagai upaya kulakukan untuk membuat dia melirikku barang sedetik saja.Aku juga selalu berusaha tampil menarik di depannya. Kadang juga berpakaian agak terbuka demi membuat dia luluh. Untuk sekarang memang belum, tapi aku yakin suatu saat nanti upayaku ini akan membuahkan hasil.Karena, ini semua sudah bukan lagi tentangku. Semua ini kulakukan demi Nenek. Saat kunjunganku terakhir tiga mingguan yang lalu, Nenek bercerita kalau dia mimpi bermain dengan seorang bocah laki-laki sekitar tiga tahunan yang lucu dan menggemaskan.Saat aku bertanya siapakah anak itu, dengan senyuman lebar dan sepasang ma
“Kalau gitu, aku duluan ya, Saf.” Nilam beranjak bangun dari duduknya dan berpamitan pergi. Tepat tak lama dari itu, aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Tanpa perlu menoleh, sudah pasti itu Mas Afnan. Lewat sudut mata, aku melihat Mas Afnan mengambil tempat duduk tepat di depanku kini.“Jangan GR! Aku ke sini karena Mama kirim pesan, katanya mereka akan datang ke rumah.”Aku menelan ludah berat. Haha, memang apa yang kamu fikirkan, Safa? Dia datang ke sini karena inisiatif sendiri begitu? Itu jelas mustahil!...Sebelum ke rumah, aku dan Mas Afnan memutuskan mampir dulu ke pasar untuk berbelanja bahan masakan di dapur. Ya setidaknya ada satu kebaikan yang dilakukan Mas Afnan, dibalik sikap dingin dan ucapan kasarnya padaku selama ini, yaitu; dia tidak lupa akan kewajibannya dalam memberikan aku nafkah secara zahir.Aku sampai terkaget-kaget saat melihat nominal uang yang dikirim Mas Afnan tadi saat di mobil. Uang seba
“Kamu yakin nggak mau kuantar, Saf? Ini udah malam loh. Mana hujan juga,” ucap Nilam yang terlihat khawatir padaku.Aku tersenyum meyakinkan dia. “Aku nggak papa. Ini cuma hujan kecil, kok.” Selagi tidak diikuti dengan petir, maka aku akan baik-baik saja. Lagipula, ini juga baru pukul delapan malam. Belum terlalu larut dan jalanan yang akan kulewati nanti biasanya masih ramai orang-orang.Nilam menghela nafas. “Kenapa nggak nelpon suami kamu aja sih, Saf. Minta dijemput gitu.”Aku hanya tersenyum. Tidak mungkin aku meminta dijemputnya setelah apa yang telah terjadi kemarin. Sejak kejadian itu, antara Mas Afnan dan aku belum terucap sepatah katapun.Tadi pagi saja saat aku hendak berangkat ke TPA, aku hanya menyiapkan sarapan untuknya dan berpamitan pergi. Tidak tahu ia memakan masakanku atau tidak, aku belum siap kalau harus berhadapan dengannya lagi.“Yaudah, kalau gitu aku duluan ya, Nil. Assalamu’a
Karena aku tahu Mas Afnan tidak akan banyak berulah kali ini. Dengan sengaja aku merangkul lengannya. Dia sempat melirikku sinis, tapi tetap tak melepaskan gelayutan manjaku ini. Haha, kita lihat seberapa tahan kamu tidak tergoda dengan pesonaku, Mas.“Kalian nggak ada rencana bulan madu ke mana gitu?” tanya Papa kepada kami. Ya, saat ini kami tengah duduk-duduk santai di ruang keluarga sambil menonton TV.“Safa sibuk mengajar di TPA.”Seketika mataku membeliak. Kenapa Mas Afnan malah menjadikan aku tumbal? Halah, Mas. Bilang saja kalau kamu yang tak mau kita pergi. Malah menyalahkan orang lain! Nyebelin!“Benar begitu, Saf?” tanya Mama kepadaku.Saat aku membuka mulut hendak menjawab, Mas Afnan langsung menoleh kepadaku dan menatapku tajam. Seolah-olah dalam tatapan itu ia memperingatkan agar aku tidak menjawab apapun yang bertentangan dengannya.Tahu saja lelaki itu kalau aku ingin menjawab yang berlawan
Karena Mama dan Papa memutuskan menginap di rumah kami, meski dengan berat hati dan wajah yang sangat jelas menunjukkan kejengkelan, Mas Afnan meminta aku tidur di kamarnya untuk malam ini.Tapi, bukan berarti kita juga satu ranjang. Tidak! Mas Afnan akan tidur di sofa panjang dan akulah yang tidur di kasurnya.“Aku takut kamu tak bisa mengendalikan diri kalau kita seranjang. “ Itu yang dia katakan saat aku mempertanyakan alasan kami yang tetap tidur di tempat terpisah walau sudah satu kamar.Cukup salut juga aku padanya. Imannya begitu kuat hingga tak tergoda oleh rayuan perempuan. Sekalipun, perempuan itu adalah istrinya sendiri. Mungkin lain lagi ya ceritanya kalau istrinya itu adalah perempuan yang ia cintai.Tunggu! Aku jadi penasaran. Sebenarnya kriteria istri idaman menurut Mas Afnan itu seperti apa sih? Kalau aku berusaha menjadi seperti itu, mungkinkah Mas Afnan akan mulai menerima pernikahan ini dan mau belajar mencintaiku?Sa
“Kalau gitu, aku duluan ya, Saf.” Nilam beranjak bangun dari duduknya dan berpamitan pergi. Tepat tak lama dari itu, aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Tanpa perlu menoleh, sudah pasti itu Mas Afnan. Lewat sudut mata, aku melihat Mas Afnan mengambil tempat duduk tepat di depanku kini.“Jangan GR! Aku ke sini karena Mama kirim pesan, katanya mereka akan datang ke rumah.”Aku menelan ludah berat. Haha, memang apa yang kamu fikirkan, Safa? Dia datang ke sini karena inisiatif sendiri begitu? Itu jelas mustahil!...Sebelum ke rumah, aku dan Mas Afnan memutuskan mampir dulu ke pasar untuk berbelanja bahan masakan di dapur. Ya setidaknya ada satu kebaikan yang dilakukan Mas Afnan, dibalik sikap dingin dan ucapan kasarnya padaku selama ini, yaitu; dia tidak lupa akan kewajibannya dalam memberikan aku nafkah secara zahir.Aku sampai terkaget-kaget saat melihat nominal uang yang dikirim Mas Afnan tadi saat di mobil. Uang seba
Sudah tiga minggu berlalu dari hari pernikahan kami berlangsung, Mas Afnan masih tetap berperilaku sama. Dingin dan tak peduli. Tetapi kalau marah, ucapannya selalu tak terkontrol. Aku merasa semakin hari, semakin Mas Afnan terasa jauh untuk kugapai.Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatku untuk menarik perhatiannya. Selama dua minggu belakangan ini, berbagai upaya kulakukan untuk membuat dia melirikku barang sedetik saja.Aku juga selalu berusaha tampil menarik di depannya. Kadang juga berpakaian agak terbuka demi membuat dia luluh. Untuk sekarang memang belum, tapi aku yakin suatu saat nanti upayaku ini akan membuahkan hasil.Karena, ini semua sudah bukan lagi tentangku. Semua ini kulakukan demi Nenek. Saat kunjunganku terakhir tiga mingguan yang lalu, Nenek bercerita kalau dia mimpi bermain dengan seorang bocah laki-laki sekitar tiga tahunan yang lucu dan menggemaskan.Saat aku bertanya siapakah anak itu, dengan senyuman lebar dan sepasang ma
“Kamar kamu di sebelah sana!” tunjuk Mas Afnan sambil mengarahkan jarinya ke arah kamar di sebelah pojok. Sudah kuduga. Karena di sini tak ada yang mengawasi kami, Mas Afnan pasti ingin kamar kami terpisah.“Ya-ya.” Malas berdebat, aku langsung mengangkat tasku dan berjalan masuk. Kira-kira baru tiga langkah aku berjalan, Mas Afnan kembali memanggilku. Ya Allah! Mau apa lagi sih dia?“Kenapa lagi, Mas?” Aku memaksakan senyum begitu berhadapan dengannya. Tubuhku sudah sangat lelah, aku ingin segera istirahat.“Jangan coba-coba masuk ke kamarku!”Hah? Bola mataku mengerjap lebar. Apa maksudnya?Mas Afnan langsung melenggang pergi tanpa rasa bersalah setelah berucap demikian. Benar-benar! Sungguh, aku tak habis fikir. Dia fikir aku ini apa?...Keesokan paginya, aku memutuskan mengunjungi Nenek yang masih dirawat di Puskesmas Desa. Senyum di wajahnya menentramkan hatiku yang sedang gundah.
Mataku membulat sempurna. Ya Rabb! Apa yang sudah kulakukan? Dengan cepat aku melepaskan pelukan itu dan bergerak menjauh. Matilah aku! Kenapa aku malah memeluk Mas Afnan?“Kamu sengaja memancingku ya?” tudingnya.Aku terperangah dan menatapnya tajam. “Enggaklah!” jawabku cepat dan memalingkan wajah. Wajah yang terasa sudah sangat panas ini. Memancing apa? Tak mungkin aku akan bertindak serendahan itu. Ya, walaupun dia memang suamiku, tapi ‘kan pernikahan kami sebatas kontrak. Seperti yang sering ia bilang.Melalui ekor mata, aku melihat Mas Afnan menggelengkan kepala berulang kali dengan tatapan datarnya. Jeda seperkian detik, ia langsung melenggang pergi keluar kamar.Aku mendesah lega, tapi tunggu, aku baru teringat kalau ... seketika aku langsung terbeliak saat sadar kalau aku masih mengenakan handuk di atas lutut. Ya Allah! Benar-benar tak terselamatkan. Bisa-bisanya aku berpenampilan seperti ini sambil memeluknya tadi.
Laki-laki yang sudah rapih dengan setelan kaos polos coklat dengan celana bahan hitam itu mengerutkan kening, saat netra matanya mengarah pada meja makan.Aku dibuat cemas dengan sikapnya tersebut. Entah apa yang ia fikirkan saat melihat masakan yang kubuat pagi ini. Apa ada yang kurang? Atau tak ada makanan yang ia suka? Entahlah! Aku tak berani untuk menanyakan secara langsung. Alhasil yang kulakukan sekarang hanya diam, berdiri tepat di hadapannya dengan kedua tangan saling meremas kuat.“Ini semua kamu yang masak?”Aku mengangguk. Kalau bukan aku memang siapa lagi? Di rumah ini hanya ada kami berdua. Kedua Mertuaku, Mama Diana dan Papa Himawan ada urusan keluar. Masa iya hantu? Ada-ada saja pertanyaan suamiku itu.“Kenapa?”“Kenapa?” Aku mengerjap bingung. Kenapa apanya? Tunggu-tunggu! Ini aku yang lambat mikir atau memang pertanyaan dia yang aneh?Terdengar helaan nafas kasar darinya. Loh, ada apa ini
Seperti seakan baru saja mengalami satu detakan cepat saat Dokter mengatakan Nenek sudah tak punya banyak waktu lagi. Tak disangka, Nenek ternyata mengidap kanker paru-paru dan sekarang sudah memasuki stadium lanjut.Ya Allah, aku menangis sejadi-jadinya saat memasuki ruangan Nenek. Ternyata ini maksud dari keresahan hatiku selama ini. Aku adalah cucu yang buruk. Bisa-bisanya aku tak pernah tahu akan sakit yang sedang dideritanya selama ini.“Jangan nangis, Cucuku sayang.”Aku semakin terisak kuat kala merasakan jari jemari Nenekku menyentuh pipi dan menghapus air mataku dengan lembut. Kenapa semua menjadi serumit ini? Apa yang harus kulakukan sekarang?“Safa, Nenek, kami benar-benar minta maaf. Kami juga tidak menyangka Azzam akan melakukan perbuatan rendahan ini.”Aku memilih bungkam. Fokus pandanganku kini hanya serius menatap wajah Nenek yang semakin pucat. Tak ingin menghiraukan ucapan Pak Himawan, Papa dari lelaki yang sudah menghancurkan hatiku. Ya, memang dalam ruangan ini ked