Karena aku tahu Mas Afnan tidak akan banyak berulah kali ini. Dengan sengaja aku merangkul lengannya. Dia sempat melirikku sinis, tapi tetap tak melepaskan gelayutan manjaku ini. Haha, kita lihat seberapa tahan kamu tidak tergoda dengan pesonaku, Mas.
“Kalian nggak ada rencana bulan madu ke mana gitu?” tanya Papa kepada kami. Ya, saat ini kami tengah duduk-duduk santai di ruang keluarga sambil menonton TV.
“Safa sibuk mengajar di TPA.”
Seketika mataku membeliak. Kenapa Mas Afnan malah menjadikan aku tumbal? Halah, Mas. Bilang saja kalau kamu yang tak mau kita pergi. Malah menyalahkan orang lain! Nyebelin!
“Benar begitu, Saf?” tanya Mama kepadaku.
Saat aku membuka mulut hendak menjawab, Mas Afnan langsung menoleh kepadaku dan menatapku tajam. Seolah-olah dalam tatapan itu ia memperingatkan agar aku tidak menjawab apapun yang bertentangan dengannya.
Tahu saja lelaki itu kalau aku ingin menjawab yang berlawan
“Kamu yakin nggak mau kuantar, Saf? Ini udah malam loh. Mana hujan juga,” ucap Nilam yang terlihat khawatir padaku.Aku tersenyum meyakinkan dia. “Aku nggak papa. Ini cuma hujan kecil, kok.” Selagi tidak diikuti dengan petir, maka aku akan baik-baik saja. Lagipula, ini juga baru pukul delapan malam. Belum terlalu larut dan jalanan yang akan kulewati nanti biasanya masih ramai orang-orang.Nilam menghela nafas. “Kenapa nggak nelpon suami kamu aja sih, Saf. Minta dijemput gitu.”Aku hanya tersenyum. Tidak mungkin aku meminta dijemputnya setelah apa yang telah terjadi kemarin. Sejak kejadian itu, antara Mas Afnan dan aku belum terucap sepatah katapun.Tadi pagi saja saat aku hendak berangkat ke TPA, aku hanya menyiapkan sarapan untuknya dan berpamitan pergi. Tidak tahu ia memakan masakanku atau tidak, aku belum siap kalau harus berhadapan dengannya lagi.“Yaudah, kalau gitu aku duluan ya, Nil. Assalamu’a
Benar-benar pagi yang berbeda. Aku menggigit bibir bawah kuat. Debaran jantungku sejak bangun tadi pagi masih bergejolak hebat. Rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin. Biarlah satu dunia tahu kebahagiaan yang kini tengah aku rasakan.Masih terekam dengan jelas saat Mas Afnan memelukku semalam dan mengizinkan aku untuk tidur di kamarnya lagi. Bahkan, dengan tenang dan sabar dia mengelus kepalaku agar rasa kantukku hadir.Benar-benar malam yang indah. Andai saja Mas Afnan tahu kalau malam itu aku justru berdoa agar aku tidak diberikan rasa kantuk. Aku ingin lebih lama menikmati momen bersamanya.Huh, semoga saja ini menjadi awal rumah tangga kami yang membaik. Semoga setelah ini Mas Afnan berubah dan serius menerima pernikahan ini. Tak apa kalau dia belum mencintaiku. Asalkan dia mau bersikap hangat dan lembut saja, aku sudah sangat senang.Tap! Tap!Lamunanku dalam mengingat hal semalam tersadar seketika. Aku langsung menoleh cepat pada suara
Aku mendengus kesal karena Nilam yang sudah ngotot membawaku ke puskesmas. Dan kekesalanku itu semakin menjadi-jadi karena Nilam juga mengabari soal aku yang mual-mual tadi pada Nenek dan juga Mas Afnan.Lalu setelah melaporkan keadaanku pada mereka berdua, gadis itu malah berpamitan pergi. Menyebalkan! Awas saja nanti.Binar bahagia di wajah Nenek langsung terbit saja saat aku berkata alasan aku dibawa ke Puskesmas ini. “Masyaa Allah, Safa. jangan-jangan kamu hamil, Nak,” ujarnya yang membuat aku tercengang.Hamil? Tidak mungkinlah! Aku dan Mas Afnan belum pernah bermalam bersama. Jangankan hal-hal ekstrim begitu. Sekedar berpelukan yang murni tulus dari hati pun tak pernah.Justru, kalau aku hamil, akan menjadi masalah besar. Mas Afnan bisa-bisa mengira aku selingkuh.Tetapi, bagaimana caranya ya aku menjelaskan pada Nenek? Nenek sudah terlanjur sangat bahagia begitu. Aku jadi tak tega dan merasa bersalah.Apa aku bilang
Aku sama sekali tak mengerti apa maksudnya. Saat aku hendak pergi dari sisi kanan, Mas Afnan justru meletakkan tangan kirinya di samping tubuhku. Begitupun ketika aku hendak pergi dari sisi kiri.“Mas, kamu apa-apaan sih?” tanyaku yang mulai geram padanya.Mas Afnan hanya diam. Tatapan matanya menatapku dengan tatapan yang tak bisa dicerna. Bibirnya terkatup rapat.“Kenapa kamu mengatakan itu?” Barulah setelah sekian menit diam, Mas Afnan akhirnya buka suara.Aku mengerutkan kening. Mengatakan apa?“Apa kamu sadar apa akibat dari kebohongan kamu itu?” tanya Mas Afnan lagi. “Kamu bisa dipandang buruk, Safa!”Saat itulah, aku baru mengerti arah pembicaraannya ke mana. Aku tersenyum getir, lalu memberanikan diri membalas tatapannya. “Iya, aku sadar. Itu yang terbaik untuk kita. Dan juga ....” Aku menghela nafas pelan.“Itu juga akan mempermudah proses perceraian kita nanti
Karena waktu baru menunjukkan pukul sebelas siang, dengan terpaksa aku pulang ke rumahku sendiri. Eh, rumah Mas Afnan tepatnya.Huh, padahal aku berencana untuk tidur siang di rumah Nenek dan baru akan pulang nanti sore. Bosan sekali seharian di rumah, tanpa melakukan apa-apa. Atau aku buat kue saja. Nanti kue itu aku bagikan di TPA besok. Ya, sepertinya itu ide bagus.Cepat-cepat aku mengayuh sepeda menuju rumah. Sebelum adzan Zuhur berkumandang, aku harus sudah menyiapkan bahan-bahannya. Baru setelah shalat nanti, aku eksekusi semua bahan itu.Namun, betapa terkejutnya aku ketika baru melangkahkan kaki masuk ke rumah. Mataku membola sempurna melihat Mas Afnan yang ternyata sudah pulang. Kini, lelaki itu sedang fokus menatap ke layar laptopnya.Aku menelan ludah. Dengan gugup, aku kembali melanjutkan langkah.“As-assalamu’alaikum.”Mas Afnan tak menjawab. Ah, jangankan menjawab, sekedar melirikku saja tak dia lakukan. Bena
Entah sudah keberapa kali aku menguap karena menahan kantuk, dalam menyimak persidangan atas kasus yang dialami oleh Paman dari sahabatku, Nilam. Kalau bukan karena kasihan, tentu sudah sejak tadi aku meninggalkan ruangan ini. Tak betah sekali rasanya. Belum lagi, telinga yang terasa panas mendengar adu debat yang dilakukan kuasa hukum tersangka dengan kuasa hukum penuntut.“Masih lama nggak sih selesainya, Nil?” tanyaku dengan mata berair karena efek menahan kantuk ini. “Aku udah nggak kuat, aku keluar duluan aja ya.”Aku sudah bangun dari kursi dan hendak pergi, tetapi urung saat Nilam memegang tanganku. “Yah, Saf. Bentar dulu,” cegahnya dengan tatapan memelas. Tatapan yang membuatku merasa tak tega meninggalkannya.Aku menghela nafas pelan. Baiklah! Aku akan bersabar menunggu sebentar lagi. Selang beberapa menit kemudian, pandanganku spontan menoleh ke arah Nilam begitu hasil sidang diputuskan. Dia mendesah panjang dengan tatapan penuh kekecewaan karena kasus yang dialami pamannya
Dengan langkah-langkah yang lebar, aku keluar dari TPA tempat mengajar dan langsung mengambil sepeda yang terparkir di halaman. Jantungku bergejolak cepat, hampir mengimbangi kayuhan pada laju sepeda yang kunaiki kini menuju Puskesmas.Sepanjang perjalanan itu fikiranku amat kacau, membayangkan akan kondisi Nenek setelah mendapat kabar bahwa beliau baru saja jatuh dari kamar mandi. Semoga ia baik-baik saja, tak terbayang sehancur apa aku nanti kalau Nenek sampai kenapa-napa.Begitu sampai di Puskesmas, aku langsung melangkah masuk ke dalam dan mempertanyakan keberadaan Nenek pada Resepsionis yang berjaga.“Terima kasih, Sus.” Aku langsung berlari menuju kamar yang Suster itu katakan dan terenyak diam saat melihat Nenek yang terbaring di brankar. Senyum di wajahnya yang sudah mengkeriput itu muncul melihatku datang.“Nenek!” Aku langsung berlari menghampiri Nenek dan menangis di sana. “Nenek nggak kenapa-napa, kan?”Nenek tersenyum, lalu menggeleng. Satu tangannya terjulur mengusap pun
Hal yang kutakutkan kini menjadi kenyataan. TPA tempatku biasa mengajar akan mengadakan pengajian rutin yang dilakukan di Masjid Al-Ikhsan.“Tenang, Saf. Pasti Afnannya udah pulang, kok. Nggak mungkin seharian ada di Masjid, kan?” Nilam berusaha menenangkanku yang sedang kalut. “Percaya sama aku.”Aku menatapnya sejenak, lalu mengangguk. Semoga lelaki itu memang sudah pergi dan aku tidak akan menanggung malu untuk yang kedua kali.Namun, sayang beribu sayang. Harapan tidak kunjung menjadi nyata. Afnan, lelaki itu justru yang bertugas mengatur keberlangsungan acara bersama pihak DKM yang lain.Aku menghela nafas panjang. Ingin rasanya kabur detik ini juga. Namun, hal itu tak mungkin kulakukan karena akulah yang bertugas menjadi pembawa acara dalam pengajian kali ini.Tenang, Safa. Dia pasti nggak ingat sama kamu. Berulang kali aku menarik dan menghembuskan nafas secara pelan. Aku tidak boleh terlihat panik. Ustadzah Gina sudah memberikan amanah tugas dalam acara kali ini. Aku tidak bol
Karena waktu baru menunjukkan pukul sebelas siang, dengan terpaksa aku pulang ke rumahku sendiri. Eh, rumah Mas Afnan tepatnya.Huh, padahal aku berencana untuk tidur siang di rumah Nenek dan baru akan pulang nanti sore. Bosan sekali seharian di rumah, tanpa melakukan apa-apa. Atau aku buat kue saja. Nanti kue itu aku bagikan di TPA besok. Ya, sepertinya itu ide bagus.Cepat-cepat aku mengayuh sepeda menuju rumah. Sebelum adzan Zuhur berkumandang, aku harus sudah menyiapkan bahan-bahannya. Baru setelah shalat nanti, aku eksekusi semua bahan itu.Namun, betapa terkejutnya aku ketika baru melangkahkan kaki masuk ke rumah. Mataku membola sempurna melihat Mas Afnan yang ternyata sudah pulang. Kini, lelaki itu sedang fokus menatap ke layar laptopnya.Aku menelan ludah. Dengan gugup, aku kembali melanjutkan langkah.“As-assalamu’alaikum.”Mas Afnan tak menjawab. Ah, jangankan menjawab, sekedar melirikku saja tak dia lakukan. Bena
Aku sama sekali tak mengerti apa maksudnya. Saat aku hendak pergi dari sisi kanan, Mas Afnan justru meletakkan tangan kirinya di samping tubuhku. Begitupun ketika aku hendak pergi dari sisi kiri.“Mas, kamu apa-apaan sih?” tanyaku yang mulai geram padanya.Mas Afnan hanya diam. Tatapan matanya menatapku dengan tatapan yang tak bisa dicerna. Bibirnya terkatup rapat.“Kenapa kamu mengatakan itu?” Barulah setelah sekian menit diam, Mas Afnan akhirnya buka suara.Aku mengerutkan kening. Mengatakan apa?“Apa kamu sadar apa akibat dari kebohongan kamu itu?” tanya Mas Afnan lagi. “Kamu bisa dipandang buruk, Safa!”Saat itulah, aku baru mengerti arah pembicaraannya ke mana. Aku tersenyum getir, lalu memberanikan diri membalas tatapannya. “Iya, aku sadar. Itu yang terbaik untuk kita. Dan juga ....” Aku menghela nafas pelan.“Itu juga akan mempermudah proses perceraian kita nanti
Aku mendengus kesal karena Nilam yang sudah ngotot membawaku ke puskesmas. Dan kekesalanku itu semakin menjadi-jadi karena Nilam juga mengabari soal aku yang mual-mual tadi pada Nenek dan juga Mas Afnan.Lalu setelah melaporkan keadaanku pada mereka berdua, gadis itu malah berpamitan pergi. Menyebalkan! Awas saja nanti.Binar bahagia di wajah Nenek langsung terbit saja saat aku berkata alasan aku dibawa ke Puskesmas ini. “Masyaa Allah, Safa. jangan-jangan kamu hamil, Nak,” ujarnya yang membuat aku tercengang.Hamil? Tidak mungkinlah! Aku dan Mas Afnan belum pernah bermalam bersama. Jangankan hal-hal ekstrim begitu. Sekedar berpelukan yang murni tulus dari hati pun tak pernah.Justru, kalau aku hamil, akan menjadi masalah besar. Mas Afnan bisa-bisa mengira aku selingkuh.Tetapi, bagaimana caranya ya aku menjelaskan pada Nenek? Nenek sudah terlanjur sangat bahagia begitu. Aku jadi tak tega dan merasa bersalah.Apa aku bilang
Benar-benar pagi yang berbeda. Aku menggigit bibir bawah kuat. Debaran jantungku sejak bangun tadi pagi masih bergejolak hebat. Rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin. Biarlah satu dunia tahu kebahagiaan yang kini tengah aku rasakan.Masih terekam dengan jelas saat Mas Afnan memelukku semalam dan mengizinkan aku untuk tidur di kamarnya lagi. Bahkan, dengan tenang dan sabar dia mengelus kepalaku agar rasa kantukku hadir.Benar-benar malam yang indah. Andai saja Mas Afnan tahu kalau malam itu aku justru berdoa agar aku tidak diberikan rasa kantuk. Aku ingin lebih lama menikmati momen bersamanya.Huh, semoga saja ini menjadi awal rumah tangga kami yang membaik. Semoga setelah ini Mas Afnan berubah dan serius menerima pernikahan ini. Tak apa kalau dia belum mencintaiku. Asalkan dia mau bersikap hangat dan lembut saja, aku sudah sangat senang.Tap! Tap!Lamunanku dalam mengingat hal semalam tersadar seketika. Aku langsung menoleh cepat pada suara
“Kamu yakin nggak mau kuantar, Saf? Ini udah malam loh. Mana hujan juga,” ucap Nilam yang terlihat khawatir padaku.Aku tersenyum meyakinkan dia. “Aku nggak papa. Ini cuma hujan kecil, kok.” Selagi tidak diikuti dengan petir, maka aku akan baik-baik saja. Lagipula, ini juga baru pukul delapan malam. Belum terlalu larut dan jalanan yang akan kulewati nanti biasanya masih ramai orang-orang.Nilam menghela nafas. “Kenapa nggak nelpon suami kamu aja sih, Saf. Minta dijemput gitu.”Aku hanya tersenyum. Tidak mungkin aku meminta dijemputnya setelah apa yang telah terjadi kemarin. Sejak kejadian itu, antara Mas Afnan dan aku belum terucap sepatah katapun.Tadi pagi saja saat aku hendak berangkat ke TPA, aku hanya menyiapkan sarapan untuknya dan berpamitan pergi. Tidak tahu ia memakan masakanku atau tidak, aku belum siap kalau harus berhadapan dengannya lagi.“Yaudah, kalau gitu aku duluan ya, Nil. Assalamu’a
Karena aku tahu Mas Afnan tidak akan banyak berulah kali ini. Dengan sengaja aku merangkul lengannya. Dia sempat melirikku sinis, tapi tetap tak melepaskan gelayutan manjaku ini. Haha, kita lihat seberapa tahan kamu tidak tergoda dengan pesonaku, Mas.“Kalian nggak ada rencana bulan madu ke mana gitu?” tanya Papa kepada kami. Ya, saat ini kami tengah duduk-duduk santai di ruang keluarga sambil menonton TV.“Safa sibuk mengajar di TPA.”Seketika mataku membeliak. Kenapa Mas Afnan malah menjadikan aku tumbal? Halah, Mas. Bilang saja kalau kamu yang tak mau kita pergi. Malah menyalahkan orang lain! Nyebelin!“Benar begitu, Saf?” tanya Mama kepadaku.Saat aku membuka mulut hendak menjawab, Mas Afnan langsung menoleh kepadaku dan menatapku tajam. Seolah-olah dalam tatapan itu ia memperingatkan agar aku tidak menjawab apapun yang bertentangan dengannya.Tahu saja lelaki itu kalau aku ingin menjawab yang berlawan
Karena Mama dan Papa memutuskan menginap di rumah kami, meski dengan berat hati dan wajah yang sangat jelas menunjukkan kejengkelan, Mas Afnan meminta aku tidur di kamarnya untuk malam ini.Tapi, bukan berarti kita juga satu ranjang. Tidak! Mas Afnan akan tidur di sofa panjang dan akulah yang tidur di kasurnya.“Aku takut kamu tak bisa mengendalikan diri kalau kita seranjang. “ Itu yang dia katakan saat aku mempertanyakan alasan kami yang tetap tidur di tempat terpisah walau sudah satu kamar.Cukup salut juga aku padanya. Imannya begitu kuat hingga tak tergoda oleh rayuan perempuan. Sekalipun, perempuan itu adalah istrinya sendiri. Mungkin lain lagi ya ceritanya kalau istrinya itu adalah perempuan yang ia cintai.Tunggu! Aku jadi penasaran. Sebenarnya kriteria istri idaman menurut Mas Afnan itu seperti apa sih? Kalau aku berusaha menjadi seperti itu, mungkinkah Mas Afnan akan mulai menerima pernikahan ini dan mau belajar mencintaiku?Sa
“Kalau gitu, aku duluan ya, Saf.” Nilam beranjak bangun dari duduknya dan berpamitan pergi. Tepat tak lama dari itu, aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Tanpa perlu menoleh, sudah pasti itu Mas Afnan. Lewat sudut mata, aku melihat Mas Afnan mengambil tempat duduk tepat di depanku kini.“Jangan GR! Aku ke sini karena Mama kirim pesan, katanya mereka akan datang ke rumah.”Aku menelan ludah berat. Haha, memang apa yang kamu fikirkan, Safa? Dia datang ke sini karena inisiatif sendiri begitu? Itu jelas mustahil!...Sebelum ke rumah, aku dan Mas Afnan memutuskan mampir dulu ke pasar untuk berbelanja bahan masakan di dapur. Ya setidaknya ada satu kebaikan yang dilakukan Mas Afnan, dibalik sikap dingin dan ucapan kasarnya padaku selama ini, yaitu; dia tidak lupa akan kewajibannya dalam memberikan aku nafkah secara zahir.Aku sampai terkaget-kaget saat melihat nominal uang yang dikirim Mas Afnan tadi saat di mobil. Uang seba
Sudah tiga minggu berlalu dari hari pernikahan kami berlangsung, Mas Afnan masih tetap berperilaku sama. Dingin dan tak peduli. Tetapi kalau marah, ucapannya selalu tak terkontrol. Aku merasa semakin hari, semakin Mas Afnan terasa jauh untuk kugapai.Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatku untuk menarik perhatiannya. Selama dua minggu belakangan ini, berbagai upaya kulakukan untuk membuat dia melirikku barang sedetik saja.Aku juga selalu berusaha tampil menarik di depannya. Kadang juga berpakaian agak terbuka demi membuat dia luluh. Untuk sekarang memang belum, tapi aku yakin suatu saat nanti upayaku ini akan membuahkan hasil.Karena, ini semua sudah bukan lagi tentangku. Semua ini kulakukan demi Nenek. Saat kunjunganku terakhir tiga mingguan yang lalu, Nenek bercerita kalau dia mimpi bermain dengan seorang bocah laki-laki sekitar tiga tahunan yang lucu dan menggemaskan.Saat aku bertanya siapakah anak itu, dengan senyuman lebar dan sepasang ma