Entah sudah keberapa kali aku menguap karena menahan kantuk, dalam menyimak persidangan atas kasus yang dialami oleh Paman dari sahabatku, Nilam. Kalau bukan karena kasihan, tentu sudah sejak tadi aku meninggalkan ruangan ini. Tak betah sekali rasanya. Belum lagi, telinga yang terasa panas mendengar adu debat yang dilakukan kuasa hukum tersangka dengan kuasa hukum penuntut.
“Masih lama nggak sih selesainya, Nil?” tanyaku dengan mata berair karena efek menahan kantuk ini. “Aku udah nggak kuat, aku keluar duluan aja ya.”
Aku sudah bangun dari kursi dan hendak pergi, tetapi urung saat Nilam memegang tanganku. “Yah, Saf. Bentar dulu,” cegahnya dengan tatapan memelas. Tatapan yang membuatku merasa tak tega meninggalkannya.
Aku menghela nafas pelan. Baiklah! Aku akan bersabar menunggu sebentar lagi. Selang beberapa menit kemudian, pandanganku spontan menoleh ke arah Nilam begitu hasil sidang diputuskan. Dia mendesah panjang dengan tatapan penuh kekecewaan karena kasus yang dialami pamannya kini mengalami kekalahan. Wajahnya berubah mendung.
“Padahal aku yakin banget Om aku cuma difitnah. Dia nggak mungkin melakukan penggelapan dana ke Bagaskara Group. Aku yakin itu cuma jebakan.”
Berhubung tak tahu asal masalahnya seperti apa, yang kulakukan saat itu hanya manggut-manggut saja sambil sesekali mengusap punggungnya yang sudah bergetar. Tak tahu siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi jika dilihat dari pembelaan serta bukti yang ditunjukkan kuasa hukum penuntut tadi, rasanya mustahil kalau itu cuma jebakan. “Sekarang gimana? Kamu mau langsung pulang?” tanyaku.
“Aku mau nemuin Om aku dulu ya, San. Kamu keluar dulu aja!” sahut Nilam.
Aku mengangguk dan bangkit dari duduk meninggalkan ia yang sudah melangkah duluan menemui pamannya. Sebenarnya, ada rasa prihatin yang hadir dalam benakku untuk Nilam. Satu-satunya anggota keluarga yang sudah mengurus sejak kecil dan setia menemaninya hingga sebesar sekarang, kini harus hidup dalam jeruji besi. Setelah ini, Nilam akan sendirian.
Sama sepertiku. Setelah Mama dan Papa pergi saat usiaku masih 7 tahun, aku memutuskan tinggal bersama Nenek di desa. Hanya Nenek satu-satunya yang selalu ada untukku baik suka ataupun duka. Kalau suatu saat Nenek pergi, hidupku juga akan hancur.
...
Pandanganku menatap sekitar. Tidak ada yang menarik perhatian di ruang persidangan ini, aku memutuskan melangkah menuju taman di depan sana. Sambil berjalan ke sana, aku mengambil ponsel dari dalam tas, berniat untuk menghubungi Nenek dan menanyakan keadaannya. Sudah lebih dari tiga jam aku meninggalkannya sendiri, semoga tidak terjadi apapun pada beliau.
Loh? Kenapa tidak ada sinyal? Oh, mungkin di depan sana ada. Dengan langkah lebar-lebar sambil terus menatap ke arah ponsel, aku mencoba mencari sinyal agar bisa menghubungi Nenek.
Namun, sesuatu yang tak terduga dan hampir membuat jantungku lepas dari tempatnya terjadi saat sampai di belokan koridor. Tubuhku menabrak seseorang dengan keras hingga jatuh menimpanya. Mataku membulat sempurna saat sadar minuman yang sejak tadi kupegang tumpah mengenai jas lelaki yang kutabrak barusan.
“Astaghfirullah ....” Dengan cepat, aku langsung bergerak bangun dan menatap nanar jas yang dikenakan lelaki itu. Sudah basah akibat ketumpahan minumanku tadi.
Lelaki pemilik netra tajam setajam elang itu ikut bangun dan menghadapku dengan tatapan sangar. Dengan gugup dan ketakutan yang mencuat, aku menelan ludah dengan berat, tak berani menatap matanya.
“kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan?” tanyanya yang terdengar begitu dingin di telingaku.
Aku mengangguk kaku. Menarik nafas dalam-dalam, aku memberanikan diri mengangkat wajah dan menatap pada sepasang mata hitam legamnya. “A-aku minta maaf.”
“Maaf?” terlihat senyum miring di wajah tampannya. Ya, tampan. Ku akui dia memang tampan.
“Kamu sudah menabrak saya dan membuat pakaian saya basah! Maka—”
“Apa? Maka apa? Mau bilang maka saya akan menikahi kamu?” serobotku dengan cepat tanpa permisi.
“Hah?”
Aku berdecak, lalu menyilangkan tangan di depan dada.”Nggak usah cosplay kaya di novel-novel gitu, Mas! Kita itu tabrakan nggak sengaja, Allah Maha tahu dan Allah Maha Pengampun.” Dia memang tampan. Tetapi, aku tak mau kalau harus menikah hanya karena insiden kecil ini. Memang sih, di satu novel yang aku baca, cerita mereka berakhir happy ending. Tapi belum tentu berakhir sama kalau terjadi di dunia nyata.
“Apa maksud kamu?” Lelaki itu malah geleng-geleng kepala. Loh? Kenapa dia?
“Saya mau katakan makanya kalau jalan hati-hati!”
Hah? Ya Allah!
Kedua mataku sontak terbelalak lebar. Gawat! Aku sudah salah persepsi. Oh Tuhan, tolong tenggelamkan aku ke dasar bumi sekarang juga!
“Apa kamu fikir saya sudah gila karena mau menikahi wanita yang saya tabrak begitu saja?” ucapnya terdengar sangat lantang.
Aku menggigit bibir bawah kuat-kuat. Kepalaku tertunduk dalam. Melalui ekor mata, aku melirik lelaki itu yang kini berdecak pelan, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. Mata tajam itu rupanya tengah mencari benda pipih yang berada tak jauh dari posisiku berdiri kini.
Menelan ludah sejenak. Aku langsung mengalihkan pandangan ke arah lain saat lelaki itu mengambil ponselnya dan kembali melanjutkan telepon. Sepertinya tidak rusak. Baguslah! Aku tidak perlu repot-repot ganti rugi.
Melalui ekor mata juga, aku melihat dia sempat melirikku sekilas, kemudian melenggang pergi. Saat itulah, aku akhirnya dapat bernafas lega. Namun, jantungku lagi-lagi mencelos saat merasakan tepukan lembut di bahu. Apa jangan-jangan ada orang lain di sini?
Segera aku membalikkan tubuh dan mataku melotot sempurna melihat Nilam. Dia tidak melihat yang terjadi tadi, ‘kan?
“Ni-Nilam, kamu sejak kapan di sini?”
Bukannya menjawab, Nilam malah terkekeh geli sambil menggeleng berulang kali. “Saf, barusan kamu ... ngira dia bakal nikahin kamu? Ya Allah, Safa! Safa! Kamu ada-ada aja.”
Seketika seluruh persendianku terasa lemas. Lengkap sudah harga diriku jatuh hari ini. Ternyata Nilam juga melihat pertunjukan menyebalkan nan memalukan tadi.
“Nggak semua adegan di novel berakhir sama juga di kehidupan nyata,” celetuk Nilam masih dengan tawa yang mengudara.
Aku mendengus. Ingin rasanya mencubit dia yang masih asyik tertawa. Dasar teman durhaka. Awas saja.
“Kamu udah minta maaf sama dia belum?” tanyanya yang membuat aku langsung menatap ke arahnya dengan wajah sangar. Minta maaf? Seketika aku meringis kecil.
“Gimana mau minta maaf? Lihat mukanya aja aku nggak bisa karena malu, Nilam. Hih! Semoga aja aku nggak pernah nemuin dia lagi.” Aku menarik nafas dalam-dalam. Menatap sinis pada Nilam yang masih saja tertawa.
“Kamu mau sampai kapan ngetawain aku? Yaudah, aku pulang duluan!” Dengan wajah kesaldan hati yang teramat dongkol, aku melangkah pergi meninggalkan Nilam.
“Safa, tungguin!”
Teriakannya sama sekali tak kugubris. Aku justru semakin mempercepat langkahku. Menyebalkan! Ini semua karena laki-laki tak jelas itu.
...
Sampai di penginapan, aku langsung membuka pintu kamar dengan masih mempertahankan wajah cemberut. Langsung duduk di sofa dan menyandarkan kepala di sana, mataku mendelik tajam pada Nilam yang lagi-lagi membahas soal kejadian tadi.
“Iya-iya, aku tahu aku memang konyol.” Setelah berkata demikian, aku langsung memindahkan posisi ke samping kiri untuk membelakanginya. Niat untuk tidur seketika urung saat ponsel yang di dalam tas bergetar. Segera, kuambil ponsel itu dan hatiku langsung membuncah bahagia melihat di room chat, ada satu chat masuk dari dia.
“So sweet!” Hampir saja aku melemparkan ponsel dalam genggaman karena terlonjak kaget dengan Nilam yang tiba-tiba menyahut.
“Jangan kepo ya!” Tatapan sengit kukeluarkan pada perempuan itu.
Nilam geleng-geleng kepala. “Udah punya pacar juga, tapi kenapa malah ngarep dinikahin sama cowok lain?” ledeknya.
Lagi dan lagi dia membahas kejadian tadi. Tak berminat meladeni, akupun langsung melenggang pergi menuju kamar mandi.
Siapapun laki-laki itu, aku berharap kita tidak akan pernah dipertemukan lagi. Tak terbayang mau di kemanakan wajahku nanti kalau kembali berpapasan. Ya, semoga saja pertemuan tadi adalah pertemuan pertama dan terakhir.
Dengan langkah-langkah yang lebar, aku keluar dari TPA tempat mengajar dan langsung mengambil sepeda yang terparkir di halaman. Jantungku bergejolak cepat, hampir mengimbangi kayuhan pada laju sepeda yang kunaiki kini menuju Puskesmas.Sepanjang perjalanan itu fikiranku amat kacau, membayangkan akan kondisi Nenek setelah mendapat kabar bahwa beliau baru saja jatuh dari kamar mandi. Semoga ia baik-baik saja, tak terbayang sehancur apa aku nanti kalau Nenek sampai kenapa-napa.Begitu sampai di Puskesmas, aku langsung melangkah masuk ke dalam dan mempertanyakan keberadaan Nenek pada Resepsionis yang berjaga.“Terima kasih, Sus.” Aku langsung berlari menuju kamar yang Suster itu katakan dan terenyak diam saat melihat Nenek yang terbaring di brankar. Senyum di wajahnya yang sudah mengkeriput itu muncul melihatku datang.“Nenek!” Aku langsung berlari menghampiri Nenek dan menangis di sana. “Nenek nggak kenapa-napa, kan?”Nenek tersenyum, lalu menggeleng. Satu tangannya terjulur mengusap pun
Hal yang kutakutkan kini menjadi kenyataan. TPA tempatku biasa mengajar akan mengadakan pengajian rutin yang dilakukan di Masjid Al-Ikhsan.“Tenang, Saf. Pasti Afnannya udah pulang, kok. Nggak mungkin seharian ada di Masjid, kan?” Nilam berusaha menenangkanku yang sedang kalut. “Percaya sama aku.”Aku menatapnya sejenak, lalu mengangguk. Semoga lelaki itu memang sudah pergi dan aku tidak akan menanggung malu untuk yang kedua kali.Namun, sayang beribu sayang. Harapan tidak kunjung menjadi nyata. Afnan, lelaki itu justru yang bertugas mengatur keberlangsungan acara bersama pihak DKM yang lain.Aku menghela nafas panjang. Ingin rasanya kabur detik ini juga. Namun, hal itu tak mungkin kulakukan karena akulah yang bertugas menjadi pembawa acara dalam pengajian kali ini.Tenang, Safa. Dia pasti nggak ingat sama kamu. Berulang kali aku menarik dan menghembuskan nafas secara pelan. Aku tidak boleh terlihat panik. Ustadzah Gina sudah memberikan amanah tugas dalam acara kali ini. Aku tidak bol
“Tapi aku takut ....” Tatapanku tertunduk dalam-dalam. “Aku belum bisa bahagiain Nenek, Zam. Aku belum bisa buat dia bangga sama aku.” Setetes air mata di pelupuk mataku jatuh. Dadaku selalu terasa sesak jika mengingat kondisi Nenek yang akhir-akhir ini, kondisi kesehatannya semakin menurun.Siapa yang akan siap siaga memelukku ketika ada suara petir di malam hari nanti? Siapa yang akan mencium keningku saat mau berangkat mengajar? Siapa yang akan cerewet mengingatkanku sarapan bila terburu-buru pergi ke TPA?Tidak! Aku tak akan sanggup membayangkan hari-hariku tanpa nenek.“Hei, tenang.”Bukannya tenang, tangisku semakin tak bisa dihentikan. Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Di tengah isakan itu, aku tertegun saat merasakan tubuhku yang ditarik pelan. Beberapa detik kemudian, dekapan hangat mulai kurasakan.“Ada aku di sini, kan? Semua pasti baik-baik saja.”Sesaat aku memang tersentuh atas perilaku Azzam, tetapi beberapa menit kemudian, aku langsung menarik diri dari dekapan
Semua kebingungan di benakku akhirnya terpecahkan. Segala pertanyaan yang hinggap di kepala kini sudah terjawab. Sekarang apa yang harus kulakukan? Tidak ada. Semua sudah hancur sekarang. Segala angan dan harapan yang kupupuk bersamanya kini telah sirna tak berbekas.Hatiku sakit. Sakit sekali. Dia yang sangat kutunggu kehadirannya untuk mengucap akad, ternyata sudah mengucap akad atas nama gadis lain.Entah apa yang harus kujelaskan pada Nenek. Aku takut berita ini akan membuat kesehatan Nenek menurun lagi.“Safa!”Aku tertegun. Itu suara Nilam. Tetapi, kenapa dia ada di sini? “Kalau mau nangis, nangis aja, Saf! Aku tahu kamu lagi nggak baik-baik aja sekarang.” Suaranya bergetar dan serak. Dia pasti menangis juga. Duhai Allah, apa-apaan ini? Harusnya hari ini aku memberikan warna kebahagiaan pada mereka, tapi aku justru malah membuat mereka meneteskan air mata untukku.“Kamu sama siapa ke Jakarta, Nilam? Bukannya kamu ada tugas penting di desa?”“Aku nggak mungkin tenang, Safa. Apa
Seperti seakan baru saja mengalami satu detakan cepat saat Dokter mengatakan Nenek sudah tak punya banyak waktu lagi. Tak disangka, Nenek ternyata mengidap kanker paru-paru dan sekarang sudah memasuki stadium lanjut.Ya Allah, aku menangis sejadi-jadinya saat memasuki ruangan Nenek. Ternyata ini maksud dari keresahan hatiku selama ini. Aku adalah cucu yang buruk. Bisa-bisanya aku tak pernah tahu akan sakit yang sedang dideritanya selama ini.“Jangan nangis, Cucuku sayang.”Aku semakin terisak kuat kala merasakan jari jemari Nenekku menyentuh pipi dan menghapus air mataku dengan lembut. Kenapa semua menjadi serumit ini? Apa yang harus kulakukan sekarang?“Safa, Nenek, kami benar-benar minta maaf. Kami juga tidak menyangka Azzam akan melakukan perbuatan rendahan ini.”Aku memilih bungkam. Fokus pandanganku kini hanya serius menatap wajah Nenek yang semakin pucat. Tak ingin menghiraukan ucapan Pak Himawan, Papa dari lelaki yang sudah menghancurkan hatiku. Ya, memang dalam ruangan ini ked
Laki-laki yang sudah rapih dengan setelan kaos polos coklat dengan celana bahan hitam itu mengerutkan kening, saat netra matanya mengarah pada meja makan.Aku dibuat cemas dengan sikapnya tersebut. Entah apa yang ia fikirkan saat melihat masakan yang kubuat pagi ini. Apa ada yang kurang? Atau tak ada makanan yang ia suka? Entahlah! Aku tak berani untuk menanyakan secara langsung. Alhasil yang kulakukan sekarang hanya diam, berdiri tepat di hadapannya dengan kedua tangan saling meremas kuat.“Ini semua kamu yang masak?”Aku mengangguk. Kalau bukan aku memang siapa lagi? Di rumah ini hanya ada kami berdua. Kedua Mertuaku, Mama Diana dan Papa Himawan ada urusan keluar. Masa iya hantu? Ada-ada saja pertanyaan suamiku itu.“Kenapa?”“Kenapa?” Aku mengerjap bingung. Kenapa apanya? Tunggu-tunggu! Ini aku yang lambat mikir atau memang pertanyaan dia yang aneh?Terdengar helaan nafas kasar darinya. Loh, ada apa ini
Mataku membulat sempurna. Ya Rabb! Apa yang sudah kulakukan? Dengan cepat aku melepaskan pelukan itu dan bergerak menjauh. Matilah aku! Kenapa aku malah memeluk Mas Afnan?“Kamu sengaja memancingku ya?” tudingnya.Aku terperangah dan menatapnya tajam. “Enggaklah!” jawabku cepat dan memalingkan wajah. Wajah yang terasa sudah sangat panas ini. Memancing apa? Tak mungkin aku akan bertindak serendahan itu. Ya, walaupun dia memang suamiku, tapi ‘kan pernikahan kami sebatas kontrak. Seperti yang sering ia bilang.Melalui ekor mata, aku melihat Mas Afnan menggelengkan kepala berulang kali dengan tatapan datarnya. Jeda seperkian detik, ia langsung melenggang pergi keluar kamar.Aku mendesah lega, tapi tunggu, aku baru teringat kalau ... seketika aku langsung terbeliak saat sadar kalau aku masih mengenakan handuk di atas lutut. Ya Allah! Benar-benar tak terselamatkan. Bisa-bisanya aku berpenampilan seperti ini sambil memeluknya tadi.
“Kamar kamu di sebelah sana!” tunjuk Mas Afnan sambil mengarahkan jarinya ke arah kamar di sebelah pojok. Sudah kuduga. Karena di sini tak ada yang mengawasi kami, Mas Afnan pasti ingin kamar kami terpisah.“Ya-ya.” Malas berdebat, aku langsung mengangkat tasku dan berjalan masuk. Kira-kira baru tiga langkah aku berjalan, Mas Afnan kembali memanggilku. Ya Allah! Mau apa lagi sih dia?“Kenapa lagi, Mas?” Aku memaksakan senyum begitu berhadapan dengannya. Tubuhku sudah sangat lelah, aku ingin segera istirahat.“Jangan coba-coba masuk ke kamarku!”Hah? Bola mataku mengerjap lebar. Apa maksudnya?Mas Afnan langsung melenggang pergi tanpa rasa bersalah setelah berucap demikian. Benar-benar! Sungguh, aku tak habis fikir. Dia fikir aku ini apa?...Keesokan paginya, aku memutuskan mengunjungi Nenek yang masih dirawat di Puskesmas Desa. Senyum di wajahnya menentramkan hatiku yang sedang gundah.
Aku mendengus kesal karena Nilam yang sudah ngotot membawaku ke puskesmas. Dan kekesalanku itu semakin menjadi-jadi karena Nilam juga mengabari soal aku yang mual-mual tadi pada Nenek dan juga Mas Afnan.Lalu setelah melaporkan keadaanku pada mereka berdua, gadis itu malah berpamitan pergi. Menyebalkan! Awas saja nanti.Binar bahagia di wajah Nenek langsung terbit saja saat aku berkata alasan aku dibawa ke Puskesmas ini. “Masyaa Allah, Safa. jangan-jangan kamu hamil, Nak,” ujarnya yang membuat aku tercengang.Hamil? Tidak mungkinlah! Aku dan Mas Afnan belum pernah bermalam bersama. Jangankan hal-hal ekstrim begitu. Sekedar berpelukan yang murni tulus dari hati pun tak pernah.Justru, kalau aku hamil, akan menjadi masalah besar. Mas Afnan bisa-bisa mengira aku selingkuh.Tetapi, bagaimana caranya ya aku menjelaskan pada Nenek? Nenek sudah terlanjur sangat bahagia begitu. Aku jadi tak tega dan merasa bersalah.Apa aku bilang
Benar-benar pagi yang berbeda. Aku menggigit bibir bawah kuat. Debaran jantungku sejak bangun tadi pagi masih bergejolak hebat. Rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin. Biarlah satu dunia tahu kebahagiaan yang kini tengah aku rasakan.Masih terekam dengan jelas saat Mas Afnan memelukku semalam dan mengizinkan aku untuk tidur di kamarnya lagi. Bahkan, dengan tenang dan sabar dia mengelus kepalaku agar rasa kantukku hadir.Benar-benar malam yang indah. Andai saja Mas Afnan tahu kalau malam itu aku justru berdoa agar aku tidak diberikan rasa kantuk. Aku ingin lebih lama menikmati momen bersamanya.Huh, semoga saja ini menjadi awal rumah tangga kami yang membaik. Semoga setelah ini Mas Afnan berubah dan serius menerima pernikahan ini. Tak apa kalau dia belum mencintaiku. Asalkan dia mau bersikap hangat dan lembut saja, aku sudah sangat senang.Tap! Tap!Lamunanku dalam mengingat hal semalam tersadar seketika. Aku langsung menoleh cepat pada suara
“Kamu yakin nggak mau kuantar, Saf? Ini udah malam loh. Mana hujan juga,” ucap Nilam yang terlihat khawatir padaku.Aku tersenyum meyakinkan dia. “Aku nggak papa. Ini cuma hujan kecil, kok.” Selagi tidak diikuti dengan petir, maka aku akan baik-baik saja. Lagipula, ini juga baru pukul delapan malam. Belum terlalu larut dan jalanan yang akan kulewati nanti biasanya masih ramai orang-orang.Nilam menghela nafas. “Kenapa nggak nelpon suami kamu aja sih, Saf. Minta dijemput gitu.”Aku hanya tersenyum. Tidak mungkin aku meminta dijemputnya setelah apa yang telah terjadi kemarin. Sejak kejadian itu, antara Mas Afnan dan aku belum terucap sepatah katapun.Tadi pagi saja saat aku hendak berangkat ke TPA, aku hanya menyiapkan sarapan untuknya dan berpamitan pergi. Tidak tahu ia memakan masakanku atau tidak, aku belum siap kalau harus berhadapan dengannya lagi.“Yaudah, kalau gitu aku duluan ya, Nil. Assalamu’a
Karena aku tahu Mas Afnan tidak akan banyak berulah kali ini. Dengan sengaja aku merangkul lengannya. Dia sempat melirikku sinis, tapi tetap tak melepaskan gelayutan manjaku ini. Haha, kita lihat seberapa tahan kamu tidak tergoda dengan pesonaku, Mas.“Kalian nggak ada rencana bulan madu ke mana gitu?” tanya Papa kepada kami. Ya, saat ini kami tengah duduk-duduk santai di ruang keluarga sambil menonton TV.“Safa sibuk mengajar di TPA.”Seketika mataku membeliak. Kenapa Mas Afnan malah menjadikan aku tumbal? Halah, Mas. Bilang saja kalau kamu yang tak mau kita pergi. Malah menyalahkan orang lain! Nyebelin!“Benar begitu, Saf?” tanya Mama kepadaku.Saat aku membuka mulut hendak menjawab, Mas Afnan langsung menoleh kepadaku dan menatapku tajam. Seolah-olah dalam tatapan itu ia memperingatkan agar aku tidak menjawab apapun yang bertentangan dengannya.Tahu saja lelaki itu kalau aku ingin menjawab yang berlawan
Karena Mama dan Papa memutuskan menginap di rumah kami, meski dengan berat hati dan wajah yang sangat jelas menunjukkan kejengkelan, Mas Afnan meminta aku tidur di kamarnya untuk malam ini.Tapi, bukan berarti kita juga satu ranjang. Tidak! Mas Afnan akan tidur di sofa panjang dan akulah yang tidur di kasurnya.“Aku takut kamu tak bisa mengendalikan diri kalau kita seranjang. “ Itu yang dia katakan saat aku mempertanyakan alasan kami yang tetap tidur di tempat terpisah walau sudah satu kamar.Cukup salut juga aku padanya. Imannya begitu kuat hingga tak tergoda oleh rayuan perempuan. Sekalipun, perempuan itu adalah istrinya sendiri. Mungkin lain lagi ya ceritanya kalau istrinya itu adalah perempuan yang ia cintai.Tunggu! Aku jadi penasaran. Sebenarnya kriteria istri idaman menurut Mas Afnan itu seperti apa sih? Kalau aku berusaha menjadi seperti itu, mungkinkah Mas Afnan akan mulai menerima pernikahan ini dan mau belajar mencintaiku?Sa
“Kalau gitu, aku duluan ya, Saf.” Nilam beranjak bangun dari duduknya dan berpamitan pergi. Tepat tak lama dari itu, aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Tanpa perlu menoleh, sudah pasti itu Mas Afnan. Lewat sudut mata, aku melihat Mas Afnan mengambil tempat duduk tepat di depanku kini.“Jangan GR! Aku ke sini karena Mama kirim pesan, katanya mereka akan datang ke rumah.”Aku menelan ludah berat. Haha, memang apa yang kamu fikirkan, Safa? Dia datang ke sini karena inisiatif sendiri begitu? Itu jelas mustahil!...Sebelum ke rumah, aku dan Mas Afnan memutuskan mampir dulu ke pasar untuk berbelanja bahan masakan di dapur. Ya setidaknya ada satu kebaikan yang dilakukan Mas Afnan, dibalik sikap dingin dan ucapan kasarnya padaku selama ini, yaitu; dia tidak lupa akan kewajibannya dalam memberikan aku nafkah secara zahir.Aku sampai terkaget-kaget saat melihat nominal uang yang dikirim Mas Afnan tadi saat di mobil. Uang seba
Sudah tiga minggu berlalu dari hari pernikahan kami berlangsung, Mas Afnan masih tetap berperilaku sama. Dingin dan tak peduli. Tetapi kalau marah, ucapannya selalu tak terkontrol. Aku merasa semakin hari, semakin Mas Afnan terasa jauh untuk kugapai.Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatku untuk menarik perhatiannya. Selama dua minggu belakangan ini, berbagai upaya kulakukan untuk membuat dia melirikku barang sedetik saja.Aku juga selalu berusaha tampil menarik di depannya. Kadang juga berpakaian agak terbuka demi membuat dia luluh. Untuk sekarang memang belum, tapi aku yakin suatu saat nanti upayaku ini akan membuahkan hasil.Karena, ini semua sudah bukan lagi tentangku. Semua ini kulakukan demi Nenek. Saat kunjunganku terakhir tiga mingguan yang lalu, Nenek bercerita kalau dia mimpi bermain dengan seorang bocah laki-laki sekitar tiga tahunan yang lucu dan menggemaskan.Saat aku bertanya siapakah anak itu, dengan senyuman lebar dan sepasang ma
“Kamar kamu di sebelah sana!” tunjuk Mas Afnan sambil mengarahkan jarinya ke arah kamar di sebelah pojok. Sudah kuduga. Karena di sini tak ada yang mengawasi kami, Mas Afnan pasti ingin kamar kami terpisah.“Ya-ya.” Malas berdebat, aku langsung mengangkat tasku dan berjalan masuk. Kira-kira baru tiga langkah aku berjalan, Mas Afnan kembali memanggilku. Ya Allah! Mau apa lagi sih dia?“Kenapa lagi, Mas?” Aku memaksakan senyum begitu berhadapan dengannya. Tubuhku sudah sangat lelah, aku ingin segera istirahat.“Jangan coba-coba masuk ke kamarku!”Hah? Bola mataku mengerjap lebar. Apa maksudnya?Mas Afnan langsung melenggang pergi tanpa rasa bersalah setelah berucap demikian. Benar-benar! Sungguh, aku tak habis fikir. Dia fikir aku ini apa?...Keesokan paginya, aku memutuskan mengunjungi Nenek yang masih dirawat di Puskesmas Desa. Senyum di wajahnya menentramkan hatiku yang sedang gundah.
Mataku membulat sempurna. Ya Rabb! Apa yang sudah kulakukan? Dengan cepat aku melepaskan pelukan itu dan bergerak menjauh. Matilah aku! Kenapa aku malah memeluk Mas Afnan?“Kamu sengaja memancingku ya?” tudingnya.Aku terperangah dan menatapnya tajam. “Enggaklah!” jawabku cepat dan memalingkan wajah. Wajah yang terasa sudah sangat panas ini. Memancing apa? Tak mungkin aku akan bertindak serendahan itu. Ya, walaupun dia memang suamiku, tapi ‘kan pernikahan kami sebatas kontrak. Seperti yang sering ia bilang.Melalui ekor mata, aku melihat Mas Afnan menggelengkan kepala berulang kali dengan tatapan datarnya. Jeda seperkian detik, ia langsung melenggang pergi keluar kamar.Aku mendesah lega, tapi tunggu, aku baru teringat kalau ... seketika aku langsung terbeliak saat sadar kalau aku masih mengenakan handuk di atas lutut. Ya Allah! Benar-benar tak terselamatkan. Bisa-bisanya aku berpenampilan seperti ini sambil memeluknya tadi.