Aku hanya tersenyum masam saat Mamah mengatakan aku takkan memakai seragam dan dirias karena repot mempunyai anak kecil. Padahal kenyataannya, bukan seperti itu. Mamah berbuat demikian karena tak menyukaiku.
View More“Loh ... Teteh dari mana? Kok belum ganti baju?“ tanya Bibi Nani—istri paman suamiku—saat aku masuk ke ruang keluarga. Dimana para perempuan di keluarga Mas Hasan—suamiku—tengah sibuk mematut penampilan masing-masing.
Hari ini, Ningrum adik iparku akan menikah. Seperti lumrahnya, semua perempuan yang terlibat dalam acara akan dirias dan mengenakan seragam tapi tidak denganku.“Hanna nggak bakalan pake seragaman, nggak bakalan dirias juga. Dia punya anak kecil, Riweuh,“ jawab Mamah mertuaku. Beliau baru selesai dirias. Bulu mata anti badai membuat matanya terlihat seperti orang kelelahan. Belum lagi shading hidung yang bentuknya tak tepat, membuat penampilan Mamah jadi agak aneh.“Iya, Bi. Lagian susah juga kan, Teh Hanna sehari-hari pake gamis. Sedangkan seragaman kan kebaya dan rok jarik. Jadi nggak bakalan cocok,“ sahut Rika—istri Hadi, adik dekat Mas Hasan.
“Betul. Pasti aneh kalau Teh Hanna pake seragaman kek gini.“ Nuri—istri Haikal, adik kedua Mas Hasan—ikut menimpali seraya tersenyum sinis.
Aku hanya tersenyum masam. Pintar. Mertua dan istri ipar-iparku memang pintar bikin drama. Pintar pula berbohong. Padahal alasannya bukan itu. Mereka memang sengaja tak memesankan seragaman untukku. Aku tahu karena seminggu lalu saat menyapu di ruang keluarga, tak sengaja mendengar obrolan mereka tentang baju seragam keluarga.
“Mah, Ini seragamannya sudah jadi. Bikin tiga puluh lima potong sesuai nama-nama yang udah dilist. Kecuali Teh Hanna,“ kata Ningrum.
“Oh ya, bagus. Hanna nggak usah dikasih, malu-maluin. Dia miskin, nggak sekufu dengan kita,“ sahut Mamah.
“Iya Mah, jangan dirias juga ya. Rika takut kalah saing. Mamah sendiri tahu kan gimana Mas Hadi, dari dulu sering banget muji-muji Teh Hanna.“ Suara Rika terdengar begitu menyedihkan.
“Iya, Mah. Lagian dia kan sok alim, bajunya gombrang-gombrang, nggak cocok pake pake kebaya modis seperti ini.“ Nuri pun menambahi tak kalah pedas.
Aku yang mendengarnya, tentu sedih dan kecewa. Ternyata prasangkaku memang benar. Mamah pilih kasih dan mereka bertiga, Rika, Nuri dan Ningrum ... Ternyata menaruh dengki padaku. Apa salahku? Seingatku, selama ini tak pernah membuat masalah. Kalaupun karena Hadi menyukaiku, itu bukan keinginanku. Lagipula tak sedikit pun aku melayaninya dan justru sering menghindar.
Aku tak menyapu sampai selesai. Mood hancur seketika. Aku memilih masuk kamar, bermain dengan Khalid. Tak kupedulikan suara menggelegar Mamah yang protes karena sampah masih berserakan di depan kamar Ningrum. Saat Mas Hasan pulang dari kebun, kuceritakan semua yang mereka bicarakan.Bukannya kecewa, Mas Hasan justru tersenyum lebar. Membuat bibirku mengerucut sebal.
“Syukur deh kalau Adek nggak dikasih seragaman dan dirias.“ Begitu katanya.
“Kok gitu sih, Mas?“ Aku tak terima. Soalnya sudah lama aku memimpikannya. Dirias lalu difoto bertiga dengan Mas Hasan dan Khalid. Seperti yang dilakukan keluarga kecil lain.
“Gini ya, Dek ... Dalam islam, berhias itu diperbolehkan. Tapi ... Tidak sembarangan. Seorang istri boleh berhias hanya untuk suaminya. Kalau kamu besok dirias, nanti yang lihat kecantikanmu bukan Mas saja. Tapi tiap lelaki yang berpapasan sama kamu. Kamu mau mereka zina mata melihat karena melihat wajahmu?“
Aku menggeleng cepat.
“Terus masalah seragaman. Seragamannya kan kebaya, modelnya juga pada gitu ya, Dek. Ngepas badan alias membentuk lekuk tubuh. Dalam islam kan nggak diperbolehkan berpakaian seperti itu. Kalau Mas nggak keberatan alias mengizinkan, berarti Mas udah jadi suami dayyuts. Ih ... Naudzubillahi min dzalik,“ lanjutnya sambil bergidik ngeri.
Aku berpikir sejenak, mengingat-ingat berbagai perkataan Ustadzah Munawaroh tentang bertabbaruj dan yang dikatakan Mas Hasan memang pernah dikatakan juga oleh Ustadzah Munawaroh. Aku sontak menggelengkan kepala. Naudzubillah ya Allah.
“Terus kalau Ibu sama Ningrum? Gimana mereka, Mas? Mereka kan ...“ kataku yang langsung disela Mas Hasan.
“Tidak usah mikirin mereka, Dek. Mas udah pernah ngomong dan mereka tetep, ngotot. Malah ngatain Mas ini ngotot, jadi ya terserah mereka saja.“ Mas Hasan berkata sambil mengendikkan bahunya.
**
“Heh, Hanna! Kok malah melamun? Cepet kasih belanjaannya ke canori.“
Suara ketus Mamah membuatku tersentak kaget. Aku memang baru pulang dari pasar. Membeli bahan-bahan yang habis sebelum saatnya.
“Cepet sana!“ teriak Mamah membuat yang lain menoleh padaku. Aku pun segera melangkah ke arah dapur umum.
“Mantu saya yang itu memang beda dari yang lain. Dia pemalas, lelet pula.“
Saat aku sudah agak jauh, terdengar Mamah berkata demikian. Lagi-lagi aku hanya tersenyum masam. Mamah, sekeras apapun aku bekerja, tetap saja jadi bahan gunjingannya.
**
Setelah dari dapur umum, aku masuk kamar. Merebahkan diri di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Andai aku banyak harta ... mungkin tak akan seperti ini ceritanya. Mamah takkan memandang rendah, pun dengan ipar-iparku yang lain.
Astagfirullahal adziim ...
Kuusap dada pelan. Tak seharusnya berpikir demikian. Sebagai muslimah yang cukup paham agama, aku tak boleh berandai-andai. Itu sama saja memprotes takdir yang Allah beri.
“Hei Dek, lagi ngelamunin apa?“
Suara Mas Hasan membuatku menoleh. Dia dan Khalid putra kami sudah tampan dengan kemko berwarna lilac yang senada dengan gamisku.
“Hehe, nggak, Mas. Lagi suntuk aja,“ jawabku sambil tersenyum paksa.
Dia menghela napas panjang.
“Mamah bikin masalah lagi ya, Dek?“ tanyanya dengan nada berat. Mendengarnya sontak membuat netraku berkaca-kaca.
“Maafin Mamah ya, Dek,“ ucap Mas Hasan. Tangannya terulur menyentuh pipiku. Aku hanya mengangguk lalu menahan air mata yang bersiap meluncur.
“Cepat ganti baju, Dek. Akadnya sebentar lagi.“ Mas Hasan memberi perintah. Aku segera bangkit berdiri, lalu menyuruhnya keluar.
Kutatap pantulan diri di cermin. Gamis berbahan fursan emboss warna lilac dengan desain yang cantik dan pashmina instan syari membuat senyumku merekah. Warna dan desain gamis yang cantik membuatku merasa lebih muda beberapa tahun.
“Masya Allah, Umma cantik banget,“ kata Mas Hasan saat masuk kembali. Aku menutup wajah dengan tangan. Malu dan tersanjung mendengar pujiannya.
“Abaa emang makin pinter ngegombal,“ kataku sambil meninju pundaknya. Sontak Mas Hasan pun tertawa.
“Enggak kok, Mas nggak ngegombal. Adek memang cantik, kok.“ Senyumku kembali merekah. Mamah mertua mungkin memang tak menyukaiku, tapi tidak mengapa. Toh masih ada Mas Hasan yang melabuhkan hatinya padaku.
“Yaudah, ayo, Dek,“ katanya.“Mas duluan deh, mau beresin tempat tidur dulu. Acak-acakan nih,“ sahutku. Mas Hasan mengangguk dan kembali keluar kamar sambil menggendong Khalid.
Namun ketika merapihkan tempat tidur, pintu kembali terbuka.“Ada apa, Mas?“ tanyaku sambil membalikkan badan dan mata terbelalak sempurna saat tahu bukan Mas Hasan yang masuk.
“Kamu ... Mau ngapain ke kamarku?“ tanyaku. Bukannya menjawab, dia justru melangkah menghampiri. Membuatku ketakutan bukan main. Spontan aku mundur lalu mengambil raket nyamuk di atas lemari.
BMK 67Semenjak kehadiran Zayn, aku jadi sering dihantui ketakutan. Bayangan-bayangan yang seharusnya tak kuingat lagi, mendadak bermunculan. Mengganggu aktifitas serta tidur nyenyakku.”Mas perhatikan akhir-akhir ini Adek sering melamun. Adek ada masalah?” tanya Mas Hasan sambil menatapku lekat-lekat. Aku yang tengah menikmati mie ayam pun untuk sesaat berhenti mengunyah. Sibuk mengolah alasan yang tepat. Tak mungkin kan kukatakan kalau aku ... Ah, sudahlah.”Aku lagi pusing aja, Mas,” jawabku yang pada akhirnya langsung kusesali. Kenapa menjawab seperti itu? Nanti bisa saja Mas Hasan pasti bertanya lagi kan?”Pusing kenapa, Dek?”Tuh kan benar? Aku tersenyum kaku. Sebelum akhirnya bergelayut di lengannya.”Nggak tau, Mas. Mungkin efek beradaptasi punya bayi kembar,” jawabku sekena. Mas Hasan membulatkan bibir. Ah, semoga saja dia mempercayai jawabanku.”Mau jalan-jalan?”Penawarannya membuatku cukup tersentak. Tapi tak membuatku begitu tertarik. Aku tertawa garing. lalu menggeleng
”A-aku nggak tau, Mas.” Aku menjawab sejujurnya, dan memang baru sadar juga. Kenapa Zayn bisa mengenaliku setelah cukup lama kami tak bertemu. ”Oh mungkin dari Ustazah Halimah ya, Dek?” ujar Mas Hasan. Aku langsung memalingkan wajah. ”Iya mungkin,” jawabku, ”sudahlah, kok jadi mikirin dia sih? Mending tidur lagi, yuk! Ngantuk banget nih.” ”Ayo, Dek.” Mas Hasan menyahut sambil menempelkan tubuh kami. Namun belum sempat mata ini terpejam, terdengar suara tangisan si kembar yang memekakan telinga. ”Astagfirullahal adziim ...” Aku meraup wajah dengan kasar, dan hendak turun. Namun Mas Hasan menahanku. ”Biarin Mas saja. Adek tidur saja,” katanya. ”Tapi, Mas—” ”Tidur, ya! Kamu pasti capek banget,” potongnya cepat. Aku pun mendengkus pelan, dan menurut. Karena memang kepala terasa berat. Aku terbangun saat mendengar suara Mas Hasan yang bersahutan entah dengan siapa. Setelah membersihkan diri dari hadats besar, aku pun lantas keluar untuk menghampiri si kembar. Tapi mendadak langkah
Aku mengernyit saat mendengar deru mobil Mas Hasan. Setelah merebahkan si Kembar, aku buru-buru melangkah ke luar dan mendapati Mas Hasan juga Mamah berdiri di teras dengan senyuman lebar.”Mas, kok sudah pulang?” tanyaku. Mengingat baru tiga jam mereka pergi. Seharusnya mereka baru sampai di Cianjur. Mas Hasan tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan menghampiriku. Lalu merangkul bahuku.”Masuk, yuk!” ajaknya. Aku diam, tapi tak menolak saat tubuhku digiring masuk.”Mas ...” ucapku saat dia mendudukanku. Tapi terhenti karena Mas Hasan menaruh telunjuknya di bibirku.”Tunggu Mamah dulu,” katanya. Aku mengangguk walau hati rasanya kebat-kebit. Pikiranku sibuk menerka apa kiranya yang membuat Mas Hasan dan Mamah tak jadi ke Cianjur.”Assalamualaikum,” ucap Mamah yang baru masuk. Entah apa yang dilakukannya hingga tak langsung keluar dari mobil.”Waalaikumussalam.” Aku dan Mas Hasan menjawab serempak. Lalu beliau pun duduk di samping Mas Hasan, berhadapan denganku.”Kenapa nggak jadi, Mas,
“Hanna ... Maafkan Mamah, Nak.“Aku hanya bergeming mendengar permintaan lemah dari bibir Mamah. Cukup lama terdiam, hingga akhirnya kepala ini pun mengangguk pelan tapi bibir seakan terkunci.“Mamah janji, akan berubah. Takkan termakan lagi omongan Ningrum. Kamu terbaik, Hanna. Mantu terbaik Mamah dan istri yang luar biasa untuk Hasan,“ sambungnya.Aku hanya tersenyum tipis. Lalu mengusap pelan punggung tangan Mamah.“Mamah istirahat, ya. Aku mau ke luar dulu nemuin Ustadzah Halimah sama yang nganter kita ke sini,“ balasku.“Iya, Nak. Maafkan Mamah, ya.““Sudah aku maafkan, Mah.“Dengan langkah panjang, aku menghampiri Ustadzah Halimah dan lelaki yang tadi bersamanya. Ustadzah Halimah langsung berdiri begitu melihatku berjalan ke arahnya.“Gimana keadaan Bu Aas, Neng?“ tanyanya.“Alhamdulillah sudah siuman, Ustadzah,“ jawabku.“Boleh Ustadzah tengok?“ “Boleh, Silahkan,“ jawabku.Ustadzah Halimah mengangguk. Lalu menoleh pada lelaki yang sedari tadi hanya bergeming.“Zayn, Ummi mau k
Genap satu bulan usia si kembar, dan hubunganku dengan Mamah, masih membeku. Aku hanya memanggilnya untuk makan atau pas ada paket untuknya saja. Selebihnya Mamah hanya berkomunikasi dengan Mas Hasan atau Bi Irah.Mas Hasan tak banyak menuntutku memperbaiki hubungan dengan Mamah. Tapi dia memintaku untuk tetap bertahan sekalipun Mamah menentang.Pagi ini, diantar Bi Irah, aku membawa si kembar ke klinik—untuk imunisasi. Sementara Mas Hasan, pergi meninjau lokasi cabang baru martabak kami bersama Khalid.Mamah sendiri, tak kutawari ikut ke klinik, dan menolak saat Mas Hasan mengajaknya. Katanya ingin istirahat saja. Aku tak banyak bertanya, terserah apa maunya beliau. Namun sepulang pulang dari klinik, aku mengernyit saat keadaan rumah begitu sepi. Mamah yang biasanya nonton TV di ruang tengah pun, kini tak ada. Ke mana, Mamah?“Sebentar, Neng, biar Bibi lihat dulu sandalnya,“ kata Bi Irah sambil berjalan tergopoh ke luar rumah.Tak lama, Bi Irah kembali dengan wajah mengernyit, “Sand
Acara aqiqah dan tasyakuran berjalan dengan lancar. Setelah dipotong rambutnya, si Kembar—Syafiya dan Shazia—langsung terlelap. Aku yang mengantuk pun, ikut membaringkan diri di samping mereka. Tak lama, Mas Hasan masuk sambil menggendong Khalid. Aku pun urung memejamkan mata dan beranjak duduk sambil bersandar pada dinding.“Yang lain udah pada tidur, Mas?“ tanyaku.“Udah, Dek. Oh iya, Mas mau bicarain tentang Mamah,“ katanya. Aku menatapnya antusias.“Nanti kalau di rumah sudah tidak ada siapa-siapa selain kita, rencananya Mas mau gertak Mamah. Mas mau tau Mamah lebih berpihak sama kita apa sama Ningrum,“ sambungnya sambil terdiam sejenak.“Kalau mihak sama kita gimana? Kalau mihak sama Ningrum gimana?“ tanyaku.Mas Hasan menarik napas dalam-dalam.“Kalau mihak sama kita, ya Mamah tinggal tetap tinggal di sini. Tapi kalau ...““Kalau apa?“ tanyaku tak sabar.“Kalau mihak sama Ningrum, terpaksa ... Mas pulangkan Mamah ke Cianjur.“Bola mataku sontak terbelalak mendengarnya. Aku meng
“Ma-mah ...“ Mas Hasan berujar terbata. Sementara Mamah masih setia menatap datar.“Ada apa, Mah?“ tanyaku sambil beranjak duduk. Pun dengan Mas Hasan. Dia ikut beranjak dan duduk di sampingku, di pinggiran ranjang.“Makan dulu. Mamah sudah masak daging semur bumbu hitam,“ katanya.“Oh iya, makasih, Mah,“ ucapku. “Kamu baru melahirkan, Hanna. Nggak baik kalian tidur seranjang,“ katanya.“Kamu, Hasan, tahan dulu dirimu! Hanna masih kotor, kamu tidak boleh mendekatinya,“ lanjutnya terdengar senewen.Ucapan Mamah benar, tapi suaranya yang ketus membuat sisi egoku tersentil. Tak adakah kata-kata lain yang lebih enak didengar? Bisakah menasihati dengan suara yang lebih lembut?“Ayo, keluar! Jangan sampai setan menggoda kalian,“ imbuhnya. Aku dan Mas Hasan kompak mengangguk, gegas mengekorinya.Ada banyak hidangan tersedia di meja makan. Selain semur daging bumbu hitam, ada juga pepes, telur rebus, tempe goreng, lalaban, sayur bening, ikan asin dan sambal.Melihat semur daging bumbu hitam,
Cahaya matahari mulai meninggi. Setelah menunggu lumayan lama, dokter yang menanganiku pun datang dan langsung memberikan tindakan induksi. Namun hingga dua jam berlalu, tak ada reaksi apapun yang kurasakan. Ammah yang sedari tadi berada di sampingku pun terlihat gelisah. Beberapa kali, kudengar embusan napas beratnya diiringi kalimat-kalimat thayyibah dari bibirnya.Sementara di tengah kekalutan yang mendera, lagi-lagi aku dikecewakan Mas Hasan. Bagaimana tidak, hingga saat ini dia belum membalas. Bahkan nomornya pun tidak aktif. Padahal aku membutuhkan persetujuannya, kalau-kalau proses induksi gagal dan terpaksa harus mengambil opsi sectio caesar (SC).“Kalau Suamimu masih belum datang, biar Ammah saja yang tandatangan. Keselamatan kalian lebih penting dari lelaki itu,“ kata Ammah. Ada nada marah dan kecewa dari suaranya.Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala dan lelehan air mata. Aku yang biasanya berusaha tegar, kini dibuat pasrah dengan keadaan. Andai bukan momen melahir
Satu minggu berlalu. Selama itu tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari Mas Hasan. Aku yang memang masih kecewa pun enggan membuka obrolan lebih dulu dan memilih menyibukkan diri dengan mengecek usaha Martabak Menantu kami juga mengikuti kegiatan di sekitar rumah.Ammah sendiri tak banyak bertanya tentang Mas Hasan. Beliau lebih sering menemani Khalid dan menanyakan apa putri keduanya ini sudah ada kontraksi atau belum.Malam kian larut. Aku terbangun karena kandung kemih yang terasa penuh dan rasa mulas yang mulai menyerang. Sambil mengelus perut, aku berjalan dengan pelan ke kamar mandi dan perlahan rasa mulas itu menghilang. Setelah membuang sisa metabolisme, aku pun beranjak menuju dapur. Membasahi kerongkongan yang akhir-akhir ini sering terasa mengering di kala malam.“Teteh.“Suara Ammah membuatku hampir menjatuhkan botol air minum. Aku membalikkan badan dan menatap Ammah dengan wajah merengut.“Ammah ngagetin aja.“Ammah tersenyum nyengir, “sudah ada mules?“ tanyanya den
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments