“Jangan bosen berdoa, ya. Haqqul yakin, suatu saat Allah akan mengabulkan doamu,“ kata Uwak Piah.
Saat tengah menikmati jamuan Uwak Piah, terdengar deru suara motor. Kami saling pandang dan menyorot sosok yang mengendarai motor matic milik Ningrum. Aku melongo saat melihat Mas Hasan datang menjemput. Dia segera menghampiri kami yang kini tengah menikmati bakso.
“Khalid mana?“ tanyanya sambil mencocolkan mangga muda ke sambal rujak.
“Khalid tidur. Awas, jangan dibangunkan. Kasihan dia,“ jawab Uwak Piah.
“Yaah ... Padahal Ningrum ngajakin foto bareng.“
Aku terbatuk saat mendengarnya. Uwak Piah segera memberiku air, “hati-hati,“ katanya sambil melirikku cemas.
“Serius, Mas?“ tanyaku dengan mata membulat sempurna. Mas Hasan mengangguk.
“Kalau begitu biar Aku bangun—“
“Jangan ah, kasihan.“ Uwak Piah memotong. “tapi, Wak ...“
Belum selesai aku berbicara, Khalid menangis. Dia berjalan dengan mata setengah terpejam. Mas Hasan segera menangkapnya, lalu menciumi perut Khalid hingga dia tertawa.
“Ayo, Dek!“ ajaknya sambil bangkit berdiri.
“Ayo. Uwak ayo, kita foto bareng pengantin,“ kataku. Uwak Piah menggeleng pelan.
“Kalian sajalah. Uwak puyeung, pengen tidur,“ sahutnya.
“Oh yaudah, kalo gitu kami pulang ya, Wak.“ Uwak Piah mengangguk.
“Iya. Oh iya, jangan lupa kalau nanti mau pulang ke Bogor, mampir dulu ke sini,“ katanya setelah aku menaiki motor.
“Insya Allah, Wak. Assalamualaikum.“
“Waalaikumussalam.“
Senyumku langsung berkembang. Membayangkan akan berfoto dengan pengantin dan keluarga Mas Hasan. Sepertinya Mas Hasan benar, tadi mereka memang lupa mengajak kami. Aku berdecak, tak seharusnya berpikiran negatif seperti itu. Bukankah setiap manusia punya sisi baik?
Bayangan bahagia berfoto dengan pengantin, hancur seketika begitu kami tiba di halaman samping rumah. Pelaminan sudah kosong melonpong. Tidak ada Ningrum, Ikmal, Mamah, Bapak maupun besan. Aku tersenyum miris saat sadar sudah dighosting keluarga Mas Hasan.
“Mana pengantinnya, Mas? Kok nggak ada?“ tanyaku lemas.
“Tadi ada kok, Dek.“ Mas Hasan menjawab sambil melangkah masuk ke rumah melalui pintu dapur.
Kuedarkan pandangan ke sekitar taman. Sudah tidak ada siapapun di sini, selain Aku dan Khalid. Musik pun sudah berhenti. Itu berarti acara sudah selesai. Lalu apa maksud Ningrum mengajak kami berfoto jika bukan ingin mengerjaiku?
“Ningrum sama Ikmal udah ganti pakaian, Dek. Katanya kelamaan nunggu kita.“ Mas Hasan menghampiri dengan raut wajah kecewa. Matanya menatapku dengan perasaan bersalah.
“Kelamaan ya, Mas?“ Aku tersenyum miris.
“Perasaan nggak deh. Tadi pas Ningrum ngajak foto, masih ada tamu nggak? Terus tadi musiknya masih nyala nggak?“ lanjutku mencercanya. Mas Hasan mengernyitkan dahi, lalu menggeleng.
“Tinggal satu dua orang, Dek. Kalau musik sih, emang sudah berhenti.“
Aku mengembuskan napas. Kalau memang niat, mereka pasti menunggu kami. Fix! Kami kena ghosting. Benar-benar iparku itu, hobi banget bikin iparnya kesal.
“Ningrum cuma basa-basi, Mas. Dia emang gak pernah niat ngajakin kita foto bareng. Emang dasar ...“ ucapku menggantung sambil berjalan melewatinya.
Saat aku masuk ke rumah, Ningrum, Nuri dan Rika tengah tertawa sambil menatap layar ponsel.
“Eh, Teh Hanna kemana aja? Dari tadi aku nyariin Teh Hanna loh,“ ujar Nuri sambil cengengesan. Aku hanya meliriknya tajam sambil menghela napas. Menahan sesuatu yang bergejolak di dada.
“Dih ... Teh Hanna gitu amat. Jangan marah-marah, Teh. Nanti cepet tua loh.“
Nuri memang paling gemar memancing emosiku. Aku menoleh, menatapnya tajam. Dia tersenyum menyeringai. Aku memperhatikan penampilannya lalu mengulum senyum, menyadari ada yang tak beres dengan penampilannya.
“Itu kancing kebaya emang sengaja ya nggak kancingin?“ tanyaku sambil tersenyum menyeringai
Nuri langsung memperhatikan kebayanya, lalu menjerit kencang.
“Teh Hanna kok nggak ngasih tahu dari tadi sih,“ sewotnya panik. Ia membenahi kancing yang terbuka tepat di bagian dada.
“Jangan marah-marah. Nanti makin tua.“ Aku tersenyum jahil sambil melenggang kangkung.
“Teh Rika lihat nih. Ya Allah, tadi orang-orang pada sadar nggak ya?“ tanyanya panik.
Lebih panik lagi saat Ningrum memperlihatkan sesuatu dari gawainya.
“Ya Allah, Mbak ... Yang ini jelas banget.“ Ningrum memekik keras.
Sukurin. Salah siapa pake kebaya anak SMP. Udah tahu badan sintal, masih aja pengen baju yang ngepas badan.
**
Aku dan Khalid baru keluar kamar setelah shalat isya. Ruang tamu sudah jadi lautan kado pernikahan Ningrum. Sementara di ruang keluarga, Saudara jauh Mamah tengah menyiapkan makan malam bersama. Aku segera memberikan Khalid pada Mas Hasan yang tengah mengobrol dengan kedua adik dan ipar barunya. Lalu membantu saudara jauh Mamah.
“Tadi ke mana, Teh?“ bisiknya saat aku mengeluarkan sendok dari lemari perabotan.
“Di rumah Uwak Piah, Bi. Khalid rewel susah tidur,“ jawabku. Dia mangut-mangut.
“Iya sih. Di sini kan berisik banget.“ Dia menimpali.
Makanan sudah. Semua orang mengambil posisi masing-masing. Ningrum dengan suaminya, Hadi dan Rika, Nuri dan Haikal. Ditambah saudara-saudara jauh Mamah yang dari luar kota. Aku celingukan mencari Mas Hasan dan Khalid. Entah ke mana pergi bapak dan anak itu.
“Mas Hasan di ruang tamu, Teh Hanna. Sama Mamah Bapak, nemenin tamu,“ kata Hadi sambil tersenyum aneh. Ada apa dengannya?
Rika langsung mencubit pahanya dan mendelik tajam padaku. Sikap dan perhatian Hadi padaku bisa dibilang memang berlebihan. Dari awal menikah dengan Mas Hasan, dia selalu terang-terangan memberikan perhatian.
Aku melangkah ke ruang tamu. Selain ada Mas Hasan dan Khalid, di sana juga ada Bapak dan Mamah yang sedang mengobrol dengan perempuan bertubuh kecil bermake-up menor. Aku tidak tahu siapa, karena baru pertama kali melihatnya.
“Eh kebetulan ada Hanna. Sini duduk, Na.“
Tampaknya Mamah menyadari kehadiranku. Dia berkata sambil tersenyum padaku. Aku mengernyit seketika, mencium gelagat tak baik dari perlakuannya.
Aku duduk di samping Mas Hasan. Mas Hasan langsung menggenggam tanganku, aku menatapnya penuh tanya dan paham saat menangkap perempuan itu menatap tangan kami berdua. Mas Hasan sedang menunjukkan kepemilikannya akan diriku.
“Hanna, dia Yanti. Saudara jauh Mamah, Janda anak satu, pemilik Yanka bakery, toko kue dan jajanan pasar di jalan Angsana.“ Mamah menatapku penuh makna. Perkataannya sudah mirip seorang biro jodoh. Apa jangan-jangan, Mamah memang ingin menjodohkannya dengan Mas Hasan? Mendadak aku merasa gerah.
Kutatap Mas Hasan. Wajahnya merah padam, sepertinya dia tidak suka dengan perkataan ibunya.
“Ummaa ... Khalid lapal.“
Ucapan Khalid mencairkan suasana. Bapak menggendongnya lalu menyuruh kami ke ruang tengah, makan malam berjamaah.
Kulirik Yanti yang menatap Mas Hasan dengan lekat. Sebagai sesama perempuan, dari caranya menatap, aku tahu kalau dia punya perasaan lebih pada Mas Hasan. Beruntung, Mas Hasan tak menanggapi. Suamiku itu khusyu melahap sambil menyuapi putra kami.Setelah selesai, Ningrum, Rika dan Nuri mengajak Yanti ke ruang tamu. Sementara aku mengumpulkan piring-piring kotor yang berserakan dimana-mana. Kebiasaan mereka, kalau selesai makan enggan tuk sekadar menyimpan piring ke wastafel. Hadi turun membantuku. Dia membereskan makanan yang tersisa. Sementara Mas Hasan pamit menidurkan Khalid. “Teh, kita cuci piring aja sekarang aja gimana?“ Saudara jauh yang belum kutahu namanya bertanya. Aku berpikir sejenak.“Jangan sekarang, Bibi Ndeh. Udah malam, nggak baik buat kesehatan. Mana cucian piringnya juga banyak,“ jawab Hadi yang ternyata sudah berdiri di belakangku.“Sekarang aja yuk, Bi Ndeh.“ Kuhiraukan Hadi yang menatapku dengan mata memicing. Tampaknya dia keberatan dengan perkataanku.Bibi Nd
Cahaya matahari mulai menyembul dari arah timur saat aku menghangatkan makanan sisa hajatan kemarin. Setelah shalat subuh, aku dan Bibi Ndeh langsung ke dapur umum. Dia membereskan sisa-sisa bumbu, lalu membawanya ke dapur Mamah. “Kalau di sini udah beres, Bibi mau langsung pulang. Kasihan Mang Aden—suaminya—kalau bibi nggak pulang hari ini,“ katanya sambil menyapukan sampah-sampah yang berserakan. Setelah acara selesai, saudara dekat Mamah maupun Bapak tidak ada yang rewang, termasuk Uwak Piah. Sepertinya mereka lelah sudah karena sudah rewang dari jauh-jauh hari.“Alhamdulillah, selesai. Hayu Teh, kita siapin makan. Bibi mau pulang nih,“ ajaknya. Aku mengangguk lalu mematikan kompor. Saat aku dan Bibi Ndeh ke ruang keluarga, Nuri dan Rika sedang asyik nonton berita artis. Mereka menonton sambil ngemil kue-kue sisa hajatan.“Ya Allah, Teh Aas ... Lihat sini Teh!“ Mendengar teriakan Bibi Ndeh, Mamah langsung keluar dari kamarnya. Tangannya sedang memegang amplop dan uang. Sepertin
Setelah makan berjamaah, Bibi Ndeh pamit pulang. Selain memberi bingkisan, Mamah juga memberinya uang. Bibi Ndeh memang pantas menerimanya, karena dia begitu totalitas dalam rewang. Mas Hasan dan Khalid mengantarnya sampai ke terminal.Kulangkahkan kaki ke dapur. Masih ada sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum pulang ke Bogor.“Hanaaa ... cepat kesini!“Aku segera menghampiri Mamah yang sedang menjejerkan bingkisan dan kakaren hajatan. “Ada apa Mah?“ tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang keluarga.“Kamu anterin bingkisan dan kakaren, ke sini,“ jawabnya seraya memberikan selembar kertas berisi nama-nama saudara Mamah dan Bapak. “Maaf Mah, nggak bisa. Hanna mau siap-siap.“ Aku menolaknya dengan lembut. Aku dan Mas Hasan memang sudah berencana pulang hari ini. Aku bekerja sebagai pengajar TPA dan Mas Hasan jadi penanggung jawab masjid, lebih tepatnya marbot di Yayasan pendidikan Islam di kota Bogor. Kami sudah terlalu lama izin. Malu jika harus izin lagi
Kususuri jalanan sambil berpikir kemana aku harus pulang. Bisa saja pulang ke Bandung, ke rumah orangtuaku. Tapi Ammah sama Appa pasti curiga. Karena selama empat tahun menikah, aku tak pernah pulang seorang diri. Selalunya pulang dengan Mas Hasan. Mereka pasti bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dan aku tak mau membebani pikiran mereka. “Teteh ... mau ke mana?“ tanya Uwak Piah. Saking fokusnya berpikir, aku sampai lupa kalau ternyata sedang melewati rumah Uwak Piah. Uwak Piah menghampiriku, mengajakku masuk ke rumahnya. “Uwak Ayi mana, Wak?“ tanyaku saat duduk di bangku dapurnya. Uwak Ayi itu suaminya yang juga kakak kedua Mamah, uwaknya Mas Hasan. “Lagi ke pasir, Teh. Kan udah mulai panen cengkeh,“ jawabnya sambil memberiku secangkir susu jahe. Aku hanya membulatkan bibir. “Ayo Teh, diminum. Ini jahenya baru dipanen kemarin. Seger,“ katanya. “Iya, Wak. Hatur nuhun,“ ucapku. Uwak menatap penampilanku sejenak. Lalu menatap Khalid yang kini tertidur di gendongan. “Ada
Matahari mulai menampakan sinarnya dari ufuk timur. Pohon-pohon rindang dengan dedaunan hijaunya masih berbasahkan embun. Kuhangatkan semur daging pemberian Uwak Piah sambil menyalakan mesin cuci.Sementara Khalid sedang duduk di depan tv. Menonton murrotal sambil melahap roti bakar yang kubuat. Usai mengeringkan cucian, kuajak Khalid keluar. Dia duduk di tepian teras sambil bernyanyi lagu anak-anak nabi. Memang belum jelas, tapi aku bisa memahaminya.“Eh, Neng Hanna ... kapan pulang?“ tanya Bu Iroh—pemilik rumah yang kukontrak. Dia menghampiriku. Aku segera menyalaminya.“Kemarin, Bu. Cuma ya itu banyak yang harus dibereskan, jadi belum sempat kemana-mana,“ jawabku. Bu Iroh mangut-mangut. Kemudian duduk di samping Khalid.Di Bogor, kami mengontrak sebuah rumah super minimalis. Hanya ada ruang tamu yang menyatu dengan dengan ruang tv, satu kamar, dapur kecil dan kamar mandi. Di depannya ada teras dan sedikit lahan yang biasa kupakai menjemur pakaian.“Oh iya Neng, satu minggu lalu Mir
Setelah satu bulan lebih ambil cuti, Pagi ini Mas Hasan berangkat ke Masjid Annuha. Masjid dimana Mas Hasan menghabiskan hari-harinya. Masjid yang tak begitu besar namun jamaahnya banyak.Setiap hari sabtu dan ahad, Masjid Annuha selalu mengadakan kajian rutin. Setelah kajian selesai, para jamaah diberi jamuan. Baik nasi box ataupun prasmanan. Posisi Mas Hasan bisa dibilang susah-susah gampang. Walau hanya seorang marbot, tapi posisinya seringkali terancam. Selalu ada saja orang yang iri. Mungkin karena Bos Deny, crazy rich Bogor sekaligus donatur masjid Annuha begitu royal dan perhatian pada Mas Hasan. Dia juga mempercayakan segala tetek-bengek urusan masjid pada Mas Hasan. Membuat bendahara masjid takut tersaingi.Mas Hasan digaji dua juta lima ratus ribu setiap bulannya dan aku yang mengajar di TPA-nya, digaji satu juta lima ratus. Jumlah yang bisa dibilang lumayan besar. Kami ke sini mengikuti Ustadz Fakhri dan istrinya Ustadzah Farhah. Ustadzah Farhah, putri guru kami semasa tin
Satu minggu berlalu dengan penuh drama. Tubuh mulai sulit menerima asupan makanan. Setiap makan pasti keluar lagi. Belum lagi hidung yang tak bersahabat dengan wewangian. Terutama detergen dan sabun pencuci piring. Tiap kali mencium baunya, perutku mual dan langsung mengeluarkan isinya. Mas Hasan mengambil alih hampir semua pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci pakaian dan menjemurnya, mencuci piring,hingga mengepel. Aku hanya memasak saja. Seringkali kulihat Mas Hasan keteteran. Kadang kasihan juga, tapi apa daya tubuh tak bisa diajak kompromi.Malam ini sepulang Mas Hasan dari Masjid, kami pergi ke klinik bidan mandiri terdekat. Sementara aku diperiksa, Mas Hasan dan Khalid menunggu di ayunan ruang tunggu.“Usia berapa, Teh?“ tanya asisten bidan.“24 tahun 1 bulan,“ jawabku.“Kapan hari pertama haid terakhir?“ Aku menggeleng sembari tersenyum nyengir. Jujur saja, aku lupa.“Coba diingat-ingat dulu,“ katanya.Aku berpikir sejenak dan sayangnya aku tidak ingat sama sekali. Aku kembal
Siang ini jadwal mengajar bertambah padat. Ustadzah Farhah dan Ustadz Fakhri ada undangan jadi pemateri di stasiun tv swasta. Jadi, kelas Ustadz Farhah dihandel olehku dan kelas Ustadz Fakhri dihandel oleh Ustadz Maher.Hanya ada empat kelas di TPA Annuha. Saat aku cuti pulang kampung, kelasku dihandel segara bergantian oleh mereka bertiga. Kami, satu sama lain selau berusaha saling memahami. Jika salahsatu di antara kami berhalangan hadir, maka kami siap menggantikan.Sebelum adzan magrib aku dan Khalid baru tiba di rumah. Malam ini Mas Hasan pulang terlambat, karena bakda isya ada kajian rutin akbar khusus ikhwan dengan pemateri seorang ulama besar dari Bandung.Dari empat marbot, hanya Mas Hasan yang dipercaya mengurus dapur masjid. Marbot lain hanya bertugas membagikan makanan saja. Setiap ada sisa makanan, Mas Hasan selalu membagikannya pada siapapun yang dia kehendaki. Semuanya tentu atas wewenang dari Bos Deny.Malam semakin larut. Udara dingin mulai menyergap diri. Kueratkan s
BMK 67Semenjak kehadiran Zayn, aku jadi sering dihantui ketakutan. Bayangan-bayangan yang seharusnya tak kuingat lagi, mendadak bermunculan. Mengganggu aktifitas serta tidur nyenyakku.”Mas perhatikan akhir-akhir ini Adek sering melamun. Adek ada masalah?” tanya Mas Hasan sambil menatapku lekat-lekat. Aku yang tengah menikmati mie ayam pun untuk sesaat berhenti mengunyah. Sibuk mengolah alasan yang tepat. Tak mungkin kan kukatakan kalau aku ... Ah, sudahlah.”Aku lagi pusing aja, Mas,” jawabku yang pada akhirnya langsung kusesali. Kenapa menjawab seperti itu? Nanti bisa saja Mas Hasan pasti bertanya lagi kan?”Pusing kenapa, Dek?”Tuh kan benar? Aku tersenyum kaku. Sebelum akhirnya bergelayut di lengannya.”Nggak tau, Mas. Mungkin efek beradaptasi punya bayi kembar,” jawabku sekena. Mas Hasan membulatkan bibir. Ah, semoga saja dia mempercayai jawabanku.”Mau jalan-jalan?”Penawarannya membuatku cukup tersentak. Tapi tak membuatku begitu tertarik. Aku tertawa garing. lalu menggeleng
”A-aku nggak tau, Mas.” Aku menjawab sejujurnya, dan memang baru sadar juga. Kenapa Zayn bisa mengenaliku setelah cukup lama kami tak bertemu.”Oh mungkin dari Ustazah Halimah ya, Dek?” ujar Mas Hasan. Aku langsung memalingkan wajah.”Iya mungkin,” jawabku, ”sudahlah, kok jadi mikirin dia sih? Mending tidur lagi, yuk! Ngantuk banget nih.””Ayo, Dek.”Mas Hasan menyahut sambil menempelkan tubuh kami. Namun belum sempat mata ini terpejam, terdengar suara tangisan si kembar yang memekakan telinga. ”Astagfirullahal adziim ...” Aku meraup wajah dengan kasar, dan hendak turun. Namun Mas Hasan menahanku.”Biarin Mas saja. Adek tidur saja,” katanya.”Tapi, Mas—””Tidur, ya! Kamu pasti capek banget,” potongnya cepat. Aku pun mendengkus pelan, dan menurut. Karena memang kepala terasa berat.Aku terbangun saat mendengar suara Mas Hasan yang bersahutan entah dengan siapa. Setelah membersihkan diri dari hadats besar, aku pun lantas keluar untuk menghampiri si kembar. Tapi mendadak langkah kaki te
Aku mengernyit saat mendengar deru mobil Mas Hasan. Setelah merebahkan si Kembar, aku buru-buru melangkah ke luar dan mendapati Mas Hasan juga Mamah berdiri di teras dengan senyuman lebar.”Mas, kok sudah pulang?” tanyaku. Mengingat baru tiga jam mereka pergi. Seharusnya mereka baru sampai di Cianjur. Mas Hasan tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan menghampiriku. Lalu merangkul bahuku.”Masuk, yuk!” ajaknya. Aku diam, tapi tak menolak saat tubuhku digiring masuk.”Mas ...” ucapku saat dia mendudukanku. Tapi terhenti karena Mas Hasan menaruh telunjuknya di bibirku.”Tunggu Mamah dulu,” katanya. Aku mengangguk walau hati rasanya kebat-kebit. Pikiranku sibuk menerka apa kiranya yang membuat Mas Hasan dan Mamah tak jadi ke Cianjur.”Assalamualaikum,” ucap Mamah yang baru masuk. Entah apa yang dilakukannya hingga tak langsung keluar dari mobil.”Waalaikumussalam.” Aku dan Mas Hasan menjawab serempak. Lalu beliau pun duduk di samping Mas Hasan, berhadapan denganku.”Kenapa nggak jadi, Mas,
“Hanna ... Maafkan Mamah, Nak.“Aku hanya bergeming mendengar permintaan lemah dari bibir Mamah. Cukup lama terdiam, hingga akhirnya kepala ini pun mengangguk pelan tapi bibir seakan terkunci.“Mamah janji, akan berubah. Takkan termakan lagi omongan Ningrum. Kamu terbaik, Hanna. Mantu terbaik Mamah dan istri yang luar biasa untuk Hasan,“ sambungnya.Aku hanya tersenyum tipis. Lalu mengusap pelan punggung tangan Mamah.“Mamah istirahat, ya. Aku mau ke luar dulu nemuin Ustadzah Halimah sama yang nganter kita ke sini,“ balasku.“Iya, Nak. Maafkan Mamah, ya.““Sudah aku maafkan, Mah.“Dengan langkah panjang, aku menghampiri Ustadzah Halimah dan lelaki yang tadi bersamanya. Ustadzah Halimah langsung berdiri begitu melihatku berjalan ke arahnya.“Gimana keadaan Bu Aas, Neng?“ tanyanya.“Alhamdulillah sudah siuman, Ustadzah,“ jawabku.“Boleh Ustadzah tengok?“ “Boleh, Silahkan,“ jawabku.Ustadzah Halimah mengangguk. Lalu menoleh pada lelaki yang sedari tadi hanya bergeming.“Zayn, Ummi mau k
Genap satu bulan usia si kembar, dan hubunganku dengan Mamah, masih membeku. Aku hanya memanggilnya untuk makan atau pas ada paket untuknya saja. Selebihnya Mamah hanya berkomunikasi dengan Mas Hasan atau Bi Irah.Mas Hasan tak banyak menuntutku memperbaiki hubungan dengan Mamah. Tapi dia memintaku untuk tetap bertahan sekalipun Mamah menentang.Pagi ini, diantar Bi Irah, aku membawa si kembar ke klinik—untuk imunisasi. Sementara Mas Hasan, pergi meninjau lokasi cabang baru martabak kami bersama Khalid.Mamah sendiri, tak kutawari ikut ke klinik, dan menolak saat Mas Hasan mengajaknya. Katanya ingin istirahat saja. Aku tak banyak bertanya, terserah apa maunya beliau. Namun sepulang pulang dari klinik, aku mengernyit saat keadaan rumah begitu sepi. Mamah yang biasanya nonton TV di ruang tengah pun, kini tak ada. Ke mana, Mamah?“Sebentar, Neng, biar Bibi lihat dulu sandalnya,“ kata Bi Irah sambil berjalan tergopoh ke luar rumah.Tak lama, Bi Irah kembali dengan wajah mengernyit, “Sand
Acara aqiqah dan tasyakuran berjalan dengan lancar. Setelah dipotong rambutnya, si Kembar—Syafiya dan Shazia—langsung terlelap. Aku yang mengantuk pun, ikut membaringkan diri di samping mereka. Tak lama, Mas Hasan masuk sambil menggendong Khalid. Aku pun urung memejamkan mata dan beranjak duduk sambil bersandar pada dinding.“Yang lain udah pada tidur, Mas?“ tanyaku.“Udah, Dek. Oh iya, Mas mau bicarain tentang Mamah,“ katanya. Aku menatapnya antusias.“Nanti kalau di rumah sudah tidak ada siapa-siapa selain kita, rencananya Mas mau gertak Mamah. Mas mau tau Mamah lebih berpihak sama kita apa sama Ningrum,“ sambungnya sambil terdiam sejenak.“Kalau mihak sama kita gimana? Kalau mihak sama Ningrum gimana?“ tanyaku.Mas Hasan menarik napas dalam-dalam.“Kalau mihak sama kita, ya Mamah tinggal tetap tinggal di sini. Tapi kalau ...““Kalau apa?“ tanyaku tak sabar.“Kalau mihak sama Ningrum, terpaksa ... Mas pulangkan Mamah ke Cianjur.“Bola mataku sontak terbelalak mendengarnya. Aku meng
“Ma-mah ...“ Mas Hasan berujar terbata. Sementara Mamah masih setia menatap datar.“Ada apa, Mah?“ tanyaku sambil beranjak duduk. Pun dengan Mas Hasan. Dia ikut beranjak dan duduk di sampingku, di pinggiran ranjang.“Makan dulu. Mamah sudah masak daging semur bumbu hitam,“ katanya.“Oh iya, makasih, Mah,“ ucapku. “Kamu baru melahirkan, Hanna. Nggak baik kalian tidur seranjang,“ katanya.“Kamu, Hasan, tahan dulu dirimu! Hanna masih kotor, kamu tidak boleh mendekatinya,“ lanjutnya terdengar senewen.Ucapan Mamah benar, tapi suaranya yang ketus membuat sisi egoku tersentil. Tak adakah kata-kata lain yang lebih enak didengar? Bisakah menasihati dengan suara yang lebih lembut?“Ayo, keluar! Jangan sampai setan menggoda kalian,“ imbuhnya. Aku dan Mas Hasan kompak mengangguk, gegas mengekorinya.Ada banyak hidangan tersedia di meja makan. Selain semur daging bumbu hitam, ada juga pepes, telur rebus, tempe goreng, lalaban, sayur bening, ikan asin dan sambal.Melihat semur daging bumbu hitam,
Cahaya matahari mulai meninggi. Setelah menunggu lumayan lama, dokter yang menanganiku pun datang dan langsung memberikan tindakan induksi. Namun hingga dua jam berlalu, tak ada reaksi apapun yang kurasakan. Ammah yang sedari tadi berada di sampingku pun terlihat gelisah. Beberapa kali, kudengar embusan napas beratnya diiringi kalimat-kalimat thayyibah dari bibirnya.Sementara di tengah kekalutan yang mendera, lagi-lagi aku dikecewakan Mas Hasan. Bagaimana tidak, hingga saat ini dia belum membalas. Bahkan nomornya pun tidak aktif. Padahal aku membutuhkan persetujuannya, kalau-kalau proses induksi gagal dan terpaksa harus mengambil opsi sectio caesar (SC).“Kalau Suamimu masih belum datang, biar Ammah saja yang tandatangan. Keselamatan kalian lebih penting dari lelaki itu,“ kata Ammah. Ada nada marah dan kecewa dari suaranya.Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala dan lelehan air mata. Aku yang biasanya berusaha tegar, kini dibuat pasrah dengan keadaan. Andai bukan momen melahir
Satu minggu berlalu. Selama itu tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari Mas Hasan. Aku yang memang masih kecewa pun enggan membuka obrolan lebih dulu dan memilih menyibukkan diri dengan mengecek usaha Martabak Menantu kami juga mengikuti kegiatan di sekitar rumah.Ammah sendiri tak banyak bertanya tentang Mas Hasan. Beliau lebih sering menemani Khalid dan menanyakan apa putri keduanya ini sudah ada kontraksi atau belum.Malam kian larut. Aku terbangun karena kandung kemih yang terasa penuh dan rasa mulas yang mulai menyerang. Sambil mengelus perut, aku berjalan dengan pelan ke kamar mandi dan perlahan rasa mulas itu menghilang. Setelah membuang sisa metabolisme, aku pun beranjak menuju dapur. Membasahi kerongkongan yang akhir-akhir ini sering terasa mengering di kala malam.“Teteh.“Suara Ammah membuatku hampir menjatuhkan botol air minum. Aku membalikkan badan dan menatap Ammah dengan wajah merengut.“Ammah ngagetin aja.“Ammah tersenyum nyengir, “sudah ada mules?“ tanyanya den