Kuminta Talak setelah Suamiku Mendua

Kuminta Talak setelah Suamiku Mendua

last updateLast Updated : 2023-07-25
By:  Ardhya RahmaCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
30 ratings. 30 reviews
137Chapters
76.3Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Dunia Marisa luluh lantak ketika menerima kabar kecelakaan suaminya. Namun, itu belum seberapa sampai akhirnya dia menemukan bahwa suaminya mengalami kecelakaan bersama selingkuhannya. Ironisnya, rahasia lain terungkap saat suaminya mengalami koma. Sebuah surat yang terselip menunjukkan hasil tes suaminya mengalami kemandulan. Marisa marah karena suaminya menutupi hal itu dan justru membiarkan istrinya yang dituduh mandul. Masihkah Marisa bersedia merawat suami yang telah mengkhianatinya? Masihkah dia percaya cinta ketika badai rumah tangga akibat penghianatan suaminya terungkap?

View More

Chapter 1

Bab 1 Pagi yang Penuh Cinta

"Berapa lama Mas di kantor cabang?" tanya Marisa. Sambil menunggu jawaban, tangannya mengambil setumpuk pakaian milik suaminya dari lemari dan meletakkannya di kasur. 

"Mungkin tiga sampai empat hari, Dik." 

Marisa mengangguk. Kembali tangannya bergerak cekatan menata empat pasang baju kerja dan tiga pasang baju santai suaminya ke dalam tas. 

"Hari Selasa depan itu waktu suburku, Mas. Berarti jadwal kita kontrol ke Dokter Anita. Kita check up lagi, ya, Mas?" Marisa menghentikan aktivitasnya menata pakaian dan mengangkat wajah. Matanya menatap penuh harap kepada suaminya yang sedang bersandar di kepala ranjang. 

"Kan Dokter Anita bilang tidak ada masalah dengan kamu, Dik. Jadi, jangan terlalu terbebani, nanti malah stress." Irawan bangkit berdiri seolah-olah menghindari tatapan Marisa. 

"Nggak terbebani, kok, Mas. Memang aku ingin segera menggendong bayi. Bukankah mama juga mau segera  punya cucu dari kamu, Mas?"

Irawan berjalan menjauh dari ranjang dan segera menuju kamar mandi yang ada di pojok kiri kamar. Sebelum menutup pintu toilet dia menatap Marisa dan berkata pelan kepada istrinya itu. "Jangan diambil hati omongan Mama, Dik. Aku tahu Mama kalau bicara suka nyelekit."

"Enggak, sih, Mas. Aku juga mau cepat punya anak. Makanya, yuk kita ke Dokter Anita lagi. Memang anak itu takdir Allah, tapi kan kita kudu ikhtiar. Ini ikhtiar kita. Jadi,   Selasa kita ke Dokter Anita, ya, Mas." Marisa terus membujuk suaminya.

Irawan mengembuskan napas dengan keras. "Ya sudahlah kalau mau kamu begitu."

"Terima kasih, Mas," teriak Marisa ke arah pintu kamar mandi yang sudah ditutup suaminya. 

Di dalam kamar mandi, Irawan berdiri menatap cermin. Dia bisa melihat seraut wajah dengan tatapan sedih sekaligus gusar terpantul di kaca. Ekspresinya tampak memprihatinkan. Kepalanya menggeleng berulang kali ketika dari luar terdengar senandung riang Marisa.  Tangannya perlahan-lahan terkepal seiring pantulan dirinya yang memburam di cermin. Lelaki itu mengangkat  tangannya seakan ingin menghancurkan kaca. Namun, dia hanya mengusap kasar cermin yang berkabut akibat shower air panas yang sudah dinyalakannya dan kembali menatap nanar pantulan wajahnya. 

***

"Tidak ada yang ketinggalan, kan, Mas?" 

"Ada," Irawan menjawab lalu tersenyum menggoda.

"Lho … apa? Biar aku masuk dan ambilkan. Di kamar?" 

"Enggak. Di sini. Di depanku." 

Marisa menatap bingung kepada suaminya yang sedang tertawa kecil. Perasaannya mulai tak enak. "Apaan sih, Mas, kok malah senyam senyum nggak jelas gitu." 

"Yang ketinggalan tuh ini." Irawan maju selangkah. Dia meraih tubuh Marisa, merapat ke pinggangnya yang ramping dan mengecup keningnya cukup lama. Ulah Irawan itu membuat semburat merah mewarnai pipi istrinya yang putih. 

"Mas, jangan gini aah. Malu sama Bi Asih. Malu juga sama tetangga kalau mereka lewat dan ngelihat kita." 

"Lho kenapa mesti malu? Kita kan suami istri. Ini juga di teras kita sendiri. Kalau ada yang iri, salah sendiri pakai acara ngintip." Irawan terbahak-bahak ketika kepalan mungil tangan Marisa memukul dada bidangnya dengan perlahan. Lantas, dia semakin mempererat  pelukannya. 

"Ingat, ya, Dik. Selama aku pergi jaga hatimu. Jangan tergoda oleh guru ganteng yang lagi PPL di sekolahmu." 

"Apaan, sih, Mas. Gak mungkinlah aku tertarik dengan lelaki lain kalau di rumah sudah ada yang sempurna." Marisa berkata sambil mengelus pipi suaminya dengan sayang. 

"Jadi, kalau aku nggak sempurna kamu bisa naksir laki-laki lain?" Irawan mengurai pelukan dan menatap nanar istrinya. 

"Ya nggak gitu juga, Mas. Pokoknya aku nggak bakalan selingkuh apa pun yang terjadi."   

Irawan kembali menatap Marisa dengan tatapan yang sulit diartikan bahkan oleh istrinya sendiri. 

"Kamu kenapa, sih, Mas?" Mata hazel Marisa menelisik mata Irawan yang sedang menatap lekat.

"Gak apa-apa. Mas berangkat dulu, ya." 

"Ya, Mas. Hati-hati di jalan. O ya aku jadi pesan antrian nomor di Dokter Anita, kan?" 

"Terserah kamu aja. Tapi ingat, aku tidak menuntutmu punya anak. Apa pun yang terjadi aku tetap sayang kamu apa adanya." 

Marisa menatap sang suami. Matanya berkaca-kaca mendengar ucapan belahan jiwanya itu. Tanpa dapat dicegah dia menghambur kembali ke pelukan Irawan. Sepasang suami istri itu lalu berpelukan erat seolah-olah tak terpisahkan.

Hari Selasa pagi pun tiba. Selama empat hari kepergian Irawan ke kantor cabang di Malang, Marisa kesulitan menghubungi suaminya itu. Setiap kali Marisa menelepon, ponsel sang suami selalu tidak aktif. Terpaksa Marisa hanya bisa menunggu Irawan meneleponnya. Suaminya itu memang menelepon … dua kali,  tetapi tidak pernah lebih dari sepuluh menit. Sedang sibuk itu alasan Irawan ketika marisa memprotes.

"Kenapa Mas Wawan belum menelepon juga, ya?" batin Marisa sambil menatap ponsel di tangannya.

"Seharusnya dia sudah sampai kantor atau paling tidak sudah di jalan. Masa sih Mas Irawan tidak ada waktu menelepon?" gumam Marisa kembali.

"Ya, sudahlah, aku mengajar dulu. Nanti aku coba telepon saja."

Marisa melangkah menuju kelas yang akan dia berikan pelajaran. Namun, baru saja perempuan itu meletakkan tas dan bersiap menyapa murid-muridnya ponsel di saku blazernya berbunyi. Dia meminta maaf sekaligus izin mengangkat telepon sebentar setelah melihat nama yang tertera di layar. Cintaku. 

"Halo, Mas. Aku sudah mau ngajar, nih." 

"Selamat pagi, Bu. Saya dari kepolisian Mojokerto." 

Kelopak mata Marisa mengerjap. "Polisi? Kenapa suaranya bukan suara Mas Irawan? Kenapa polisi meneleponnya?" 

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

10
100%(30)
9
0%(0)
8
0%(0)
7
0%(0)
6
0%(0)
5
0%(0)
4
0%(0)
3
0%(0)
2
0%(0)
1
0%(0)
10 / 10.0
30 ratings · 30 reviews
Write a review
No Comments
137 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status