Saira segera berbalik dan melangkah cepat menuju lemari pakaian. Tangannya cekatan memilih gaun biru. Dengan sigap, ia merapikan rambutnya, menyapukan bedak tipis ke wajah, lalu menambahkan lipstik cerah yang membuat penampilannya tampak segar.Hari ini, Saira harus memastikan sang kakek percaya bahwa hubungan dirinya dengan Cakra berjalan baik-baik saja.Setelah merasa penampilannya cukup, ia mengambil tas kecilnya dan berjalan keluar kamar dengan langkah tergesa. Suara hak tingginya menggema di sepanjang koridor, mengiringi langkah cepatnya menuju lantai bawah. Dalam hati, Saira hanya bisa berharap bahwa keputusan Cakra untuk ikut makan malam ini benar-benar tulus sebagai cucu menantu. Selain itu, ia berharap kehadiran Cakra dapat meredakan kegelisahan sang kakek, yang belakangan mulai menunjukkan tanda-tanda kecurigaan terhadap hubungan mereka.***Di depan garasi, Cakra berdiri bersandar di kap mobil. Jemarinya sibuk mengetik di layar ponsel, sementara tubuh tegapnya tampak sant
Jemari Saira masih berada dalam genggaman Cakra, namun rasa hangat itu tak cukup menenangkan debaran di dadanya. Bukan karena sentuhan Cakra, tetapi sosok Kakek Prawirya yang berdiri di balik jendela ruang tamu.Ia baru menyadari jika sang Kakek sedang mengamati mereka dari dalam rumah.Semoga saja Kakek tak mendengar apa pun ….***“Akhirnya kalian datang juga,” suara serak Prawirya menyambut kedatangan mereka.Di ujung meja makan panjang, pria tua dengan rambut sebagian besar memutih itu duduk tenang. Tubuhnya tampak kurus dalam balutan kemeja putih sederhana, tetapi kewibawaannya tetap terasa.Sorot matanya terus mengamati langkah pasangan itu, yang tampak berjalan berdampingan dengan mesra, bahkan saling tersenyum.“Maaf, Kek, kami terlambat,” ujar Saira ketika mereka sampai di hadapan Prawirya. Sementara itu, Cakra menyerahkan paper bag cokelat yang sedari tadi digenggamnya.“Ini untuk Kakek. Kemarin kami datang ke butik langganan keluarga. Saira bilang ini motif favorit Kakek. S
Tubuh Cakra sedikit menegang mendengar ucapan Prawirya. Pandangannya langsung tertuju pada pria tua itu, berusaha menebak ke mana arah pembicaraan ini akan bermuara. Namun, wajah Prawirya tetap tenang. Dengan gerakan perlahan, ia menyesap teh dari cangkirnya sebelum kembali berbicara.“Sudah dua tahun menikah,” ujar Prawirya dengan nada lembut. “Bagaimana hubungan kalian?”Cakra menarik napas singkat sebelum menjawab. “Soal itu... hubungan kami masih banyak kekurangan. Kami masih perlu belajar. Bagaimanapun, menyatukan dua pemikiran yang berbeda bukanlah hal yang mudah.”Prawirya tertawa kecil, namun suaranya terdengar penuh pengertian. “Aku mengerti. Apalagi dengan sifat cucuku yang keras kepala seperti itu. Kamu pasti sulit untuk menghadapinya.”Cakra tetap diam meski hatinya terasa berdesir. Ia tahu benar apa yang dimaksud Prawirya, tapi memilih untuk mendengarkan lebih dulu tanpa menyela.“Aku sebenarnya tidak ingin ikut campur dalam rumah tangga kalian,” lanjut Prawirya sambil me
Pagi itu, Saira dan Cakra benar-benar berangkat bersama. Cakra duduk di balik kemudi dengan raut wajah datar, sementara Saira diam di kursi penumpang, sesekali melirik jam tangannya.Sejak semalam, Saira bertanya-tanya tentang alasan Cakra yang mendadak mengajaknya berangkat bersama. Terlebih kali ini menggunakan mobil pribadi miliknya. Namun, ia memilih menahan diri dan tidak mengungkapkan rasa penasarannya. Mungkin pria itu sedang bersikap baik? Atau karena pertemuannya dengan sang kakek semalam?Hanya saja, ketika mobil mereka melintasi rumah Indira, dada Saira mendadak terasa sesak. Pandangannya tertuju pada sebuah mobil yang terparkir rapi di halaman depan. Plat nomor yang telah ia hafal diluar kepala, begitu familiar, hingga langsung mengenali mobil itu milik suaminya.Dengan napas yang tertahan, ia menoleh tajam ke arah Cakra. Sorot matanya penuh penghakiman. "Apa semalam kamu salah parkir di halaman rumah orang? Atau kamu sudah bosan jadi kamu menjualnya?” Cakra yang tidak m
Saira tertegun sejenak, menatap pria muda yang tersenyum ke arahnya dari balik jendela mobil. Senyuman yang baru saja ia lihat itu pernah ia dapatkan kemarin sore.Tenggorokannya mendadak kering saat akhirnya ia mengenali sosok pria tersebut.Anggara Pratama—pemilik baru yayasan yang telah mengakuisisi universitas tempatnya bekerja. Nama itu telah menjadi topik pembicaraan hangat di lingkungan kampus selama beberapa minggu terakhir.Meski bukan pertama kalinya mereka berjumpa, bertemu langsung dalam situasi seperti ini membuat Saira merasa gugup. Terlebih saat suasana hatinya sedang buruk seperti sekarang.“Pak Anggara,” Saira mengangguk sopan, menyapa pria itu.Anggara membalas anggukan dengan senyuman khasnya, lebar dan hangat. “Kampus masih jauh. Kalau kamu jalan kaki seperti ini, pasti terlambat, kan? Saya tidak keberatan kalau kamu mau ikut.”“Ah, ti—tidak apa-apa, Pak. Saya sudah pesan taksi online. Sebentar lagi pasti datang,” jawab Saira, mencoba tersenyum selebar mungkin. Nam
Saira mendongak, menatap Anggara dengan bingung. Cara pria itu berbicara membuat pikirannya tak menentu. Apakah ia salah paham, atau memang Anggara hanya sedang bercanda?Mengingat pria itu terlihat jauh lebih ramah daripada Cakra, Saira hampir merasa lega. Tapi ada sesuatu dalam cara Anggara berbicara yang membuat bulu kuduknya berdiri. Pikiran tentang kemungkinan lain semakin membuatnya bergidik ngeri.“Saya… Saya kurang paham maksud Pak Angga,” ucapnya pelan, suaranya ragu. Ia melirik sekilas ke arah Jehian yang duduk di sudut, sibuk dengan gawainya, tampak tak peduli pada pembicaraan mereka.Anggara tersenyum kecil, senyum ramah yang biasa diterbitkan tetapi sulit ditebak maknanya. "Proposal kamu bagus. Saya rasa jika dibahas lebih mendalam, ini bisa ditinjau ulang," katanya santai, sebelum tersenyum samar. Setelah jeda yang terasa terlalu lama bagi Saira, ia menambahkan, "Tentu saja, ada beberapa hal yang perlu kamu lakukan agar ini berhasil."Saira meneguk ludah, pikirannya berp
Seharian penuh, Saira tenggelam dalam pekerjaannya sebagai dosen: mengajar, memeriksa tugas mahasiswa, menyusun materi kuliah, dan mengurus program kerja baru yang baru saja dilimpahkan padanya. Namun di tengah kesibukan itu, satu pertanyaan Sekar terus mengusik pikirannya.Benarkah Anggara memiliki perhatian lebih padanya? Atau hanya perasaannya saja?Banyak hal ingin ia tanyakan, tetapi Saira memilih bungkam. Ia sadar sepenuhnya, dirinya adalah seorang istri. Melibatkan diri lebih jauh dengan Anggara hanya akan memicu masalah baru. Hubungannya dengan Cakra saja sudah cukup memusingkan. Jika ia terjebak dalam hubungan lain yang rumit, segalanya bisa semakin kacau.Hari yang panjang itu akhirnya berlalu. Saira merapikan barang-barangnya, memasukkan laptop ke dalam tas, lalu meraih ponselnya untuk memesan taksi. Baru saja jemarinya mengetuk layar, suara Sekar memecah fokusnya.“Loh, Saira? Kok masih di sini?”Saira mendongak. Sekar berdiri di depannya, napasnya sedikit tersengal, dengan
"Siapa dia?"Saira menoleh ke arah sang suami. Sorot mata pria itu sekilas mengikuti mobil yang baru saja melaju di depan mereka, tetapi ekspresinya tetap datar, nyaris tak terbaca.“Maksudmu … dia?” Dengan ragu, Saira mengutarakan asumsinya, telunjuknya terarah pada mobil Anggara.Cakra hanya menjawab dengan anggukan, lalu melajukan mobilnya tanpa banyak bicara. Namun, beberapa detik kemudian, dia memperjelas subjek pertanyaannya. “Dia yang jalan bersamamu tadi.”“Itu Pak Anggara, pemilik yayasan yang baru.”“Dia setiap hari ke kampus?”Pertanyaan itu meluncur begitu saja, terdengar datar tetapi sarat arti. Saira mengernyit, sedikit bingung dengan arah pembicaraan, tetapi tetap menjawab juga, “Tergantung. Dia hanya akan ke kampus setiap hari Senin dan Selasa, sisanya menyesuaikan jadwal.”Pria yang sedang duduk di kursi kemudi itu melirik Saira sekilas, lalu kembali menatap ke jalan. Dia hanya mengangguk-angguk kecil sambil jemarinya mengetuk setir pelan.“Kamu bahkan sangat hafal ja
Saira menghela napas panjang. Ia tak tahu apa niat lelaki itu, tapi ia hanya bisa berharap ini adalah sesuatu yang baik bagi hubungannya dengan Cakra.Beberapa jam kemudian, suara pintu yang terbuka pelan membuatnya mengalihkan pandangan dari langit-langit kamar. Obat yang ia minum tadi siang sudah bereaksi, membuatnya mengantuk berat. Namun, hingga saat ini, Saira belum benar-benar tidur. Ia hanya berbaring dalam diam, pikirannya dipenuhi berbagai hal yang sulit dijelaskan.Cakra melangkah masuk, membawa nampan berisi beberapa camilan dan segelas teh hangat. Tanpa berkata apa-apa, ia meletakkan nampan itu di atas meja kecil di samping tempat tidur."Kamu mau?" tanyanya akhirnya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Saira melirik nampan itu sejenak sebelum kembali menatap Cakra. "Aku nggak minta makanan."Cakra duduk di tepi tempat tidur yang kosong. "Aku yang bawa."Saira diam. Tatapannya tertuju pada bungkusan kecil berisi biskuit dan beberapa potong roti. Ia mengenali cam
Kotak kecil berwarna hitam itu masih teronggok di atas meja. Saira menatapnya dengan ragu—penasaran dengan isinya, tetapi enggan untuk membukanya.Cakra menggeser kotak itu ke arahnya. "Buka saja," ucapnya singkat.Dengan tarikan napas pelan, Saira akhirnya meraih kotak itu dan membuka penutupnya. Mata cokelatnya sedikit membesar saat melihat isinya—sebuah gelang emas bertatahkan permata kecil yang berkilauan halus di bawah cahaya.Entah bagaimana Cakra bisa tahu seleranya, tapi desain gelang itu begitu simpel, nyaris serupa dengan koleksi perhiasan yang sering ia pakai."Itu buat kamu," ujar Cakra datar. "Anggap saja sebagai permintaan maaf soal Mama kemarin."Sejenak, Saira membisu. Matanya menatap gelang itu, lalu beralih ke wajah Cakra. Sekilas, ia menangkap kegugupan samar dalam sorot mata laki-laki itu.Namun, perasaan hangat yang sempat muncul di dadanya langsung menguap begitu saja.Soal Mama.Saira menutup kembali kotak itu dengan tenang, lalu mengulurkannya kembali kepada Ca
Cakra melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.Hanya satu hal yang ada di pikirannya—Saira.Begitu tiba di rumah, ia langsung turun dan melangkah cepat menuju kamar wanita itu. Namun, yang ia temukan di sana hanyalah Bi Surti yang tengah merapikan tempat tidur.Mendengar suara langkah kaki, Bi Surti menoleh. Wajahnya sedikit tegang saat melihat Cakra."Pak Cakra," sapanya hati-hati."Di mana Saira?" tanya Cakra, suaranya terdengar tegang.Bi Surti menunduk ragu. Baru beberapa menit yang lalu ia memberi tahu majikannya bahwa Saira hanya beristirahat di kamar. Tapi sekarang, saat Cakra tiba, wanita itu malah tidak ada."Ibu ada di balkon, Pak... katanya mau bekerja," jawab Bi Surti sedikit bimbang. Ia ragu sejenak sebelum menambahkan, "Tapi dari tadi Ibu belum makan, Pak."Tatapan Cakra langsung tertuju pada nampan di atas meja kecil. Makanan di sana masih utuh—nasi putih, buah potong, dan semangkuk sup sama sekali tidak tersentuh. Hanya segelas air yang berkurang sedikit.Astaga.Ap
Keesokan harinya.Di ruang rapat kantor, Cakra duduk di kursi utama dengan ekspresi serius. Layar proyektor di hadapannya menampilkan presentasi proyek hotel baru di Semarang. Bram, sahabat sekaligus rekan bisnisnya, tengah menjelaskan detail rencana konstruksi—mulai dari anggaran hingga desain interior yang akan dibahas lebih lanjut bersama tim sore nanti.Namun, pikiran Cakra tidak sepenuhnya berada di ruangan itu. Kejadian semalam terus terputar di kepalanya—tatapan penuh luka Saira, suaranya yang bergetar saat menuntut kebenaran, dan keheningan yang seolah menjadi jurang di antara mereka.Bahkan sampai pagi ini dia belum bisa bicara dengan Saira. Wanita itu menutup diri. Sedangkan Cakra tak ingin mengganggubya terlebih dahulu. "Cak, dengerin nggak?" Suara Bram memecah lamunannya. Pria yang berusia sama dengannya itu melayangkan protes saat apa yang telah ia utarakan tak diberikan sanggahan maupun pujian. Hanya di hadiahi tatapan kosong dari Cakra. Sementata Cakra mengalihkan
Suara Cakra terdengar dingin. Telunjuknya terangkat menunjuk ke arah pintu. Ambar yang mendengar itu langsung menoleh, menatap putranya dengan tidak percaya. "Apa?" "Keluar, Ma," ulang Cakra, kali ini lebih tegas. "Mama sudah kelewatan." Wajah Ambar menegang. "Kamu sudah berani mengusir Mamamu sendiri?" Cakra mengepalkan rahang, berusaha menahan emosi yang jelas hampir meledak. "Mama sudah melampaui batas." Ambar menatap putranya dengan mata menyala. "Kamu lebih memilih perempuan ini daripada orang yang melahirkanmu?" Cakra tidak menghindari tatapan ibunya. Matanya tajam, penuh ketegasan. "Aku tidak memilih siapa pun, Ma. Tapi kalau Mama terus bersikap seperti ini, aku tidak akan diam saja." Hening. Untuk sesaat, hanya napas berat yang terdengar. Ambar mengepalkan tangannya sebelum akhirnya mengalihkan tatapan ke Saira yang masih duduk diam. Pakaiannya basah, rambutnya juga. Air yang tadi disiramkan masih menetes dari ujung helainya. "Perempuan ini sudah merusak semuanya!"
Saira menelan ludah dengan susah payah. Ia yakin wajahnya seperti kepiting rebus sekarang! sementara Cakra menarik kembali tangannya dengan ekspresi datar, seolah tidak menyadari akibat dari tindakannya. Ia buru-buru menunduk, kembali menyendok nasi goreng untuk mengalihkan perhatian dari detak jantungnya yang tak karuan. Namun, bukannya berhasil menenangkan diri, pikirannya justru semakin kacau. Kenapa Cakra begitu santai? Seolah menyentuh wajahnya adalah hal biasa? "Kamu nggak makan lagi?" Cakra bertanya tiba-tiba, memecah keheningan. Saira tersentak. "Hah? Aku—aku udah kenyang," jawabnya tergesa. Cakra melirik piringnya yang masih tersisa setengah. "Padahal tadi kelihatan lapar." "Udah cukup. Takut mual." Saira beranjak, meraih gelasnya untuk meneguk air. Ia butuh sesuatu untuk menetralkan kegugupan yang tiba-tiba menyerangnya. Namun, saat hendak berjalan ke wastafel, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Rasa pusing yang tadi sempat mereda kini kembali menyerang,
Setelah mandi, tubuh Saira terasa lebih segar, meski sesekali rasa lemas dan sakit kepala masih menyerangnya. Ia mengenakan pakaian santai lalu turun ke dapur dengan rambut yang masih sedikit lembap. Begitu mencapai anak tangga terakhir, aroma sedap langsung menyeruak, menyambutnya. Sepasang matanya otomatis tertuju pada sosok Cakra yang berdiri di depan kompor. Ia berhenti di ambang pintu, menatap punggung pria itu dengan tatapan tak percaya. Saat bertanya tadi, ia mengira Cakra akan memesan makanan, bukan memasak sendiri. Seumur hidupnya, ia tak pernah melihat suaminya menyentuh dapur. Biasanya, ia yang harus repot menyiapkan makanan—itu pun kalau Cakra bersedia menyantapnya. "Kamu… masak?" tanyanya ragu. Tanpa menoleh, Cakra hanya mengangguk singkat. Tangannya lincah menaruh telur mata sapi di atas sepiring nasi goreng sebelum membawa dua piring porselen ke meja makan. Saira mendekat, masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang dilihatnya. “Nggak ada bahan lain di kulkas
Rasanya baru beberapa jam Saira memejamkan mata, tetapi ternyata pagi datang terlalu cepat.Ia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali saat cahaya matahari menyelinap masuk dari sela-sela tirai. Sekilas, ia terkejut karena matahari sudah meninggi, tetapi ingat bahwa semalam ia sudah mengirimkan surat keterangan dokter ke bagian personalia.Suara gemerisik terdengar di sebelahnya. Ia mendongak, mendapati Cakra sudah bangun lebih dulu.Lelaki itu duduk di tepi ranjang, fokus pada komputer jinjing di pangkuannya. Cahaya layar memantulkan siluet wajahnya yang tetap datar, seolah keberadaan Saira tidak berarti apa-apa baginya.Saira melirik jam dinding. Pukul sembilan pagi.Seharusnya, lelaki itu sudah berangkat ke kantor. Tapi kali ini, ia masih di kamarnya."Sudah bangun?"Suara bariton Cakra memecah keheningan. Lelaki itu menoleh sekilas ke arah Saira sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.Saira menggeliat pelan, lalu duduk bersandar di kepala ranjang, tepat di samping Cakra. "
Aku berubah pikiran.Saira menoleh, menatap suaminya dengan alis sedikit berkerut. Entah apa yang membuat lelaki itu tiba-tiba berkata begitu.Tatapannya jatuh ke wajah Cakra, mencari tanda-tanda keseriusan. Tapi, seperti biasa, lelaki itu hanya menampilkan ekspresi datarnya."Kamu sendiri yang bilang nggak mau ada kesempatan di antara kita," suara Saira terdengar datar. "Jadi, untuk apa diungkit lagi?"Cakra tetap berbaring, menatap langit-langit kamar seakan ada sesuatu yang menarik di sana. "Aku cuma ingin tahu isi kesepakatan yang kamu tawarkan tadi."Saira menghela napas pelan. Ia memang sudah tidak ingin menaruh harapan lagi pada lelaki itu. Terlebih, kejadian tadi seolah membuka matanya lebar-lebar. Dia tidak punya hak untuk menuntut apa pun dari Cakra, sekalipun berstatus sebagai istrinya."Memangnya kalau sudah dengar, kamu akan setuju?""Kalau menguntungkan, mungkin bisa kupertimbangkan."Saira hampir tertawa. Tentu saja. Lelaki ini selalu melihat segalanya dari sudut pandan