Share

Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah
Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah
Penulis: Sinar Rembulan

Bab 1

Penulis: Sinar Rembulan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-10 16:43:51

“Dua tahun menikah, belum bisa hamil juga?” Ambar Wiradana menggeram saat melihat satu garis tunggal pada alat uji kehamilan di tangannya. Sesaat kemudian, benda pipih berwarna putih biru itu dilempar ke meja, memantul sekali sebelum jatuh dengan bunyi ringan.

Saira menelan ludah, menundukkan kepala seperti anak kecil yang tertangkap basah. 

“Jawab!”

“Mungkin belum waktunya, Ma,” jawabnya lirih, nyaris tak terdengar.

“Lalu kapan? Sampai kapan aku harus menunggu?” 

Saira mendongak sedikit, berusaha menata suaranya agar tetap tenang. “Saira dan Cakra sudah berusaha yang terbaik.”

“Kalau memang sudah berusaha, setidaknya sudah membuahkan hasil!”

Suara Ambar kembali menggema di ruangan. Tatapan wanita paruh baya itu penuh amarah, membuat nyali Saira ciut. 

Hasil pemeriksaan kesehatan Saira menunjukkan dirinya sehat dan subur, tapi bagaimana mungkin ada kehidupan tumbuh di rahimnya jika sang suami bahkan tak pernah menyentuhnya?

Saira ingin sekali berteriak, ingin membuka semua kenyataan pahit ini di hadapan mertuanya. Tapi untuk apa? Ambar takkan mau mendengar. Bagi wanita itu, menantu adalah sumber kesalahan.

“Aku berharap banyak sama kamu, Saira. Pendidikan tinggi, karir bagus, usia matang. Tapi apa gunanya semua itu kalau nggak bisa memberikan keturunan untuk keluarga Wiradana?”

Saira meremas jemarinya yang gemetar. Setiap kata yang terlontar dari bibir sang mertua terasa seperti batu besar yang menghantam dadanya, berat dan menyesakkan. Namun, ia menolak membiarkan air mata mengalir di hadapan wanita yang selalu memandangnya rendah.

“Kalau tahu begini, Cakra nggak perlu memaksakan pernikahan ini!” keluh Ambar seraya memijat keningnya.

“Maaf, Ma,” bisik Saira pada akhirnya.

“Maaf nggak akan membuatku punya cucu!” Ambar kembali melayangkan tatapan tajam pada Saira. Ibu mertuanya itu bangkit berdiri seraya menyambar tas jinjingnya.

“Siang ini aku akan kirimkan obat herbal. Aku harap ada perubahan ke depannya. Tapi, kalau kamu tetap nggak bisa memberikan keturunan dalam waktu dekat, jangan salahkan aku kalau meminta Cakra mencari wanita yang lebih layak!”

Suara langkah kaki Ambar menggema hingga pintu tertutup keras. Saira hanya bisa memejamkan mata, menghela napas yang terasa berat di dada.

Setelah Ambar pergi, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya.

Saira berjalan ke tepi kolam ikan, tempat yang selalu membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Ia duduk di bangku kayu, memandangi riak-riak kecil di permukaan air.

Namun, semakin ia mencoba memahami keadaan, semakin berat beban yang menghimpit hatinya.

"Bu Saira, kopi hangatnya," suara Bi Surti mengganggu lamunannya.

"Terima kasih, Bi," sahut Saira, menerima cangkir itu. Namun, senyumnya hilang saat rasa linu di lutut kanannya kembali menyerang.

Kecelakaan dua tahun lalu itu tidak hanya merenggut nyawa neneknya, tetapi juga meninggalkan bekas di tubuh Saira. Kaki kanannya yang pernah patah kini sering terasa linu. 

“Kaki Ibu sakit lagi?” tanya Bi Surti, khawatir. “Mau saya ambilkan balsem?”

Saira menggeleng cepat. “Nggak usah, Bi. Saya nggak apa-apa, kok. Nanti aja, saya mau kerjain ini dulu. Makasih ya.”

Bi Surti mengangguk sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya di dapur.

Hingga malam menjelang, ia masih duduk di bangku kayu sambil menyusun ulang modul praktik untuk mahasiswa yang tadi sempat ia abaikan.

“Sebentar lagi sampai.”

Suara berat itu tiba-tiba mengejutkan Saira. Ia melirik sekilas, mendapati Cakra Wiradana, suaminya, berdiri tak jauh di belakangnya. Satu tangan memegang ponsel yang menempel di telinga, sementara tangan lainnya membawa kantong kertas putih.

“Kamu tenang saja aku sudah urus semuanya,” kata Cakra dengan nada tenang di telepon.

Cakra masih berdiri di depan pintu, rambutnya tampak setengah basah, tersisir rapi ke samping. Pria itu sudah berganti pakaian kasual, tampak siap untuk pergi lagi, seperti biasanya. 

Bukan hal aneh jika Cakra sibuk dan jarang di rumah. Namun, suara Cakra yang terdengar lebih lembut dari biasanya membuat Saira sedikit tertegun. Dengan siapa Cakra berbicara?

Saira tak bisa mendengar jelas percakapan suaminya. Ia menoleh kembali, berniat memastikan apakah pria itu pergi atau belum. Tetapi, tatapannya justru bertumbuk dengan pandangan dingin dari Cakra.

Langkah kaki tegasnya mendekat hingga berdiri tepat di hadapan Saira.

Tanpa berkata banyak hal, ia langsung melempar kantong kertas ke meja. "Apa-apaan ini? Kenapa kamu minta obat ini ke Mama?"

Saira menggeleng, kebingungan. "Aku nggak pernah minta apa-apa."

"Mama bilang kamu pakai test pack, hasilnya negatif."

"Test pack itu Mama bawa sendiri," jawabnya, mencoba tetap tenang. "Aku cuma dipaksa pakai."

Cakra mendengus. "Sudah tahu hasilnya negatif, kenapa masih dicoba?"

"Karena aku nggak punya pilihan!" balas Saira, suaranya datar.

“Nggak punya pilihan atau sengaja mau memanfaatkan keadaan?” Kalimat Cakra kembali mengiris hati Saira. “Segitunya biar bisa tidur sama aku?”

Jemari wanita itu mengepal kuat di atas meja. Membayangkan Cakra tersenyum padanya saja dia tidak pernah, apalagi keinginan yang begitu intim seperti itu. 

Saira bahkan sadar diri bahwa pernikahan itu terjadi bukan karena keinginan mereka berdua. Ia dinikahi hanya sebagai bentuk tanggung jawab atas kesalahan Cakra di masa lalu.

“Aku nggak pernah memanfaatkan keadaan. Obat itu inisiatif Mama sendiri.” Saira membuang napas panjang sebelum kembali mendaratkan tubuhnya di kursi, “Wajar saja Mama curiga, kita sudah menikah dua tahun, tapi belum juga punya anak.”

“Kita sudah pernah bahas ini berkali-kali,” kata Cakra, mendekatkan wajahnya. Nada suaranya lebih rendah namun tetap tajam. “Kamu tau apa yang harus kamu lakukan, tapi masih saja pakai cara rendahan ini! Kamu ini nggak paham atau memang sengaja?”

“Cakra, demi Tuhan—”

“Jangan bawa-bawa Tuhan!” potong Cakra dengan suara dingin. Saira ingin berbicara, tetapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara.

“Aku sudah memperingatkanmu dari awal, Saira. Urusan kita cuma sebatas hidup dalam satu rumah. Jangan pernah berharap lebih dengan pernikahan ini, apalagi soal anak!”

Setelah melontarkan kata-kata itu, Cakra berbalik tanpa menunggu tanggapan, meninggalkan Saira yang kini hanya bisa memandang punggung suaminya dengan mata berkaca-kaca.

Bab terkait

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 2

    Malam itu, setelah perdebatan kecil dengan suaminya, Saira tidak lagi melihat Cakra. Pria itu pergi begitu saja, tanpa memedulikan perasaannya.Pagi tiba, namun Cakra belum juga menampakkan dirinya. Bi Surti, yang sedang membantu di dapur, memberi tahu Saira bahwa suaminya baru pulang menjelang subuh.“Subuh?” Saira mengulang dengan nada terkejut. Bi Surti mengangguk cepat.“Kata sopir, Pak Cakra semalam ke bandara, nyetir sendiri, Bu,” ujar Bi Surti pelan.Tangan Saira yang sedang menata piring terhenti. Ia tahu betul karakter suaminya. Cakra tidak akan repot-repot pergi ke bandara jika bukan untuk seseorang yang sangat penting baginya. Bahkan, perhatian seperti itu tak pernah diberikan kepada dirinya.Lalu, siapa yang dijemput Cakra semalam? Pikiran itu membuat hatinya resah.“Mungkin Sandrina? Kan dia libur semester bulan ini?” gumam Saira, mencoba berpikir logis. Sandrina adalah adik perempuan Cakra, yang kuliah di Bali dan hanya pulang ke Jogja sesekali.Namun, Bi Surti menggeleng

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 3

    “Hai, Sophia cantik!” Cakra menyapa gadis kecil itu dengan senyuman lebar. Ia mengulurkan tangan untuk membalas pelukan Sophia dan menggendongnya.“Bagaimana tidur tadi malam? Kasur di sini nyaman seperti di rumahmu, kan?” tanyanya.Anak kecil berkuncir dua itu mengangguk antusias. “Sophia mimpi indah, Papa!” jawabnya ceria.Kepala Saira mendadak pening. Panggilan Sophia kepada Cakra itu membuat darahnya seolah berhenti mengalir. Ia menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap suaminya kepada gadis kecil itu.Indira, wanita yang berdiri di dekat mereka, tetap terlihat tenang tanpa menunjukkan perubahan ekspresi sedikit pun.“Sophia, turun, sayang,” pinta Indira lembut.Namun, Cakra mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Indira membiarkan Sophia tetap di gendongannya. “Biarkan saja,” ujarnya sambil tersenyum kepada Sophia. Tapi, ketika matanya beralih ke arah Saira, sorotnya berubah dingin. “Kenapa kamu tidak mempersilakan mereka masuk dan malah membuat keributan?”“Cakra, ini cuma

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 4

    Seharian penuh, di sela-sela pekerjaannya, Saira terus memikirkan berbagai kemungkinan jawaban atas semua pertanyaan yang mengusik benaknya. Namun, hingga petang tiba, semuanya tetap menggantung tanpa jawaban.Saat tiba di rumah, mobil Cakra sudah terparkir rapi di garasi. Ini bukan kebiasaan pria itu; biasanya ia bisa pulang lebih larut.“Nanti Mama dan Sandrina makan malam di sini.”Suara bariton Cakra menyambutnya begitu ia melangkah ke ruang tengah. Pria itu tampak sibuk menggulung lengan kemejanya, gerakannya tergesa-gesa.“Kenapa nggak bilang dari tadi siang?” tanya Saira, menatapnya tajam. “Kalau kamu kasih tahu lebih awal, aku bisa pulang cepat dan menyiapkan semuanya.”“Nggak sempat,” jawab Cakra singkat tanpa menoleh. “Kalau nggak ada waktu masak, beli aja di luar.”Saira menahan napas, kecewa. Kalau nanti Mama mertua melihat rumah belum sepenuhnya rapi atau tahu makanannya beli dari luar, siapa yang akan disalahkan? Tentu saja dirinya.Saira si menantu tak becus, tak pandai

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 5

    “Cakra ….”Saira meremas ujung rok yang ia gunakan berusaha keras menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang Mama. Namun, sebelum ia sempat melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba suara maskulin yang familiar mengambil alih perhatian.Aliran hangat menyusuri nadi Saira, sedikit lega sebab akhirnya pria itu pulang tepat waktu. Setidaknya, Saira tidak perlu merangkai alasan untuk menutupi kepergiannya malam ini.“Aku di sini!” seru Cakra sambil melangkah masuk, membuat semua orang secara serempak menoleh ke arahnya. Pria itu tampak menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. “Maaf, tadi ada urusan mendadak di kantor.”“Apa ada masalah?” Ambar segera melayangkan kekhawatirannya pada sang putra, tetapi Cakra hanya menanggapinya dengan gelengan kepala. Dengan santai Cakra mengambil kursi di sebelah Saira dan mendaratkan tubuhnya di sana. “Enggak, Ma. Cuma ada berkas yang harus aku tanda tangani.” “Serius? Kalau ada apa-apa, bilang ke Mama. Nanti Mama bantu,” desak Ambar tak m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 6

    Cakra menarik napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. Ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ibunya. "Ma—"“Untuk apa mempertahankan pernikahan dengan wanita yang tidak bisa memberikan keturunan?" Suara Ambar terdengar meninggi, matanya menyala penuh emosi. "Kalian lebih baik urus perceraian saja!"Bola mata Saira mulai berkaca-kaca, namun ia tetap diam.Sebagai istri sah Ragamas Cakra Wiradana, mengapa ia begitu tak berdaya?Saat dihina, ia hanya bisa menahan perih. Ketika mertuanya terang-terangan meminta mereka bercerai, ia kembali menelan sakit hati.Cakra mencoba tetap tenang. Ia menggeleng pelan, suaranya tegas tapi tenang. “Kita sudah punya kesepakatan dengan Kakek Saira,” jawabnya, mengingatkan sang ibu.Dua tahun lalu, Cakra berjanji pada Prawirya, kakek Saira, untuk menikahi cucunya sebagai bentuk tanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi. Prawirya hanya meminta satu hal: Cakra tidak boleh menceraikan Saira, apa pun yang terjadi.Ambar mendengus kesal. “Mama akan bicar

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 7

    Setelah makan malam yang penuh ketegangan, Saira memilih menghindari semua orang dan mengunci diri di kamar. Ia duduk di pinggir ranjang, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya tumpah juga. Keinginannya dalam hidup sederhana saja—hanya ingin dicintai. Namun, entah kesalahan apa yang telah ia perbuat di masa lalu, sehingga takdir membawanya masuk ke keluarga Wiradana ini.Keluarga terpandang itu tidak pernah benar-benar menganggapnya sebagai bagian dari mereka. Setiap kata yang diucapkan Ambar dan Sandrina selalu melukai hatinya. Dan, yang paling menyakitkan adalah sikap Cakra, yang tetap dingin, bahkan tak pernah sekalipun membelanya. Bahkan ketika adiknya bertindak di luar batas seperti malam ini, Cakra—suaminya, yang seharusnya melindungi dan menjaga nama baiknya—tetap diam tanpa melakukan apa-apa.Saira tahu, sejak awal dia bukanlah istri yang diinginkan Cakra. Namun, setelah dua tahun pernikahan, apakah hati Cakra benar-benar tidak sedikit pun tergerak untuknya? Apakah tid

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 8

    Saat matahari mulai merayap naik, Saira sudah rapi dengan kemeja putih beraksen brokat dan celana panjang senada. Meski berusaha tampil sempurna, nyatanya sapuan bedak tebal tak mampu menutupi bekas tangis semalam yang tetap kentara di wajahnya.Di dapur, denting panci dan piring menjadi latar suasana pagi itu. Saira membantu Bi Surti menyusun sarapan, berusaha mengalihkan pikirannya dari kekosongan hatinya. Namun, ketenangan itu pecah oleh bunyi bel rumah yang nyaring, berkali-kali.“Siapa yang datang sepagi ini?” gumam Saira, alisnya berkerut tipis. Namun, sebelum sempat melangkah, Bi Surti sudah lebih sigap. “Biar saya saja, Bu,” ujarnya sambil bergegas ke pintu.Saira kembali ke pekerjaannya, rasa penasaran mulai mengusik. Samar-samar, ia mendengar percakapan singkat di depan pintu sebelum Bi Surti kembali dengan sebuah kantong kain merah muda di tangannya.“Siapa yang datang, Bi? Apa itu?” tanya Saira, pandangannya tertuju pada benda tersebut. “Mbak Indira, Bu. Mengantar beka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 9

    Kini, masalah bekal sudah selesai, tak ada lagi hal yang hanya membuat kepalanya pening.Saira menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dadanya.Setelah merasa cukup tenang, ia mengambil tas dan melangkah keluar rumah.Hari ini, ia harus menjemput kakeknya, Prawirya, untuk menepati janjinya semalam.Semoga saja, ini menjadi alasan yang sempurna untuk sejenak melarikan diri dari kerumitan yang memenuhi pikirannya***Rumah kembali lengang setelah kepergian Saira. Satu jam berlalu, dan suasana mulai berubah saat Cakra memulai aktivitasnya.Setelan jas hitam mahal melekat sempurna pada tubuh tegapn

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06

Bab terbaru

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 11

    Saira melirik layar ponsel di tangan suaminya. Terpampang foto sebuah kotak bekal yang tergeletak di jalan depan rumah mereka—kotak makan milik Indira, wanita yang pagi tadi dengan percaya diri mengantarkan makanan untuk Cakra.Saira sudah menduga, Indira pasti mengadu."Tadi pagi Indira ke sini antar bekal. Tapi kenapa kamu nggak kasih ke aku dan malah kamu buang?" Suara Cakra menggelegar, memenuhi ruangan. Matanya menyala seperti kobaran api.Alih-alih gentar, Saira tersenyum miring. Ada kepahitan di balik tatapannya. "Kesal karena bekal dari wanita kesayanganmu dibuang begitu saja?""Jawab pertanyaanku!" bentak Cakra lagi.Saira menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi. Ia bersedekap, menatap Cakra tajam. "Ak

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 10

    Di waktu yang sama, Saira menepati janjinya mengantar sang kakek tercinta ke rumah sakit. Ruang tunggu itu terasa dingin. Beberapa kali Saira mengusap lengannya, mencoba mengusir hawa beku yang membekap kulitnya.Ia duduk di samping kursi roda sang kakek, tapi pandangannya kosong. Mata cokelat itu menatap dinding kaca beberapa meter di depannya, namun pikirannya melayang entah ke mana.“Saira.” Suara Prawirya yang berat nan lembut mengoyak lamunan, diikuti dengan sentuhan hangat di bahu.Saira tersentak kecil. “Kakek?” Refleks ia menoleh, cepat, seperti ketakutan tertangkap basah. “Ada apa?”Pria tua itu tidak langsung menjawab. Tatapan matanya lembut tapi tajam, seakan mampu menembus lapisan pura-pura ceria yang dipasang cucunya. &ldq

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 9

    Kini, masalah bekal sudah selesai, tak ada lagi hal yang hanya membuat kepalanya pening.Saira menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dadanya.Setelah merasa cukup tenang, ia mengambil tas dan melangkah keluar rumah.Hari ini, ia harus menjemput kakeknya, Prawirya, untuk menepati janjinya semalam.Semoga saja, ini menjadi alasan yang sempurna untuk sejenak melarikan diri dari kerumitan yang memenuhi pikirannya***Rumah kembali lengang setelah kepergian Saira. Satu jam berlalu, dan suasana mulai berubah saat Cakra memulai aktivitasnya.Setelan jas hitam mahal melekat sempurna pada tubuh tegapn

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 8

    Saat matahari mulai merayap naik, Saira sudah rapi dengan kemeja putih beraksen brokat dan celana panjang senada. Meski berusaha tampil sempurna, nyatanya sapuan bedak tebal tak mampu menutupi bekas tangis semalam yang tetap kentara di wajahnya.Di dapur, denting panci dan piring menjadi latar suasana pagi itu. Saira membantu Bi Surti menyusun sarapan, berusaha mengalihkan pikirannya dari kekosongan hatinya. Namun, ketenangan itu pecah oleh bunyi bel rumah yang nyaring, berkali-kali.“Siapa yang datang sepagi ini?” gumam Saira, alisnya berkerut tipis. Namun, sebelum sempat melangkah, Bi Surti sudah lebih sigap. “Biar saya saja, Bu,” ujarnya sambil bergegas ke pintu.Saira kembali ke pekerjaannya, rasa penasaran mulai mengusik. Samar-samar, ia mendengar percakapan singkat di depan pintu sebelum Bi Surti kembali dengan sebuah kantong kain merah muda di tangannya.“Siapa yang datang, Bi? Apa itu?” tanya Saira, pandangannya tertuju pada benda tersebut. “Mbak Indira, Bu. Mengantar beka

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 7

    Setelah makan malam yang penuh ketegangan, Saira memilih menghindari semua orang dan mengunci diri di kamar. Ia duduk di pinggir ranjang, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya tumpah juga. Keinginannya dalam hidup sederhana saja—hanya ingin dicintai. Namun, entah kesalahan apa yang telah ia perbuat di masa lalu, sehingga takdir membawanya masuk ke keluarga Wiradana ini.Keluarga terpandang itu tidak pernah benar-benar menganggapnya sebagai bagian dari mereka. Setiap kata yang diucapkan Ambar dan Sandrina selalu melukai hatinya. Dan, yang paling menyakitkan adalah sikap Cakra, yang tetap dingin, bahkan tak pernah sekalipun membelanya. Bahkan ketika adiknya bertindak di luar batas seperti malam ini, Cakra—suaminya, yang seharusnya melindungi dan menjaga nama baiknya—tetap diam tanpa melakukan apa-apa.Saira tahu, sejak awal dia bukanlah istri yang diinginkan Cakra. Namun, setelah dua tahun pernikahan, apakah hati Cakra benar-benar tidak sedikit pun tergerak untuknya? Apakah tid

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 6

    Cakra menarik napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. Ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ibunya. "Ma—"“Untuk apa mempertahankan pernikahan dengan wanita yang tidak bisa memberikan keturunan?" Suara Ambar terdengar meninggi, matanya menyala penuh emosi. "Kalian lebih baik urus perceraian saja!"Bola mata Saira mulai berkaca-kaca, namun ia tetap diam.Sebagai istri sah Ragamas Cakra Wiradana, mengapa ia begitu tak berdaya?Saat dihina, ia hanya bisa menahan perih. Ketika mertuanya terang-terangan meminta mereka bercerai, ia kembali menelan sakit hati.Cakra mencoba tetap tenang. Ia menggeleng pelan, suaranya tegas tapi tenang. “Kita sudah punya kesepakatan dengan Kakek Saira,” jawabnya, mengingatkan sang ibu.Dua tahun lalu, Cakra berjanji pada Prawirya, kakek Saira, untuk menikahi cucunya sebagai bentuk tanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi. Prawirya hanya meminta satu hal: Cakra tidak boleh menceraikan Saira, apa pun yang terjadi.Ambar mendengus kesal. “Mama akan bicar

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 5

    “Cakra ….”Saira meremas ujung rok yang ia gunakan berusaha keras menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang Mama. Namun, sebelum ia sempat melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba suara maskulin yang familiar mengambil alih perhatian.Aliran hangat menyusuri nadi Saira, sedikit lega sebab akhirnya pria itu pulang tepat waktu. Setidaknya, Saira tidak perlu merangkai alasan untuk menutupi kepergiannya malam ini.“Aku di sini!” seru Cakra sambil melangkah masuk, membuat semua orang secara serempak menoleh ke arahnya. Pria itu tampak menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. “Maaf, tadi ada urusan mendadak di kantor.”“Apa ada masalah?” Ambar segera melayangkan kekhawatirannya pada sang putra, tetapi Cakra hanya menanggapinya dengan gelengan kepala. Dengan santai Cakra mengambil kursi di sebelah Saira dan mendaratkan tubuhnya di sana. “Enggak, Ma. Cuma ada berkas yang harus aku tanda tangani.” “Serius? Kalau ada apa-apa, bilang ke Mama. Nanti Mama bantu,” desak Ambar tak m

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 4

    Seharian penuh, di sela-sela pekerjaannya, Saira terus memikirkan berbagai kemungkinan jawaban atas semua pertanyaan yang mengusik benaknya. Namun, hingga petang tiba, semuanya tetap menggantung tanpa jawaban.Saat tiba di rumah, mobil Cakra sudah terparkir rapi di garasi. Ini bukan kebiasaan pria itu; biasanya ia bisa pulang lebih larut.“Nanti Mama dan Sandrina makan malam di sini.”Suara bariton Cakra menyambutnya begitu ia melangkah ke ruang tengah. Pria itu tampak sibuk menggulung lengan kemejanya, gerakannya tergesa-gesa.“Kenapa nggak bilang dari tadi siang?” tanya Saira, menatapnya tajam. “Kalau kamu kasih tahu lebih awal, aku bisa pulang cepat dan menyiapkan semuanya.”“Nggak sempat,” jawab Cakra singkat tanpa menoleh. “Kalau nggak ada waktu masak, beli aja di luar.”Saira menahan napas, kecewa. Kalau nanti Mama mertua melihat rumah belum sepenuhnya rapi atau tahu makanannya beli dari luar, siapa yang akan disalahkan? Tentu saja dirinya.Saira si menantu tak becus, tak pandai

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 3

    “Hai, Sophia cantik!” Cakra menyapa gadis kecil itu dengan senyuman lebar. Ia mengulurkan tangan untuk membalas pelukan Sophia dan menggendongnya.“Bagaimana tidur tadi malam? Kasur di sini nyaman seperti di rumahmu, kan?” tanyanya.Anak kecil berkuncir dua itu mengangguk antusias. “Sophia mimpi indah, Papa!” jawabnya ceria.Kepala Saira mendadak pening. Panggilan Sophia kepada Cakra itu membuat darahnya seolah berhenti mengalir. Ia menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap suaminya kepada gadis kecil itu.Indira, wanita yang berdiri di dekat mereka, tetap terlihat tenang tanpa menunjukkan perubahan ekspresi sedikit pun.“Sophia, turun, sayang,” pinta Indira lembut.Namun, Cakra mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Indira membiarkan Sophia tetap di gendongannya. “Biarkan saja,” ujarnya sambil tersenyum kepada Sophia. Tapi, ketika matanya beralih ke arah Saira, sorotnya berubah dingin. “Kenapa kamu tidak mempersilakan mereka masuk dan malah membuat keributan?”“Cakra, ini cuma

DMCA.com Protection Status