Share

Bab 3

Penulis: Sinar Rembulan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-10 16:44:16

“Hai, Sophia cantik!” Cakra menyapa gadis kecil itu dengan senyuman lebar. Ia mengulurkan tangan untuk membalas pelukan Sophia dan menggendongnya.

“Bagaimana tidur tadi malam? Kasur di sini nyaman seperti di rumahmu, kan?” tanyanya.

Anak kecil berkuncir dua itu mengangguk antusias. “Sophia mimpi indah, Papa!” jawabnya ceria.

Kepala Saira mendadak pening. Panggilan Sophia kepada Cakra itu membuat darahnya seolah berhenti mengalir. Ia menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap suaminya kepada gadis kecil itu.

Indira, wanita yang berdiri di dekat mereka, tetap terlihat tenang tanpa menunjukkan perubahan ekspresi sedikit pun.

“Sophia, turun, sayang,” pinta Indira lembut.

Namun, Cakra mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Indira membiarkan Sophia tetap di gendongannya. “Biarkan saja,” ujarnya sambil tersenyum kepada Sophia. Tapi, ketika matanya beralih ke arah Saira, sorotnya berubah dingin. “Kenapa kamu tidak mempersilakan mereka masuk dan malah membuat keributan?”

“Cakra, ini cuma salah paham. Kami tidak berdebat kok. Saira tadi bilang kamu sudah berangkat kerja, tapi aku yang memaksa untuk bertemu,” ujar Indira cepat, seolah ingin meluruskan situasi.

“Benar begitu?” tanya Cakra dengan nada menuntut.

Saira menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya. “Aku kira mereka orang asing yang salah alamat. Tapi kalau sudah jelas, silakan saja.” Suaranya terdengar datar. Tanpa menunggu respons, ia berbalik menuju dapur.

Sesampainya di dapur, Saira meletakkan tote bag pemberian Indira di meja makan dengan sedikit hentakan. Tubuhnya terasa lemas, dadanya sesak. Ia mencoba mengatur napas, namun air mata sudah menggenang di sudut matanya.

Panggilan “Papa” dari Sophia terus terngiang di kepalanya. Mungkinkah anak itu adalah …?

Saira tidak sanggup melanjutkan pikirannya. Namun, potongan-potongan memori mulai menguasai benaknya — malam-malam di mana ia harus minum obat yang terus diberikan Mama mertuanya, tatapan sinis keluarga Cakra, dan komentar pedas tentang dirinya yang belum bisa memberikan keturunan.

Suara langkah tegap terdengar mendekat. Cakra muncul di dapur, mengambil tas kerja dan kunci mobilnya. Sambil mempersiapkan diri, ia berkata datar, “Hari ini aku pulang telat.”

Saira tetap diam, tidak berniat menanggapi. Kesal, Cakra mendesah panjang. “Apa kamu mendadak tuli?” sindirnya.

Saira memutar tubuh, menatap Cakra dengan sorot mata penuh emosi. “Aku mau bicara sebentar,” ujarnya.

“Aku buru-buru,” balas Cakra sambil melangkah pergi.

Namun, Saira merentangkan tangan, menghalangi langkahnya. “Siapa Indira?” tanyanya tajam, tak peduli pada tatapan peringatan Cakra.

“Siapapun dia, itu bukan urusanmu!” jawab Cakra tegas.

“Kamu menjemputnya dari bandara, mencarikan dia rumah di sini. Siapa wanita itu? Istri kedua kamu? Simpanan kamu?” desak Saira dengan suara bergetar.

“Jaga bicaramu!” peringatan Cakra terdengar dingin, matanya membelalak tajam.

“Kalau begitu, jelaskan apa hubunganmu dengan dia. Jangan biarkan aku menyimpulkan sendiri!” tantang Saira.

Cakra menghela napas berat. “Indira baru pulang dari California. Kalau saja kecelakaan waktu itu tidak terjadi, dia yang jadi istriku sekarang. Apa itu cukup jelas?”

Saira menatapnya dengan ekspresi hampa. Pikirannya berusaha mencernanya, tetapi dadanya terasa semakin sesak. “Lalu anak itu … alasan kamu tidak ingin punya anak selama ini?”

Cakra terdiam, tubuh tegapnya menegang. Ia mengerutkan dahi, menatap Saira dengan tatapan bingung. “Apa maksudmu?”

“Seorang anak kecil memanggilmu Papa tidak mungkin tanpa alasan, kan? Kalau ini alasannya, kenapa kamu tidak bilang dari awal? Aku tidak perlu minum obat setiap bulan. Aku tidak perlu dihujat mandul oleh keluargamu!” suara Saira mulai meninggi, penuh kepedihan yang selama ini terpendam.

“Cukup, Saira! Pikiranmu ngawur!” potong Cakra tajam.

“Aku nggak ngawur! Nyatanya, kamu memperlakukan dia dan anaknya jauh lebih baik daripada memperlakukan istrimu sendiri!”

Cakra tidak membalas. Ia hanya melirik jam tangannya, lalu menghela napas panjang.

“Kalau sejak dulu dia yang kamu inginkan, kenapa kamu masih menikahiku? Kenapa kamu menyeretku ke dalam pernikahan ini?” tuntut Saira dengan suara yang mulai bergetar.

“Kamu tahu jelas alasannya!” Cakra melangkah mendekat, menatapnya tajam. “Kita berdua sama-sama nggak punya pilihan! Jika aku bisa memilih, aku pun juga nggak mau menikah denganmu!”

Setelah mengatakan itu, Cakra berlalu pergi. Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar menjauh.

Ketika semuanya hening, Saira membuang napas panjang. Sebuah senyum getir terbit di wajahnya, bersamaan dengan air mata yang mengalir perlahan. Ia menyadari satu hal: bagaimana mungkin seorang suami lebih memilih mengabaikan istrinya sendiri?

Tiba-tiba, alarm ponsel berbunyi. Saira menghapus air matanya, merapikan diri, dan bersiap berangkat kerja. Sepanjang perjalanan, ia hanya diam. Pandangannya terpaku pada pemandangan di luar jendela, sementara pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Mengapa wanita itu baru muncul sekarang?

Dan Sophia … benarkah anak itu darah daging Cakra?

Bab terkait

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 4

    Seharian penuh, di sela-sela pekerjaannya, Saira terus memikirkan berbagai kemungkinan jawaban atas semua pertanyaan yang mengusik benaknya. Namun, hingga petang tiba, semuanya tetap menggantung tanpa jawaban.Saat tiba di rumah, mobil Cakra sudah terparkir rapi di garasi. Ini bukan kebiasaan pria itu; biasanya ia bisa pulang lebih larut.“Nanti Mama dan Sandrina makan malam di sini.”Suara bariton Cakra menyambutnya begitu ia melangkah ke ruang tengah. Pria itu tampak sibuk menggulung lengan kemejanya, gerakannya tergesa-gesa.“Kenapa nggak bilang dari tadi siang?” tanya Saira, menatapnya tajam. “Kalau kamu kasih tahu lebih awal, aku bisa pulang cepat dan menyiapkan semuanya.”“Nggak sempat,” jawab Cakra singkat tanpa menoleh. “Kalau nggak ada waktu masak, beli aja di luar.”Saira menahan napas, kecewa. Kalau nanti Mama mertua melihat rumah belum sepenuhnya rapi atau tahu makanannya beli dari luar, siapa yang akan disalahkan? Tentu saja dirinya.Saira si menantu tak becus, tak pandai

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 5

    “Cakra ….”Saira meremas ujung rok yang ia gunakan berusaha keras menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang Mama. Namun, sebelum ia sempat melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba suara maskulin yang familiar mengambil alih perhatian.Aliran hangat menyusuri nadi Saira, sedikit lega sebab akhirnya pria itu pulang tepat waktu. Setidaknya, Saira tidak perlu merangkai alasan untuk menutupi kepergiannya malam ini.“Aku di sini!” seru Cakra sambil melangkah masuk, membuat semua orang secara serempak menoleh ke arahnya. Pria itu tampak menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. “Maaf, tadi ada urusan mendadak di kantor.”“Apa ada masalah?” Ambar segera melayangkan kekhawatirannya pada sang putra, tetapi Cakra hanya menanggapinya dengan gelengan kepala. Dengan santai Cakra mengambil kursi di sebelah Saira dan mendaratkan tubuhnya di sana. “Enggak, Ma. Cuma ada berkas yang harus aku tanda tangani.” “Serius? Kalau ada apa-apa, bilang ke Mama. Nanti Mama bantu,” desak Ambar tak m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 6

    Cakra menarik napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. Ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ibunya. "Ma—"“Untuk apa mempertahankan pernikahan dengan wanita yang tidak bisa memberikan keturunan?" Suara Ambar terdengar meninggi, matanya menyala penuh emosi. "Kalian lebih baik urus perceraian saja!"Bola mata Saira mulai berkaca-kaca, namun ia tetap diam.Sebagai istri sah Ragamas Cakra Wiradana, mengapa ia begitu tak berdaya?Saat dihina, ia hanya bisa menahan perih. Ketika mertuanya terang-terangan meminta mereka bercerai, ia kembali menelan sakit hati.Cakra mencoba tetap tenang. Ia menggeleng pelan, suaranya tegas tapi tenang. “Kita sudah punya kesepakatan dengan Kakek Saira,” jawabnya, mengingatkan sang ibu.Dua tahun lalu, Cakra berjanji pada Prawirya, kakek Saira, untuk menikahi cucunya sebagai bentuk tanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi. Prawirya hanya meminta satu hal: Cakra tidak boleh menceraikan Saira, apa pun yang terjadi.Ambar mendengus kesal. “Mama akan bicar

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 7

    Setelah makan malam yang penuh ketegangan, Saira memilih menghindari semua orang dan mengunci diri di kamar. Ia duduk di pinggir ranjang, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya tumpah juga. Keinginannya dalam hidup sederhana saja—hanya ingin dicintai. Namun, entah kesalahan apa yang telah ia perbuat di masa lalu, sehingga takdir membawanya masuk ke keluarga Wiradana ini.Keluarga terpandang itu tidak pernah benar-benar menganggapnya sebagai bagian dari mereka. Setiap kata yang diucapkan Ambar dan Sandrina selalu melukai hatinya. Dan, yang paling menyakitkan adalah sikap Cakra, yang tetap dingin, bahkan tak pernah sekalipun membelanya. Bahkan ketika adiknya bertindak di luar batas seperti malam ini, Cakra—suaminya, yang seharusnya melindungi dan menjaga nama baiknya—tetap diam tanpa melakukan apa-apa.Saira tahu, sejak awal dia bukanlah istri yang diinginkan Cakra. Namun, setelah dua tahun pernikahan, apakah hati Cakra benar-benar tidak sedikit pun tergerak untuknya? Apakah tid

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 8

    Saat matahari mulai merayap naik, Saira sudah rapi dengan kemeja putih beraksen brokat dan celana panjang senada. Meski berusaha tampil sempurna, nyatanya sapuan bedak tebal tak mampu menutupi bekas tangis semalam yang tetap kentara di wajahnya.Di dapur, denting panci dan piring menjadi latar suasana pagi itu. Saira membantu Bi Surti menyusun sarapan, berusaha mengalihkan pikirannya dari kekosongan hatinya. Namun, ketenangan itu pecah oleh bunyi bel rumah yang nyaring, berkali-kali.“Siapa yang datang sepagi ini?” gumam Saira, alisnya berkerut tipis. Namun, sebelum sempat melangkah, Bi Surti sudah lebih sigap. “Biar saya saja, Bu,” ujarnya sambil bergegas ke pintu.Saira kembali ke pekerjaannya, rasa penasaran mulai mengusik. Samar-samar, ia mendengar percakapan singkat di depan pintu sebelum Bi Surti kembali dengan sebuah kantong kain merah muda di tangannya.“Siapa yang datang, Bi? Apa itu?” tanya Saira, pandangannya tertuju pada benda tersebut. “Mbak Indira, Bu. Mengantar beka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 9

    Kini, masalah bekal sudah selesai, tak ada lagi hal yang hanya membuat kepalanya pening.Saira menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dadanya.Setelah merasa cukup tenang, ia mengambil tas dan melangkah keluar rumah.Hari ini, ia harus menjemput kakeknya, Prawirya, untuk menepati janjinya semalam.Semoga saja, ini menjadi alasan yang sempurna untuk sejenak melarikan diri dari kerumitan yang memenuhi pikirannya***Rumah kembali lengang setelah kepergian Saira. Satu jam berlalu, dan suasana mulai berubah saat Cakra memulai aktivitasnya.Setelan jas hitam mahal melekat sempurna pada tubuh tegapn

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 10

    Di waktu yang sama, Saira menepati janjinya mengantar sang kakek tercinta ke rumah sakit. Ruang tunggu itu terasa dingin. Beberapa kali Saira mengusap lengannya, mencoba mengusir hawa beku yang membekap kulitnya.Ia duduk di samping kursi roda sang kakek, tapi pandangannya kosong. Mata cokelat itu menatap dinding kaca beberapa meter di depannya, namun pikirannya melayang entah ke mana.“Saira.” Suara Prawirya yang berat nan lembut mengoyak lamunan, diikuti dengan sentuhan hangat di bahu.Saira tersentak kecil. “Kakek?” Refleks ia menoleh, cepat, seperti ketakutan tertangkap basah. “Ada apa?”Pria tua itu tidak langsung menjawab. Tatapan matanya lembut tapi tajam, seakan mampu menembus lapisan pura-pura ceria yang dipasang cucunya. &ldq

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 11

    Saira melirik layar ponsel di tangan suaminya. Terpampang foto sebuah kotak bekal yang tergeletak di jalan depan rumah mereka—kotak makan milik Indira, wanita yang pagi tadi dengan percaya diri mengantarkan makanan untuk Cakra.Saira sudah menduga, Indira pasti mengadu."Tadi pagi Indira ke sini antar bekal. Tapi kenapa kamu nggak kasih ke aku dan malah kamu buang?" Suara Cakra menggelegar, memenuhi ruangan. Matanya menyala seperti kobaran api.Alih-alih gentar, Saira tersenyum miring. Ada kepahitan di balik tatapannya. "Kesal karena bekal dari wanita kesayanganmu dibuang begitu saja?""Jawab pertanyaanku!" bentak Cakra lagi.Saira menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi. Ia bersedekap, menatap Cakra tajam. "Ak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08

Bab terbaru

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 11

    Saira melirik layar ponsel di tangan suaminya. Terpampang foto sebuah kotak bekal yang tergeletak di jalan depan rumah mereka—kotak makan milik Indira, wanita yang pagi tadi dengan percaya diri mengantarkan makanan untuk Cakra.Saira sudah menduga, Indira pasti mengadu."Tadi pagi Indira ke sini antar bekal. Tapi kenapa kamu nggak kasih ke aku dan malah kamu buang?" Suara Cakra menggelegar, memenuhi ruangan. Matanya menyala seperti kobaran api.Alih-alih gentar, Saira tersenyum miring. Ada kepahitan di balik tatapannya. "Kesal karena bekal dari wanita kesayanganmu dibuang begitu saja?""Jawab pertanyaanku!" bentak Cakra lagi.Saira menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi. Ia bersedekap, menatap Cakra tajam. "Ak

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 10

    Di waktu yang sama, Saira menepati janjinya mengantar sang kakek tercinta ke rumah sakit. Ruang tunggu itu terasa dingin. Beberapa kali Saira mengusap lengannya, mencoba mengusir hawa beku yang membekap kulitnya.Ia duduk di samping kursi roda sang kakek, tapi pandangannya kosong. Mata cokelat itu menatap dinding kaca beberapa meter di depannya, namun pikirannya melayang entah ke mana.“Saira.” Suara Prawirya yang berat nan lembut mengoyak lamunan, diikuti dengan sentuhan hangat di bahu.Saira tersentak kecil. “Kakek?” Refleks ia menoleh, cepat, seperti ketakutan tertangkap basah. “Ada apa?”Pria tua itu tidak langsung menjawab. Tatapan matanya lembut tapi tajam, seakan mampu menembus lapisan pura-pura ceria yang dipasang cucunya. &ldq

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 9

    Kini, masalah bekal sudah selesai, tak ada lagi hal yang hanya membuat kepalanya pening.Saira menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dadanya.Setelah merasa cukup tenang, ia mengambil tas dan melangkah keluar rumah.Hari ini, ia harus menjemput kakeknya, Prawirya, untuk menepati janjinya semalam.Semoga saja, ini menjadi alasan yang sempurna untuk sejenak melarikan diri dari kerumitan yang memenuhi pikirannya***Rumah kembali lengang setelah kepergian Saira. Satu jam berlalu, dan suasana mulai berubah saat Cakra memulai aktivitasnya.Setelan jas hitam mahal melekat sempurna pada tubuh tegapn

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 8

    Saat matahari mulai merayap naik, Saira sudah rapi dengan kemeja putih beraksen brokat dan celana panjang senada. Meski berusaha tampil sempurna, nyatanya sapuan bedak tebal tak mampu menutupi bekas tangis semalam yang tetap kentara di wajahnya.Di dapur, denting panci dan piring menjadi latar suasana pagi itu. Saira membantu Bi Surti menyusun sarapan, berusaha mengalihkan pikirannya dari kekosongan hatinya. Namun, ketenangan itu pecah oleh bunyi bel rumah yang nyaring, berkali-kali.“Siapa yang datang sepagi ini?” gumam Saira, alisnya berkerut tipis. Namun, sebelum sempat melangkah, Bi Surti sudah lebih sigap. “Biar saya saja, Bu,” ujarnya sambil bergegas ke pintu.Saira kembali ke pekerjaannya, rasa penasaran mulai mengusik. Samar-samar, ia mendengar percakapan singkat di depan pintu sebelum Bi Surti kembali dengan sebuah kantong kain merah muda di tangannya.“Siapa yang datang, Bi? Apa itu?” tanya Saira, pandangannya tertuju pada benda tersebut. “Mbak Indira, Bu. Mengantar beka

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 7

    Setelah makan malam yang penuh ketegangan, Saira memilih menghindari semua orang dan mengunci diri di kamar. Ia duduk di pinggir ranjang, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya tumpah juga. Keinginannya dalam hidup sederhana saja—hanya ingin dicintai. Namun, entah kesalahan apa yang telah ia perbuat di masa lalu, sehingga takdir membawanya masuk ke keluarga Wiradana ini.Keluarga terpandang itu tidak pernah benar-benar menganggapnya sebagai bagian dari mereka. Setiap kata yang diucapkan Ambar dan Sandrina selalu melukai hatinya. Dan, yang paling menyakitkan adalah sikap Cakra, yang tetap dingin, bahkan tak pernah sekalipun membelanya. Bahkan ketika adiknya bertindak di luar batas seperti malam ini, Cakra—suaminya, yang seharusnya melindungi dan menjaga nama baiknya—tetap diam tanpa melakukan apa-apa.Saira tahu, sejak awal dia bukanlah istri yang diinginkan Cakra. Namun, setelah dua tahun pernikahan, apakah hati Cakra benar-benar tidak sedikit pun tergerak untuknya? Apakah tid

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 6

    Cakra menarik napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. Ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ibunya. "Ma—"“Untuk apa mempertahankan pernikahan dengan wanita yang tidak bisa memberikan keturunan?" Suara Ambar terdengar meninggi, matanya menyala penuh emosi. "Kalian lebih baik urus perceraian saja!"Bola mata Saira mulai berkaca-kaca, namun ia tetap diam.Sebagai istri sah Ragamas Cakra Wiradana, mengapa ia begitu tak berdaya?Saat dihina, ia hanya bisa menahan perih. Ketika mertuanya terang-terangan meminta mereka bercerai, ia kembali menelan sakit hati.Cakra mencoba tetap tenang. Ia menggeleng pelan, suaranya tegas tapi tenang. “Kita sudah punya kesepakatan dengan Kakek Saira,” jawabnya, mengingatkan sang ibu.Dua tahun lalu, Cakra berjanji pada Prawirya, kakek Saira, untuk menikahi cucunya sebagai bentuk tanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi. Prawirya hanya meminta satu hal: Cakra tidak boleh menceraikan Saira, apa pun yang terjadi.Ambar mendengus kesal. “Mama akan bicar

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 5

    “Cakra ….”Saira meremas ujung rok yang ia gunakan berusaha keras menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang Mama. Namun, sebelum ia sempat melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba suara maskulin yang familiar mengambil alih perhatian.Aliran hangat menyusuri nadi Saira, sedikit lega sebab akhirnya pria itu pulang tepat waktu. Setidaknya, Saira tidak perlu merangkai alasan untuk menutupi kepergiannya malam ini.“Aku di sini!” seru Cakra sambil melangkah masuk, membuat semua orang secara serempak menoleh ke arahnya. Pria itu tampak menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. “Maaf, tadi ada urusan mendadak di kantor.”“Apa ada masalah?” Ambar segera melayangkan kekhawatirannya pada sang putra, tetapi Cakra hanya menanggapinya dengan gelengan kepala. Dengan santai Cakra mengambil kursi di sebelah Saira dan mendaratkan tubuhnya di sana. “Enggak, Ma. Cuma ada berkas yang harus aku tanda tangani.” “Serius? Kalau ada apa-apa, bilang ke Mama. Nanti Mama bantu,” desak Ambar tak m

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 4

    Seharian penuh, di sela-sela pekerjaannya, Saira terus memikirkan berbagai kemungkinan jawaban atas semua pertanyaan yang mengusik benaknya. Namun, hingga petang tiba, semuanya tetap menggantung tanpa jawaban.Saat tiba di rumah, mobil Cakra sudah terparkir rapi di garasi. Ini bukan kebiasaan pria itu; biasanya ia bisa pulang lebih larut.“Nanti Mama dan Sandrina makan malam di sini.”Suara bariton Cakra menyambutnya begitu ia melangkah ke ruang tengah. Pria itu tampak sibuk menggulung lengan kemejanya, gerakannya tergesa-gesa.“Kenapa nggak bilang dari tadi siang?” tanya Saira, menatapnya tajam. “Kalau kamu kasih tahu lebih awal, aku bisa pulang cepat dan menyiapkan semuanya.”“Nggak sempat,” jawab Cakra singkat tanpa menoleh. “Kalau nggak ada waktu masak, beli aja di luar.”Saira menahan napas, kecewa. Kalau nanti Mama mertua melihat rumah belum sepenuhnya rapi atau tahu makanannya beli dari luar, siapa yang akan disalahkan? Tentu saja dirinya.Saira si menantu tak becus, tak pandai

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 3

    “Hai, Sophia cantik!” Cakra menyapa gadis kecil itu dengan senyuman lebar. Ia mengulurkan tangan untuk membalas pelukan Sophia dan menggendongnya.“Bagaimana tidur tadi malam? Kasur di sini nyaman seperti di rumahmu, kan?” tanyanya.Anak kecil berkuncir dua itu mengangguk antusias. “Sophia mimpi indah, Papa!” jawabnya ceria.Kepala Saira mendadak pening. Panggilan Sophia kepada Cakra itu membuat darahnya seolah berhenti mengalir. Ia menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap suaminya kepada gadis kecil itu.Indira, wanita yang berdiri di dekat mereka, tetap terlihat tenang tanpa menunjukkan perubahan ekspresi sedikit pun.“Sophia, turun, sayang,” pinta Indira lembut.Namun, Cakra mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Indira membiarkan Sophia tetap di gendongannya. “Biarkan saja,” ujarnya sambil tersenyum kepada Sophia. Tapi, ketika matanya beralih ke arah Saira, sorotnya berubah dingin. “Kenapa kamu tidak mempersilakan mereka masuk dan malah membuat keributan?”“Cakra, ini cuma

DMCA.com Protection Status