Share

Bab 3

Penulis: Sinar Rembulan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-10 16:44:16

“Hai, Sophia cantik!” Cakra menyapa gadis kecil itu dengan senyuman lebar. Ia mengulurkan tangan untuk membalas pelukan Sophia dan menggendongnya.

“Bagaimana tidur tadi malam? Kasur di sini nyaman seperti di rumahmu, kan?” tanyanya.

Anak kecil berkuncir dua itu mengangguk antusias. “Sophia mimpi indah, Papa!” jawabnya ceria.

Kepala Saira mendadak pening. Panggilan Sophia kepada Cakra itu membuat darahnya seolah berhenti mengalir. Ia menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap suaminya kepada gadis kecil itu.

Indira, wanita yang berdiri di dekat mereka, tetap terlihat tenang tanpa menunjukkan perubahan ekspresi sedikit pun.

“Sophia, turun, sayang,” pinta Indira lembut.

Namun, Cakra mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Indira membiarkan Sophia tetap di gendongannya. “Biarkan saja,” ujarnya sambil tersenyum kepada Sophia. Tapi, ketika matanya beralih ke arah Saira, sorotnya berubah dingin. “Kenapa kamu tidak mempersilakan mereka masuk dan malah membuat keributan?”

“Cakra, ini cuma salah paham. Kami tidak berdebat kok. Saira tadi bilang kamu sudah berangkat kerja, tapi aku yang memaksa untuk bertemu,” ujar Indira cepat, seolah ingin meluruskan situasi.

“Benar begitu?” tanya Cakra dengan nada menuntut, lebih tepatnya ke arah istrinya.

Saira menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya. “Aku kira mereka orang asing yang salah alamat. Tapi kalau sudah jelas, silakan saja.” Suaranya terdengar datar. Tanpa menunggu respons, ia berbalik menuju dapur.

Sesampainya di dapur, Saira meletakkan tote bag pemberian Indira di meja makan dengan sedikit hentakan. Tubuhnya terasa lemas, dadanya sesak. Ia mencoba mengatur napas, tetapi air mata sudah menggenang di sudut matanya.

Panggilan “Papa” dari Sophia terus terngiang di kepalanya. Mungkinkah anak itu adalah …?

Saira tidak sanggup melanjutkan pikirannya.

Namun, potongan-potongan memori mulai menguasai benaknya — malam-malam di mana ia harus minum obat yang terus diberikan Mama mertuanya, tatapan sinis keluarga Cakra, dan komentar pedas tentang dirinya yang belum bisa memberikan keturunan.

Suara langkah tegap terdengar mendekat. Cakra muncul di dapur, mengambil tas kerja dan kunci mobilnya. Sambil mempersiapkan diri, ia berkata datar, “Hari ini aku pulang telat.”

Saira tetap diam, tidak berniat menanggapi.

Kesal, Cakra mendesah panjang. “Apa kamu mendadak tuli?” sindirnya.

Saira memutar tubuh, menatap Cakra dengan sorot mata penuh emosi. “Aku mau bicara sebentar,” ujarnya.

“Aku buru-buru,” balas Cakra sambil melangkah pergi. Akan tetapi, Saira merentangkan tangan, menghalangi langkahnya.

“Siapa Indira?” tanyanya, tak peduli pada tatapan peringatan Cakra.

“Siapapun dia, itu bukan urusanmu!”

“Kamu menjemputnya dari bandara, mencarikan dia rumah di sini. Siapa wanita itu? Istri kedua kamu? Simpanan kamu?” desak Saira dengan suara bergetar.

“Jaga bicaramu!” Nada peringatan Cakra terdengar dingin, kedua matanya mengerling tajam ke arah Saira. 

“Kalau begitu, jelaskan apa hubunganmu dengan dia. Jangan biarkan aku menyimpulkan sendiri!” 

Cakra menghela napas berat. “Indira baru pulang dari California. Kalau saja kecelakaan waktu itu tidak terjadi, dia yang jadi istriku sekarang. Apa itu cukup jelas?”

Saira menatapnya dengan ekspresi hampa. Pikirannya berusaha mencernanya, tetapi dadanya terasa semakin sesak. “Lalu anak itu … alasan kamu tidak ingin punya anak selama ini?”

Cakra terdiam, tubuh tegapnya menegang. Ia mengerutkan dahi, menatap Saira dengan tatapan bingung. “Apa maksudmu?”

“Seorang anak kecil memanggilmu Papa tidak mungkin tanpa alasan, kan? Kalau ini alasannya, kenapa kamu tidak bilang dari awal? Aku tidak perlu minum obat setiap bulan. Aku tidak perlu dihujat mandul oleh keluargamu!” suara Saira mulai meninggi, penuh kepedihan yang selama ini terpendam.

“Cukup, Saira! Pikiranmu ngawur!” 

“Aku nggak ngawur! Nyatanya, kamu memperlakukan dia dan anaknya jauh lebih baik daripada memperlakukan istrimu sendiri!”

Cakra tidak membalas. Ia hanya melirik jam tangannya, lalu menghela napas panjang.

“Kalau sejak dulu dia yang kamu inginkan, kenapa kamu masih menikahiku? Kenapa kamu menyeretku ke dalam pernikahan ini?” tuntut Saira dengan suara yang mulai bergetar.

“Kamu tahu jelas alasannya!” Cakra melangkah mendekat, menatapnya tajam. “Kita berdua sama-sama nggak punya pilihan! Jika aku bisa memilih, aku pun juga nggak mau menikah denganmu!”

Setelah mengatakan itu, Cakra berlalu pergi. Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar menjauh.

Ketika semuanya hening, Saira membuang napas panjang. Sebuah senyum getir terbit di wajahnya, bersamaan dengan air mata yang mengalir perlahan. Ia menyadari satu hal: bagaimana mungkin seorang suami lebih memilih mengabaikan istrinya sendiri?

Tiba-tiba, alarm ponsel berbunyi. Saira menghapus air matanya, merapikan diri, dan bersiap berangkat kerja. Sepanjang perjalanan, ia hanya diam. Pandangannya terpaku pada pemandangan di luar jendela, sementara pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Mengapa wanita itu baru muncul sekarang?

Dan Sophia … benarkah anak itu darah daging Cakra?

Bab terkait

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 4

    Seharian penuh, di sela-sela pekerjaannya, Saira terus memikirkan berbagai kemungkinan jawaban atas semua pertanyaan yang mengusik benaknya. Namun, hingga petang tiba, semuanya tetap menggantung tanpa jawaban.Saat tiba di rumah, mobil Cakra sudah terparkir rapi di garasi. Ini bukan kebiasaan pria itu; biasanya ia bisa pulang lebih larut.“Nanti Mama dan Sandrina makan malam di sini.”Suara bariton Cakra menyambutnya begitu ia melangkah ke ruang tengah. Pria itu tampak sibuk menggulung lengan kemejanya, gerakannya tergesa-gesa.“Kenapa nggak bilang dari tadi siang?” tanya Saira, menatapnya tajam. “Kalau kamu kasih tahu lebih awal, aku bisa pulang cepat dan menyiapkan semuanya.”“Nggak sempat,” jawab Cakra singkat tanpa menoleh. “Kalau nggak ada waktu masak, beli aja di luar.”Saira menahan napas, kecewa. Kalau nanti Mama mertua melihat rumah belum sepenuhnya rapi atau tahu makanannya beli dari luar, siapa yang akan disalahkan? Tentu saja dirinya.Saira si menantu tak becus, tak pandai

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 5

    “Cakra ….”Saira meremas ujung rok yang ia gunakan berusaha keras menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang Mama. Namun, sebelum ia sempat melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba suara maskulin yang familiar mengambil alih perhatian.Aliran hangat menyusuri nadi Saira, sedikit lega sebab akhirnya pria itu pulang tepat waktu. Setidaknya, Saira tidak perlu merangkai alasan untuk menutupi kepergiannya malam ini.“Aku di sini!” seru Cakra sambil melangkah masuk, membuat semua orang secara serempak menoleh ke arahnya. Pria itu tampak menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. “Maaf, tadi ada urusan mendadak di kantor.”“Apa ada masalah?” Ambar segera melayangkan kekhawatirannya pada sang putra, tetapi Cakra hanya menanggapinya dengan gelengan kepala. Dengan santai Cakra mengambil kursi di sebelah Saira dan mendaratkan tubuhnya di sana. “Enggak, Ma. Cuma ada berkas yang harus aku tanda tangani.” “Serius? Kalau ada apa-apa, bilang ke Mama. Nanti Mama bantu,” desak Ambar tak m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 6

    Cakra menarik napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. Ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ibunya. "Ma—"“Untuk apa mempertahankan pernikahan dengan wanita yang tidak bisa memberikan keturunan?" Suara Ambar terdengar meninggi, matanya menyala penuh emosi. "Kalian lebih baik urus perceraian saja!"Bola mata Saira mulai berkaca-kaca, namun ia tetap diam.Sebagai istri sah Ragamas Cakra Wiradana, mengapa ia begitu tak berdaya?Saat dihina, ia hanya bisa menahan perih. Ketika mertuanya terang-terangan meminta mereka bercerai, ia kembali menelan sakit hati.Cakra mencoba tetap tenang. Ia menggeleng pelan, suaranya tegas tapi tenang. “Kita sudah punya kesepakatan dengan Kakek Saira,” jawabnya, mengingatkan sang ibu.Dua tahun lalu, Cakra berjanji pada Prawirya, kakek Saira, untuk menikahi cucunya sebagai bentuk tanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi. Prawirya hanya meminta satu hal: Cakra tidak boleh menceraikan Saira, apa pun yang terjadi.Ambar mendengus kesal. “Mama akan bicar

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 7

    Setelah makan malam yang penuh ketegangan, Saira memilih menghindari semua orang dan mengunci diri di kamar. Ia duduk di pinggir ranjang, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya tumpah juga. Keinginannya dalam hidup sederhana saja—hanya ingin dicintai. Namun, entah kesalahan apa yang telah ia perbuat di masa lalu, sehingga takdir membawanya masuk ke keluarga Wiradana ini.Keluarga terpandang itu tidak pernah benar-benar menganggapnya sebagai bagian dari mereka. Setiap kata yang diucapkan Ambar dan Sandrina selalu melukai hatinya. Dan, yang paling menyakitkan adalah sikap Cakra, yang tetap dingin, bahkan tak pernah sekalipun membelanya. Bahkan ketika adiknya bertindak di luar batas seperti malam ini, Cakra—suaminya, yang seharusnya melindungi dan menjaga nama baiknya—tetap diam tanpa melakukan apa-apa.Saira tahu, sejak awal dia bukanlah istri yang diinginkan Cakra. Namun, setelah dua tahun pernikahan, apakah hati Cakra benar-benar tidak sedikit pun tergerak untuknya? Apakah tid

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 8

    Saat matahari mulai merayap naik, Saira sudah rapi dengan kemeja putih beraksen brokat dan celana panjang senada. Meski berusaha tampil sempurna, nyatanya sapuan bedak tebal tak mampu menutupi bekas tangis semalam yang tetap kentara di wajahnya.Di dapur, denting panci dan piring menjadi latar suasana pagi itu. Saira membantu Bi Surti menyusun sarapan, berusaha mengalihkan pikirannya dari kekosongan hatinya. Namun, ketenangan itu pecah oleh bunyi bel rumah yang nyaring, berkali-kali.“Siapa yang datang sepagi ini?” gumam Saira, alisnya berkerut tipis. Namun, sebelum sempat melangkah, Bi Surti sudah lebih sigap. “Biar saya saja, Bu,” ujarnya sambil bergegas ke pintu.Saira kembali ke pekerjaannya, rasa penasaran mulai mengusik. Samar-samar, ia mendengar percakapan singkat di depan pintu sebelum Bi Surti kembali dengan sebuah kantong kain merah muda di tangannya.“Siapa yang datang, Bi? Apa itu?” tanya Saira, pandangannya tertuju pada benda tersebut. “Mbak Indira, Bu. Mengantar beka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 9

    Kini, masalah bekal sudah selesai, tak ada lagi hal yang hanya membuat kepalanya pening.Saira menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dadanya.Setelah merasa cukup tenang, ia mengambil tas dan melangkah keluar rumah.Hari ini, ia harus menjemput kakeknya, Prawirya, untuk menepati janjinya semalam.Semoga saja, ini menjadi alasan yang sempurna untuk sejenak melarikan diri dari kerumitan yang memenuhi pikirannya***Rumah kembali lengang setelah kepergian Saira. Satu jam berlalu, dan suasana mulai berubah saat Cakra memulai aktivitasnya.Setelan jas hitam mahal melekat sempurna pada tubuh tegapn

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-06
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 10

    Di waktu yang sama, Saira menepati janjinya mengantar sang kakek tercinta ke rumah sakit. Ruang tunggu itu terasa dingin. Beberapa kali Saira mengusap lengannya, mencoba mengusir hawa beku yang membekap kulitnya.Ia duduk di samping kursi roda sang kakek, tapi pandangannya kosong. Mata cokelat itu menatap dinding kaca beberapa meter di depannya, namun pikirannya melayang entah ke mana.“Saira.” Suara Prawirya yang berat nan lembut mengoyak lamunan, diikuti dengan sentuhan hangat di bahu.Saira tersentak kecil. “Kakek?” Refleks ia menoleh, cepat, seperti ketakutan tertangkap basah. “Ada apa?”Pria tua itu tidak langsung menjawab. Tatapan matanya lembut tapi tajam, seakan mampu menembus lapisan pura-pura ceria yang dipasang cucunya. &ldq

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 11

    Saira melirik layar ponsel di tangan suaminya. Terpampang foto sebuah kotak bekal yang tergeletak di jalan depan rumah mereka—kotak makan milik Indira, wanita yang pagi tadi dengan percaya diri mengantarkan makanan untuk Cakra.Saira sudah menduga, Indira pasti mengadu."Tadi pagi Indira ke sini antar bekal. Tapi kenapa kamu nggak kasih ke aku dan malah kamu buang?" Suara Cakra menggelegar, memenuhi ruangan. Matanya menyala seperti kobaran api.Alih-alih gentar, Saira tersenyum miring. Ada kepahitan di balik tatapannya. "Kesal karena bekal dari wanita kesayanganmu dibuang begitu saja?""Jawab pertanyaanku!" bentak Cakra lagi.Saira menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi. Ia bersedekap, menatap Cakra tajam. "Ak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08

Bab terbaru

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 28

    Mobil yang ditumpangi Saira dan Cakra masih melaju di jalan raya, hanya tinggal beberapa kilometer lagi sebelum sampai di rumah. Di tengah perjalanan yang hening itu, ponsel di saku celana Cakra bergetar. Getaran cukup kuat hingga menarik perhatian Saira. Ia melirik ke arah suaminya, tetapi begitu melihat nama Indira terpampang di layar, ekspresinya berubah. Seketika, ia membuang pandangan dan memilih diam. Cakra sendiri tak menunjukkan minat untuk mengangkat panggilan itu. Ia hanya menekan tombol volume agar ponsel berhenti bergetar. "Nggak mau angkat?" tanya Saira tanpa menoleh. "Nanti saja, baru nyetir," sahut pria itu santai. Namun, di sisi lain, perut Saira terasa geli. Ia tahu persis—kalau dirinya tidak ada, Cakra pasti langsung mengangkat panggilan itu tanpa ragu, bukan? Tak lama kemudian, ponsel Cakra kembali bergetar. Kali ini lebih lama. Saira mendesah lelah. "Sudahlah, angkat saja sana!" serunya, lalu sengaja mengalihkan pandangan ke luar jendela, seolah tak tertarik

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 27

    "Aku nggak butuh kesepakatan." Cakra menolak tanpa ingin bertanya soal kesempatan apa yang Saira tawarkan.Pria itu bahkan memilih fokus pada jalanan di hadapannya. "Tapi kamu melarangku ini-itu, sementara kamu bebas melakukan apa saja! Itu nggak adil buatku, Cakra!" Suara Saira meninggi, menyiratkan kemarahan dan kekecewaan yang tak lagi bisa ia tahan lagi. Cakra terdiam. Tatapannya tertuju pada wajah Saira yang kini mengeras. Ia bisa melihat sorot terluka di mata wanita itu, dan entah kenapa membuat dadanya terasa sesak.Namun, alih-alih melunak, ia justru mendengus pelan. "Dari awal, nggak ada yang bilang pernikahan ini akan adil."Saira kembali melemparkan tatapan tajam. "Justru karena itu aku mau kita adil sekarang! Aku cuma ingin ada aturan yang jelas. Kalau kamu bisa melakukan apa saja, aku juga harusnya punya kebebasan yang sama."Cakra mengetukkan jemarinya ke kemudi. Wajahnya tetap dingin, nyaris tanpa ekspresi. "Aku nggak tertarik bikin aturan atau kesepakatan. Yang jela

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 26

    Cakra menepati kata-katanya.Sudah seminggu berlalu sejak ia menyatakan kesediaannya untuk mengantar jemput Saira. Setiap hari, ia selalu datang tepat waktu tanpa terlambat sedikit pun.Namun, bukannya merasa nyaman, Saira justru semakin sesak dengan rutinitas itu. Ia kehilangan kebebasannya.Dulu, ia bisa mampir sebentar ke coffee shop bersama Sekar setelah mengajar, sekadar berbincang atau menikmati rum regal favoritnya tanpa terburu-buru. Sekarang? Bahkan merencanakannya saja tidak sempat.Sama seperti hari ini...Sejak siang hingga menjelang petang, jadwal mengajarnya tergantikan dengan rapat program baru bersama Sekar, Jehian, Anggara, dan beberapa dosen lainnya.Saira keluar lebih dulu bersama Sekar, sementara yang lain masih membahas beberapa hal di dalam ruangan. Begitu melewati pintu utama, matanya langsung menangkap sosok Cakra yang berdiri santai di depan mobil.Pria itu mengambil tempat di bawah pohon rindang, bersandar dengan satu tangan di saku celana, ekspresi wajahnya

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 25

    Saira menarik napas pelan sebelum melangkah mendekati mereka.Cakra sekilas menoleh, lalu kembali fokus pada Shopia yang masih sibuk dengan makanannya. Tidak ada senyuman, tidak ada pertanyaan apakah dia senang berbelanja. Saira sudah terbiasa.“Sudah selesai?” tanya Cakra datar.Saira mengangguk. “Kita pulang sekarang?”Cakra meneguk minumannya, lalu berdiri. “Ayo.”Mereka bertiga meninggalkan gerai makanan cepat saji dan berjalan menuju mobil. Shopia, dengan langkah kecilnya, menggenggam tangan Cakra tanpa ragu. Saira, seperti biasa, hanya mengikuti dari belakang.Perjalanan pulang berlangsung dalam keheningan. Shopia sempat berceloteh sebentar, tetapi seiring waktu, suara cerianya meredup. Kepalanya mulai terkulai, kelopak matanya semakin berat, dan akhirnya ia tertidur di bangku belakang.Saat mobil berhenti di depan rumah, Cakra menoleh ke belakang. “Dia tertidur.”Saira ikut menoleh dan melihat wajah polos Shopia yang terlelap dengan napas teratur. Tanpa menunggu jawaban, Cakra

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 24

    Malam itu, seperti yang telah disepakati—atau lebih tepatnya, seperti yang telah diputuskan oleh Cakra—Indira akhirnya mengantar Shopia ke rumah mereka tepat setelah matahari sepenuhnya terbenam.Begitu keluar dari kamar setelah berganti pakaian, Saira langsung melihat seorang gadis kecil duduk di ruang tamu, memeluk boneka beruangnya erat. Anak itu, Shopia, tengah duduk bersama Bi Surti, menonton kartun di televisi."Cakra mana, Bi?" tanya Saira sambil memindai ruangan. Suaminya tidak ada di sana.Bi Surti tersenyum. "Bapak sedang ganti baju, Bu."Saira mengangguk paham, lalu mengalihkan pandangan ke arah Shopia yang tampak lugu. Meski hatinya masih enggan menerima keberadaan anak itu, ia tahu benar bahwa Shopia bukanlah seseorang yang bisa disalahkan dalam kisah rumit ini.Bahkan jika dugaannya terbukti benar."Kamu sudah makan?" Saira akhirnya membuka suara, berjongkok di depan Shopia seraya menampilkan senyum. Mencoba bersikap biasa.Namun, Shopia hanya mengangkat wajah, menatapny

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 23

    "Siapa dia?"Saira menoleh ke arah sang suami. Sorot mata pria itu sekilas mengikuti mobil yang baru saja melaju di depan mereka, tetapi ekspresinya tetap datar, nyaris tak terbaca.“Maksudmu … dia?” Dengan ragu, Saira mengutarakan asumsinya, telunjuknya terarah pada mobil Anggara.Cakra hanya menjawab dengan anggukan, lalu melajukan mobilnya tanpa banyak bicara. Namun, beberapa detik kemudian, dia memperjelas subjek pertanyaannya. “Dia yang jalan bersamamu tadi.”“Itu Pak Anggara, pemilik yayasan yang baru.”“Dia setiap hari ke kampus?”Pertanyaan itu meluncur begitu saja, terdengar datar tetapi sarat arti. Saira mengernyit, sedikit bingung dengan arah pembicaraan, tetapi tetap menjawab juga, “Tergantung. Dia hanya akan ke kampus setiap hari Senin dan Selasa, sisanya menyesuaikan jadwal.”Pria yang sedang duduk di kursi kemudi itu melirik Saira sekilas, lalu kembali menatap ke jalan. Dia hanya mengangguk-angguk kecil sambil jemarinya mengetuk setir pelan.“Kamu bahkan sangat hafal ja

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 22

    Seharian penuh, Saira tenggelam dalam pekerjaannya sebagai dosen: mengajar, memeriksa tugas mahasiswa, menyusun materi kuliah, dan mengurus program kerja baru yang baru saja dilimpahkan padanya. Namun di tengah kesibukan itu, satu pertanyaan Sekar terus mengusik pikirannya.Benarkah Anggara memiliki perhatian lebih padanya? Atau hanya perasaannya saja?Banyak hal ingin ia tanyakan, tetapi Saira memilih bungkam. Ia sadar sepenuhnya, dirinya adalah seorang istri. Melibatkan diri lebih jauh dengan Anggara hanya akan memicu masalah baru. Hubungannya dengan Cakra saja sudah cukup memusingkan. Jika ia terjebak dalam hubungan lain yang rumit, segalanya bisa semakin kacau.Hari yang panjang itu akhirnya berlalu. Saira merapikan barang-barangnya, memasukkan laptop ke dalam tas, lalu meraih ponselnya untuk memesan taksi. Baru saja jemarinya mengetuk layar, suara Sekar memecah fokusnya.“Loh, Saira? Kok masih di sini?”Saira mendongak. Sekar berdiri di depannya, napasnya sedikit tersengal, dengan

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 21

    Saira mendongak, menatap Anggara dengan bingung. Cara pria itu berbicara membuat pikirannya tak menentu. Apakah ia salah paham, atau memang Anggara hanya sedang bercanda?Mengingat pria itu terlihat jauh lebih ramah daripada Cakra, Saira hampir merasa lega. Tapi ada sesuatu dalam cara Anggara berbicara yang membuat bulu kuduknya berdiri. Pikiran tentang kemungkinan lain semakin membuatnya bergidik ngeri.“Saya… Saya kurang paham maksud Pak Angga,” ucapnya pelan, suaranya ragu. Ia melirik sekilas ke arah Jehian yang duduk di sudut, sibuk dengan gawainya, tampak tak peduli pada pembicaraan mereka.Anggara tersenyum kecil, senyum ramah yang biasa diterbitkan tetapi sulit ditebak maknanya. "Proposal kamu bagus. Saya rasa jika dibahas lebih mendalam, ini bisa ditinjau ulang," katanya santai, sebelum tersenyum samar. Setelah jeda yang terasa terlalu lama bagi Saira, ia menambahkan, "Tentu saja, ada beberapa hal yang perlu kamu lakukan agar ini berhasil."Saira meneguk ludah, pikirannya berp

  • Suami Dinginku Menyesal Setelah Berpisah   Bab 20

    Saira tertegun sejenak, menatap pria muda yang tersenyum ke arahnya dari balik jendela mobil. Senyuman yang baru saja ia lihat itu pernah ia dapatkan kemarin sore.Tenggorokannya mendadak kering saat akhirnya ia mengenali sosok pria tersebut.Anggara Pratama—pemilik baru yayasan yang telah mengakuisisi universitas tempatnya bekerja. Nama itu telah menjadi topik pembicaraan hangat di lingkungan kampus selama beberapa minggu terakhir.Meski bukan pertama kalinya mereka berjumpa, bertemu langsung dalam situasi seperti ini membuat Saira merasa gugup. Terlebih saat suasana hatinya sedang buruk seperti sekarang.“Pak Anggara,” Saira mengangguk sopan, menyapa pria itu.Anggara membalas anggukan dengan senyuman khasnya, lebar dan hangat. “Kampus masih jauh. Kalau kamu jalan kaki seperti ini, pasti terlambat, kan? Saya tidak keberatan kalau kamu mau ikut.”“Ah, ti—tidak apa-apa, Pak. Saya sudah pesan taksi online. Sebentar lagi pasti datang,” jawab Saira, mencoba tersenyum selebar mungkin. Nam

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status