Malik melemparkan ponselnya ke meja. Dia tidak habis pikir mamanya masih saja mendekatkan dia dengan mely. Padahal sudah Malik yegaskan sejak dulu, jika dia tidak ada perasaan apapun Mely.
Tania juga ikut kesal setelah membaca pesan Bu Fatma. Ibu macam apa yang ingin merusak rumah tangga anaknya sendiri. Keduanya sama-sama terdiam dengan isi pikiran masing-masing.
"Lebih baik kita pulang aja yuk! Soalnya kakiku mulai terasa pegal," ajak Tania. Kakinya memang tidak seperti biasanya mungkin karena bawaan hamil jadi tubuhnya terasa cepat lelah.
"Kamu serius ingin pulang?" tanya Malik. Sebenarnya dia masih ingin di luar bersama Tania. Menikmati kebersamaan berdua setelah hubungan mereka yang dulu dingin mencair.
"Kita pulang sebelum mama meneror kamu terus Mas," kekeh Tania.
Akhirnya terpaksa Malik setuju pulang setelah melihat Tania memijat kakinya sendiri. Dia membawa belanjaan di tangannya. Sedangkan tangan Tania melingkar erat di tangannya. Mereka tidak tahu jika ada dua pasang mata yang terus memperhatikan dari tadi.
"Kamu yakin sayang. Akan membuat hubungan pasangan suami istri itu rusak?" tanya Iqbal 0ada Mely yang terus menatap geram.
Sambil mengaduk jus di tangannya. Dia pun menjawab pertanyaan Iqbal penuh keyakinan. "Aku pasti bisa membuat pria itu menikah denganku. Bukannya kamu juga suka uang? Dia adalah sumber uang kita." Bibir Mely tersenyum lebar. Namun, tetap saja ada rasa amarah yang bergemuruh di dalam dada. Dia cemburu dan iri melihat hubungan Malik dan istrinya.
Dua jam menempuh perjalanan. Akhirnya Malik dan Tania sampai ke rumah. Sebelum jam lima sore. Bu Fatma sudah menunggu dengan tangan yang dilipat di dada.
"Malik. Mama mau bicara sebentar!" cegah Bu Fatma saat Malik mau menaiki anak tangga. Langkah Malik dan Tania terhenti bersama.
Tania langsung naik ke lantai atas menurut perintah Malik. Dia membawa belanjaan yang ada di tangan Malik. Sementara Malik menuju ruang tamu menemui Bu Fatma yang sejak tadi uring-uringan.
Malik duduk tepat di hadapan mamanya. Bu Fatma memandang wajah Malik seakan masih ragu jika menantunya hamil. Suasana mendadak hening, Darmi yang melihat dua majikannya yang memasang wajah angkernya merasa takut sendiri.
"Apa benar Rania hamil?" tanya Bu Fatma akhirnya mengeluarkan suara.
"Ya Allah, Ma. Jadi Mama masih belum percaya Rania hamil?" Malik balik bertanya dengan nada heran. Malik mengeluarkan amplop putih dari saku bajunya. Dia menaruh amplop tersebut di atas meja.
"Silahkan Mama buka dan lihat sendiri!"
Bu Fatma langsung menyambar amplop putih di atas meja. Dia membukanya dengan penuh rasa penasaran. Di dalamnya ada sebuah alat tespek yang memperlihatkan dua garis merah, hasil foto USG dan kartu tanda berkunjung yang diberikan dokter kandungan.
"Malik mau mandi dan salat dulu," ucap Malik beranjak dari tempat duduknya.
"Jangan lupa Mely dan Tante Sarah akan datang. Kamu harus ikut menyambut kedatangan mereka. Jangan biarkan Rania turun dari kamarnya," cetus Bu Fatma.
"Ma. Rania itu istri Malik. Kenapa dia tidak boleh turun sementara Malik harus menyambut kedatangan orang lain? Lakukan apa yang ingin mama lakukan. Malik lelah mau mandi dan istirahat." Malik meninggalkan Bu Fatma yang menghentakan kedua kakinya karena kesal.
"Ya Allah, punya majikan kok gini banget ya, zalim banget sama anak menantu sendiri," gumam Darmi dalam hati. Dia kembali ke dapur untuk memberitahu Bi Asih. Mereka begitu sibuk karena Bu Fatma meminta dibuatkan masakan yang cukup banyak.
Di kamar. Tania baru selesai mengerjakan empat rakaatnya. Dia melihat Malik terduduk di tepi kasur dengan wajah frustasi. Tania segera melipat mukena dan sajadahnya.
Dia mendekati Malik yang terus menghela napas dengan wajah tertekan. Tania duduk di samping Malik lalu mengusap punggung tangan suaminya.
"Kenapa lagi sama mama?" tanya Tania yang bisa menebak jika Bu Fatma penyebab wajah Malik tertekan.
"Mas bingung menghadapi sikap mama. Pantas saja Rania memilih hidup di desa. Mas yakin, selama ini hidupnya pasti sangat menderita. Tapi kenapa Rania tidak pernah bicara apapun soal sikap mama?"
"Rania begitu mencintai kamu, Mas. Dia takut jika menceritakan semua hal yang dialaminya pada Mas. Hubungan Mas dan mama pasti akan renggang. Rania takut jika mama menyalahkannya," ungkap Tania mengatakan kembali apa yang Rania curahkan padanya.
"Ya Allah," lirih Malik. "Mama minta Mas menyambut kedatangan Mely dan ibunya. Dia melarang kamu untuk turun ke bawah. Mas tidak bisa terima hal itu," tegas Malik. Dada Sania berbunga-bunga mendengar Malik membelanya di hadapan Bu Fatma.
Nyatanya cinta yang seharusnya tidak boleh tumbuh pada Malik tetap saja tumbuh dengan sendirinya. Posisinya yang hanya sebagai istri pengganti membuat Tania tidak berani berharap lebih.
"Mas ikuti apa yang mama suruh! Berdandanlah dengan rapih dan sambut kedatangan Mely dan ibunya," titah Tania tentu saja dengan sebuah rencana di kepalanya.
"Tapi sayang," sanggah Malik menyebut kata 'sayang' pada Tania.
"Mas, aku mohon! Jangan membuat aku menjadi wanita egois yang melanggar janji pada adikku sendiri," monolog Tania dalam hatinya sendu.
"Tidak apa-apa Mas. Aku tidak akan marah. Malah aku akan memberi kejutan pada semua orang setelah berkumpul nanti."
Malik menatap bola mata Tania. Dia baru sadar jika kornea mata Tania berbeda warna dengan Rania. Bola mata Tania jauh lebih indah dan memancarkan hidup yang penuh semangat. Malik pun mengikuti saran Tania meskipun dia juga tidak tahu apa yang direncanakan Tania.
Malam yang dinantikan pun tiba. Bu Fatma tersenyum bahagia karen Malik menuruti perintahnya. Makanan sudah lengkap terhidang di meja. Mereka menunggu kedatangan Mely dan Sarah di depan teras rumah.
Tin! Tin!
Bunyi klakson dari sebuah mobil yang masuk ke halaman rumah. Wajah Bu Fatma begitu antusias melihat tamu yang ditunggu-tunggu akhirnya datang.
"Mereka datang. Pasang senyum yang ramah," titah Bu Fatma pada Malik.
Mely dan Sarah turun dari dalam mobil. Mereka berjalan dengan langkah kaki yang serempak menuju teras rumah. Sarah dan Bu Fatma langsung berpelukan gembira. Mely mengulas senyum melihat Malik yang terlihat tampan malam itu.
Malik menyapa Sarah dan Mely dengan senyum yang dipaksakan. Mereka langsung masuk ke dalam rumah menuju meja makan. Takut makanan yang dihidangkan keburu dingin. Tangan Mely sengaja berpegangan pada lengan Malik.
"Wah-wah sepertinya kita kedatangan tamu malam ini," ucap Tania yang sudah berdiri di anak tangga. "Halo selamat malam dan selamat datang," sambutnya pada Mely dan Sarah.
Mely dan Sarah menatap heran melihat wanita cantik yang menyambut mereka. Keduanya menatap Bu Fatma heran. Bu Fatma menatap Tania tajam namun di balas dengan seringai licik dari bibir Sania yang diberi lipstik merah menyala.
"Fatma. Siapa wanita ini?" tanya Sarah penasaran.
"Tante tidak kenal aku? Aku ini Rania istri sah dari Malik Hermawan." Tania menuruni anak tangga dengan anggun. Kakinya Memakai heels hitam yang senada dengan gaun yang dipakainya.
"Apa? Bukannya Fatma bilang kamu sakit? Dan bahkan kalian mau bercerai karena kamu mandul," ujar Sarah. Matanya melirik Bu Fatma yang salah tingkah.
"Benarkah Mama bilang seperti itu Tante? Ya Tuhan. Padahal aku sehat, dan sekarang malah sedang hamil." Tania berkata dengan ekspresi yang syok sambil mengelus perutnya. Namun, sudut bibir Tania menyunggingkan senyum kepuasan.
Tania sengaja memakai gaun yang terbuka di bagian dada hingga memperlihatkan belahan dadanya. Bagian bawah gaun sebelah kanan ada belahan memanjang hingga ke paha. Membuat Tania begitu cantik dan juga seksi. Malik sampai tidak berkedip melihat perubahan Tania.
"Jangan ada yang berani menyentuh suamiku!" Tania menepiskan tangan Mely yang bergelayut manja pada lengan Malik. Dia bahkan terdorong dua langkah ke belakang karena tepisan Tania sangat kuat.
Mely mundur dengan mata yang menatap nyalang pada Tania. Bu Fatma seakan tidak percaya dengan keveranai yang ditunjukan menantunya itu. Demi menjaga suasana tetap kondusif, Bu Fatma menggiring Mely daj ibunya ke meka makan. Tania merangkul lengan Malik dan berjalan bersama menuju meja makan. Dia benar-benar kagum melihat penampilan Tania yang sexy dan berani. Mely hendak mengambil kursi yang ada di dibsamping Malik. Namun, dengan cekatan Tania meengajak Malik pindah menjadi di samping sisi kanannya. "Mely duduk!" perintah Sarah pada anaknya yang nampak menahan amarah. Melly Menghentakkan kedua kakinya lalu terpaksa duduk di samping Tania. Bibir Tania yang di beri lipstik warna merah merona. "Silahkan di nikmati! Maaf jika hidangannya seadanya," ucap Bu Fatma merendah. Padahal di meja tersaji berbagai macam hidangan yang jarang ada. "Terima kasih Fatma. Ini sudah lebih dari cukup," sahut Sarah. Ujung matanya mendelik melihat perubahan Rania yang begitu drastis. Dulu wa
Bu Fatma keluar dari kamarnya. Dia yakin jika ada seseorang yang menguping pembicaraannya dengan Mely. Langkah kakinya tertuju pada pintu yang menuju balkon. Dimenhendal lalu membuka gorden. "Meong!" Seekor kucing melompat dan hampir membuat Bu Fatman menjerit kaget. "Dasar kucing sialan," maki Bu Fatma karena diyakini orang ternyata seekor kucing yang menjatuhkan vas bunga. Tepat di samping gorden. Darmi membekap mulutnya takut ketahuan. Dia tidak saat itu sedang mengambil gelas bekas minum Bu Fatma di meja di ruang tamu lantai dua. Samar-samar dia mendengar Bu Fatma tengah sibuk mengobrol dan memaki seseorang. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya mendekatkan telinga ke pintu. Saking kagetnya ternyata diam-diam Bu Fatma ingin menjadikan Mely istri Malik membuat Darmi tidak sengaja menyenggol vas bunga hingga jatuh. "Alhamdulilah, untung ada kucing piaraan Bi Asih. Kalo engga, aku bisa mati digantung nyonya jika ketahuan," gumam Darmi dalam hati. Dia segera menyelinap
Darmi dan Tania menengok ke belakang secara bersamaan.Tania spontan menggerakan leher serta kedua tangannya. Darmi dalam hatinya merasa takut jika Bu Fatma mendengar pembicaraannya dengan Tania. "Aku baru minta Darmi memijat, emang ada apa Ma?" tanya Tania sengaja balik bertanya ingin melihat reaksi Bu Fatma. "Gak ada. Mama cuma cari Bi Asih dari tadi dipanggil tidak menyahut. Kemana dia?" "Bi Asih mungkin menyapu halaman belakang Bu," jawab Darmi sedikit gugup. "Kamu kenapa gugup gitu? Saya kan cuma nanyain Bi Asih bukan mau makan kamu," omel Bu Fatma sambil melengos pergi. Tania dan Darmi mengikuti diam-diam. Setelah benar Bu Fatma menemui Bi Asih. Barulah Darmi dan Tania sama-sama menghela nafas lega. Tidak lama Bi Asih masuk setelah terlihat Bu Fatma menghampirinya. Darmi segera mendekati Bi Asih yang sedang mencuci tangan. Bibirnya nampak merengut tanda sedang tidak suka dengan permintaan Bu Fatma. "Bi Asih disuruh apa sama Nyonya?" tanya Darmi. "Dia minta aku
Kamu serius?" tanya Tania yang kaget mendengar ucapan Shela. "Sudah diam jangan bergerak. Cukup aku saja yang memperhatikan mereka berdua. Jangan sampai wanita ulat bulu itu melihat kamu ada disini juga," ujar Shela. Tania mengangguk patuh, dia tetap pada posisi duduknya yang membelakangi Mely dan Ikbal. Diam-diam, Shela merekam sikap mesra dengan kekasihnya. Setelah dirasa cukup Srha memperlihatkan rekaman video itu pda Tania. Dada Tania bergemuruh penuh emosi, bisa-bisanya mertuanya menjodohkan Malik dengan wanita yang seperti bunglon. Bu Fatma meminta saudara kembarnya untuk meninggalkan Malik hanya karena ingin menjodohkan Malik dengan Mely. Tangan Tania mengepal erat, rasanya dia ingin melabrak Mely saat itu juga. "Jangan gegabah! Menghadapi wanita ular yang didukung oleh ibu mertuamu yang jahat itu sama saja dengan bunuh diri. Mereka bisa mengelak dengan seribu alasan." Shela menahan lengan Tania yang hendak beranjak. Mely tidak sadar jika ada orang yang sedang
Semua nampak panik manakala Tania terus memegang perutnya yang terasa sakit. Seorang pegawai klinik memberikan air hangat. Shela membantu meminumkannya. Setelah mendengar instruksi dari pegawai tadi agar menarik napas dan mencoba rileks, barulah Tania perlahan membaik. "Sudah baikan Mba?" tanya pegawai itu sambil memijit kaki Tania. "Sudah. Terima kasih," jawab Tania setelah kram perutnya benar-benar hilang. "Jangan bikin panik dong! Aku bisa mati digantung suami kamu nanti kalo ada apa-apa sama bayi kalian," omel Shela yang tadi panik setengah mati. "Iya Maaf. Mungkin karena tadi tegang. Makanya jadi kram perutnya. Anterin pulang yuk. Sekalian aku kenalin kamu sama ibu mertuaku biar tahu wajahnya," ajak Tania. Shela mengangguk setuju. Dia memang harus tahu seperti apa wajah mertua Tania yang zalim itu. Shela membantu membawa barang belanjaan Tania, mereka keluar dari klinik kecantikan dan meninggalkan mall. Bu Fatma yang merasa dongkol pun pamitan pada Sarah. Di
Malik yang baru datang dari lantai bawah segera membuka pintu, setelah dia mendengar isak tangis Tanian. Malik masuk ke dalam kamar. Dia mendapati Tania tengah duduk di bawah lantai di sudut tempat tidur. "Sayang, ada apa?" tanya Malik panik seraya berjongkok di hadapan Tania. "Rania, Mas… Rania," oceh Tania dengan tangis yang histeris. Takut ada yang mendengar Malik menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Dia kembali mendekati Tania lalu menariknya ke dalam pelukan. "Katakan ada apa? Apa yang terjadi dengan Rania?" tanya Malik lagi dengan suara pelan sementara tangannya sambil menhelus rambut Tania. "Mas kita hatus ke desa sekarang. Barusan aku telpoanan dengannya. Tiba-tiba aku mendnegarvsuara jatuh. Paman Burhan bilamg Rania jatuh pingsan. Ayok Mas, kita harus ke sana sekarang," rengek Tania disela isak tangisnya. Deg!! Dada Malik bagaikan di hantam sebuah batu mendengar uacapan Tania. Dia melepaskan pelukan Tania, menahan kedua bahunya yang bergetar. Tangannya me
Rania terkejut melihat kakaknya hampir jatuh tersungkur ke lantai, tetapi Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk sekadar bersuara saja Ia kesulitan, saat ini seluruh tubuhnya terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Rasa sakit di perutnya sudah menjalar ke mana-mana. Dokter hanya bisa berusaha mengalihkan sedikit rasa sakitnya dengan sementara. "Tania kenapa? apa pas di jalan tadi dia mengeluhkan sesuatu?" tanya Paman Burhan pada Malik yang juga kebingungan. Mereka menggotong tubuh Tania lalu membaringkannya di brankar kosong yang ada di samping Rania. Kebetulan ruangan kelas satu sedang penuh jadi Rania kebagian ruang rawat kelas dua dengan satu ruangan berisi dua pasien. Di kamar itu baru ada Rania seorang diri ditemani Paman Burhan. "Tidak ada, tadi dia baik-baik saja Paman. Tapi, mungkin kita perlu panggil suster juga." Malik panik dan merogoh-rogoh saku jaket dan celananya seperti mencari sesuatu. "Tunggu dulu, Ia mungkin cuma syok melihat adiknya seperti ini. Apa kalian su
Ada masalah apa, Mas?" tanya Tania yang tidak sengaja mendengar suara telpon dari sekretarisnya. Nama ibu mertuanya disebut oleh sekretaris Malik. Apalagi wajah Malik juga terlihat gusar setelah menerima telepon. "Mama datang, mengecek jadwal Mas. Mungkin memastikan Mas tidak bohong," gumam Malik. "Terus?" Tania mengerutkan dahi panik. "Sudah beres, Lita sudah mengurusnya. Ia juga memperlihatkan data palsu yang sudah Mas siapkan," jawab Malik. Tania dan Rania lega mendengarnya. Malik meminta sekretarisnya supaya menyelesaikan masalah kecil yang terjadi di kantornya. Ternyata mamanya datang hanya untuk mengecek jadwal Malik, untung saja Lita cukup sigap dan menyelesaikannya dengan baik sesuai perintah sang bos. "Maaf ya, gara-gara aku kalian harus berbohong," ucap Rania dengan lemah. "Tidak masalah, Rania. Lagi pula tidak ada salahnya aku bepergian kemanapun membawa Tania. Mama tidak punya hak untuk melarang," ucap Malik menenangkan gadis kesayangannya. Tania menghe
"Malik. Kamu tidak bisa mendidik istri kamu dengan baik. Lihatlah apa yang dia lakukan pada mama," ujar Bu Fatma memanas-manasi Malik. "Mas!" panggil Tania pelan. Malik menoleh ke arah Tani seraya mengulas senyum lembut penuh cinta seperti biasanya. "Mas percaya sama kamu." "Malik! Setelah apa yang dia lakukan pada Mama. Kamu masih percaya padanya? Kamu pikir Mama mengarang cerita," bentak Bu Fatma. "Ma. Bisa saja Mama jatuh karena menendang botol minyak urut ini. Ini minyak zaitun yang bisa dipakai Mama untuk mengurut bukan?" Malik menunjuk botol yang terlempar di sudut tangga. Tania tersenyum lega. Sementara Bu Fatma semakin meradang. Dia kembali mengucapkan kata-kata yang menjelekan Tania agar membuat wanita itu tersudut. Namun, Malik tetap pada pendiriannya. Tidak mungkin istrinya tega melakukan hal tersebut. Tidak berapa lama, tiba-tiba saja Mely datang bersama seorang dokter gadungan yang sengaja dia bawa untuk memperlancar rencana mereka. Bu Fatma pura-pu
Bu Fatma dan Mely masih ada di dalam mobil. Keduanya belum beranjak pergi meski kini Tania dan Sheli sudah menghilang sejak insiden tadi.Mata Melly menatap nanar kaca mobil yang terkesan gelap. "Tante, jika sudah begini maka hanya ada satu cara terakhir yang harus kita lakukan." Kalimat lirih itu membuat Bu Fatma menatapnya cepat. "Apa maksudmu?" tanya Bu Fatma penasaran. Dengan segera Melly memutar arah duduknya. Menghadap Bu Fatma langsung agar bisa didengar dengan saksama. "Jika cara seperti ini juga tak bisa mencelakai Rania, maka kita harus menjebaknya agar Malik mulai meragukan kebaikan hatinya." "Tolong kau jelaskan dengan benar, agar Tante bisa paham," pinta Bu Fatma. Mely menunda kalimatnya, membuat sosok itu tak mengalihkan pandangan sedikit pun. "Tante harus menjebak Rania. Buat seolah-olah Tante terluka karena ulahnya, dengan begitu maka Malik mungkin akan mulai kecewa pada kebaikan hatinya." Bu Fatma cukup terkejut mendengar saran Mely b
Seperti biasa, setiap paginya Tania akan membantu sang suami untuk bersiap sebelum pergi ke kantor. Sosok itu memilihkan pakaian untuk Malik agar terlihat rapi setiap harinya. Namun, tanpa diduga Malik memeluk tubuh Tania dari belakang saat wanita itu tengah sibuk memilih kemeja yang berbaris di dalam lemari. "Aduh, Mas. Aku lagi pilihin baju loh ini," protes Tania. "Iya Mas tau. Kata siapa juga lagi masak, aneh kamu tu," canda Malik sembari menghirup wangi sang istri membuat Tania tersenyum geli dibuatnya. "Mas, udah ya. Nanti kamu telat loh, ini pake dulu bajunya." Tania berbalik tanpa menunggu dan dengan sedikit mendorong tubuh sang suami dia mengulurkan kemeja biru pilihannya. "Kamu bantuin Mas pake ya." "Kenapa emang? Tangannya sakit, hm?" "Iya," cicit Malik sembari mengerucutkan bibir yang langsung dijawab elusan lembut di wajahnya oleh Tania. "Yang mau punya bayi tapi kelakuan masih seperti bayi. Ya udah sini aku bantuin." Malik bersorak dalam
Bu Fatma yang sejak awal tak menyukai Rania, kini berusaha untuk menggugurkan kandungan sang menantu. Dia tak ingin Tania yang dianggap Rania itu melahirkan penerus bagi keluarga yang akan menjadi satu-satunya pewaris harta Hadiguna, mengingat jika dirinya hanya ibu tiri bagi Malik. Setelah sempat menyuruh orang untuk mencari obat terkuat yang bisa menghilangan nyawa bayi dalam kandungan, Bu Fatma pun bergegas pergi ke sebuah taman yang sepi tak jauh dari kediamannya. Sosok itu melebarkan langkah mendekati sosok tinggi dengan setelan hitam serta topi senada. "Bagaimana? Sudah kau temukan obatnya?" tanya Bu Fatma begitu sampai di depan orang suruhannya. Matanya berkali-kali melirik sekitar, takut jika akan ada yang melihatnya. "Tenang saja, ini adalah obat terkuat yang bisa digunakan." Jemari itu terulur, memberikan sebuah botol kaca kecil berisi cairan kuning di dalamnya. "Dosisnya sangat kuat, bahkan satu tetes saja bisa melenyapkan nyawa sang bayi." Bu Fatma t
Malik terdiam mendengar pertanyaan Tania. Gadis cantik berambut panjang lurus itu membuang wajah ke luar jendela. Hembusan nafas panjang terdengar dari hidungnya. "Mas minta maaf. Mas kira itu bukan hal penting memberi tahu soal alergi Mas," ucap Malik membuka suara. Dia hendak menggenggam tangab Tania. Namun, sang istri menepiskan tangannya. "Aku memang tidak sepenting Rania," lirih Tania kecewa. Malik mengusap kasar rambutnya. Dia tidak menyangka jika Tania akan membahas soal ucapan Rania mengenai alerginya. Malik memutar tubuhnya lalu memeluk Tania erat. Mungkin karena Tania tengah hamil, perasaanya menjadi lebih sensitif. "Mas minta maaf. Mas mulai hari ini tidak ada lagi rahasia di antara kita berdua," ucap Malik menenangkan kegundahan Tania. Cairan bening mengalir dari kedua sudut matanya. "Maaf aku juga tidak tahu bisa se sensitif ini." "Mas mengerti. Kamu pasti merasa cemburu kan?" Tania menangguk sebagai jawaban. Memang dia sadar Malik mantan suami adi
"Tidak usah diangkat, biarkan saja, nanti siangan Mas telpon balik agar Mama tidak bawel. Mama pasti ingin memastikan kita ada dimana,” tegas Malik. Tania mengangguk patuh sekaligus bernafas lega dengan keputusan Malik, ia tak mendebat sedikitpun akan keputusan yang sudah dibuatnya karena sadar di balik itu Malik hanya ingin melindungi semuanya. “Ya sudah kalau begitu Mas yang terpenting nanti kau harus kasih kabar ke Mama mu supaya tak panik mencarimu,” sahut Tania sembari tersenyum tipis. “Iya,” ucap Malik. “Sekarang waktunya kita sarapan, Paman dan Rania sudah menunggu di ruang makan sana,” ajak Tania. Malik mengangguk, mereka pun bergegas dengan berjalan beriringan menuju ke ruang makan. Di sana sudah ada Rania yang mulai menyuguhkan kopi untuk Paman, netra Rania langsung tertuju pada Tania dan Malik yang berjalan ke arahnya. Terlihat senyum Rania begitu lebar hingga membuat kedua matanya jadi sipit. "Selebar apapun senyumanmu, aku tahu kamu sedang sakit m
Ayam berkokok tidak tidak lama setelah azan subuh berkumandang. Tania menggeliat membuka mata. Dia menggoyangkan tubuh Malik agar bangun dan menunaikan salat. Malik pun membuka san langsung beranjak dari tempat tidur. Kamar mandi di rumah Paman Burhan hanya satu. Keduanya harus antri karena ternyata ada Paman Burhan yang lebih dulu di kamar mandi. Tidak lama kemudian Paman Burhan keluar, Tania membiarkan Malik lebih dulu menggunakan kamar mandi. "Bilang pada Malik. Paman tunggu di luar. Kita salat di masjid berjamaah dengan warga," pesan Paman Burhan sebelum masuk ke dalam kamarnya. Tania segera menyampaikan pesan Paman Burhan begitu Malik selesai mandi dan berwudu. Tania langsung masuk ke kamar mandi. Dia tidak ingin Paman menunggu Malik yang kelamaan menanti dirinya di kamar. Tania lupa membawa sarung dan juga baju koko milik Malik. Hawa dingin dan sejuknya air yang berasal dari pegunungan membuat Malik gemetaran. "Ini koko dan sarungnya Mas. Maaf saking buru-burunya ak
Ada masalah apa, Mas?" tanya Tania yang tidak sengaja mendengar suara telpon dari sekretarisnya. Nama ibu mertuanya disebut oleh sekretaris Malik. Apalagi wajah Malik juga terlihat gusar setelah menerima telepon. "Mama datang, mengecek jadwal Mas. Mungkin memastikan Mas tidak bohong," gumam Malik. "Terus?" Tania mengerutkan dahi panik. "Sudah beres, Lita sudah mengurusnya. Ia juga memperlihatkan data palsu yang sudah Mas siapkan," jawab Malik. Tania dan Rania lega mendengarnya. Malik meminta sekretarisnya supaya menyelesaikan masalah kecil yang terjadi di kantornya. Ternyata mamanya datang hanya untuk mengecek jadwal Malik, untung saja Lita cukup sigap dan menyelesaikannya dengan baik sesuai perintah sang bos. "Maaf ya, gara-gara aku kalian harus berbohong," ucap Rania dengan lemah. "Tidak masalah, Rania. Lagi pula tidak ada salahnya aku bepergian kemanapun membawa Tania. Mama tidak punya hak untuk melarang," ucap Malik menenangkan gadis kesayangannya. Tania menghe
Rania terkejut melihat kakaknya hampir jatuh tersungkur ke lantai, tetapi Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk sekadar bersuara saja Ia kesulitan, saat ini seluruh tubuhnya terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Rasa sakit di perutnya sudah menjalar ke mana-mana. Dokter hanya bisa berusaha mengalihkan sedikit rasa sakitnya dengan sementara. "Tania kenapa? apa pas di jalan tadi dia mengeluhkan sesuatu?" tanya Paman Burhan pada Malik yang juga kebingungan. Mereka menggotong tubuh Tania lalu membaringkannya di brankar kosong yang ada di samping Rania. Kebetulan ruangan kelas satu sedang penuh jadi Rania kebagian ruang rawat kelas dua dengan satu ruangan berisi dua pasien. Di kamar itu baru ada Rania seorang diri ditemani Paman Burhan. "Tidak ada, tadi dia baik-baik saja Paman. Tapi, mungkin kita perlu panggil suster juga." Malik panik dan merogoh-rogoh saku jaket dan celananya seperti mencari sesuatu. "Tunggu dulu, Ia mungkin cuma syok melihat adiknya seperti ini. Apa kalian su