Pagi itu gerimis kecil baru saja membasahi kota A. Lavanya tiba di kantor dengan menggunakan taksi. Setelah berterima kasih, ia menjinjing koper kecilnya ke dalam kantor. Erik masih tidur saat ia tinggalkan tadi. Meskipun suaminya itu tidak mengizinkan, Lavanya tetap pergi. Kemarin malam Lavanya juga menelepon Nadia, meminta bantuannya untuk mengantar jemput Belia ke sekolah selama dirinya tidak berada di Jakarta, jika Erik melalaikan tugasnya."Kamu sudah siap, Nya?" tanya Danish begitu melihat Lavanya muncul.Lavanya mengangguk dan mengatakan, "Sudah, Pak.""Kita berangkat sekarang. Kita nggak naik pesawat komersial. Kemarin Bu Ratna nggak jadi mengatur penerbangan untuk kita karena kantor pusat mengirim helikopter untuk berangkat," jelas Danish di sela-sela langkah menuju mobil yang standby di depan lobi.Lavanya menelan saliva. Apa katanya? Berangkat dengan helikopter? Itu artinya selain ada pilot, ia hanya berdua dengan Danish, 'kan?Entah kenapa tiba-tiba saja detak jantung L
Puluhan menit kemudian guncangan ringan dari helikopter yang menyesuaikan ketinggian membuat Lavanya terbangun. Seiring dengan kelopak matanya yang terbuka, ia merasakan tubuhnya lebih segar dari sebelumnya. Meski begitu sakit di perutnya tidak kunjung hilang. Sedetik setelahnya ia menyadari sesuatu yang berbeda. Ternyata kepalanya berada di pundak Danish. Entah sejak kapan. Lavanya yang terkejut seketika mengangkatnya. Pipinya bersemu karena malu."Maaf, Pak, saya nggak nyadar, tadi ketiduran," ucapnya tanpa berani memandang pada lelaki di sampingnya.Lelaki itu menerbitkan senyum tipis dari bibirnya. Ia terlihat santai. "Kamu terlalu banyak meminta maaf, Nya. Kamu nggak salah apa-apa padahal."Walau Danish menganggap sebagai hal yang wajar, tetapi tertidur di pundak atasan sekaligus mantan kekasih, tidaklah lazim menurut Lavanya.Kepalanya tertunduk semakin dalam, mengimbangi rasa malu yang kian menyebar. Berbagai perasaan melingkupi hatinya. Antara malu, terharu dan juga nyaman. Ke
Setelah meeting selesai Danish membawa Lavanya ke hotel tempat mereka akan menginap selama dua hari ini.Sebenarnya Danish bisa saja menginap di rumah orangtuanya, tapi ia memilih menginap di hotel dengan Lavanya. Alasannya sederhana, agar ia bisa mendampingi Lavanya jika sewaktu-waktu perempuan itu membutuhkan.Sepanjang perjalanan menuju hotel yang terletak tidak jauh dari kantor Serenity Group, Lavanya tidak mengatakan apa pun. Momen manis saat meeting tadi membuatnya merasa canggung pada Danish. Apalagi ia tahu persis seluruh peserta rapat memerhatikan mereka.Mobil yang membawa keduanya berbelok memasuki halaman sebuah hotel bintang lima dan menurunkan mereka tepat di depan lobi. Seorang petugas hotel dengan sigap membawakan koper Lavanya dan Danish. Setelah check in, sepasang mantan kekasih itu naik ke kamar yang berada di lantai atas yang letaknya bersebelahan."Mau makan dulu atau istirahat?" tanya Danish setelah tiba di depan pintu kamar Lavanya."Istirahat dulu, Pak. Dan ka
Lavanya menundukkan kepala, memutus pertemuan mata yang intens di antara mereka. Beruntung pelayan restoran datang mengantar pesanan keduanya.Dua piring hidangan disajikan untuk mereka. Roasted chicken wing with garlic herb butter untuk Lavanya, serta tenderloin steak untuk Danish. Sedangkan untuk minumannya iced lychee tea favorit Lavanya dan juice apple kesukaan Danish.Baru melihatnya saja Lavanya sudah merasakan kesegaran mengaliri tenggorokannya. "Silakan dimakan, Nya," suruh Danish.Lavanya mengangguk lalu menyuap sayap ayamnya. Setiap potongan yang ia telan seakan sedang memanggil kenangan masa lalu ke permukaan. Kenangan indah yang sayangnya sangat menyesakkan dada. Rasa garlic butter yang gurih membawanya ke kamar tidur rumah kontrakannya beberapa tahun yang silam.Lavanya ingat betul kejadiannya. Saat itu Lavanya sedang sakit. Perubahan cuaca yang tiba-tiba dan sukar diprediksi berhasil melumpuhkannya. Semalam ia pulang kehujanan. Kebetulan di saat itu daya tahan tubuhnya
Lavanya tersentak kaget kala mendengar dering suara ponsel. Bukan miliknya, tapi berasal dari pria di seberang mejanya. Seluruh lamunannya mengenai masa lalu buyar saat itu juga.Danish mengambil handphonenya dan melihat nama 'Mami' di layar. Ternyata ibunya yang menelepon."Boleh aku terima telepon dulu?" katanya meminta izin pada Lavanya.Danish tidak berubah. Dari zaman mereka berpacaran dulu selalu sama. Setiap kali mereka bersama dan ada telepon masuk ia akan selalu meminta izin terlebih dahulu pada Lavanya sebelum menjawabnya. Hanya saja yang berubah saat ini adalah status hubungan mereka."Silakan, Pak," jawab Lavanya sopan. "Saya mau ke toilet dulu." Ia pikir Danish butuh privasi untuk berbicara dengan seseorang di seberang sana."Kamu nggak perlu pergi, Nya. Itu telepon dari Mami, nggak ada yang rahasia," cegah Danish seolah tahu apa yang saat ini mengisi kepala Lavanya.Lavanya urung melaksanakan niatnya. Ia tetap duduk di tempat. Lantaran tidak ingin dianggap menguping, Lav
Rumah orangtua Danish berdiri dengan megah di sebuah kawasan elit yang berada di Jakarta Selatan. Arsitekturnya bergaya klasik modern dengan pilar-pilar tinggi, jendela-jendela besar dan halaman yang begitu luas. Di sisi kanan terdapat taman beraneka bunga dengan lampu taman yang bercahaya terang. Di samping taman itu ada sebuah kolam renang berbentuk persegi dengan air berwarna biru yang menyejukkan mata.Gerbang hitam setinggi tiga meter otomatis terbuka, memberi jalan untuk taksi yang keduanya tumpangi. Lavanya meremas tali tasnya. Jantungnya memompa darah jauh lebih cepat dari yang seharusnya. Ada perasaan asing menjalari dirinya. Semacam rasa tidak pantas berada di tempat itu. Bangunan yang berdiri kokoh di hadapannya membuat nyalinya sedikit ciut."Ayo kita turun," ajak Danish ketika taksi berhenti tepat di halaman rumah.Lavanya menghela napas, mempersiapkan diri untuk bertemu dengan orang di dalam istana besar itu.Rumah itu terlihat sunyi. Mungkin para penghuninya sudah bera
Ophelia melangkah anggun mengikuti Danish yang memimpin jalan di depannya. Begitu melihat kemunculan keduanya, Lavanya yang duduk di ruang tamu segera berdiri dan tersenyum sopan pada Ophelia."Lavanya, ini ibu Ophelia, mamiku. Mi, ini Lavanya, rekan kerjakuyang tadi aku ceritakan," kata Danish mengenalkan keduanya."Selamat malam, Bu." Lavanya menyapa Ophelia sambil mengulurkan tangannya untuk berjabatan.Wanita sosialita itu menyambut jabat tangan Lavanya. Mungkin Lavanya tidak menyadarinya, namun bagi Danish yang sudah sangat mengenal karakter sang ibu, ia tahu bahwa saat ini Ophelia sedang menilai Lavanya dalam hatinya.Ophelia tersenyum sambil menjabat tangan Lavanya. "Silakan duduk," ucap perempuan itu agar Lavanya kembali ke tempatnya.Lavanya mendudukkan diri di tempatnya tadi. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan Ophelia. Selama ini ia hanya tahu wajah wanita itu melalui foto. Selama berpacaran dengan Danish, sang kekasih tidak pernah satu kali pun membawa ke rumahnya, apa
Matahari baru saja terbit di ufuk timur ketika Danish membuka mata. Dan hal pertama yang pria itu ingat adalah Lavanya. Di antara begitu banyak hal yang bisa ia pikirkan, Lavanya menempati urutan teratas.Mungkin Lavanya sudah bangun dan saat ini merasa kebingungan apa yang harus dilakukannya di lingkungan asing yang masih baru baginya.Danish segera turun dari tempat tidur. Ia menggegas langkah ke kamar Lavanya. Diketuknya pintu. Namun tidak ada sahutan dari dalam.Apa Lavanya masih tidur?Danish mengulangi ketukannya. Kali ini dengan lebih keras. Hasilnya tetap sama. Mungkin Lavanya sedang sarapan di ruang makan, pikirnya.Danish pergi ke ruang makan saat itu juga. Setibanya di sana ia menemukan Ophelia sedang menyantap sarapannya. Perempuan itu hanya sendiri karena kemarin sore suaminya berangkat ke luar negeri."Mi, Lavanya mana?" tanya Danish langsung.Ophelia yang sedang menyendok oatmeal sontak menghentikan suapannya. "Maksud kamu apa? Kok nanya Mami?""Lavanya nginap di sini,
Kamar itu begitu sunyi. Hawa dingin yang ditiupkan titik hujan di luar sana membuat suasana semakin sejuk.Di atas ranjang rumah sakit yang berada di kamar itu, Lavanya terbaring lemah. Proses kuretase sudah selesai sejak beberapa jam yang lalu. Namun Lavanya masih belum sadarkan diri. Danish yang mendampingi duduk di kursi sebelah tempat tidur Lavanya. Pandangannya tidak beralih dari wajah pucat perempuan itu, menatapnya dengan penuh kekhawatiran. Sebelum Lavanya sadar dan membuka matanya Danish tidak akan bisa tenang.Danish mengerjap. Dirinya pikir ia sedang berkhayal ketika melihat kelopak mata Lavanya bergerak kemudian terbuka pelan-pelan.Butuh waktu beberapa detik bagi Lavanya untuk menyadari keadaannya. Ia tidak tahu di mana tempat ini dan apa yang menyebabkannya berada di sana."Lavanya..." Suara lembut yang sudah sangat ia hafal memanggil namanya. Lavanya menggerakkan kepala dan mendapati Danish sedang duduk di sebelah kanannya."Saya di mana?" Lavanya bertanya lirih."Di
Supir menghentikan mobilnya di depan instalasi gawat darurat. Danish langsung turun sambil membopong tubuh Lavanya. Beberapa orang petugas menyambut Danish."Tolong, Sus, dia pingsan dan pendarahan." Danish memberitahu dengan cepat.Lavanya dibaringkan di ranjang rumah sakit. Danish yang bermaksud mendampinginya terpaksa harus menyingkir karena suster menyuruhnya."Maaf, Pak, silakan tunggu di luar dulu."Dengan berat hati Danish bergerak meninggalkan Lavanya. Di dalam hati ia tidak berhenti berdoa demi keselamatan mantan kekasihnya. Danish berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Lavanya. Ia menyugesti diri bahwa semua akan baik-baik saja."Gimana?" tanya Ophelia ketika Danish kembali ke luar."Disuruh nunggu dulu, Mi."Ophelia menghela napasnya. "Bikin repot aja," ucapnya dengan kesal. "Lagian kenapa sih kamu sampai sepeduli itu sama dia? Ingat, Nish, dia bukan siapa-siapa kamu. Dia hanya karyawan biasa.""Selama dia di sini dia tanggung jawabku, Mi.""Tapi kamu nggak perlu me
Matahari baru saja terbit di ufuk timur ketika Danish membuka mata. Dan hal pertama yang pria itu ingat adalah Lavanya. Di antara begitu banyak hal yang bisa ia pikirkan, Lavanya menempati urutan teratas.Mungkin Lavanya sudah bangun dan saat ini merasa kebingungan apa yang harus dilakukannya di lingkungan asing yang masih baru baginya.Danish segera turun dari tempat tidur. Ia menggegas langkah ke kamar Lavanya. Diketuknya pintu. Namun tidak ada sahutan dari dalam.Apa Lavanya masih tidur?Danish mengulangi ketukannya. Kali ini dengan lebih keras. Hasilnya tetap sama. Mungkin Lavanya sedang sarapan di ruang makan, pikirnya.Danish pergi ke ruang makan saat itu juga. Setibanya di sana ia menemukan Ophelia sedang menyantap sarapannya. Perempuan itu hanya sendiri karena kemarin sore suaminya berangkat ke luar negeri."Mi, Lavanya mana?" tanya Danish langsung.Ophelia yang sedang menyendok oatmeal sontak menghentikan suapannya. "Maksud kamu apa? Kok nanya Mami?""Lavanya nginap di sini,
Ophelia melangkah anggun mengikuti Danish yang memimpin jalan di depannya. Begitu melihat kemunculan keduanya, Lavanya yang duduk di ruang tamu segera berdiri dan tersenyum sopan pada Ophelia."Lavanya, ini ibu Ophelia, mamiku. Mi, ini Lavanya, rekan kerjakuyang tadi aku ceritakan," kata Danish mengenalkan keduanya."Selamat malam, Bu." Lavanya menyapa Ophelia sambil mengulurkan tangannya untuk berjabatan.Wanita sosialita itu menyambut jabat tangan Lavanya. Mungkin Lavanya tidak menyadarinya, namun bagi Danish yang sudah sangat mengenal karakter sang ibu, ia tahu bahwa saat ini Ophelia sedang menilai Lavanya dalam hatinya.Ophelia tersenyum sambil menjabat tangan Lavanya. "Silakan duduk," ucap perempuan itu agar Lavanya kembali ke tempatnya.Lavanya mendudukkan diri di tempatnya tadi. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan Ophelia. Selama ini ia hanya tahu wajah wanita itu melalui foto. Selama berpacaran dengan Danish, sang kekasih tidak pernah satu kali pun membawa ke rumahnya, apa
Rumah orangtua Danish berdiri dengan megah di sebuah kawasan elit yang berada di Jakarta Selatan. Arsitekturnya bergaya klasik modern dengan pilar-pilar tinggi, jendela-jendela besar dan halaman yang begitu luas. Di sisi kanan terdapat taman beraneka bunga dengan lampu taman yang bercahaya terang. Di samping taman itu ada sebuah kolam renang berbentuk persegi dengan air berwarna biru yang menyejukkan mata.Gerbang hitam setinggi tiga meter otomatis terbuka, memberi jalan untuk taksi yang keduanya tumpangi. Lavanya meremas tali tasnya. Jantungnya memompa darah jauh lebih cepat dari yang seharusnya. Ada perasaan asing menjalari dirinya. Semacam rasa tidak pantas berada di tempat itu. Bangunan yang berdiri kokoh di hadapannya membuat nyalinya sedikit ciut."Ayo kita turun," ajak Danish ketika taksi berhenti tepat di halaman rumah.Lavanya menghela napas, mempersiapkan diri untuk bertemu dengan orang di dalam istana besar itu.Rumah itu terlihat sunyi. Mungkin para penghuninya sudah bera
Lavanya tersentak kaget kala mendengar dering suara ponsel. Bukan miliknya, tapi berasal dari pria di seberang mejanya. Seluruh lamunannya mengenai masa lalu buyar saat itu juga.Danish mengambil handphonenya dan melihat nama 'Mami' di layar. Ternyata ibunya yang menelepon."Boleh aku terima telepon dulu?" katanya meminta izin pada Lavanya.Danish tidak berubah. Dari zaman mereka berpacaran dulu selalu sama. Setiap kali mereka bersama dan ada telepon masuk ia akan selalu meminta izin terlebih dahulu pada Lavanya sebelum menjawabnya. Hanya saja yang berubah saat ini adalah status hubungan mereka."Silakan, Pak," jawab Lavanya sopan. "Saya mau ke toilet dulu." Ia pikir Danish butuh privasi untuk berbicara dengan seseorang di seberang sana."Kamu nggak perlu pergi, Nya. Itu telepon dari Mami, nggak ada yang rahasia," cegah Danish seolah tahu apa yang saat ini mengisi kepala Lavanya.Lavanya urung melaksanakan niatnya. Ia tetap duduk di tempat. Lantaran tidak ingin dianggap menguping, Lav
Lavanya menundukkan kepala, memutus pertemuan mata yang intens di antara mereka. Beruntung pelayan restoran datang mengantar pesanan keduanya.Dua piring hidangan disajikan untuk mereka. Roasted chicken wing with garlic herb butter untuk Lavanya, serta tenderloin steak untuk Danish. Sedangkan untuk minumannya iced lychee tea favorit Lavanya dan juice apple kesukaan Danish.Baru melihatnya saja Lavanya sudah merasakan kesegaran mengaliri tenggorokannya. "Silakan dimakan, Nya," suruh Danish.Lavanya mengangguk lalu menyuap sayap ayamnya. Setiap potongan yang ia telan seakan sedang memanggil kenangan masa lalu ke permukaan. Kenangan indah yang sayangnya sangat menyesakkan dada. Rasa garlic butter yang gurih membawanya ke kamar tidur rumah kontrakannya beberapa tahun yang silam.Lavanya ingat betul kejadiannya. Saat itu Lavanya sedang sakit. Perubahan cuaca yang tiba-tiba dan sukar diprediksi berhasil melumpuhkannya. Semalam ia pulang kehujanan. Kebetulan di saat itu daya tahan tubuhnya
Setelah meeting selesai Danish membawa Lavanya ke hotel tempat mereka akan menginap selama dua hari ini.Sebenarnya Danish bisa saja menginap di rumah orangtuanya, tapi ia memilih menginap di hotel dengan Lavanya. Alasannya sederhana, agar ia bisa mendampingi Lavanya jika sewaktu-waktu perempuan itu membutuhkan.Sepanjang perjalanan menuju hotel yang terletak tidak jauh dari kantor Serenity Group, Lavanya tidak mengatakan apa pun. Momen manis saat meeting tadi membuatnya merasa canggung pada Danish. Apalagi ia tahu persis seluruh peserta rapat memerhatikan mereka.Mobil yang membawa keduanya berbelok memasuki halaman sebuah hotel bintang lima dan menurunkan mereka tepat di depan lobi. Seorang petugas hotel dengan sigap membawakan koper Lavanya dan Danish. Setelah check in, sepasang mantan kekasih itu naik ke kamar yang berada di lantai atas yang letaknya bersebelahan."Mau makan dulu atau istirahat?" tanya Danish setelah tiba di depan pintu kamar Lavanya."Istirahat dulu, Pak. Dan ka
Puluhan menit kemudian guncangan ringan dari helikopter yang menyesuaikan ketinggian membuat Lavanya terbangun. Seiring dengan kelopak matanya yang terbuka, ia merasakan tubuhnya lebih segar dari sebelumnya. Meski begitu sakit di perutnya tidak kunjung hilang. Sedetik setelahnya ia menyadari sesuatu yang berbeda. Ternyata kepalanya berada di pundak Danish. Entah sejak kapan. Lavanya yang terkejut seketika mengangkatnya. Pipinya bersemu karena malu."Maaf, Pak, saya nggak nyadar, tadi ketiduran," ucapnya tanpa berani memandang pada lelaki di sampingnya.Lelaki itu menerbitkan senyum tipis dari bibirnya. Ia terlihat santai. "Kamu terlalu banyak meminta maaf, Nya. Kamu nggak salah apa-apa padahal."Walau Danish menganggap sebagai hal yang wajar, tetapi tertidur di pundak atasan sekaligus mantan kekasih, tidaklah lazim menurut Lavanya.Kepalanya tertunduk semakin dalam, mengimbangi rasa malu yang kian menyebar. Berbagai perasaan melingkupi hatinya. Antara malu, terharu dan juga nyaman. Ke