"Dia, wanita yang akan menjadi pendampingmu. Ibu harap kamu tidak lagi menolak wanita pilihan Ibu." Damar menghela napas mendengar ucapan sang ibu. Untuk apa menikah jika pada akhirnya dia ditinggal, bahkan diselingkuhi saat dinas seperti dulu? Lebih baik dia fokus pada kariernya sebagai Komandan Batalyon! Hanya saja, Dokter Jenar yang dijodohkan dengannya ternyata mengubah segalanya .....
View More"Sayang, kita—" Ucapan Damar terhenti ketika melihat Jenar lelap dengan posisi menyamping dekat dengan anak Wulan. Wajah lelahnya terlihat, namun dia tidak mengeluhkan karena memang sejak tadi kesal pada Damar."Maafkan aku," tutur Damar Melihat keponakannya bergerak dan akan menangis, Damar segera membawa dalam gendongan agar tidur Jenar tidak terganggu. Dia membawa bayi itu pada ibunya dan Damar kembali ke kamar untuk menyelimuti sebagian tubuh istrinya. Bahkan dia tidak terusik sedikitpun, Damar jadi ingat saat pertama kali mereka bertemu. Jenar menjawab telepon setengah sadar karena tidur.Sejenak dia menatap dengan sungguh-sungguh wajah cantik istrinya. Dari biasa saja, perlahan dia merasa Jenar memang wanita baik. Dia dituntut untuk mengerti kondisi Damar, ketika permintaan ayahnya menjadi keharusan untuk Jenar. Namun, dia tidak banyak menuntut, malah terkesan mereka yang mengatur semua tanpa bertanya apa keinginannya."Mar, ada tamu—" Suara Jatmika, suami Wulan membuat Jenar t
"Mau ke mana dulu, Mas?"Damar tidak mengarahkan mobil ke rumahnya. Dia malah ke jalur lain tanpa Jenar tau tujuan karena tidak diberitahu."Ingin bertemu atasanku untuk izin menikah agar lebih mudah dan cepat," jawab pria tampan berlesung pipi yang fokus dengan jalan."Mas, apa ini tidak terlalu cepat?" Jenar menghela nafas pelan, padahal baru beberapa hari, tapi semua seperti terburu-buru untuknya."Untuk proses yang panjang, ini tidak terlalu cepat. Memangnya kenapa? Sejak kemarin kamu bilang ini terlalu cepat." Pengajuan izin menikah untuk abdi negara itu jauh lebih rumit dan harus teliti, jadi Damar ingin memulainya lebih cepat."Ya karena masih masa berduka. Bukan karena hal yang lain.""Hanya bertemu sebentar saja, lagian aku juga sudah janji dengan beliau di kantornya. Mumpung kamu di sini, jadi kita temui sebentar. Tinggal kamu di sana melalukan tes pengajuan, begitu." Damar mengusap pipi Jenar yang hanya diam. Dia merencanakan tanpa mengatakan dulu pada Jenar yang harusnya t
"Mama saja bahkan tidak bertanya padaku tentang ini. Aku seperti dinikahkan tanpa persetujuan." Mendengar itu Damar menatap sendu, tapi memang itu adanya. "Jangan dengarkan, Nak. Apa kamu mau bermalam di sini, biar Mama siapkan kamarnya." Seperti tidak peduli dengan Jenar yang menggerutu kesal, Susi malah mengalihkan apa yang sedang puterinya katakan. "Tidak, Ma. Aku akan pulang, aku tidak mau Jenar merasa tidak nyaman jika aku bermalam di sini. Tapi, besok biar dia bermalam sebelum kembali ke Solo lusa. Agar langsung aku antar ke Bandara." Tatapan pria tampan yang menjadi suaminya itu tampak dalam dan penuh arti. "Kamu mau bekerja di kondisi berduka seperti ini, Nak? Tidak bisakah tunggu 7 hari, tidak baik," ucap Susi. "Tidak, apa-apa, Ma. Ini tanggung jawab. Sebaiknya aku pulang, besok hubungi aku kalau mau ke rumah biar aku jemput. Mobilmu ada di sana kan?" "Tidak, Mas, biar nanti aku di antar sepupu Mama, satu arah dengan tempatnya bekerja, jadi tidak perlu di antar." "Yasu
"Silakan di minum, Mbak." Jenar menyuguhkan minum dan beberapa camilan untuk Sheila yang datang untuk melayat. Keluarga Damar tidak ada yang mau menemui. Mereka hanya bersalaman dan melanjutkan kegiatan lagi tanpa ingin peduli kedatangan mantan istri Damar. Sesakit itu luka hati mereka pada Sheila, sampai untuk menemaninya mereka enggan. "Terima kasih. Maaf, Anda ini—" Sheila menatap penih tanya wanita yang tadi digandeng oleh Damar, dia tidak mengenalnya. Jika keluarga, dia pasti tau karena dia pernah menjadi bagian mereka juga. "Saya istri Mas Damar. Mari sambil di nikmati, Mbak." Jenar dengan percaya diri mengenalkan diri sebagai istri Damar dihadapan mantan Damar, ingin menunjukan saja jika suaminya juga bisa bahagia setelah diceraikan. Damar ada di kamar, dia tidak ingin menemui Sheila yang datang untuk mengucapkan duka. Bagaimana pun dia pernah menjadi bagian keluarga Damar, dia juga kenal ayah mertuanya itu. Jenar yang menemani Sheila, meski rasa ingin taunya begitu besar,
"Apa ini tidak terlalu cepat Tante?"Jenar merasa jika dia tidak diberi kesempatan untuk menolak. Semua mereka rencanakan tanpa bicara padanya lebih dulu. Bahkan rencana mamanya saja dia tidak tau."Kamu masih memanggilnya Tante, dia juga ibumu kan." Damar menyelai obrolan mereka, ketika Jenar masih memanggil ibunya tante."Tidak apa-apa, belum terbiasa saja. Kalau ayahmu melihat kalian seperti ini pasti beliau senang. Kalian harus bahagia ya, Nak. Nanti jika anak nakal ini membuatmu menangis, adukan pada Ibu, biar aku jewer.""Ibu, sakit," keluh Damar ketika ibunya menjewer telinganya.Jenar tersenyum, mereka keluarga hebat. Meski kepergian membuat mereka bersedih, tapi mereka tidak bisa larut akan itu karena tidak ingin ayah Damar tidak tenang.Setelah makan, mereka berdua pergi ke makam yang memang tidak begitu jauh dari rumah, tepatnya ada di kampung sebelah. Menggunakan motor, Jenar duduk dengan tenang, meski ragu untuk lebih dekat ataupun memegang Damar."Lebih maju, kamu akan j
"Kamu sudah datang, bantu Mbak bangunkan suamimu. Dia susah sekali bangun untuk sarapan, dari tadi sampai sekarang sudah hampir jam makan siang." Jenar yang baru datang ditodong agar membangunkan Damar yang masih tidur sejak semalam. Perlahan dia membuka pintu kamar Damar dan melihat pria tampan itu masih meringkuk di atas tempat tidurnya. Jenar tidak langsung membangunkan Damar, dia membuka gorden lebih dulu agar terlihat matahari sudah hampir di atas ubun-ubun. Setelahnya Jenar mematikan lampu dan duduk di samping suaminya. "Mas, bangunlah, sudah siang. Mbak Wulan mau Mas bangun, aku—" Belum menyelesaikan ucapannya, Jenar diam ketika tangannya ditampik keras oleh Damar, padahal dia baru akan mengguncang tubuh suaminya setelah menarik sebagian selimut yang menutupi tubuh. Tatapan mata Jenar jelas jika dia terkejut dengan sikap Damar. Apa itu artinya sikap Damar akan kembali dingin padanya. "Kena—" Ucapan Damar terhenti ketika melihat Jenar ada disampingnya setelah membuka mata
Jenar berhasil membujuk Damar untuk makan. Senyum yang dia lihat beberapa hari kemarin luntur karena kepergian ayahnya. Dia sungguh kehilangan sosok ayah yang menjadi penyemangat. "Aku pulang dulu, besok aku akan datang. Mas istirahat saja." Setelah memastikan Damar makan dan berbaring, Jenar coba untuk pamit. Meski mereka suami istri, tidak enak jika Jenar harus bermalam di sana. "Maaf, aku tidak bisa mengantarkanmu." "Sudah tenang saja. Sekarang pejamkan mata Mas, dan tidur. Aku akan meninggalkan Mas setelah tidur." Jenar yang duduk di samping Damar, menepuk dada bidang suaminya agar segera tidur. Tidak akan baik jika Damar memaksakan diri. Sudah tidak makan dengan baik, dia juga tidak tidur karena kondisi ayahnya yang benar-benar menurun. Mata Jenar mengarah pada Damar yang sudah terpejam, walau dia yakin belum sepenuhnya tidur karena air mata masih jatuh dari sudut matanya. Jenar menyeka tanpa berkata apapun, membiarkan Damar meluapkan kesedihan agar tidak terus larut dengan d
Setelah pemakaman, Damar termenung duduk di anak tangga ketiga dengan kepala bersandar di pembatas tangga. Dia hanya diam di sana dengan pikiran tidak percaya jika dia sudah menikahi Jenar, wanita yang baru dia kenal."Pulanglah, Nak, kondisi ayahmu menurun sejak kemarin." Suara ibunya terdengar bergetar menjelaskan kondisi ayahnya. Setelah Jenar memberikan ponselnya, dengan nomor ponsel dengan nama My Love itu kembali menghubungi dengan kabar dari ayahnya.Malam itu juga Damar pulang, tanpa pamit Jenar yang bingung dengan sikap dingin pria yang sebelumnya mengajaknya serius."Nak, kamu sudah berhasil dengan apa yang kamu kejar. Menjadi Letnan Kolonel diusiamu sekarang sudah menjadi keberhasilan yang baik. Tidak bisakah kamu membahagiakan dirimu dengan hal lain, mengisi hatimu lagi. Sheila saja bisa bahagia dengan pilihannya, kamu juga harus bisa seperti itu. Untuk apa terus dipikirkan dan menjadikan trauma ketika kamu pantas bahagia dengan pendampingmu. Ayah akan sangat senang, jika
"Biarkan aku yang bicara padanya." Damar menggandeng tangan Jenar dan berjalan masuk ke kamar yang tak jauh dari tempat mereka. "Sebenarnya apa yang mereka maksud, Mas? Apa kita harus melakukan pernikahan seperti yang mereka mau?" tanya Jenar bingung. "Ya, aku ingin menikahimu. Bisakah kita lakukan itu demi permintaan terakhir ayahku. 2 hari ini aku tidak memberimu kabar karena kondisi ayah menurun. Dan aku mendapatkan kabar setelah kamu dari rumah ku malam itu. Tolong aku, kabulkan permintaan ayahku yang terakhir kalinya." Dengan tangan Jenar ada dalam genggaman, Damar menatap dengan derai air mata. Ini penawaran yang rumit, saat mereka baru bertemu 2x dan sekarang Jenar di lamar ketika Damar berduka atas kematian ayahnya. Dia bingung harus menjawab apa, tapi dia harus cepat menjawab karena mereka menunggu. "Aku berjanji akan membahagiakan dirimu. Kita cari cinta itu setelah menikah, tolong kabulkan permintaanku ini. Aku mohon." Laki-laki berwibawa seperti Damar saja bisa terlih
"Kita cerai saja, aku lelah denganmu yang selalu mementingkan karir dan karir. Seperti aku ini bukan isterimu yang apa saja aku lakukan sendiri. Kau menjadikan pekerjaanmu sebagai alasan untuk membiarkanku menunggu, mengemis perhatian." Damar Lesmana memijit kening kala mendengar ucapan sang istri dari seberang telepon. Hanya karena Damar disibukan dengan tugas negara, dia merasa kurang perhatian?"Bukankah kau sudah tau sebelum menikah kalau aku abdi negara? Kenapa baru sekarang kau mengatakan ini, jangan kau pikir aku tidak tau perselingkuhanmu dengan Bimo, temanmu itu," tegas pria itu akhirnya."Jangan asal bicara, ini masalah kita, tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain." "Aku diam karena aku masih ingin percaya padamu. Tapi, kenyataannya kau memang tidur dengan pria lain," jawab Damar lagi menatap nanar foto bukti di tangannya."Kau terus saja menuduh Bimo! Padahal, ini semua kesalahanmu sendiri. Kau merasa paling benar ketika aku saja mengemis perhatian padamu!" bentak...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments