"Hachu!" bersin Jenar Nareswari begitu tiba di rumah dinasnya.
"Maaf, Mbak. Rumah dinas ini kecil dan berdebu. Tidak mewah seperti harapan."
Mendengar itu, Jenar menggelengkan kepala. "Tidak, Pak, ini lebih dari cocok. Jika bukan karena aku ditipu, aku sudah menempati rumah kontrakan itu hari ini," jawab wanita cantik, dengan poni tipis itu.
Ya, salah satu temannya menipu Jenar dengan membawa uang kontrakan yang dia harusnya tempati sekarang.
Mau marah juga percuma karena temannya itu tidak kembali, jadi Jenar hanya menikmati kemalangan kisahnya.
Untungnya, masih ada rumah dinas yang disiapkan.
"Baiklah. Lagian Mbak juga Dokter di rumah sakit Militer sini, jadi tidak perlu dipikirkan sampai mendapat rumah baru. Ini juga atas persetujuan kepala Dokter di sana."
"Iya, Pak, terima kasih sebelumnya."
Jenar menatap sekeliling rumah dinas yang dekat dengan rumah sakit militer itu dan akan menjadi tempat tinggalnya sementara.****
"Ma, Jenar sudah sampai tadi pagi, maaf kalau baru memberi kabar, harus membereskan barang dulu," ucapnya dari balik sambungan telepon.Sejak sampai, Jenar harus membersihkan rumah dinas itu karena juga lama tidak ditinggali.
Namun, dia merasa senang karena ada teman Dokter yang membantunya.
"Tidak apa-apa, Nak. Oh ya, apa kamu sudah bertemu dengannya? Apa tampan?" Terdengar pertanyaan lawan bicara Jenar begitu antusias.Jenar memutar matanya malas. "Mama, Jenar saja baru sampai pagi, bagaimana bisa bertemu. Lagian apa Mama sudah memastikan jika dia mau bertemu denganku. Nanti bagaimana anakmu ini kalau di tolak, pasti malu tujuh turunan.
"Sudah, katanya sih siang tadi dia berangkat. Harusnya sudah sampai apalagi kalian di kota yang sama. Semoga kalian bisa cocok ya, Nak. Dari fotonya sih tampan." Jenar hanya mengiyakan apa yang mamanya katakan. Dia tidak berani untuk menolak, karena kebahagian orang tua menjadi prioritasnya. Usianya baru 29 tahun, namun dia sudah dibilang perawan tua oleh saudaranya karena terlalu fokus bekerja. "Sebaiknya Jenar tutup teleponnya, Jenar lelah sekali. Besok pagi harus datang ke rumah sakit, malu jika terlambat." "Tapi apa di sana aman, Nak?" "Iya, di sini sangat aman, Ma. Tinggal di komplek militer harusnya aman kan. Sudah, aku ingin mandi dan tidur. Mama jaga kesehatan, jangan sakit lagi. Jika sakit, maka Jenar tidak mau menerima perjodohan ini." "Tentu Mama harus sehat. Mama ingin melihatmu menikah dengan pria tampan dan sukses seperti pria itu. Apalagi poin lebihnya, dia begitu sayang keluarga." "Mama akan terus bicara tentang ini, Jenar tutup teleponnya." Setelah sambungan telepon di matikan, Jenar langsung membersihkan tubuh. Terlihat jam menunjukan pukul 8 malam, dan dia baru menyelesaikan semua Sebelum tidur, dia coba membaca materi yang dia pelajari sampai dia benar-benar mengantuk. Namun, saat baru akan terpejam, suara pintu membuatnya harus berjalan ke arah pintu untuk memastikan siapa yang datang. "Dokter Jenar?" "Iya, saya. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyanya pada pria dengan seragam TNI datang ke rumahnya. "Ada yang menunggu di Pos, dia bilang teman Anda, maaf mengganggu malam-malam. Saya tidak berani untuk menyuruhnya masuk."Deg!
"Siapa ya, Pak?" "Saya kurang tau, Dok. Kalau mau silahkan temui atau saya antar untuk datang ke sini?" "Laki-laki atau perempuan, Pak?" "Laki-laki." Jenar coba mengingat siapa yang mencarinya, kenapa datang malam-malam. Apalagi petugas yang berjaga juga takut untuk membolehkan masuk. Mungkin karena Jenar tinggal sendiri di komplek itu. Jenar berjalan kaki ke depan, di mana seseorang itu menunggu. Dengan jaket yang menyelimuti tubuhnya, dia bersilang tangan karena rasa dingin yang merasuk. Petugas tadi mengajaknya bersama, namun Jenar tidak ingin karena malu. "Benarkah Anda mencari saya, kalau boleh tau apa yang bisa saya bantu?" Suara Jenar membuat laki-laki di hadapannya itu menoleh ke arahnya. Ternyata dari pihak rumah kontrakan sebelumnya mengirimkan barang miliknya yang sempat dia kirimkan awal. "Izin, Ndan. Komandan sudah pulang!" Jenar yang mulanya mengajak orang di hadapannya bicara, seketika menoleh ke arah petugas yang tadi datang padanya sedang bicara dengan seseorang yang dia panggil Komandan. "Ini untuk kalian, tadi ada penjual makanan yang kasihan sudah malam begini dagangannya masih banyak. Makan untuk kalian." "Mohon izin, terima kasih, Ndan." "Berikan Mbak ini juga kalau mau." Jenar tersenyum sopan ketika pria itu menawari bungkusan yang dia beli. "Terima kasih, Pak, untuk Bapak saja. Sebaiknya saya permisi, terima kasih sudah memberitahu tentang pria tadi." "Apa Dokter mau berjalan kaki dengan koper besar itu? Biar saya antar setelah ini." Pria tadi menawarkan untuk mengantar Jenar dengan koper yang dia bawa. "Mau ke mana?" Pria yang dipanggil Komandan tadi memotong obrolan mereka. "Oh iya, bukankah Komandan melewati rumah yang Dokter tempati. Mohon izin, Ndan, apa tidak bisa Komandan membantunya, Dokter ini tinggal di dekat lapangan voli sebelum ke rumah dinas Bapak." "Kalau begitu mari saya antar." Jenar menatap bingung karena dia akan lelah jika mengangkat koper besar itu sendiri, kebetulan pria yang dipanggil Komandan itu menggunakan motor. "Sudah, Dok, sudah malam juga, nanti ada Kunti loh."Hah? Kunti?
"Terima kasih, Pak, sudah mengantar. Maaf tidak mempersilahkan masuk, sudah malam juga."Pada akhirnya, Komandan itu mengantarkan Jenar sampai rumah dengan koper besar miliknya. "Tidak apa-apa. Apa Anda bertugas di Rumah sakit Militer?" "Iya, Pak, saya tinggal di sini hanya sementara selama saya mendapatkan kontrakan baru untuk tinggal. Pak Danki yang meminta saya tinggal di sini." "Oh begitu, yasudah, saya tinggal dulu. Selamat istirahat." Jenar masih berdiri di depan rumah sampai pria itu pergi. "Masih muda dan tampan lagi, pemandangan menyegarkan. Ah ... Jenar, kau itu memikirkan apa." Sejenak Jenar membayangkan sesuatu tentang Komandan itu. Bau tubuhnya begitu harum, dia pikir akan beruntung memiliki suami seperti Komandan tampan itu. Sudah tampan, masih muda juga menjadi Komandan, walau tidak mengerti kedudukan di dalam satuan militer, tapi saat mendengar kata Komandan, iti artinya kedudukannya pasti lebih tinggi, itu pikir Jenar. Dia tidak tau pastinya. "Tadi dia itu K
"Ah ... iya, aku akan bersiap. Bisa kirimkan alamat di mana kita bertemu. Aku akan segera pergi. Maaf membuatmu menunggu," tutur Jenar."Aku akan kirimkan. Kalau bisa dekat tempatmu saja, biar aku yang menemuimu. Aku tidak bisa lebih lama.""Baik, aku akan segera pergi. Maaf sebelumnya." Jenar mengutuk kebodohannya, dia segera ke kamar mandi dan bersiap setelah mengirimkan sharelock tempatnya tinggal. Dan tidak peduli dengan pesan masuk dari mamanya.Setelah mandi dan mengenakan pakaian casual yang sopan, Jenar segera pergi ke tempat di mana pria itu menunggu. Dia bahkan bilang menjemputnya."Aku tunggu dekat pos 2 tempatmu tinggal, tidak terlalu jauh darimu. Aku ada di mobil SUV putih dekat warung angkringan." Jenar mendengarkan penjelasan seseorang dari sambungan telepon, dengan mata yang coba melihat sekita, mencari mobil yang dimaksud.Hingga dia melihat mobil yang dimaksud di seberang jalan, dengan hati-hati Jenar berjalan ke arah mobil itu dan mengetuk jendela mobilnya. Perlahan
"Memangnya kamu mau dijodohkan dengan duda sepertiku?" tanya pria berparas tampan itu. Mereka sungguh asyik berbincang berdua di sana. Apalagi Mama Jenar memaksa agar dirinya bisa bertemu dengan putera temannya."Aku tidak pernah menolak apa yang mamaku mau. Karena apa yang dia katakan menurutku sebagai keharusan, jadi aku mau menemui Mas walau itu bukan kemauanku. Bagaimana dengan Mas," jawab Jenar sambil melontarkan kembali pertanyaan yang sama. "Jujur aku masih tidak ingin dekat dengan wanita karena aku juga ingin mengejar karirku. Ini juga kemauan orang tua, dan juga kakakku. Mereka akan sangat berisik ketika melihatku menua dengan kesendirian. Apa kamu tau jika kita ini didekatkan untuk menikah?" "Aku tau, tapi jika kita tidak cocok, haruskah kita memaksa hati kita. Setidaknya aku menuruti mama untuk bertemu dengan Mas, urusan itu bagaimana nanti saja. Apalagi kita baru ketemu, aku belum mengenal Mas lebih jauh." "Benar juga, tapi kata mereka, aku harus mau denganmu bagaimana
"Dok, pasien terakhir," tutur asisten Jenar ketika jam menunjukkan pukul 2 siang. "Baik, Mbak, suruh masuk." Jenar meletakkan ponsel dan fokus pada pasien yang masuk. Seminggu sudah dia tinggal di Solo, Jawa Tengah, tepatnya di Asrama militer dan beberapa hari ini dia tidak mendapat kabar dari Damar. Entah ke mana dia, Jenar tidak berani untuk bertanya lebih dulu dan tentang mamanya Jenar, dia sangat bahagia putrinya berhasil bertemu dengan Damar. "Dia yang banyak bicara kemarin, dia juga yang kabur. Tidak ada kabarnya lagi, tapi kenapa jadi aku terus memikirkan dia. Apa dia menganggap aku wanita tidak baik saat aku bilang pernah diperlakukan buruk oleh pacarku ya?" "Dokter, ada yang mencari Anda di luar." Asisten Jenar membuka sedikit pintu ruang prakteknya dan mengajak bicara. "Siapa? Aku pikir tadi yang terakhir," jawabnya sambil merapikan meja. "Katanya Pak Danyon yang mencari Dokter." "Danyon?" Dia tampak bingung, meski sudah seminggu tinggal di komplek militer, tap
"Aku?" Damar menatap dengan senyum tersungging tipis atas pertanyaan yang wanita cantik di hadapannya itu lontarkan. "Ini hanya misal, Mas, bukan maksud—" "Iya juga tidak masalah. Jangan tegang begitu, mukamu terlihat pucat sekarang," Goda Damar sambil memegang tangan Jenar yang ada di meja dengann satu tangan lain memegang sedotan di gelas minumnya. Sentuhan itu membuat dokter gigi tersebut menatap terkejut. "Maafkan aku. Kalau kamu bertanya pendapatku, isteriku harus mengerti apa yang aku lakukan, maka aku akan memberikan apa yang dia butuhkan. Seperti paham akan tanggung jawab seorang isteri abdi negara. Percuma kan jika kita menikah, tapi kamu menuntut apa yang sudah jelas kamu tau." Damar melepaskan tangannya dan menjelaskan pendapat dari pertanyaan yang dilontarkan. Kegagalan berumah tangga membuatnya belajar, jika memilih wanita harus sejalan, dia tidak ingin hal serupa terulang kembali. "Jadi bagaimana mau Mas, apa isterimu harus menuruti apa yang menjadi kemauanmu, apa b
"Maksud Mas kita pacaran sekarang?""Mungkin perkenalan untuk hal yang serius lebih enak di dengar, daripada kata pacaran," sahut Damar."Sama saja, Mas."Meski ragu, Damar tetap mengiyakan apa yang Jenar katakan. Entah itu tulus dari hatinya atau tidak, untuk sekarang mereka coba menjalani hubungan yang orang tua mereka mau.Setelahnya mereka menikmati waktu makan siang bersama, Damar yang terlihat kaku, ternyata tidak seperti kelihatannya. Awal pertama Jenar melihatnya, Damar tampak tegas dan jarang tersenyum, nyatanya dia sering tersenyum bersamanya.Mereka seperti orang yang tidak pernah menjalin hubungan sebelumnya, mereka berdua tampak kaku, tapi juga asyik. Karena banyak yang mereka bahas, apalagi tentang satu sama lain.***Di rumah, Damar sejenak terdiam dengan apa yang sudah dia katakan tadi pada Jenar. Apa ini pilihan benar atau tidak, yang pasti hatinya ragu. Dia pikir Jenar, wanita baik, namun hatinya tetap tidak bisa dibohongi. Sikap manisnya pada Jenar hanya usahanya un
"Jika tidak mau dibantu, kenapa meminta tolong sebelumnya. Sudah saja urus sendiri apa yang ingin kamu selesaikan." Damar menatap serius ke arah Jenar yang tidak tau jika pria di hadapannya ini bisa marah."Bukan seperti itu, aku hanya malu jik—" Jenar yang bingung tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya malu jika terus merepotkan Damar, apalagi sikap pria tadi sungguh membuatnya malu. Belum lagi dia lolos begitu saja dari penjagaan untuk bertemu dengan Jenar."Kalau begitu lakukan sendiri." Damar memberikan kompres kemudian beranjak pergi. Sikapnya berbeda, padahal tadi dia bersikap manis saat mengajak makan siang, sekarang dia malah marah ketika Jenar menolak untuk dibantu.Dengan rasa bingung, Jenar menatap punggung Damar yang pergi. Pria tampan itu bahkan meninggalkan ponsel di meja rumah yang Jenar tempati. Tak tau apa yang sebenarnya dikatakan Jenar hingga membuatnya marah seperti sekarang.Merasakan tangannya yang sakit, Jenar tidak fokus dengan ponsel Damar di hadapannya. Tak in
"Kita cerai saja, aku lelah denganmu yang selalu mementingkan karir dan karir. Seperti aku ini bukan isterimu yang apa saja aku lakukan sendiri. Kau menjadikan pekerjaanmu sebagai alasan untuk membiarkanku menunggu, mengemis perhatian." Damar Lesmana memijit kening kala mendengar ucapan sang istri dari seberang telepon. Hanya karena Damar disibukan dengan tugas negara, dia merasa kurang perhatian?"Bukankah kau sudah tau sebelum menikah kalau aku abdi negara? Kenapa baru sekarang kau mengatakan ini, jangan kau pikir aku tidak tau perselingkuhanmu dengan Bimo, temanmu itu," tegas pria itu akhirnya."Jangan asal bicara, ini masalah kita, tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain." "Aku diam karena aku masih ingin percaya padamu. Tapi, kenyataannya kau memang tidur dengan pria lain," jawab Damar lagi menatap nanar foto bukti di tangannya."Kau terus saja menuduh Bimo! Padahal, ini semua kesalahanmu sendiri. Kau merasa paling benar ketika aku saja mengemis perhatian padamu!" bentak
"Jika tidak mau dibantu, kenapa meminta tolong sebelumnya. Sudah saja urus sendiri apa yang ingin kamu selesaikan." Damar menatap serius ke arah Jenar yang tidak tau jika pria di hadapannya ini bisa marah."Bukan seperti itu, aku hanya malu jik—" Jenar yang bingung tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya malu jika terus merepotkan Damar, apalagi sikap pria tadi sungguh membuatnya malu. Belum lagi dia lolos begitu saja dari penjagaan untuk bertemu dengan Jenar."Kalau begitu lakukan sendiri." Damar memberikan kompres kemudian beranjak pergi. Sikapnya berbeda, padahal tadi dia bersikap manis saat mengajak makan siang, sekarang dia malah marah ketika Jenar menolak untuk dibantu.Dengan rasa bingung, Jenar menatap punggung Damar yang pergi. Pria tampan itu bahkan meninggalkan ponsel di meja rumah yang Jenar tempati. Tak tau apa yang sebenarnya dikatakan Jenar hingga membuatnya marah seperti sekarang.Merasakan tangannya yang sakit, Jenar tidak fokus dengan ponsel Damar di hadapannya. Tak in
"Maksud Mas kita pacaran sekarang?""Mungkin perkenalan untuk hal yang serius lebih enak di dengar, daripada kata pacaran," sahut Damar."Sama saja, Mas."Meski ragu, Damar tetap mengiyakan apa yang Jenar katakan. Entah itu tulus dari hatinya atau tidak, untuk sekarang mereka coba menjalani hubungan yang orang tua mereka mau.Setelahnya mereka menikmati waktu makan siang bersama, Damar yang terlihat kaku, ternyata tidak seperti kelihatannya. Awal pertama Jenar melihatnya, Damar tampak tegas dan jarang tersenyum, nyatanya dia sering tersenyum bersamanya.Mereka seperti orang yang tidak pernah menjalin hubungan sebelumnya, mereka berdua tampak kaku, tapi juga asyik. Karena banyak yang mereka bahas, apalagi tentang satu sama lain.***Di rumah, Damar sejenak terdiam dengan apa yang sudah dia katakan tadi pada Jenar. Apa ini pilihan benar atau tidak, yang pasti hatinya ragu. Dia pikir Jenar, wanita baik, namun hatinya tetap tidak bisa dibohongi. Sikap manisnya pada Jenar hanya usahanya un
"Aku?" Damar menatap dengan senyum tersungging tipis atas pertanyaan yang wanita cantik di hadapannya itu lontarkan. "Ini hanya misal, Mas, bukan maksud—" "Iya juga tidak masalah. Jangan tegang begitu, mukamu terlihat pucat sekarang," Goda Damar sambil memegang tangan Jenar yang ada di meja dengann satu tangan lain memegang sedotan di gelas minumnya. Sentuhan itu membuat dokter gigi tersebut menatap terkejut. "Maafkan aku. Kalau kamu bertanya pendapatku, isteriku harus mengerti apa yang aku lakukan, maka aku akan memberikan apa yang dia butuhkan. Seperti paham akan tanggung jawab seorang isteri abdi negara. Percuma kan jika kita menikah, tapi kamu menuntut apa yang sudah jelas kamu tau." Damar melepaskan tangannya dan menjelaskan pendapat dari pertanyaan yang dilontarkan. Kegagalan berumah tangga membuatnya belajar, jika memilih wanita harus sejalan, dia tidak ingin hal serupa terulang kembali. "Jadi bagaimana mau Mas, apa isterimu harus menuruti apa yang menjadi kemauanmu, apa b
"Dok, pasien terakhir," tutur asisten Jenar ketika jam menunjukkan pukul 2 siang. "Baik, Mbak, suruh masuk." Jenar meletakkan ponsel dan fokus pada pasien yang masuk. Seminggu sudah dia tinggal di Solo, Jawa Tengah, tepatnya di Asrama militer dan beberapa hari ini dia tidak mendapat kabar dari Damar. Entah ke mana dia, Jenar tidak berani untuk bertanya lebih dulu dan tentang mamanya Jenar, dia sangat bahagia putrinya berhasil bertemu dengan Damar. "Dia yang banyak bicara kemarin, dia juga yang kabur. Tidak ada kabarnya lagi, tapi kenapa jadi aku terus memikirkan dia. Apa dia menganggap aku wanita tidak baik saat aku bilang pernah diperlakukan buruk oleh pacarku ya?" "Dokter, ada yang mencari Anda di luar." Asisten Jenar membuka sedikit pintu ruang prakteknya dan mengajak bicara. "Siapa? Aku pikir tadi yang terakhir," jawabnya sambil merapikan meja. "Katanya Pak Danyon yang mencari Dokter." "Danyon?" Dia tampak bingung, meski sudah seminggu tinggal di komplek militer, tap
"Memangnya kamu mau dijodohkan dengan duda sepertiku?" tanya pria berparas tampan itu. Mereka sungguh asyik berbincang berdua di sana. Apalagi Mama Jenar memaksa agar dirinya bisa bertemu dengan putera temannya."Aku tidak pernah menolak apa yang mamaku mau. Karena apa yang dia katakan menurutku sebagai keharusan, jadi aku mau menemui Mas walau itu bukan kemauanku. Bagaimana dengan Mas," jawab Jenar sambil melontarkan kembali pertanyaan yang sama. "Jujur aku masih tidak ingin dekat dengan wanita karena aku juga ingin mengejar karirku. Ini juga kemauan orang tua, dan juga kakakku. Mereka akan sangat berisik ketika melihatku menua dengan kesendirian. Apa kamu tau jika kita ini didekatkan untuk menikah?" "Aku tau, tapi jika kita tidak cocok, haruskah kita memaksa hati kita. Setidaknya aku menuruti mama untuk bertemu dengan Mas, urusan itu bagaimana nanti saja. Apalagi kita baru ketemu, aku belum mengenal Mas lebih jauh." "Benar juga, tapi kata mereka, aku harus mau denganmu bagaimana
"Ah ... iya, aku akan bersiap. Bisa kirimkan alamat di mana kita bertemu. Aku akan segera pergi. Maaf membuatmu menunggu," tutur Jenar."Aku akan kirimkan. Kalau bisa dekat tempatmu saja, biar aku yang menemuimu. Aku tidak bisa lebih lama.""Baik, aku akan segera pergi. Maaf sebelumnya." Jenar mengutuk kebodohannya, dia segera ke kamar mandi dan bersiap setelah mengirimkan sharelock tempatnya tinggal. Dan tidak peduli dengan pesan masuk dari mamanya.Setelah mandi dan mengenakan pakaian casual yang sopan, Jenar segera pergi ke tempat di mana pria itu menunggu. Dia bahkan bilang menjemputnya."Aku tunggu dekat pos 2 tempatmu tinggal, tidak terlalu jauh darimu. Aku ada di mobil SUV putih dekat warung angkringan." Jenar mendengarkan penjelasan seseorang dari sambungan telepon, dengan mata yang coba melihat sekita, mencari mobil yang dimaksud.Hingga dia melihat mobil yang dimaksud di seberang jalan, dengan hati-hati Jenar berjalan ke arah mobil itu dan mengetuk jendela mobilnya. Perlahan
"Terima kasih, Pak, sudah mengantar. Maaf tidak mempersilahkan masuk, sudah malam juga."Pada akhirnya, Komandan itu mengantarkan Jenar sampai rumah dengan koper besar miliknya. "Tidak apa-apa. Apa Anda bertugas di Rumah sakit Militer?" "Iya, Pak, saya tinggal di sini hanya sementara selama saya mendapatkan kontrakan baru untuk tinggal. Pak Danki yang meminta saya tinggal di sini." "Oh begitu, yasudah, saya tinggal dulu. Selamat istirahat." Jenar masih berdiri di depan rumah sampai pria itu pergi. "Masih muda dan tampan lagi, pemandangan menyegarkan. Ah ... Jenar, kau itu memikirkan apa." Sejenak Jenar membayangkan sesuatu tentang Komandan itu. Bau tubuhnya begitu harum, dia pikir akan beruntung memiliki suami seperti Komandan tampan itu. Sudah tampan, masih muda juga menjadi Komandan, walau tidak mengerti kedudukan di dalam satuan militer, tapi saat mendengar kata Komandan, iti artinya kedudukannya pasti lebih tinggi, itu pikir Jenar. Dia tidak tau pastinya. "Tadi dia itu K
"Hachu!" bersin Jenar Nareswari begitu tiba di rumah dinasnya."Maaf, Mbak. Rumah dinas ini kecil dan berdebu. Tidak mewah seperti harapan."Mendengar itu, Jenar menggelengkan kepala. "Tidak, Pak, ini lebih dari cocok. Jika bukan karena aku ditipu, aku sudah menempati rumah kontrakan itu hari ini," jawab wanita cantik, dengan poni tipis itu. Ya, salah satu temannya menipu Jenar dengan membawa uang kontrakan yang dia harusnya tempati sekarang.Mau marah juga percuma karena temannya itu tidak kembali, jadi Jenar hanya menikmati kemalangan kisahnya.Untungnya, masih ada rumah dinas yang disiapkan. "Baiklah. Lagian Mbak juga Dokter di rumah sakit Militer sini, jadi tidak perlu dipikirkan sampai mendapat rumah baru. Ini juga atas persetujuan kepala Dokter di sana." "Iya, Pak, terima kasih sebelumnya."Jenar menatap sekeliling rumah dinas yang dekat dengan rumah sakit militer itu dan akan menjadi tempat tinggalnya sementara.**** "Ma, Jenar sudah sampai tadi pagi, maaf kalau baru me
"Kita cerai saja, aku lelah denganmu yang selalu mementingkan karir dan karir. Seperti aku ini bukan isterimu yang apa saja aku lakukan sendiri. Kau menjadikan pekerjaanmu sebagai alasan untuk membiarkanku menunggu, mengemis perhatian." Damar Lesmana memijit kening kala mendengar ucapan sang istri dari seberang telepon. Hanya karena Damar disibukan dengan tugas negara, dia merasa kurang perhatian?"Bukankah kau sudah tau sebelum menikah kalau aku abdi negara? Kenapa baru sekarang kau mengatakan ini, jangan kau pikir aku tidak tau perselingkuhanmu dengan Bimo, temanmu itu," tegas pria itu akhirnya."Jangan asal bicara, ini masalah kita, tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain." "Aku diam karena aku masih ingin percaya padamu. Tapi, kenyataannya kau memang tidur dengan pria lain," jawab Damar lagi menatap nanar foto bukti di tangannya."Kau terus saja menuduh Bimo! Padahal, ini semua kesalahanmu sendiri. Kau merasa paling benar ketika aku saja mengemis perhatian padamu!" bentak