"Dok, pasien terakhir," tutur asisten Jenar ketika jam menunjukkan pukul 2 siang.
"Baik, Mbak, suruh masuk." Jenar meletakkan ponsel dan fokus pada pasien yang masuk. Seminggu sudah dia tinggal di Solo, Jawa Tengah, tepatnya di Asrama militer dan beberapa hari ini dia tidak mendapat kabar dari Damar. Entah ke mana dia, Jenar tidak berani untuk bertanya lebih dulu dan tentang mamanya Jenar, dia sangat bahagia putrinya berhasil bertemu dengan Damar. "Dia yang banyak bicara kemarin, dia juga yang kabur. Tidak ada kabarnya lagi, tapi kenapa jadi aku terus memikirkan dia. Apa dia menganggap aku wanita tidak baik saat aku bilang pernah diperlakukan buruk oleh pacarku ya?" "Dokter, ada yang mencari Anda di luar." Asisten Jenar membuka sedikit pintu ruang prakteknya dan mengajak bicara. "Siapa? Aku pikir tadi yang terakhir," jawabnya sambil merapikan meja. "Katanya Pak Danyon yang mencari Dokter." "Danyon?" Dia tampak bingung, meski sudah seminggu tinggal di komplek militer, tapi dia belum hafal sebutan yang ada di Batalyon itu. "Iya, Komandan Batalyon menanyakan apa Anda sudah pulang, jika belum Anda di tunggu di loby." "Aku akan segera keluar." Dengan raut wajah bingung, dia segera merapikan barang miliknya dan menghampiri Pak Danyon yang dimaksud. Senyum manis Jenar mengembang ketika beberapa perawat menyapa sopan. Sampai di loby rumah sakit, Jenar menatap ke sekitar, tapi tidak ada siapa yang mencari, hanya ada petugas keamanan di pintu masuk. "Apa kamu mau pulang hari ini?" Deep voice seseorang yang bicara di belakang Jenar, membuat menoleh kebelakang langsung karena terkejut. Jenar sampai hampir jatuh ketika pria tampan itu tidak segera memeganginya. "Mas—" "Maaf, aku mengejutkanmu." Damar tidak melepaskan tangannya sampai Jenar berdiri tegap. "Apa yang Mas lakukan di sini? Apa mau periksa? Apa Mas sedang sakit?" "Kamu terlihat khawatir dengan banyaknya pertanyaanmu itu. Apa perawat tidak bilang aku mencarimu?" "Maksudnya Mas ini Danyon?" Mata Jenar terbelak ketika mendapat anggukan dari Damar. Dia sempat membaca sedikit singkatan tentang Danyon dan lainnya ketika perjalanan ke loby. "Kenapa? Apa itu membuatmu takut. Kamu itu suka sekali terkejut. Sebaiknya kita pulang, aku lapar sekali. Mau ya, aku ajak makan siang?" Tiba-tiba sekali padahal Jenar pikir pria di sampingnya itu mundur karena masa lalunya. "Apa Mas tidak sibuk?" "Tidak, maaf aku tidak memberimu kabar beberapa hari ini. Kamu tidak berpikir aku kabur kan?" Seperti tau isi pemikiran Jenar, dia membuat wanita di sampingnya terus terkejut. "Ada pikiran itu, tapi ya sudah kan Mas juga sibuk. Apalagi Mas Komandan Batalyon, pasti tugasnya lebih berat. Ngomong-ngomong mau ke mana kita? Ini bukannya jalan ke perbatasan Kota?" "Aku menemukan tempat bagus, tidak apa-apa kan kita ke sana? Maaf aku tidak bertanya padamu bisa atau tidak." "Katanya sangat lapar, tapi—" Jenar terdiam ketika melihat senyum manis Damar dengan lesung pipi sebelah kirinya. "Boleh aku bertanya banyak hal nanti?" "Tentu boleh, Mas. Oh ya, Mama titip salam pada Mas. Terima kasih untuk kue yang Mas kirimkan," jelas Jenar. "Aku sampai lupa tentang itu. Iya, sama-sama. Nanti pas pulang, kita temui Mamamu berdua." Sikap hangat Damar menganggap seakan Jenar ini kekasihnya, padahal mereka belum mengenal lebih jauh, namun sikapnya begitu baik. Perjalanan ke tempat tujuan, mereka banyak mengobrol, menceritakan apa yang ingin mereka tau. Dan terlihat mereka seperti cocok karena sama-sama pernah terluka. "Mas tau saja tempat seperti ini." Tempatnya tidak kalah indah dari sebelumnya. Sekarang malah tempatnya sejuk dengan hamparan luar hijau karena tempatnya di bukit. Belum lagi tempat makan itu rindang di area luar. "Lalu apa kamu juga mau menerima tawaran temanmu itu?" "Tidak tau, Mas, Mama ingin aku fokus satu pekerjaan saja. Tapi, aku ingin ... entahlah, belum aku pikirkan lagi." "Sebaiknya juga fokus satu pekerjaan saja, nanti kalau menikah dan kamu tetap bekerja keras seperti ini, bagaimana suamimu?" "Jika Mas suamiku, bagaimana tanggapan Mas?" tanya Jenar tiba-tiba. "Aku?" Damar menatap dengan senyum tersungging tipis atas pertanyaan yang wanita cantik di hadapannya itu lontarkan. "Ini hanya misal, Mas, bukan maksud—""Aku?" Damar menatap dengan senyum tersungging tipis atas pertanyaan yang wanita cantik di hadapannya itu lontarkan. "Ini hanya misal, Mas, bukan maksud—" "Iya juga tidak masalah. Jangan tegang begitu, mukamu terlihat pucat sekarang," Goda Damar sambil memegang tangan Jenar yang ada di meja dengann satu tangan lain memegang sedotan di gelas minumnya. Sentuhan itu membuat dokter gigi tersebut menatap terkejut. "Maafkan aku. Kalau kamu bertanya pendapatku, isteriku harus mengerti apa yang aku lakukan, maka aku akan memberikan apa yang dia butuhkan. Seperti paham akan tanggung jawab seorang isteri abdi negara. Percuma kan jika kita menikah, tapi kamu menuntut apa yang sudah jelas kamu tau." Damar melepaskan tangannya dan menjelaskan pendapat dari pertanyaan yang dilontarkan. Kegagalan berumah tangga membuatnya belajar, jika memilih wanita harus sejalan, dia tidak ingin hal serupa terulang kembali. "Jadi bagaimana mau Mas, apa isterimu harus menuruti apa yang menjadi kemauanmu, apa b
"Maksud Mas kita pacaran sekarang?""Mungkin perkenalan untuk hal yang serius lebih enak di dengar, daripada kata pacaran," sahut Damar."Sama saja, Mas."Meski ragu, Damar tetap mengiyakan apa yang Jenar katakan. Entah itu tulus dari hatinya atau tidak, untuk sekarang mereka coba menjalani hubungan yang orang tua mereka mau.Setelahnya mereka menikmati waktu makan siang bersama, Damar yang terlihat kaku, ternyata tidak seperti kelihatannya. Awal pertama Jenar melihatnya, Damar tampak tegas dan jarang tersenyum, nyatanya dia sering tersenyum bersamanya.Mereka seperti orang yang tidak pernah menjalin hubungan sebelumnya, mereka berdua tampak kaku, tapi juga asyik. Karena banyak yang mereka bahas, apalagi tentang satu sama lain.***Di rumah, Damar sejenak terdiam dengan apa yang sudah dia katakan tadi pada Jenar. Apa ini pilihan benar atau tidak, yang pasti hatinya ragu. Dia pikir Jenar, wanita baik, namun hatinya tetap tidak bisa dibohongi. Sikap manisnya pada Jenar hanya usahanya un
"Jika tidak mau dibantu, kenapa meminta tolong sebelumnya. Sudah saja urus sendiri apa yang ingin kamu selesaikan." Damar menatap serius ke arah Jenar yang tidak tau jika pria di hadapannya ini bisa marah."Bukan seperti itu, aku hanya malu jik—" Jenar yang bingung tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya malu jika terus merepotkan Damar, apalagi sikap pria tadi sungguh membuatnya malu. Belum lagi dia lolos begitu saja dari penjagaan untuk bertemu dengan Jenar."Kalau begitu lakukan sendiri." Damar memberikan kompres kemudian beranjak pergi. Sikapnya berbeda, padahal tadi dia bersikap manis saat mengajak makan siang, sekarang dia malah marah ketika Jenar menolak untuk dibantu.Dengan rasa bingung, Jenar menatap punggung Damar yang pergi. Pria tampan itu bahkan meninggalkan ponsel di meja rumah yang Jenar tempati. Tak tau apa yang sebenarnya dikatakan Jenar hingga membuatnya marah seperti sekarang.Merasakan tangannya yang sakit, Jenar tidak fokus dengan ponsel Damar di hadapannya. Tak in
"Maafkan aku, Mas. Aku memang yang salah, aku—""Sebaiknya pulang dan istirahat. Aku sudah minta petugas yang berjaga untuk lebih hati-hati lagi. Kalau ada apa-apa cepat hubungi petugas atau berteriak saja."Padahal jika ucapannya, kalau ada apa-apa bisa menghubungi dia menjadi sulit Damar katakan. Dia bersikap berbeda setelah memikirkan apa yang dia lakukan membuat dirinya ragu.Jenar memilih pulang, dia malah menyalahkan diri atas menolak Damar yang mau membantu. Tapi sikapnya sungguh berbeda, apa itu artinya Damar menyesal atas jawabannya tadi siang ketika ingat jika hatinya terluka.Memikirkan Damar, dia sampai lupa dengan tangannya yang terluka sampai terlelap setelah mengobati dengan obat yang Damar berikan.***Dan lagi Damar tidak memberinya kabar. Kali ini sudah 2 hari, Jenar tidak melihat batang hidung Damar. Walau penasaran, tapi Jenar tidak mungkin datang ke rumahnya dan melihat sendiri kondisi Damar."Iya, Ma, aku sedang bertugas, bisakah nanti saja teleponnya. Aku—""Apa
"Biarkan aku yang bicara padanya." Damar menggandeng tangan Jenar dan berjalan masuk ke kamar yang tak jauh dari tempat mereka. "Sebenarnya apa yang mereka maksud, Mas? Apa kita harus melakukan pernikahan seperti yang mereka mau?" tanya Jenar bingung. "Ya, aku ingin menikahimu. Bisakah kita lakukan itu demi permintaan terakhir ayahku. 2 hari ini aku tidak memberimu kabar karena kondisi ayah menurun. Dan aku mendapatkan kabar setelah kamu dari rumah ku malam itu. Tolong aku, kabulkan permintaan ayahku yang terakhir kalinya." Dengan tangan Jenar ada dalam genggaman, Damar menatap dengan derai air mata. Ini penawaran yang rumit, saat mereka baru bertemu 2x dan sekarang Jenar di lamar ketika Damar berduka atas kematian ayahnya. Dia bingung harus menjawab apa, tapi dia harus cepat menjawab karena mereka menunggu. "Aku berjanji akan membahagiakan dirimu. Kita cari cinta itu setelah menikah, tolong kabulkan permintaanku ini. Aku mohon." Laki-laki berwibawa seperti Damar saja bisa terlih
Setelah pemakaman, Damar termenung duduk di anak tangga ketiga dengan kepala bersandar di pembatas tangga. Dia hanya diam di sana dengan pikiran tidak percaya jika dia sudah menikahi Jenar, wanita yang baru dia kenal."Pulanglah, Nak, kondisi ayahmu menurun sejak kemarin." Suara ibunya terdengar bergetar menjelaskan kondisi ayahnya. Setelah Jenar memberikan ponselnya, dengan nomor ponsel dengan nama My Love itu kembali menghubungi dengan kabar dari ayahnya.Malam itu juga Damar pulang, tanpa pamit Jenar yang bingung dengan sikap dingin pria yang sebelumnya mengajaknya serius."Nak, kamu sudah berhasil dengan apa yang kamu kejar. Menjadi Letnan Kolonel diusiamu sekarang sudah menjadi keberhasilan yang baik. Tidak bisakah kamu membahagiakan dirimu dengan hal lain, mengisi hatimu lagi. Sheila saja bisa bahagia dengan pilihannya, kamu juga harus bisa seperti itu. Untuk apa terus dipikirkan dan menjadikan trauma ketika kamu pantas bahagia dengan pendampingmu. Ayah akan sangat senang, jika
Jenar berhasil membujuk Damar untuk makan. Senyum yang dia lihat beberapa hari kemarin luntur karena kepergian ayahnya. Dia sungguh kehilangan sosok ayah yang menjadi penyemangat. "Aku pulang dulu, besok aku akan datang. Mas istirahat saja." Setelah memastikan Damar makan dan berbaring, Jenar coba untuk pamit. Meski mereka suami istri, tidak enak jika Jenar harus bermalam di sana. "Maaf, aku tidak bisa mengantarkanmu." "Sudah tenang saja. Sekarang pejamkan mata Mas, dan tidur. Aku akan meninggalkan Mas setelah tidur." Jenar yang duduk di samping Damar, menepuk dada bidang suaminya agar segera tidur. Tidak akan baik jika Damar memaksakan diri. Sudah tidak makan dengan baik, dia juga tidak tidur karena kondisi ayahnya yang benar-benar menurun. Mata Jenar mengarah pada Damar yang sudah terpejam, walau dia yakin belum sepenuhnya tidur karena air mata masih jatuh dari sudut matanya. Jenar menyeka tanpa berkata apapun, membiarkan Damar meluapkan kesedihan agar tidak terus larut dengan d
"Kamu sudah datang, bantu Mbak bangunkan suamimu. Dia susah sekali bangun untuk sarapan, dari tadi sampai sekarang sudah hampir jam makan siang." Jenar yang baru datang ditodong agar membangunkan Damar yang masih tidur sejak semalam. Perlahan dia membuka pintu kamar Damar dan melihat pria tampan itu masih meringkuk di atas tempat tidurnya. Jenar tidak langsung membangunkan Damar, dia membuka gorden lebih dulu agar terlihat matahari sudah hampir di atas ubun-ubun. Setelahnya Jenar mematikan lampu dan duduk di samping suaminya. "Mas, bangunlah, sudah siang. Mbak Wulan mau Mas bangun, aku—" Belum menyelesaikan ucapannya, Jenar diam ketika tangannya ditampik keras oleh Damar, padahal dia baru akan mengguncang tubuh suaminya setelah menarik sebagian selimut yang menutupi tubuh. Tatapan mata Jenar jelas jika dia terkejut dengan sikap Damar. Apa itu artinya sikap Damar akan kembali dingin padanya. "Kena—" Ucapan Damar terhenti ketika melihat Jenar ada disampingnya setelah membuka mata
"Apa mual, Mbak?" "Sejauh ini tidak, Mbak. Apa memang maunya buah ya, Mbak. Sulit sekali makan nasi. Membayangkan saja sudah terasa mual." "Apalagi bayi kembar, seperti mualnya dobel, tetap semangat. Setelah trimester pertama akan sedikit merasa nyaman. Walau hanya sebentar. Besok ada kegiatan lomba, nanti pukul 2 siang sepertinya ibu-ibu coba untuk menyiapkan hadiah. Apa Mbak ikut?" "Ikutlah, Mbak, malu kalau gak ikut apalagi alasannya hamil. Semua orang juga merasakan itu, aku tidak mau malah di anggap seenaknya sendiri karena kedudukan suamiku." "Lalu untuk jabatan yang ketua berikan bagaimana?" tanya Widi. "Tidak, Mbak. Biar yang lain saja, aku belum siap saja." Jenar diminta menjadi ketua ibu-ibu Persit, dia malah menolaknya. Dia tidak mau dipikir suaminya Danyon, lantas dia bisa menjabat sebagai Ketua. Apalagi dia masih baru. Pengalamannya kurang, itu pikir Jenar. "Aku belum tau banyak, jadi takut salah. Apalagi banyak para senior yang mampu memimpin. Ketua sekarang
"Kenapa, sudah makan dan habiskan." Jenar hanya menatap makanan yang baru dia makan beberapa suap saja. Padahal tadi begitu senang bisa makan diluar berdua. Nyatanya, setelah mengisi perutnya beberapa suap, dia tidak ingin lagi. "Mas saja yang makan, aku mual." Mata yang berkaca-kaca tanda dia memang sedang menahan rasa mual. Kasihan juga jika sudah seperti ini, Jenar malah tidak bisa makan dengan lahap, rasa mual menyiksanya. Meski itu tanda baik, akan tetapi Damar kasihan pada istrinya. "Enak?" Jenar menangguk senang, dia menyedot susu pisang yang dia minum. Damar mengusap ujung kepala istrinya, dari makanan yang dipesan dia hanya makan 2 suap saja setelahnya Damar yang menghabiskan, dia sangat ingin makan itu, tapi malah mual. Jenar belum tau apa yang pas untuk perutnya, hanya susu pisang yang tidak membuatnya mual. "Maafkan aku, Mas," ucapnya. Usia kandungannya jalan 3 bulan, meski sesekali masih merasa sakit dibagian perutnya, kondisi kehamilan Jenar tetap terkontrol. Apa
"Izin, Pak Danyon. Apa kabar!" Dengan sikap hormat, orang dihadapan Damar menjabat sebelum dipersilahkan duduk kembali. "Lama tidak bertemu, Anda juga tidak ada kabarnya, ke mana saja?" Damar tampak senang teman satu satuan dulu datang berkunjung. "Aku masih menjalankan tugas ku di lapangan. Beruntung Anda sekarang sudah dengan tenang membuat rencana untuk Prajurit. Bekerja di balik meja kerja ini."Pria dihadapan Damar adalah seorang kapten, beliau pernah menjadi satu regu ketika penugasan. Belum lagi mereka sering di perintahkan untuk tugas sebelum akhirinya Damar menjadi seorang Komandan Batalyon sekarang. Mereka malah asyik bicara. Apalagi kedatangan Kapten Bambang memiliki sebuah tujuan bukan hanya saling sapa. Damar untuk pulang karena ada tamu, entah akan seperti apa Jenar nanti marah padanya, yang pasti dia tidak bisa pulang sekarang. "Tidak bisakah Anda bergabung latihan kita lusa, satuan mengadakan latihan gabungan aman bersama NKRI, jika mau saya kirimkan jadwalnya."
"Puas sekali menggoda orang, sekarang malah tertawa," gerutu bumil yang masih pagi sudah bawel setelah mengobrol dengan suaminya. "Makanya kamu juga jawabnya begitu. Tenanglah, Sayang, aku masih lama di sini. Karir yang aku jalani di sini masih terbilang baru. Untuk rumah baru, nanti aku coba bicarakan dengan salah satu teman. Kita pilih yang nyaman untukmu." Damar hanya membohongi Jenar tentang pindah tugas ke Papua. Dia diperbolehkan untuk fokus di Batalyon dan juga istrinya. Apalagi kondisi kehamilan sang istri sedang tidak baik, meski harusnya mengutamakan tugas. "Kamu suka sekali menggoda isterimu, sepertinya masa kehamilan Jenar sangat manja. Dikit menangis, ingat menangis, apa yang dia mau menangis," sahut Susi. "Mama sudah rapi, mau ke mana?" tanya Damar. "Mama hari ini mau pulang, ada Wulan dan ibumu juga di sini. Nanti 3 bulanan Mama akan datang. Beberapa minggu saja kan. Titip anak Mama yang bawel ini, dia akan semakin merepotkanmu dengan tingkah manjanya," balas Susi.
"Komandan!" Dika datang dengan 4 anggota Polisi, mereka yang awalnya menantang Damar hampir akan pergi sebelum Polisi mengejar mereka dan menendangnya karena lari. "Bahu kiri Anda—" "Ini hanya goresan saja. Apa wanita tadi sudah aman?" tanya Damar. "Ternyata wanita itu dikejar karena motor yang dia gunakan dianggap kredit macet, 2 pria itu mengikutinya sejak keluar dari tempatnya bekerja," jelas Dika yang tau sedikit masalah wanita itu. Damar menemui wanita itu dan memastikan dengan benar masalah mereka. Setelah itu Damar coba mengobati lukanya sebelum dia pulang. Ini akan menjadi masalah untuknya, ketika Jenar tau. Jam munjukan pukul 12 malam ketika Damar sampai di rumah. Rasa bersalah terlihat jelas ketika melihat isterinya menunggu di ruang tamu sampai tertidur. "Bukankah Mas bilang sudah sampai Bandara sejak pukul 8. Kenapa baru pulang?" "Ada masalah tadi di jalan, kamu bisa pastikan pada Mbak Widi besok kalau bertemu. Akh!" Rintihan lirih ketika Damar membuka jaket
Damar sampai di Bandara dan menunggu Dika yang akan menjemput, katanya mobil yang ditumpangi mengalami pecah ban di dekat Bandara, jadi Damar memilih menghampiri Dika menggunakan Taksi online. Jam menunjukan pukul 8 malam saat sampai di Solo. Rasa lelah dia rasakan, apalagi pesawat delay beberapa jam karena cuaca buruk. "Maaf, Komandan, harusnya saya tidak terlambat," ucap Dika ketika melihat Damar menghampirinya. "Apa sudah selesai?" Setelah meletakkan tas yang dibawa, Damar memghampiri Dika yang merapikan ban yang pecah itu ke bagasi, seperti baru selesai. "Mohon izin, baru selesai, Komandan, apa kita—" "Pak, tolong saya. Pria di sana mengikuti saya sejak tadi, bisakah saya pulang bersama dengan menggunakan motor di depan mobil Bapak."Seorang wanita pengguna jalan menghampiri Damar yang berniat akan pulang. Wanita itu tampak ketakutan ketika mengatakannya. Jalanan memang tidak begitu ramai, wanita itu langsung menghampiri Damar dan Dika. Wanita itu melihat Dika memakai seragam
"Ngidam pengen suaminya pulang, bagaimana kalau jadi pindah tugas, akan sulit." Suara seseorang menghentikan tangis Jenar karena mendengarkan kata-kata itu. Hatinya semakin gelisah, dia hanya ingin suaminya pulang sekarang, agar merasa lega. "Aku telepon lagi nanti, aku bicara dulu dengan seniorku. Tidak apa-apa kan?" Meski bekerja di lingkup orang yang lebih tua, tidak membuat Damar besar kepala, karena dia juga masih baru di posisinya sekarang dan harus banyak belajar dari seniornya. "Sudahlah, makin bikin kesal saja." Jenar mematikan sambungan telepon begitu saja karena suaminya masih saja sibuk, padahal dia merindukannya. Lawan bicaranya hanya menatap layar ponsel sesaat panggilan masuk itu tertutup. Mood Jenae Hal seperti ini tidak biasa dia lakukan, mungkin juga karena efek hamil karena beberapa hari kemarin terus bersama dan sekarang ada tugas keluar kota. Namun, jika memang suaminya di pindah tugas, dia sunggu harus merelakan pekerjaannya untuk fokus pada keluarganya.
"Rumah rapi walau kamu sedang sakit, kalau bukan suami yang baik, apa coba. Yang banyak bersyukur, Nak." "Jangan terus memarahi anakmu, nanti dia malah kabur dan Damar menyalahkan kita tidak becus merawatnya," sahut Anggi pada besan yang juga temannya. Mereka dekat karena memang sudah berteman sejak lama. "Aku gemas padanya kalau sudah keras kepala." Yang di marahi hanya diam bersandar di ruang tengah rumah dinas Damar, baru tadi siang dia pulang dan sesampainya di rumah diperlakukan bak ratu karena tidak boleh melakukan apapun, apalagi Dokter bilang harus melewati trimester pertama ini agar janinnya benar-benar kuat untuk diajak melakukan kegiatan. "Kamu tidak menginginkan sesuatu, Je? Makan apa gitu?" tanya Wulan. "Apa ya, Mbak, pengen ketemu Mas Damar saja sih, gak pengen makan apa-apa." "Mau di tungguin suamimu ya. Sabar ya, Nak, kita di sini bersamamu. Lain kali kalau ada apa-apa bilang. Atau kamu mau pulang ke Jakarta saja agar bisa kita bantu," tutur Anggi. "Dan m
"Tolong maafkan aku, Mas." Kembali Damar mencium kening Jenar. Mereka bicara sedikit berbisik karena takut jika Susi yang masih tidur akan terganggu. Apalagi masih begitu pagi ketika Damar datang. "Aku bantu ke kamar mandi biar Mama tidak repot." Seperti pagi biasa ketika di rumah sakit, Damar membantu isterinya membersihkan tubuh. Karena tidak boleh naik turun tempat tidur dulu, Damar selalu menggendong isterinya dan membantu membersihkan tubuh. Catheter Jenar sudah terlepas kemarin, itu juga anjuran dokter. Walau ada rasa khawatir jika isterinya malah akan banyak bergerak, Damar coba percaya jika isterinya akan menjaga calon bayi mereka. Perkembangannya memang baik, namun Damar ingin semua baik sampai Jenar bena-benar merasa sehat. "Kenapa, mual?" tanya Damar ketika menyodorkan sikat gigi pada istrinya. Jenar mengangguk pelan dengan tangan menutup mulut. Dia mual ketika akan gosok gigi, namun dia tetap harus membersihkan giginya. "Aku seperti bayi beberapa hari ini, karena M