08. Tetap Tidak Bisa Memaksakan Hati

"Maksud Mas kita pacaran sekarang?"

"Mungkin perkenalan untuk hal yang serius lebih enak di dengar, daripada kata pacaran," sahut Damar.

"Sama saja, Mas."

Meski ragu, Damar tetap mengiyakan apa yang Jenar katakan. Entah itu tulus dari hatinya atau tidak, untuk sekarang mereka coba menjalani hubungan yang orang tua mereka mau.

Setelahnya mereka menikmati waktu makan siang bersama, Damar yang terlihat kaku, ternyata tidak seperti kelihatannya. Awal pertama Jenar melihatnya, Damar tampak tegas dan jarang tersenyum, nyatanya dia sering tersenyum bersamanya.

Mereka seperti orang yang tidak pernah menjalin hubungan sebelumnya, mereka berdua tampak kaku, tapi juga asyik. Karena banyak yang mereka bahas, apalagi tentang satu sama lain.

***

Di rumah, Damar sejenak terdiam dengan apa yang sudah dia katakan tadi pada Jenar. Apa ini pilihan benar atau tidak, yang pasti hatinya ragu. Dia pikir Jenar, wanita baik, namun hatinya tetap tidak bisa dibohongi. Sikap manisnya pada Jenar hanya usahanya untuk menyenangkan hati orang tua dan kakaknya, dia seperti tidak sungguh-sungguh karena hatinya tidak menerima itu.

"Apa yang sedang kau lakukan, Damar. Kau hanya akan melukai hatinya ketika dia tau tidak ada cinta dihatimu."

Beberapa hari tidak memberi kabar, dia berusaha meyakinkan hati jika apa yang dilakukan sekarang hal baik. Apalagi ini permintaan ibunya, dia tidak ingin ibunya menangis lagi setelah gagal membuat dirinya move on dari mantan istrinya, Sheila.

[Mas, boleh aku minta tolong?]

Pesan masuk membuat Damar yang melamun seketika tersadar dan melihat kalau Jenar mengirimnya pesan.

[Ada apa?]

[Seseorang datang dan aku tidak ingin membuka pintu. Aku tidak tau nomor petugas yang berjaga di Pos. Dia terus mengetuk pintu rumah.]

Damar membaca tanpa ingin membalas. Dia segera keluar dan berjalan ke rumah dinas yang Jenar tempati dengan berjalan kaki.

"Bagaimana kau bisa di sini? Pergi dari sini karena aku tidak ingin lagi bertemu denganmu!" Merasa tidak mendapatkan balasan dari Damar, dia keluar dan mengusir sendiri seseorang yang Jenar harap tidak lagi menganggu hidupnya.

Jenar merasa malu jika pria itu datang untuk bikin onar dan membuat tetangga yang lain terganggu. "Aku hanya butuh bicara padamu, jadi biarkan aku masuk."

"Tidak! Sebaiknya kau pergi." Jenar mendorong tubuh pria itu yang memaksa ingin masuk.

"Kalau begitu kita bicara diluar. Kau tau, aku mencarimu beberapa hari ini, dan benar saja kau di sini setelah aku mengikutimu seharian kemarin." Tanpa rasa bersalah, dia menarik tangan Jenar kasar.

Terjadi tarik menarik antara Jenar dan pria itu hingga Damar yang mendengar setiap perkataan pria itu segera berjalan lebih dekat dan memegang erat lengan agar melepaskan tangan Jenar.

"Lepaskan! Siapa yang membolehkanmu masuk ke sini?" Setelah terlepas, Jenar langsung berdiri di belakang Damar.

"Aku hanya ingin bicara dengannya sebentar." Pria itu memaksa untuk bicara dengan Jenar yang menatap takut, pria itu sungguh gila sampai menguntit ke mana Jenar pergi.

"Pergi dari sini kalau kau tidak mau babak belur."

"Hanya sebentar saja."

Damar coba menghubungi petugas yang berjaga di Pos keamanan. "Bisa kalian datang ke rumah Dokter Jenar, ada seseorang yang kalian loloskan membuat onar di sini. Lain kali jangan biarkan mereka masuk jika hanya ingin membuat onar." Damar menatap pria itu terus berusaha menarik lengan Jenar yanga berusaha menghindar.

Damar mendorong pelan dan membuat Jenar masuk rumah setelahnya meminta untuk mengunci pintu dari dalam. Tetangga samping yang juga Prajurit keluar untuk melihat apa yang terjadi.

Pria itu tidak terima Damar mendorongnya bahkan menyeretnya pergi dari rumah itu. "Jangan berani datang lagi ke sini jika kau tidak mau aku memenjarakan mu."

"Padahal aku hanya ingin bicara dengannya sebentar saja. Aku tidak akan melukainya, hanya ingin bicara. Aku sungguh-sungguh tidak berani untuk bersikap kasar padanya."

"Kau bilang tidak berani kasar, kau bahkan melukai pergelangan tangannya. Kalian bawa pria ini dan ingat, jangan pernah lagi membiarkan dia masuk. Ingat wajahnya."

Mereka kemudian membawa pria itu pergi, tidak membiarkan bertemu dengan Jenar. Setelah memastikan pergi dan memberitahu mereka yang melihat kejadian itu, agar lain waktu membantu untuk mengusir ketika dia datang lagi.

"Kamu tidak apa-apa? Kenapa membuka pintunya?"

"Tidak, Mas. Aku pikir Mas tidak bisa membantu, jadi—" Jenar menghentikan ucapannya ketika merasakan pergelangan tangan sakit karena pria tadi meremas terlalu keras.

"Apa ada es, biar aku bantu kompres."

"Tidak, Mas, tidak perlu. Aku akan lakukan nanti. Maaf sudah merepotkan Mas lagi."

Damar coba keluar dan menanyakan ke tetangga Jenar, dan meminta es untuk kompres tangannya. Dia kembali dengan 1 kotak es di tangan tanpa peduli Jenar menolaknya.

"Tidak adakah handuk kecil untuk ini?"

"Biar aku saja, Mas, tidak perlu repot."

"Jika tidak mau dibantu, kenapa meminta tolong sebelumnya. Sudah saja urus sendiri apa yang ingin kamu selesaikan." Damar menatap serius ke arah Jenar yang tidak tau jika pria di hadapannya ini bisa marah.

"Bukan seperti itu, aku hanya malu jik—"