"Mama saja bahkan tidak bertanya padaku tentang ini. Aku seperti dinikahkan tanpa persetujuan." Mendengar itu Damar menatap sendu, tapi memang itu adanya. "Jangan dengarkan, Nak. Apa kamu mau bermalam di sini, biar Mama siapkan kamarnya." Seperti tidak peduli dengan Jenar yang menggerutu kesal, Susi malah mengalihkan apa yang sedang puterinya katakan. "Tidak, Ma. Aku akan pulang, aku tidak mau Jenar merasa tidak nyaman jika aku bermalam di sini. Tapi, besok biar dia bermalam sebelum kembali ke Solo lusa. Agar langsung aku antar ke Bandara." Tatapan pria tampan yang menjadi suaminya itu tampak dalam dan penuh arti. "Kamu mau bekerja di kondisi berduka seperti ini, Nak? Tidak bisakah tunggu 7 hari, tidak baik," ucap Susi. "Tidak, apa-apa, Ma. Ini tanggung jawab. Sebaiknya aku pulang, besok hubungi aku kalau mau ke rumah biar aku jemput. Mobilmu ada di sana kan?" "Tidak, Mas, biar nanti aku di antar sepupu Mama, satu arah dengan tempatnya bekerja, jadi tidak perlu di antar." "Yasu
"Mau ke mana dulu, Mas?"Damar tidak mengarahkan mobil ke rumahnya. Dia malah ke jalur lain tanpa Jenar tau tujuan karena tidak diberitahu."Ingin bertemu atasanku untuk izin menikah agar lebih mudah dan cepat," jawab pria tampan berlesung pipi yang fokus dengan jalan."Mas, apa ini tidak terlalu cepat?" Jenar menghela nafas pelan, padahal baru beberapa hari, tapi semua seperti terburu-buru untuknya."Untuk proses yang panjang, ini tidak terlalu cepat. Memangnya kenapa? Sejak kemarin kamu bilang ini terlalu cepat." Pengajuan izin menikah untuk abdi negara itu jauh lebih rumit dan harus teliti, jadi Damar ingin memulainya lebih cepat."Ya karena masih masa berduka. Bukan karena hal yang lain.""Hanya bertemu sebentar saja, lagian aku juga sudah janji dengan beliau di kantornya. Mumpung kamu di sini, jadi kita temui sebentar. Tinggal kamu di sana melalukan tes pengajuan, begitu." Damar mengusap pipi Jenar yang hanya diam. Dia merencanakan tanpa mengatakan dulu pada Jenar yang harusnya t
"Sayang, kita—" Ucapan Damar terhenti ketika melihat Jenar lelap dengan posisi menyamping dekat dengan anak Wulan. Wajah lelahnya terlihat, namun dia tidak mengeluhkan karena memang sejak tadi kesal pada Damar."Maafkan aku," tutur Damar Melihat keponakannya bergerak dan akan menangis, Damar segera membawa dalam gendongan agar tidur Jenar tidak terganggu. Dia membawa bayi itu pada ibunya dan Damar kembali ke kamar untuk menyelimuti sebagian tubuh istrinya. Bahkan dia tidak terusik sedikitpun, Damar jadi ingat saat pertama kali mereka bertemu. Jenar menjawab telepon setengah sadar karena tidur.Sejenak dia menatap dengan sungguh-sungguh wajah cantik istrinya. Dari biasa saja, perlahan dia merasa Jenar memang wanita baik. Dia dituntut untuk mengerti kondisi Damar, ketika permintaan ayahnya menjadi keharusan untuk Jenar. Namun, dia tidak banyak menuntut, malah terkesan mereka yang mengatur semua tanpa bertanya apa keinginannya."Mar, ada tamu—" Suara Jatmika, suami Wulan membuat Jenar t
"Maaf, Mbak jadi membuka luka lamamu." "Tidak apa-apa, Mbak. Hanya tadi aku merasa gugup dan takut saja. Apalagi kita masih berstatus nikah agama, semua terasa tiba-tiba, jadi malu jika ada yang tau. Padahal itu harusnya tidak apa-apa. Malah air mataku jatuh begitu saja." Jenar belum terbiasa saja dengan kedekatan mereka, apalagi dia belum lama mengenal Damar, namun sudah dinikahkan. "Tidak apa-apa, kalian ini sudah suami istri, jadi kau harus membiasakan. Jika merasa takut, maka jelaskan pada Damar supaya dia tidak memaksamu." "Iya, Mbak." "Sudah, ayo masuk. Ada rekan suamimu. Perkenalkan dirimu agar mereka tau wanita seperti apa yang bisa ada di samping adikku. Wanita cantik dan hebat ini yang menjadi pemenangnya." Wulan berhasil menenangkan Jenar, dia juga melihat senyum mengembang di bibir iparnya itu. Setelah acara doa, mereka sedang mengobrol santai dengan keluarga lain. Jenar yang sejak tadi menggendong putri bungsu Wulan, didekati Damar yang baru berani mendekati Jenar.
"Sudah sana, daripada kamu tertinggal pesawat." Jenar mengiyakan dan berjalan pergi, sampai Damar kembali berdiri di hadapan istrinya kemudian memeluk erat. "Maafkan aku." Damar melepaskan pelukannya, tak ingin membuat tidak nyaman. Jenar kemudian berjalan masuk ke pesawat. Sesungguhnya dia masih ingin bersama Damar, apalagi dia ingin mengenal jauh keluarga suaminya yang begitu baik. Sayang sekali memang pria sebaik Damar disakiti oleh mantan istrinya. Memerlukan waktu 1 jam 55 menit untuk sampai di komplek militer. Sesampainya di sana ada seseorang yang menghampiri, dia tak lain istri Dika, Prajurit yang Damar maksud tadi. Dia menjelaskan sedikit tentang pengajuan izin nikah dan persyaratan apa saja yang harus Jenar lakukan. Karena sore ini ada jadwal praktek, Jenar bicara sesampainya di rumah. "Dokter bisa membacanya di sini, jika ada yang bingung bisa tanyakan saya. Rumah saya di samping rumah ini, jadi Dokter bisa datang." "Baik. Bisakah panggil nama saja, aku tidak enak dipa
"Ya, aku suaminya. Jangan kau lukai istriku, jika kau ingin hidup dengan tenang." "Bohong! Datanglah ke sini kalau kau memang suaminya," ucap pria itu dengan lantang, tak sungkan jika beberapa orang menatapnya yang bicara dari sambungan telepon. "Tunggu di tempatmu sekarang, jangan pergi." Setelahnya Leo menutup sambungan telepon dan Jenar mengambil ponselnya kembali. Asri, asisten Jenar, coba melindungi dengan menjadi penghalang. Menunggu beberapa menit, seseorang yang menjawab telepon Leo tadi datang. "Siapa kau berani menganggu istriku?" "Kau yakin dia istrimu?" Leo masih saja tidak percaya akan apa yang Jenar katakan tentang pernikahannya. "Kenapa tidak, apa mau mu datang menemui istriku. Pergi dari sini dan jangan kembali. Atau mau aku menyeretmu ke kantor polisi?" Jenar hanya diam ketika seseorang itu coba mengusir Leo. Karena tidak percaya, Leo menantang, namun gagal saat beberapa Prajurit datang untuk membantu. Leo yang takut segera pergi, tidak ingin babak belur denga
"Apa kemarin Pak Danyon marah? Maaf saya cerita pada beliau karena memang saya ditugaskan menjaga Anda selama beliau di sana," jelas Dika."Ya begitu, tapi tidak apa-apa, Mas, kalau begitu aku berangkat saja, Mas. Jam praktekku 15 menit lagi."Sampai pagi pesan terakhir Jenar tidak dijawab oleh Damar. Dia sungguh marah dengan sikap Jenar, kenapa bisa hal seperti itu Jenar hanya diam.***"Dokter! Kenapa malah melamun? Apa Dokter sakit?" Asri memegang bahu Jenar yang menatap kosong. Tidak hanya sehari Damar tidak memberinya kabar, tapi 3 hari ini. Jahat untuk Jenar, ketika dia dibuat bingung dan ingin sekali bertemu dengan tidak membalas atau menjawab pesan darinya."Aku baik-baik saja. Sedikit pusing, mungkin juga efek haid di hari pertama. Oh ya, apa hari ini jadwal sore diubah. Aku ingin pulang lebih cepat.""Jadwal sore ini kosong, jadi Dokter bisa pulang dan istirahat lebih cepat." Mendengar itu seperti angin segar untuk Jenar. Hari ini jujur saja dia malas untuk melakukan kegiata
"Mama–" rintihan lirih keluar dari mulut Jenar yang baru sadarkan diri. Matanya perlahan terbuka. "Apa masih terasa sakit?" Karena penglihatan Jenar belum begitu jelas, dia mengedipkan mata beberapa kali. Ingin segera pandangannya segera normal, karena penasaran suara seseorang yang ada di sampingnya begitu dia kenal. "Mas—" panggilnya lirih, aroma tubuh seseorang yang ada di sampingnya membuatnya tau siapa yang bersamanya. "Kamu itu, sudah tau sedang sakit, tapi tetap saja melakukan kegiatan. Ceroboh sekali." "Selalu saja di marahi. Apa tidak boleh aku memelukmu dulu baru marahi aku. Jahat sekali beberapa hari tidak ada kabar, dan sekarang malah marah lagi. Sudah saja usir sekalian aku dari sini," gerutu Jenar yang meluapkan kekesalannya pada Damar, suaminya. "Mau di usir ke mana? Lihat kamu sedang di mana sekarang." Mendengar itu, otak Jenar coba memproses. Dia melihat sekitar dan ada jarum infus yang menacam dilengan kirinya. Coba mengingat sedang di mana dia sekarang.
"Memang Danur punya uang untuk membelinya?" Pertanyaan Prajurit itu membuat bocah itu berpikir. Ekspresinya begitu mengemaskan, selain imut, tampan, dia juga sama seperti ayahnya. Pesona ayahnya turun ke anaknya sekarang. "Danur, Ayah sudah punya anak baru. Bukankah Danur juga punya ayah baru." Damar datang dengan menggendong anak Widi yang baru 10 bulan, dan mengejek putranya itu. Menjadi Komandan Batalyon selama hampir 6 tahun, Damar banyak mendapatkan penghargaan dan prestasi yang dia dapat selama diposisinya. Bukan hanya itu, selain terkenal tegas, Damar juga bersikap baik pada bawahannya. Bukan berarti salah lantas dia akan terus mencari kesalahan, Damar memberikan nasehat yang bisa membuat bawahannya maju bukan malah diam di tempat. Beberapa Prajurit dibantu untuk pendidikan mereka. Dia membantu semampu dia, karena dia tau betul bagaimana berjuang di masa-masa seperti ini. Tegasnya Damar, dia selalu disiplin dan tidak menerima kesalahan yang fatal. "Itu adik Celine, itu b
"Om, mana Ayah Danur?" Dengan pertanyaan yang belum jelas, anak usia 4 tahun itu berdiri di hadapan para Prajurit yang sedang berbaring mendengarkan arahan. "Danur, tunggu Bunda!" Langkahnya terhenti ketika melihat putranya sedang berdiri di hadapan para Prajurit. Senyum wanita cantik itu mengembang, anak kecil yang dia cari tanpa rasa malu ikut dalam barisan itu seperti seorang Komandan yang berdiri di depan Prajurit. "Ayah!!" Teriakan itu membuat wanita cantik itu berlari sebelum anak kecil itu berhasil pada ayahnya. Tawa dari para Prajurit yang berbaris terdengar ketika anak kecil itu menyelai ucapan sang ayah ketika sudah dalam gendongan. "Kenapa Ayah pergi sendiri. Bunda memaksa Danur makan, Danur masih kenyang," keluhnya. "Pak Wadan, gantikan aku bicara, anak kecil ini akan terus menggangguku," pintanya pada Wadan yang berdiri di sampingnya. "Ke mana Bunda sekarang?" tanyanya pada sang anak. Dia mundur ketika wakil komandan mengantikannya bicara dengan beberapa Praj
"Akhirnya anak Ayah bisa pulang hari ini." Dalam gendongan sang ayah keluar rumah sakit, bayi kecil itu tampak tenang. Jenar berjalan selangkah dibelakang Damar yang begitu senang setelah hampir 1 bulan putranya di ruang NICU, akhirnya hari ini diperbolehkan pulang. Kondisinya berangsur membaik walau berat badannya masih kurang. Sore itu akhirnya Danur bisa berbaring di tempat tidur mereka. Damar sangat senang karena bisa menggendong lebih lama dari pada di NICU hanya berapa jam saja dalam sehari. Momen ini yang di tunggu sejak beberapa minggu. Sejak keluar rumah sakit, keseharian Damar berbeda. Pagi dia akan membantu istrinya merawat putranya. Membiarkan Jenar mengurus pekerjaan rumah yang lain. Damar juga menemani putranya berjemur ketika dia selesai Apel. "Aku sudah selesaikan tugasku. Aku pulang lebih dulu," ucap Damar. "Siap, Komandan!" "Sejak ada mainan hidup, aku selalu ingin pulang dan bertemu dengannya." "Siap, Ndan. Namanya juga anak baru lahir. Pastinya senang
"Mbak baik-baik saja?" Widi menghampiri Jenar yang termenung di depan ruang rawat. Bukannya istirahat, dia malah diam di sana. Membiarkan Damar yang sedang sakit di dalam di temani ibunya. Kehilangan dan juga kebahagian yang dirasakan sekarang seperti tamparan keras. Bukan hanya itu, Damar juga sakit saat kondisi seperti ini. "Ya, harusnya juga baik-baik saja. Bahkan aku ingin bergegas merawat suamiku yang sedang sakit. Kenapa aku secengeng ini, menjengkelkan sekali." Jemarinya menyeka air mata yang mengalir begitu saja. "Aku yakin Mbak pasti kuat. Aku tidak ingin mengatakan banyak hal karena aku tau jika Mbak mendapatkan itu semua dari keluarga yang mendukung. Mbak harus ingat, masih ada satu anak yang bisa Mbak rawat dan perjuangkan. Ingatlah diriku ini, bagaimana kisahku dengan putriku. Yang tabah, semua pasti akan baik-baik saja." Widi memegang tangan temannya itu. Dia baru bisa bertemu dengan Jenar kali ini. Dia tidak ingin mengganggu ketika di masa duka dan kebahagian y
"Istirahatlah, Nak, kamu terlihat begitu lelah," tutur Susi pada menantunya yang baru sampai dari Jakarta untuk memakam kan putrinya didekat makam ayahnya."Aku masih ingin melihat putraku, Ma. Rasa bersalah ini semakin mencekik ku. Aku tidak becus menjadi seorang ayah, ini terjadi karena diriku." Tangis Damar pecah ketika bicara dengan Susi. Dia menahan agar bisa menerima semua ini, tapi dia tidak sanggup lagi. Rasa sesaknya kian mencekik, dan dia luapkan pada Susi.Wulan yang mengurus semua di sana ketika Damar kembali ke Solo untuk istri dan anaknya yang lain. "Semua sudah menjadi takdir yang Tuhan gariskan. Kamu boleh bersedih, tidak dengan menyalahkan dirimu. Ini semua bukan kesalahanmu, memang kondisi kehamilan istrimu yang tidak baik."Dengan kondisi kaki yang masih dibantu penyangga untuk berjalan, Susi pergi bersama Ragil ke Solo. Dia tidak bisa hanya diam, ketika putra putri mereka membutuhkan mereka orang tuanya."Ikhlas kan, maka kamu akan terima ini semua. Istrimu membutu
"Saya pikir Mbak Jenar akan mengatakan pada Bapak, jika tadi melakukan kontrol mingguan bersama saya karena tak ingin menganggu istirahat Anda."Mendengar penjelasan Widi, bisa apa Damar ketika ini sudah kejadian. Waktu itu juga, Damar mendengarkan penjelasan Dokter Melati tentang kondisi istrinya.Sudah rasa sakit dia rasakan tanpa hilang, Jenar harus merasakan proses induksi karena ingin persalinan normal. Ada rasa kesal, tapi Damar tidak bisa meluapkan sekarang. Fokusnya ada pada Jenar sekarang."Mbak, bisakah kau datang. Jenar mau melahirkan di usai kandungan 25 minggu, aku harap Mbak bisa datang sekarang." Tidak hanya pada Wulan, dia juga minta doa pada Ibu dan mertuanya agar semua berjalan lancar. Meski dengan resiko yang besar."Maafkan aku, Mas," tutur Jenar dengan rintihan lirih merasakan sakit."Aku tidak ingin membahasnya, kamu harus kuat, agar mereka bisa selamat begitu juga dirimu. Kamu hampir mencelakai dirimu sendiri. Sekarang lihatlah hasilnya, tapi aku tidak mau menya
Padahal baru semalam, Damar memaksa untuk pulang setelah merasa lebih baik. Dia kasihan saja pada istrinya, apalagi Jenar tidak mau saat Damar akan menghubungi Wulan agar datang menemani istrinya.Damar memilih istirahat di rumah, tak ingin mengganggu suaminya, Jenar di temani Widi pergi ke rumah sakit untuk kontrol kehamilan. Namun, kabar kali ini membuat Jenar khawatir apalagi masa kehamilan masih 6 bulan, tepatnya 25 minggu. Padahal, rencananya mereka ingin mengadakan 7 bulanan di Jakarta, 3 bulanan kemarin mereka lewatkan karena kondisi Mama Jenar."Bisa saja waktu melahirkan lebih awal jika kondisinya seperti ini terus. Apa kau sudah merasakan mulas? Dari USG ini bayi sudah masuk panggul, berada di jalannya seperti bersiap akan keluar, dan menekan, hal itu membuat kontraksi palsu.""Ya, semalam aku sudah merasakan mulas, namun hilang timbul, tapi sejak pagi ini sudah mulai teratur rasa sakitnya. Padahal usianya masih 25 minggu, bukankah itu akan beresiko jika melahirkan di waktu
"Ada apa, Mas? Apa terasa sakit?"Jenar terbangun ketika mendengar rintihan lirih dari suaminya. Jam menunjukan pukul 4 pagi ketika suara suaminya membuat dia membuka mata. Beberapa waktu ini Damar begitu sibuk, namun dia tetap menyempatkan waktu untuk Jenar meski lelah.Tanpa menjawab, Damar masih saja merintih. Tangannya meremas selimut yang dikenakan dan wajah pucat pasih meringkuk menyamping. Karena perut yang membuat pergerakannya sulit, Jenar coba memanggil suaminya."Apa yang dirasakan, Mas, katakan?""Perutku rasanya sakit sekali, seperti diremas. Aku sudah coba minum obat, tapi rasanya tetap saja," keluhnya dengan suara lirih."Coba Mas tarik nafas perlahan. Apa ini sakit?" Jenar coba mengecek kondisi suaminya semampu yang dia bisa."Ya, di situ sakit." Jenar sepertinya tau apa yang sedang suaminya alami."Mas bisa bangun? Kita ke rumah sakit saja ya?" tanya Jenar."Tidak. Sebaiknya kembalilah tidur, masih terlalu pagi, aku—" Ucapannya terhenti ketika rasa sakit itu kembali d
"Permisi, maaf sebelumnya. Isteri saya sedang ngidam makan di tempat acara nikahan. Bolehkan saya dan istri saya masuk?" "Tentu, Pak, masuk saja, apalagi istrinya sedang ngidam, tapi makanannya tidak lengkap. Karena sudah malam juga, hanya beberapa saja yang masih ada. Kalau mau masuk saja," ucap wanita yang duduk di tenda depan sebagai penerima tamu. Jam menunjukkan pukul 22.10 saat akhirnya mereka menemukan tempat hajatan. Ketika orang diundang untuk datang, mereka berdua malah datang tanpa diundang, mencari malam-malam hanya karena Jenar ngidam. Damar menatap Jenar yang mengangguk mau setelah bertanya pada wanita itu. Dengan membuang segala rasa malu, Damar masuk setelah mengisi kotak amplop di depan sebelum masuk mengikuti wanita tadi mengantarkan langsung ke tempat makan. Tatapan aneh para keluarga terlihat ketika mereka masuk dengan menggandeng tangan. Meski orang yang temui tadi sudah menjelaskan pada mereka, tapi tetap saja ini membuat malu Damar pastinya, lain hal untuk