"Memangnya kamu mau dijodohkan dengan duda sepertiku?" tanya pria berparas tampan itu. Mereka sungguh asyik berbincang berdua di sana. Apalagi Mama Jenar memaksa agar dirinya bisa bertemu dengan putera temannya.
"Aku tidak pernah menolak apa yang mamaku mau. Karena apa yang dia katakan menurutku sebagai keharusan, jadi aku mau menemui Mas walau itu bukan kemauanku. Bagaimana dengan Mas," jawab Jenar sambil melontarkan kembali pertanyaan yang sama. "Jujur aku masih tidak ingin dekat dengan wanita karena aku juga ingin mengejar karirku. Ini juga kemauan orang tua, dan juga kakakku. Mereka akan sangat berisik ketika melihatku menua dengan kesendirian. Apa kamu tau jika kita ini didekatkan untuk menikah?" "Aku tau, tapi jika kita tidak cocok, haruskah kita memaksa hati kita. Setidaknya aku menuruti mama untuk bertemu dengan Mas, urusan itu bagaimana nanti saja. Apalagi kita baru ketemu, aku belum mengenal Mas lebih jauh." "Benar juga, tapi kata mereka, aku harus mau denganmu bagaimana pun caranya. Apa tidak masalah aku yang memiliki kenangan masa lalu akan kegagalan ini dekat dengan wanita cantik sepertimu?" Dari sikapnya, pria di hadapan Jenar terlihat baik, namun itu bukan berarti Jenar bisa menilai sekilas apa yang baru dia lihat. Jenar diam, dia bingung ketika hatinya mau. Dia belum mengenal Damar, dia juga tidak paham bagaimana pria tampan itu bersikap. Jenar berhati-hati karena dia pernah gagal dan membuatnya takut untuk mengulangi perasaannya lagi karena sikap kasar kekasihnya dulu. "Aku percaya apa yang Mama pilihkan untukku itu baik, tapi aku tidak bisa memaksakan diri." Dari jawaban Dokter cantik itu, dia tidak menolak, namun juga tidak menerima. "Kita jalani saja dulu, tidak perlu gegabah menjawab pertanyaanku. Bagaimana nanti saja, jika kita cocok dan berjodoh maka kita akan menjadi satu. Sebaiknya kita habiskan makan malam ini. Maaf aku tidak bisa lama, karena ada janji dengan seseorang, lain waktu kalau tidak sibuk, kita atur ulang pertemuan kita." "Baik, Mas. Bagaimana Mas saja, pasti Mas sangat sibuk." Jenar ingin sekali bertanya banyak hal, namun waktu mereka tidak banyak. Seperti yang Damar katakan, jika dia ada janji dengan seseorang. Dia segera mengantarkan Jenar pulang setelah makan malam. "Aku di sini juga baru bertugas, jadi belum tau banyak tempat di daerah ini, maaf jika aku mengajakmu ke tempat makan seperti tadi. Lain kali aku akan mencarinya yang lebih indah." "Tadi tempatnya juga indah kok Mas." "Aku rasa sejak tadi kamu masih canggung padaku. Bukankah seoranh Dokter pandai sekali bicara, maksudku—" "Aku masih syok saja, ternyata Mas yang membantuku semalam yang Mama kenalkan. Jika tau seperti itu, tadi aku tidak menyia-nyiakan waktu untuk tidur. Maaf tadi membuat Mas menunggu, walau aku tidak ingin menolak permintaan Mama, kadang aku lelah saja saat Mama terus memaksaku menikah. Bukankah menghilangkan trauma itu tidak selamanya dengan menikah." "Benar juga, tapi apa mereka paham itu. Yang mereka mau kita saling kenal satu sama lain dan menikah. Memangnya jika kamu memiliki suami abdi negara akan siap dengan konsekusinya? Saat suamimu menjalankan tugas, kamu bisa ditinggal lama." Seperti sedang membicarakan dirinya di masa lalu, Damar ingin tau pendapat Jenar. "Aku memiliki prinsip, apa yang sudah aku pilih, aku akan genggam walau itu sakit. Dan bodohnya aku melakukan itu di kisah percintaanku sebelumnya, berakhir aku terluka batin dan fisik." "Maksudnya, apa kekasihmu pernah menganiaya dirimu?" tanya Damar dengan tatapan terkejut. "Kurang lebih begitu, dia selalu melampiaskan kekesalannya padaku. Harapanku saat ini semoga tidak mendapatkan pria seperti itu lagi." Mereka berdua sama memiliki cerita yang kelam dalam percintaan, tapi Jenar ingin coba membuka hatinya lagi. Apalagi pada pria setampan Damar, siapa yang akan menolaknya. Sudah tampan, berwibawa dan sukses. Semoga ini menjadi hal baik untuk mereka. "Terima kasih untuk makan malamnya, Mas." Sesampainya di depan rumah, Jenar langsung turun mobil Damar dan pamit. "Sama-sama, senang bisa berkenalan denganmu. Lain waktu kita atur ulang pertemuan kita. Kalau begitu aku tinggal dulu, selamat istirahat.""Dok, pasien terakhir," tutur asisten Jenar ketika jam menunjukkan pukul 2 siang. "Baik, Mbak, suruh masuk." Jenar meletakkan ponsel dan fokus pada pasien yang masuk. Seminggu sudah dia tinggal di Solo, Jawa Tengah, tepatnya di Asrama militer dan beberapa hari ini dia tidak mendapat kabar dari Damar. Entah ke mana dia, Jenar tidak berani untuk bertanya lebih dulu dan tentang mamanya Jenar, dia sangat bahagia putrinya berhasil bertemu dengan Damar. "Dia yang banyak bicara kemarin, dia juga yang kabur. Tidak ada kabarnya lagi, tapi kenapa jadi aku terus memikirkan dia. Apa dia menganggap aku wanita tidak baik saat aku bilang pernah diperlakukan buruk oleh pacarku ya?" "Dokter, ada yang mencari Anda di luar." Asisten Jenar membuka sedikit pintu ruang prakteknya dan mengajak bicara. "Siapa? Aku pikir tadi yang terakhir," jawabnya sambil merapikan meja. "Katanya Pak Danyon yang mencari Dokter." "Danyon?" Dia tampak bingung, meski sudah seminggu tinggal di komplek militer, tap
"Aku?" Damar menatap dengan senyum tersungging tipis atas pertanyaan yang wanita cantik di hadapannya itu lontarkan. "Ini hanya misal, Mas, bukan maksud—" "Iya juga tidak masalah. Jangan tegang begitu, mukamu terlihat pucat sekarang," Goda Damar sambil memegang tangan Jenar yang ada di meja dengann satu tangan lain memegang sedotan di gelas minumnya. Sentuhan itu membuat dokter gigi tersebut menatap terkejut. "Maafkan aku. Kalau kamu bertanya pendapatku, isteriku harus mengerti apa yang aku lakukan, maka aku akan memberikan apa yang dia butuhkan. Seperti paham akan tanggung jawab seorang isteri abdi negara. Percuma kan jika kita menikah, tapi kamu menuntut apa yang sudah jelas kamu tau." Damar melepaskan tangannya dan menjelaskan pendapat dari pertanyaan yang dilontarkan. Kegagalan berumah tangga membuatnya belajar, jika memilih wanita harus sejalan, dia tidak ingin hal serupa terulang kembali. "Jadi bagaimana mau Mas, apa isterimu harus menuruti apa yang menjadi kemauanmu, apa b
"Maksud Mas kita pacaran sekarang?""Mungkin perkenalan untuk hal yang serius lebih enak di dengar, daripada kata pacaran," sahut Damar."Sama saja, Mas."Meski ragu, Damar tetap mengiyakan apa yang Jenar katakan. Entah itu tulus dari hatinya atau tidak, untuk sekarang mereka coba menjalani hubungan yang orang tua mereka mau.Setelahnya mereka menikmati waktu makan siang bersama, Damar yang terlihat kaku, ternyata tidak seperti kelihatannya. Awal pertama Jenar melihatnya, Damar tampak tegas dan jarang tersenyum, nyatanya dia sering tersenyum bersamanya.Mereka seperti orang yang tidak pernah menjalin hubungan sebelumnya, mereka berdua tampak kaku, tapi juga asyik. Karena banyak yang mereka bahas, apalagi tentang satu sama lain.***Di rumah, Damar sejenak terdiam dengan apa yang sudah dia katakan tadi pada Jenar. Apa ini pilihan benar atau tidak, yang pasti hatinya ragu. Dia pikir Jenar, wanita baik, namun hatinya tetap tidak bisa dibohongi. Sikap manisnya pada Jenar hanya usahanya un
"Jika tidak mau dibantu, kenapa meminta tolong sebelumnya. Sudah saja urus sendiri apa yang ingin kamu selesaikan." Damar menatap serius ke arah Jenar yang tidak tau jika pria di hadapannya ini bisa marah."Bukan seperti itu, aku hanya malu jik—" Jenar yang bingung tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya malu jika terus merepotkan Damar, apalagi sikap pria tadi sungguh membuatnya malu. Belum lagi dia lolos begitu saja dari penjagaan untuk bertemu dengan Jenar."Kalau begitu lakukan sendiri." Damar memberikan kompres kemudian beranjak pergi. Sikapnya berbeda, padahal tadi dia bersikap manis saat mengajak makan siang, sekarang dia malah marah ketika Jenar menolak untuk dibantu.Dengan rasa bingung, Jenar menatap punggung Damar yang pergi. Pria tampan itu bahkan meninggalkan ponsel di meja rumah yang Jenar tempati. Tak tau apa yang sebenarnya dikatakan Jenar hingga membuatnya marah seperti sekarang.Merasakan tangannya yang sakit, Jenar tidak fokus dengan ponsel Damar di hadapannya. Tak in
"Maafkan aku, Mas. Aku memang yang salah, aku—""Sebaiknya pulang dan istirahat. Aku sudah minta petugas yang berjaga untuk lebih hati-hati lagi. Kalau ada apa-apa cepat hubungi petugas atau berteriak saja."Padahal jika ucapannya, kalau ada apa-apa bisa menghubungi dia menjadi sulit Damar katakan. Dia bersikap berbeda setelah memikirkan apa yang dia lakukan membuat dirinya ragu.Jenar memilih pulang, dia malah menyalahkan diri atas menolak Damar yang mau membantu. Tapi sikapnya sungguh berbeda, apa itu artinya Damar menyesal atas jawabannya tadi siang ketika ingat jika hatinya terluka.Memikirkan Damar, dia sampai lupa dengan tangannya yang terluka sampai terlelap setelah mengobati dengan obat yang Damar berikan.***Dan lagi Damar tidak memberinya kabar. Kali ini sudah 2 hari, Jenar tidak melihat batang hidung Damar. Walau penasaran, tapi Jenar tidak mungkin datang ke rumahnya dan melihat sendiri kondisi Damar."Iya, Ma, aku sedang bertugas, bisakah nanti saja teleponnya. Aku—""Apa
"Biarkan aku yang bicara padanya." Damar menggandeng tangan Jenar dan berjalan masuk ke kamar yang tak jauh dari tempat mereka. "Sebenarnya apa yang mereka maksud, Mas? Apa kita harus melakukan pernikahan seperti yang mereka mau?" tanya Jenar bingung. "Ya, aku ingin menikahimu. Bisakah kita lakukan itu demi permintaan terakhir ayahku. 2 hari ini aku tidak memberimu kabar karena kondisi ayah menurun. Dan aku mendapatkan kabar setelah kamu dari rumah ku malam itu. Tolong aku, kabulkan permintaan ayahku yang terakhir kalinya." Dengan tangan Jenar ada dalam genggaman, Damar menatap dengan derai air mata. Ini penawaran yang rumit, saat mereka baru bertemu 2x dan sekarang Jenar di lamar ketika Damar berduka atas kematian ayahnya. Dia bingung harus menjawab apa, tapi dia harus cepat menjawab karena mereka menunggu. "Aku berjanji akan membahagiakan dirimu. Kita cari cinta itu setelah menikah, tolong kabulkan permintaanku ini. Aku mohon." Laki-laki berwibawa seperti Damar saja bisa terlih
Setelah pemakaman, Damar termenung duduk di anak tangga ketiga dengan kepala bersandar di pembatas tangga. Dia hanya diam di sana dengan pikiran tidak percaya jika dia sudah menikahi Jenar, wanita yang baru dia kenal."Pulanglah, Nak, kondisi ayahmu menurun sejak kemarin." Suara ibunya terdengar bergetar menjelaskan kondisi ayahnya. Setelah Jenar memberikan ponselnya, dengan nomor ponsel dengan nama My Love itu kembali menghubungi dengan kabar dari ayahnya.Malam itu juga Damar pulang, tanpa pamit Jenar yang bingung dengan sikap dingin pria yang sebelumnya mengajaknya serius."Nak, kamu sudah berhasil dengan apa yang kamu kejar. Menjadi Letnan Kolonel diusiamu sekarang sudah menjadi keberhasilan yang baik. Tidak bisakah kamu membahagiakan dirimu dengan hal lain, mengisi hatimu lagi. Sheila saja bisa bahagia dengan pilihannya, kamu juga harus bisa seperti itu. Untuk apa terus dipikirkan dan menjadikan trauma ketika kamu pantas bahagia dengan pendampingmu. Ayah akan sangat senang, jika
Jenar berhasil membujuk Damar untuk makan. Senyum yang dia lihat beberapa hari kemarin luntur karena kepergian ayahnya. Dia sungguh kehilangan sosok ayah yang menjadi penyemangat. "Aku pulang dulu, besok aku akan datang. Mas istirahat saja." Setelah memastikan Damar makan dan berbaring, Jenar coba untuk pamit. Meski mereka suami istri, tidak enak jika Jenar harus bermalam di sana. "Maaf, aku tidak bisa mengantarkanmu." "Sudah tenang saja. Sekarang pejamkan mata Mas, dan tidur. Aku akan meninggalkan Mas setelah tidur." Jenar yang duduk di samping Damar, menepuk dada bidang suaminya agar segera tidur. Tidak akan baik jika Damar memaksakan diri. Sudah tidak makan dengan baik, dia juga tidak tidur karena kondisi ayahnya yang benar-benar menurun. Mata Jenar mengarah pada Damar yang sudah terpejam, walau dia yakin belum sepenuhnya tidur karena air mata masih jatuh dari sudut matanya. Jenar menyeka tanpa berkata apapun, membiarkan Damar meluapkan kesedihan agar tidak terus larut dengan d
"Memang Danur punya uang untuk membelinya?" Pertanyaan Prajurit itu membuat bocah itu berpikir. Ekspresinya begitu mengemaskan, selain imut, tampan, dia juga sama seperti ayahnya. Pesona ayahnya turun ke anaknya sekarang. "Danur, Ayah sudah punya anak baru. Bukankah Danur juga punya ayah baru." Damar datang dengan menggendong anak Widi yang baru 10 bulan, dan mengejek putranya itu. Menjadi Komandan Batalyon selama hampir 6 tahun, Damar banyak mendapatkan penghargaan dan prestasi yang dia dapat selama diposisinya. Bukan hanya itu, selain terkenal tegas, Damar juga bersikap baik pada bawahannya. Bukan berarti salah lantas dia akan terus mencari kesalahan, Damar memberikan nasehat yang bisa membuat bawahannya maju bukan malah diam di tempat. Beberapa Prajurit dibantu untuk pendidikan mereka. Dia membantu semampu dia, karena dia tau betul bagaimana berjuang di masa-masa seperti ini. Tegasnya Damar, dia selalu disiplin dan tidak menerima kesalahan yang fatal. "Itu adik Celine, itu b
"Om, mana Ayah Danur?" Dengan pertanyaan yang belum jelas, anak usia 4 tahun itu berdiri di hadapan para Prajurit yang sedang berbaring mendengarkan arahan. "Danur, tunggu Bunda!" Langkahnya terhenti ketika melihat putranya sedang berdiri di hadapan para Prajurit. Senyum wanita cantik itu mengembang, anak kecil yang dia cari tanpa rasa malu ikut dalam barisan itu seperti seorang Komandan yang berdiri di depan Prajurit. "Ayah!!" Teriakan itu membuat wanita cantik itu berlari sebelum anak kecil itu berhasil pada ayahnya. Tawa dari para Prajurit yang berbaris terdengar ketika anak kecil itu menyelai ucapan sang ayah ketika sudah dalam gendongan. "Kenapa Ayah pergi sendiri. Bunda memaksa Danur makan, Danur masih kenyang," keluhnya. "Pak Wadan, gantikan aku bicara, anak kecil ini akan terus menggangguku," pintanya pada Wadan yang berdiri di sampingnya. "Ke mana Bunda sekarang?" tanyanya pada sang anak. Dia mundur ketika wakil komandan mengantikannya bicara dengan beberapa Praj
"Akhirnya anak Ayah bisa pulang hari ini." Dalam gendongan sang ayah keluar rumah sakit, bayi kecil itu tampak tenang. Jenar berjalan selangkah dibelakang Damar yang begitu senang setelah hampir 1 bulan putranya di ruang NICU, akhirnya hari ini diperbolehkan pulang. Kondisinya berangsur membaik walau berat badannya masih kurang. Sore itu akhirnya Danur bisa berbaring di tempat tidur mereka. Damar sangat senang karena bisa menggendong lebih lama dari pada di NICU hanya berapa jam saja dalam sehari. Momen ini yang di tunggu sejak beberapa minggu. Sejak keluar rumah sakit, keseharian Damar berbeda. Pagi dia akan membantu istrinya merawat putranya. Membiarkan Jenar mengurus pekerjaan rumah yang lain. Damar juga menemani putranya berjemur ketika dia selesai Apel. "Aku sudah selesaikan tugasku. Aku pulang lebih dulu," ucap Damar. "Siap, Komandan!" "Sejak ada mainan hidup, aku selalu ingin pulang dan bertemu dengannya." "Siap, Ndan. Namanya juga anak baru lahir. Pastinya senang
"Mbak baik-baik saja?" Widi menghampiri Jenar yang termenung di depan ruang rawat. Bukannya istirahat, dia malah diam di sana. Membiarkan Damar yang sedang sakit di dalam di temani ibunya. Kehilangan dan juga kebahagian yang dirasakan sekarang seperti tamparan keras. Bukan hanya itu, Damar juga sakit saat kondisi seperti ini. "Ya, harusnya juga baik-baik saja. Bahkan aku ingin bergegas merawat suamiku yang sedang sakit. Kenapa aku secengeng ini, menjengkelkan sekali." Jemarinya menyeka air mata yang mengalir begitu saja. "Aku yakin Mbak pasti kuat. Aku tidak ingin mengatakan banyak hal karena aku tau jika Mbak mendapatkan itu semua dari keluarga yang mendukung. Mbak harus ingat, masih ada satu anak yang bisa Mbak rawat dan perjuangkan. Ingatlah diriku ini, bagaimana kisahku dengan putriku. Yang tabah, semua pasti akan baik-baik saja." Widi memegang tangan temannya itu. Dia baru bisa bertemu dengan Jenar kali ini. Dia tidak ingin mengganggu ketika di masa duka dan kebahagian y
"Istirahatlah, Nak, kamu terlihat begitu lelah," tutur Susi pada menantunya yang baru sampai dari Jakarta untuk memakam kan putrinya didekat makam ayahnya."Aku masih ingin melihat putraku, Ma. Rasa bersalah ini semakin mencekik ku. Aku tidak becus menjadi seorang ayah, ini terjadi karena diriku." Tangis Damar pecah ketika bicara dengan Susi. Dia menahan agar bisa menerima semua ini, tapi dia tidak sanggup lagi. Rasa sesaknya kian mencekik, dan dia luapkan pada Susi.Wulan yang mengurus semua di sana ketika Damar kembali ke Solo untuk istri dan anaknya yang lain. "Semua sudah menjadi takdir yang Tuhan gariskan. Kamu boleh bersedih, tidak dengan menyalahkan dirimu. Ini semua bukan kesalahanmu, memang kondisi kehamilan istrimu yang tidak baik."Dengan kondisi kaki yang masih dibantu penyangga untuk berjalan, Susi pergi bersama Ragil ke Solo. Dia tidak bisa hanya diam, ketika putra putri mereka membutuhkan mereka orang tuanya."Ikhlas kan, maka kamu akan terima ini semua. Istrimu membutu
"Saya pikir Mbak Jenar akan mengatakan pada Bapak, jika tadi melakukan kontrol mingguan bersama saya karena tak ingin menganggu istirahat Anda."Mendengar penjelasan Widi, bisa apa Damar ketika ini sudah kejadian. Waktu itu juga, Damar mendengarkan penjelasan Dokter Melati tentang kondisi istrinya.Sudah rasa sakit dia rasakan tanpa hilang, Jenar harus merasakan proses induksi karena ingin persalinan normal. Ada rasa kesal, tapi Damar tidak bisa meluapkan sekarang. Fokusnya ada pada Jenar sekarang."Mbak, bisakah kau datang. Jenar mau melahirkan di usai kandungan 25 minggu, aku harap Mbak bisa datang sekarang." Tidak hanya pada Wulan, dia juga minta doa pada Ibu dan mertuanya agar semua berjalan lancar. Meski dengan resiko yang besar."Maafkan aku, Mas," tutur Jenar dengan rintihan lirih merasakan sakit."Aku tidak ingin membahasnya, kamu harus kuat, agar mereka bisa selamat begitu juga dirimu. Kamu hampir mencelakai dirimu sendiri. Sekarang lihatlah hasilnya, tapi aku tidak mau menya
Padahal baru semalam, Damar memaksa untuk pulang setelah merasa lebih baik. Dia kasihan saja pada istrinya, apalagi Jenar tidak mau saat Damar akan menghubungi Wulan agar datang menemani istrinya.Damar memilih istirahat di rumah, tak ingin mengganggu suaminya, Jenar di temani Widi pergi ke rumah sakit untuk kontrol kehamilan. Namun, kabar kali ini membuat Jenar khawatir apalagi masa kehamilan masih 6 bulan, tepatnya 25 minggu. Padahal, rencananya mereka ingin mengadakan 7 bulanan di Jakarta, 3 bulanan kemarin mereka lewatkan karena kondisi Mama Jenar."Bisa saja waktu melahirkan lebih awal jika kondisinya seperti ini terus. Apa kau sudah merasakan mulas? Dari USG ini bayi sudah masuk panggul, berada di jalannya seperti bersiap akan keluar, dan menekan, hal itu membuat kontraksi palsu.""Ya, semalam aku sudah merasakan mulas, namun hilang timbul, tapi sejak pagi ini sudah mulai teratur rasa sakitnya. Padahal usianya masih 25 minggu, bukankah itu akan beresiko jika melahirkan di waktu
"Ada apa, Mas? Apa terasa sakit?"Jenar terbangun ketika mendengar rintihan lirih dari suaminya. Jam menunjukan pukul 4 pagi ketika suara suaminya membuat dia membuka mata. Beberapa waktu ini Damar begitu sibuk, namun dia tetap menyempatkan waktu untuk Jenar meski lelah.Tanpa menjawab, Damar masih saja merintih. Tangannya meremas selimut yang dikenakan dan wajah pucat pasih meringkuk menyamping. Karena perut yang membuat pergerakannya sulit, Jenar coba memanggil suaminya."Apa yang dirasakan, Mas, katakan?""Perutku rasanya sakit sekali, seperti diremas. Aku sudah coba minum obat, tapi rasanya tetap saja," keluhnya dengan suara lirih."Coba Mas tarik nafas perlahan. Apa ini sakit?" Jenar coba mengecek kondisi suaminya semampu yang dia bisa."Ya, di situ sakit." Jenar sepertinya tau apa yang sedang suaminya alami."Mas bisa bangun? Kita ke rumah sakit saja ya?" tanya Jenar."Tidak. Sebaiknya kembalilah tidur, masih terlalu pagi, aku—" Ucapannya terhenti ketika rasa sakit itu kembali d
"Permisi, maaf sebelumnya. Isteri saya sedang ngidam makan di tempat acara nikahan. Bolehkan saya dan istri saya masuk?" "Tentu, Pak, masuk saja, apalagi istrinya sedang ngidam, tapi makanannya tidak lengkap. Karena sudah malam juga, hanya beberapa saja yang masih ada. Kalau mau masuk saja," ucap wanita yang duduk di tenda depan sebagai penerima tamu. Jam menunjukkan pukul 22.10 saat akhirnya mereka menemukan tempat hajatan. Ketika orang diundang untuk datang, mereka berdua malah datang tanpa diundang, mencari malam-malam hanya karena Jenar ngidam. Damar menatap Jenar yang mengangguk mau setelah bertanya pada wanita itu. Dengan membuang segala rasa malu, Damar masuk setelah mengisi kotak amplop di depan sebelum masuk mengikuti wanita tadi mengantarkan langsung ke tempat makan. Tatapan aneh para keluarga terlihat ketika mereka masuk dengan menggandeng tangan. Meski orang yang temui tadi sudah menjelaskan pada mereka, tapi tetap saja ini membuat malu Damar pastinya, lain hal untuk