Istriku sengaja kusuruh di kampung untuk mengurus anak-anak dan ibuku yang sakit sedangkan aku memilih menikah lagi di kota. Gagasan yang bagus, bukan? Semua itu memang pantas kudapatkan. Ibuku terjaga, anak-anakku aman, dan di kota aku juga memiliki istri baru sudah terwujud. Rasanya dunia ini tanpa beban sedikitpun. Namun ternyata, semua itu tak berselang lama saat istriku tiba-tiba datang ke kota dan membawa beberapa bukti yang membuatku tak berkutik. Aku tak menyangka jika istriku yang polos itu bisa berubah segarang ini.
View More"Maaf, Pak. Kartunya tidak bisa, ada uang cash saja tidak?" ucap kasir toko ketika aku hendak membayar barang belanjaan Bella, istri mudaku.
"Hah? Tidak bisa? Coba lagi, Mbak," kataku sedikit panik, karena kulirik dari ekor mataku Bella sudah menunggu bersama teman-teman sosialitanya di ujung sana.
"Maaf, tetap tidak bisa. Ada uang cash saja?" tanyanya sekali lagi, membuat pelipisku tiba-tiba saja basah oleh keringat.
Mana mungkin kartuku tidak bisa? Padahal kemarin sore masih bisa kupakai transfer uang bulanan untuk Namira, istri tuaku di kampung.
Ya, sudah dua bulan ini aku menikah siri dengan Bella, tanpa sepengetahuan Namira tentunya. Kalau aku jujur, sudah pasti dia tak akan memperbolehkanku menikah lagi. Jabatanku setengah tahun ini naik menjadi manager keuangan. Sedangkan aku terpisah jauh dari Namira karena ia harus mengurus ibuku yang mulai menua di kampung, hal itu membuatku mau tak mau harus menikah dengan Bella agar ada yang menemani hari-hariku.
Lagipula Namira sudah sibuk dengan dua anak kami dan juga ibuku yang mulai tua, hal itu membuatku sangat bosan jika terus berhubungan lewat telepon dengannya. Ia sudah terlihat mulai tak menggairahkan, sedangkan jika harus menyuruhnya ke kota, ibuku bersama siapa? Tak mungkin aku membiarkan ibuku sendirian di kampung.
"Mas, udah belum?" teriak Bella dari ujung sana, membuatku semakin gerogi.
Perlahan aku mendekatinya, lalu membisikkan sesuatu padanya.
"Sayang, ATM-ku gangguan. Pinjam uangmu dulu, ya. Besok aku ganti," bisikku setelah berhasil mengajaknya sedikit menjauh dari teman-temannya.
Bella mendelik ke arahku, lalu mengeluarkan kartu dari dalam dompetnya. Aku bisa bernafas lega saat kasir mengucapkan kata terima kasih padaku tanda bahwa aku telah selesai membayar semua daftar belanjaan istriku itu.
"Eh, maaf ya semua. ATM suamiku lagi bermasalah, jadi minjem sama aku dulu. Besok juga bakal diganti, dua kali lipat malah. Iya kan, Mas?" ucapnya ketika aku mengembalikan kartu itu pada Bella.
Aku hanya tersenyum tipis, lalu berjalan mengikuti Bella dan beberapa teman sosialitanya. Beruntung sekali aku memiliki istri muda seperti Bella, badannya bagus, teman-temannya cantik-cantik, dia juga sangat pandai memuaskanku ketika di ranjang. Ah, bisa-bisanya aku berfikiran seperti itu sekarang.
*
Kuturunkan semua barang belanjaan Bella saat kami telah sampai di rumah. Rumah yang masih kucicil dengan atas nama Namira ini aku huni bersama Bella karena ia tak mau jika harus tinggal di kosnya yang dulu. Katanya kosnya sempit, jadi dia memintaku untuk membawanya ke rumah ini.
Tak masalah, toh Namira tak pernah berkunjung kemari. Ia hanya datang kemari jika aku yang menyuruh, itu pun juga selalu aku jemput terlebih dahulu. Mana mungkin dia berani ke kota sendirian.
Bella melenggang terlebih dahulu ke dalam rumah, sedangkan aku masih mengambil beberapa barang belanjaannya yang masih ada di dalam mobil. Ya begitulah Bella, tapi aku tak pernah masalah jika ia menyuruhku seperti itu. Bagiku dia begitu istimewa sehingga memang pantas diperlakukan istimewa.
"Mas, kok pintunya nggak kamu kunci?" teriaknya dari depan pintu masuk.
Aku mendongak ke arahnya dengan mengerutkan dahi, sepertinya aku tak lupa, tapi kenapa Bella mengatakan kalau pintunya tidak terkunci?
Dengan tergesa aku segera menghampiri Bella. Segala fikiran buruk berkecamuk dalam dada, takut jika ternyata rumahku kemasukan orang asing atau bahkan maling. Beberapa perabot mewah baru saja kubeli sebulan terakhir ini bersama Bella, bisa gawat kalau sampai dicuri oleh orang.
"Ah, masa? Aku ingat kok kalau tadi kukunci, buktinya kuncinya sekarang ada padamu," sanggahku sembari mendorong pelan daun pintu dengan dada berdegup kencang.
"Ati-ati, Mas. Salah-salah nanti ternyata ada maling," ucap Bella dengan memegang pinggangku dari belakang. Rupanya ia juga memiliki fikiran yang sama denganku.
Aku berusaha sepelan mungkin ketika membuka pintu, jangan sampai jika di dalam memang ada maling mereka tahu jika tuan rumah sudah pulang.
"Iya, memang ada maling di rumah ini. Maling suami orang!"
Duuaarr
Bagai di sengat listrik saat Namira, wanita yang telah menemaniku sepuluh tahun ini berdiri dengan menyilangkan tangan di dada tak jauh dari pintu masuk. Ia menatapku dan Bella dengan tatapan bengis.
Secepat kilat Bella pun lantas melepaskan tangannya yang masih memegang pinggangku, lalu berdiri mensejajariku.
"Na-namira!" gumamku lirih dengan mengucek kedua mataku, rasanya seperti tak percaya melihatnya ada di rumah ini tanpa perintahku.
Namira berjalan mendekat ke arahku, membuatku bergidik ngeri ketika ia masih menatapku dengan tatapan yang sama. Bengis.
"Iya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget? Kaget karena sudah terpergok olehku memasukkan wanita jal*ng ini ke dalam rumahku?" cecarnya lantang sembari menatap Bella dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Bella yang bukannya risih atau takut karena Namira telah menatapnya seperti itu justru membusungkan dada dan mengibaskan rambutnya yang tergerai indah di bahunya.
"Cih, apa katamu? Rumahmu? Bahkan kamu pun pasti tak tahu kalau aku ini juga istri Mas Rey." Belum juga rasa terkejutku hilang, kini Bella malah mengatakan hal itu pada Namira. Membuatku semakin tak tenang saja, aku sangat mengenal Namira, ia akan berbuat nekat jika ada yang menyakiti hatinya. Tapi entah, setan apa yang merasukiku hingga aku pun tega menduakannya.
"Oh, seperti itu? Tapi sayangnya aku sudah tahu, dari sebulan yang lalu malah. Terhitung sebelum kalian membelanjakan semua uang tabungan pria tak bermoral ini beberapa perabot mewah di rumah ini. Tak masalah, aku memang mencari waktu yang tepat untuk membongkar kelakuan bejat kalian. Dengan begitu pula aku tak harus repot-repot mengisi rumah ini dengan perabot mewah bukan?" terang Namira panjang lebar, membuatku semakin terpaku.
"Jangan merasa bangga dulu kakak madu, sesenti pun aku tak akan beranjak meninggalkan Mas Rey. Dia akan tetap menjadi milikku!" tandas Bella membuat hatiku terbang ke langit ke tujuh.
Memang tak salah aku menjadikannya istri muda, ia terlihat sangat sayang dan setia padaku. Oh Bella, seluruh jiwa dan ragaku memang hanya untukmu.
"Ya, benar. Bahkan aku pun tak segan menceraikanmu demi Bella, Namira." Sekali ucap aku mengatakan hal yang tak pernah aku katakan. Namun, memang aku sekarang lebih mencintai Bella dari pada Namira.
Tak sedikitpun raut kesedihan tersirat di wajah Namira, ia justru tertawa terbahak dan berjalan menjauh dariku dan Bella yang masih berdiri mematung di ambang pintu.
"Oh, ya? Benarkah? Oh ... Mulia sekali cinta kalian," ledek Namira dengan sebelah tangannya mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya.
"Apa benar kalau kalian akan tetap saling setia, meskipun dengan ini?" lanjut Namira dengan menunjukkan selembar kertas tersebut.
Lagi-lagi tubuhku membeku, ketika kulihat ternyata ATM-ku telah berhasil ia bekukan. Bahkan seluruh isi tabunganku telah habis, ia memindahkan semua uangku ke dalam kartu yang beratas namakan Namira Sahira.
Gila. Ini benar-benar gila. Mana mungkin istriku bisa secerdik ini? Bukankah ia hanya ibu rumah tangga biasa yang bisanya hanya menjaga anak dan ibuku di kampung?
"Kamu sudah siap?" bisik Leo di telingaku. Aku hanya mengangguk singkat, lalu berjalan pelan ke arah wanita yang sudah menungguku di depan sana. Jantungku berdegup kencang, tak kalah ketika menikah dengan Namira dulu. Di belakangku ada setidaknya sepuluh orang yang menemaniku termasuk Ahmad, Namira dan Hendra. Aku tak membawa banyak orang karena memang tempatnya tak dekat dengan tempat tinggal kami. Aku hanya membawa teman-teman dekatku saja. Clara terlihat sangat cantik hari ini. Senyum manisnya mengembang di sudut bibirnya. Kulihat kedua orangtuanya juga sangat bahagia hari ini. Sebetulnya aku sedikit berkecil hati karena takut jika orangtuanya akan menolakku. Bagaimana tidak, Clara itu masih gadis sedangkan aku adalah seorang duda beranak dua yang mana aku sangat wajib menafkahi kedua anakku meski sudah tak bersama ibunya. "Sebenarnya, kedatangan saya kemari adalah ingin mempersunting Clara, Pak, Bu." Ingatanku kembali pada sebulan yang lalu saat aku pertama kali datang kemari
Aku tidak ingin berlama-lama, semua langsung kubicarakan diintinya saja. Biarlah, aku memang ingin semua segera cepat selesai dan mendapatkan jawaban atas semua yang kurasakan. "Maksud Anda?""Jangan memanggilku seperti itu. Ini kan sudah diluar pekerjaan, sekarang yang ada adalah Rey dan Clara."Kulihat ia menghela nafas lagi, "baiklah. Maaf jika kemarin aku lancang mengirimkan surat itu padamu. Sebenarnya.... ""Justru karena itu aku datang kemari ingin berterimakasih padamu karena berkat surat itu sekarang aku bisa membuka mata lebar-lebar bahwa memang sudah saatnya aku memikirkan soal perasaanku dan aku memang sudah bangkit. Clara, tujuanku datang kemari adalah ingin benar-benar serius dengan seluruh perkataanmu itu. Bisakah aku memulai semuanya dan singgah di hatimu? Jika kamu berkata iya, aku siap kapanpun kamu bersedia kunikahi," kataku tanpa ragu sedikitpun karena aku memang sudah yakin dengan apa yang kurasakan ini. Clara terlihat sedikit terkejut, lalu menggeleng. "Tapi ak
Jantungku berdegup kencang saat pesawat yang membawaku sudah hampir sampai. Ini kali pertama aku pergi jauh sendirian dan tanpa alamat yang pasti. Bisa saja alamat yang diberikan oleh Clara saat itu pada Ahmad tak nyata, tapi konyolnya aku tetap terbang dan mencarinya. Dan ini juga merupakan kali pertama aku menginjakkan kaki di pulau Sumatera. Bahkan aku sama sekali tidak mengenal siapapun disini. Semoga saja perjalananku kali ini lancar hingga aku bisa bertemu dengan Clara. Setelah memantapkan hati selama seminggu ini aku akhirnya benar-benar terbang ke Sumatera. Awalnya aku ragu dengan perasaanku sendiri. Clara, karyawan baru yang mengaku menyukaiku. Aku mengira jika dia tak benar-benar serius dengan perkataannya, bahkan aku hanya menganggapnya lelucon. Terlebih saat Ahmad selalu menjodohkanku dengannya. Aku pikir memang Ahmad ingin aku bangkit dan melupakan masalaluku. Namun ternyata dia sendiri justru memendam perasaan pada wanita itu.Entah aku ini bisa disebut sebagai teman
Aku masih tertegun dengan semua penjelasan Ahmad mengenai semua perasaannya selama ini pada Clara. Sedikitpun aku tak menyangka bahwa justru dia yang memiliki perasaan pada wanita itu. "Em, aku tak tahu harus bicara apa," kataku seraya menatapnya yang baru jujur kepadaku. "Bro, setidaknya aku pun sudah lega sekarang. Meskipun dia tak bisa kuraih tapi aku sudah cukup dengan berkata jujur padamu, dan sekarang aku mau kamu mengejarnya. Aku yakin hatimu pun tak sedingin itu, kan?" tanyanya sontak membuatku terkejut lagi."Maksud kamu?""Hahaha, sudahlah. Kita ini sama-sama sudah dewasa. Aku tahu maksudmu dan kamu pun pasti tahu apa yang kumaksud," katanya lagi. Aku mengalihkan pandangan darinya, jujur saja aku masih benar-benar terkejut dengan semua penuturannya. Kedatanganku yang awalnya hanya ingin mencari tahu perihal foto yang ia kirim nyatanya justru mengejutkanku seperti ini. Sebetulnya aku pun merasa bersalah pada Ahmad karena sebagai seorang sahabat aku justru tidak tahu menge
Tiga hari sudah kepergian Ibu. Semakin kesini aku tak semakin terbiasa tapi justru semakin terbayang-bayang. Bagaimana tidak, ia adalah wanita yang sudah melahirkanku ke dunia. Dari kecil aku selalu dimanja dan semua keinginanku dituruti olehnya.Sedikitpun tak ada perlakuan kasar darinya meski aku sudah menyakiti hatinya. Kesalahanku pada Namira, adalah salah satu dosa yang sampai saat ini mungkin tak bisa terhapus.Aku begitu tega menyakiti hati ibuku dengan menduakan Namira. Namira adalah menantu kesayangan Ibu sampai-sampai ketika kami berpisah Ibu justru memilih tinggal bersama mantan istriku itu.Jangan tanya seberapa besar penyesalanku. Sungguh, mungkin jika diukur tak akan pernah ada habisnya.Seharusnya aku bisa membahagiakan Ibu, tapi nyatanya sampai akhir hayatnya aku justru tak ada di sampingnya. Jika aku masih diberi kesempatan mungkin aku akan memperbaiki semua yang sudah pernah kulakukan dulu.Kuusap air mata yang menggenang di pelupuk mata, lalu bangkit setelah mencium
Pikiranku sudah melayang. Aku tak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Di dalam sana Ibu tengah berjuang sendiri, dan itulah yang membuatku merasa tidak berguna menjadi seorang anak. "Tolong selamatkan Ibu saya, Pak. Saya sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Ibu," tuturku sendu, dan memang itulah yang terjadi. Dokter itu hanya mengangguk dan terlihat memberikan senyuman dari balik masker yang ia kenakan. Meski aku merasa jika dokter itu hanya ingin membuatku tenang, tapi nyatanya aku memang sedikit tenang usai dokter menjawab iya atas semua perkataanku. "Banyak-banyak doa saja ya, Pak. Saya akan usahakan yang terbaik," ucapnya sebelum pada akhirnya meninggalkanku, Namira dan Leo. Namira masih menangis di pelukan suaminya, sedang aku lantas duduk di kursi panjang sembari menahan air mataku agar tak jatuh. Bukan perkara apa, aku hanya tidak ingin jika air mataku justru akan membebani Ibu di dalam sana. Apapun yang nantinya terjadi, aku akan ikhlas dan memang harus ikhlas. Buk
"Mas Ibu pingsan, aku sama Mas Leo sudah membawanya ke Rumah Sakit Sehat Sentosa. Kamu bisa kesini nggak?" ucap Namira panik dari seberang sana. Aku yang semula masih fokus ke layar komputer lantas mengalihkan pandangan. Memang tak biasanya Namira menghubungiku tengah hari begini. Dan benar saja, dia membawa berita buruk. "Pingsan?""Iya, sekarang masih ada IGD," ujarnya lagi dengan sedikit kebisingan di belakang sana. "Ba-baik aku akan segera kesana."Tanpa banyak bicara aku lantas bergegas setelah mendapatkan ijin pada Bos. Beruntung, aku bekerja di tempat yang tepat sehingga saat-saat genting seperti ini aku bisa langsung mendapatkan ijin dengan mudah. Pertanyaan yang dilontarkan beberapa teman kantor tak kuhiraukan karena pikiranku sangat kalut. Mereka bertanya mengenaiku yang terlihat sangat terburu-buru. Wajar, biasanya aku ini orangnya sangat tenang, tak seperti hari ini. "Hei, kamu mau kemana? Buru-buru banget," teriak Ahmad yang melihatku berjalan setengah berlari ketika
Seminggu berlalu dan pada akhirnya Clara sudah bisa kembali masuk kerja. Seperti biasa, ahmad selalu meledekku soal Clara. Padahal aku sendiri belum memikirkan apapun. Jangankan untuk membuka hati lagi, berbincang dengan wanita dengan intens saja rasanya masih enggan. "Kamu udah nengokin Clara? Dia udah masuk tuh," ledek Ahmad ketika sampai di ruanganku. Aku hanya meliriknya sekilas, lalu menggeleng. "Ih parah banget. Aku kira kamu bakal lebih perduli, dulu aja pas baru pingsan kamu sampai bela-belain ke rumah sakit."Kutarik nafasku dalam, lalu kuletakkan bolpoinku. "Ya itu karena kemanusiaan, lagipula waktu itu aku udah nengokin jadi sekarang nggak lagi," jawabku sekenanya, malas berdebat dengan Ahmad. "Yaudah kalau gitu, aku mau keruangan dia dulu."Ahmad berlalu setelah aku tak terlalu menanggapi perkataannya. Biarkan saja, pasti dia nanti akan kembali ke ruangan ini lagi. Tiba-tiba aku teringat soal perkataan Clara tempo hari waktu di rumah sakit. Katanya dia mau resign, tapi
"Selamat, ya. Semoga bahagia," ucapku seraya menyunggingkan senyum kecut. Namira dan suaminya tersenyum dan menyambut uluran tanganku. Kedua anakku pun terlihat sangat bahagia di kursinya. Mereka duduk dengan neneknya alias ibuku. Tak kalah dengan kedua anakku, ibu juga terlihat bahagia. Apa hanya aku saja yang saat ini terlihat sedih? Sebenarnya aku juga tak terlalu memperlihatkan kesedihanku karena rasanya tak etis jika aku masih bersedih ketika mantan istriku menikah lagi. Terlebih semua ini terjadi juga karena ulahku sendiri. Aku menarik nafasku dalam, lalu kuhembuskan. Namira dan Leo tidak boleh tahu jika sebetulnya aku ini masih sedikit tak rela atas pernikahan mereka. "Terimakasih, terimakasih juga sudah berkenan hadir," jawab Namira singkat. "Em, aku mohon ijin untuk ikut serta merawat dan membesarkan anakmu." Kali ini Leo berkomentar, dan lagi-lagi aku hanya tersenyum kecut. Andaikan saat itu aku tak gegabah, pasti saat ini semua masih menjadi milikku. Dan tentu saja an
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments