Aku masih tertegun dengan semua penjelasan Ahmad mengenai semua perasaannya selama ini pada Clara. Sedikitpun aku tak menyangka bahwa justru dia yang memiliki perasaan pada wanita itu. "Em, aku tak tahu harus bicara apa," kataku seraya menatapnya yang baru jujur kepadaku. "Bro, setidaknya aku pun sudah lega sekarang. Meskipun dia tak bisa kuraih tapi aku sudah cukup dengan berkata jujur padamu, dan sekarang aku mau kamu mengejarnya. Aku yakin hatimu pun tak sedingin itu, kan?" tanyanya sontak membuatku terkejut lagi."Maksud kamu?""Hahaha, sudahlah. Kita ini sama-sama sudah dewasa. Aku tahu maksudmu dan kamu pun pasti tahu apa yang kumaksud," katanya lagi. Aku mengalihkan pandangan darinya, jujur saja aku masih benar-benar terkejut dengan semua penuturannya. Kedatanganku yang awalnya hanya ingin mencari tahu perihal foto yang ia kirim nyatanya justru mengejutkanku seperti ini. Sebetulnya aku pun merasa bersalah pada Ahmad karena sebagai seorang sahabat aku justru tidak tahu menge
Jantungku berdegup kencang saat pesawat yang membawaku sudah hampir sampai. Ini kali pertama aku pergi jauh sendirian dan tanpa alamat yang pasti. Bisa saja alamat yang diberikan oleh Clara saat itu pada Ahmad tak nyata, tapi konyolnya aku tetap terbang dan mencarinya. Dan ini juga merupakan kali pertama aku menginjakkan kaki di pulau Sumatera. Bahkan aku sama sekali tidak mengenal siapapun disini. Semoga saja perjalananku kali ini lancar hingga aku bisa bertemu dengan Clara. Setelah memantapkan hati selama seminggu ini aku akhirnya benar-benar terbang ke Sumatera. Awalnya aku ragu dengan perasaanku sendiri. Clara, karyawan baru yang mengaku menyukaiku. Aku mengira jika dia tak benar-benar serius dengan perkataannya, bahkan aku hanya menganggapnya lelucon. Terlebih saat Ahmad selalu menjodohkanku dengannya. Aku pikir memang Ahmad ingin aku bangkit dan melupakan masalaluku. Namun ternyata dia sendiri justru memendam perasaan pada wanita itu.Entah aku ini bisa disebut sebagai teman
Aku tidak ingin berlama-lama, semua langsung kubicarakan diintinya saja. Biarlah, aku memang ingin semua segera cepat selesai dan mendapatkan jawaban atas semua yang kurasakan. "Maksud Anda?""Jangan memanggilku seperti itu. Ini kan sudah diluar pekerjaan, sekarang yang ada adalah Rey dan Clara."Kulihat ia menghela nafas lagi, "baiklah. Maaf jika kemarin aku lancang mengirimkan surat itu padamu. Sebenarnya.... ""Justru karena itu aku datang kemari ingin berterimakasih padamu karena berkat surat itu sekarang aku bisa membuka mata lebar-lebar bahwa memang sudah saatnya aku memikirkan soal perasaanku dan aku memang sudah bangkit. Clara, tujuanku datang kemari adalah ingin benar-benar serius dengan seluruh perkataanmu itu. Bisakah aku memulai semuanya dan singgah di hatimu? Jika kamu berkata iya, aku siap kapanpun kamu bersedia kunikahi," kataku tanpa ragu sedikitpun karena aku memang sudah yakin dengan apa yang kurasakan ini. Clara terlihat sedikit terkejut, lalu menggeleng. "Tapi ak
"Kamu sudah siap?" bisik Leo di telingaku. Aku hanya mengangguk singkat, lalu berjalan pelan ke arah wanita yang sudah menungguku di depan sana. Jantungku berdegup kencang, tak kalah ketika menikah dengan Namira dulu. Di belakangku ada setidaknya sepuluh orang yang menemaniku termasuk Ahmad, Namira dan Hendra. Aku tak membawa banyak orang karena memang tempatnya tak dekat dengan tempat tinggal kami. Aku hanya membawa teman-teman dekatku saja. Clara terlihat sangat cantik hari ini. Senyum manisnya mengembang di sudut bibirnya. Kulihat kedua orangtuanya juga sangat bahagia hari ini. Sebetulnya aku sedikit berkecil hati karena takut jika orangtuanya akan menolakku. Bagaimana tidak, Clara itu masih gadis sedangkan aku adalah seorang duda beranak dua yang mana aku sangat wajib menafkahi kedua anakku meski sudah tak bersama ibunya. "Sebenarnya, kedatangan saya kemari adalah ingin mempersunting Clara, Pak, Bu." Ingatanku kembali pada sebulan yang lalu saat aku pertama kali datang kemari
"Maaf, Pak. Kartunya tidak bisa, ada uang cash saja tidak?" ucap kasir toko ketika aku hendak membayar barang belanjaan Bella, istri mudaku."Hah? Tidak bisa? Coba lagi, Mbak," kataku sedikit panik, karena kulirik dari ekor mataku Bella sudah menunggu bersama teman-teman sosialitanya di ujung sana."Maaf, tetap tidak bisa. Ada uang cash saja?" tanyanya sekali lagi, membuat pelipisku tiba-tiba saja basah oleh keringat.Mana mungkin kartuku tidak bisa? Padahal kemarin sore masih bisa kupakai transfer uang bulanan untuk Namira, istri tuaku di kampung.Ya, sudah dua bulan ini aku menikah siri dengan Bella, tanpa sepengetahuan Namira tentunya. Kalau aku jujur, sudah pasti dia tak akan memperbolehkanku menikah lagi. Jabatanku setengah tahun ini naik menjadi manager keuangan. Sedangkan aku terpisah jauh dari Namira karena ia harus mengurus ibuku yang mulai menua di kampung, hal itu membuatku mau tak mau harus menikah dengan Bella agar ada yang menemani hari-hariku.Lagipula Namira sudah sibu
Lagi-lagi tubuhku membeku, ketika kulihat ternyata ATM-ku telah berhasil ia bekukan. Bahkan seluruh isi tabunganku telah habis, ia memindahkan semua uangku ke dalam kartu yang beratas namakan Namira Sahira.Gila. Ini benar-benar gila. Mana mungkin istriku bisa secerdik ini? Bukankah ia hanya ibu rumah tangga biasa yang bisanya hanya menjaga anak dan ibuku di kampung?“Bagaimana? Bukankah rumah ini pun juga atas namaku? Apa anda akan tetap setia dengan pria tak bermoral ini, Nona?”Beberapa saat aku terdiam, berusaha mencerna keadaan saat mengetahui bahwa kini istriku telah berubah menjadi sangat garang. Hingga aku teringat akan sesuatu, bahwa Namira memegang surat kuasa atas seluruh kartu ATM-ku. Sebelum kejadian naas ini terjadi aku memang selalu memprioriaskan Namira, semua aset aku atas namakan dirinya. Bahkan ia pun juga memegang surat kuasa atas nomor rekeningku. Aku tak mengira bahwa hal itu ternyata kini menjadi boomerang untukku sendiri. Itu lah sebabnya ia bisa dengan gampang
“Rey, kemarin Namira ke kota. Katanya ada hal penting. Ada apa? Kenapa belum pulang sampai sekarang? Apa kalian ada masalah?”Tubuhku membeku saat ibu menanyakan tentang Namira. Aku harus bilang apa? Apa aku harus jujur tentang masalah pelik yang sedang kuhadapi?Tapi tunggu … Ibu bertanya tentang Namira? Itu artinya ia belum tahu yang sesungguhnya? Namira tidak menceritakan apa yang terjadi denganku? Ah, syukurlah setidaknya ia masih memiliki sedikit perasaan dengan tidak menceritakan yang sebenarnya pada ibuku.“Pekerjaan Rey baik, Bu. Doakan lancar terus, ya,” kataku mengalihkan pembicaraan.“Rey … Kenapa pertanyaan ibu tidak dijawab? Ibu tanya Namira, loh. Tidak tanya tentang pekerjaanmu,” ucap ibu tak terima dengan jawabanku."Em ... A-anu, Bu. Namira katanya kangen sama Rey, Rey juga menyuruhnya datang ke kota. Tapi mungkin dia nggak bakal lama kok, Bu," jawabku berkilah, berharap ibu akan percaya dengan alasanku."Yang bener? Biasanya juga kamu yang pulang, atau kalau nggak ana
"Astaga. Ibu ... Bagaimana bisa Ibu ada di sini," gumamku lirih saat Namira membukakan pintu untuk orang yang paling aku cintai di dunia ini.Setelah penolakanku kemarin saat Namira mengajakku pulang, tak tahunya hari ini ibu datang kemari. Si*l ... Seperti makan buah simalakama saja. Bergerak kesegala arah terasa keliru."Dengar. Kamu boleh memperlakukanku seperti ini, Mas. Tapi jangan lupa akan karmamu, bahwa yang melahirkanmu itu juga seorang wanita. Bagaimana bisa kamu juga menyakiti hati seorang wanita yang telah melahirkan anak-anakmu?" Masih terngiang jelas di telingaku saat Namira mengatakan hal itu kemarin."Halah, bisanya ceramah aja. Udah Mas, jangan pedulikan dia. Toh pernikahan kita juga sah di depan penghulu, dan aku tak masalah jika hanya dinikahi secara siri," ucap Bella menimpali, membuatku sedikit membumbung tinggi karena pembelaannya.Namira tak bergeming, ia menatap madunya bengis. Belum pernah aku melihatnya dengan tatapan seperti itu. Menyeramkan."Cukup Namira.