Aku tidak ingin berlama-lama, semua langsung kubicarakan diintinya saja. Biarlah, aku memang ingin semua segera cepat selesai dan mendapatkan jawaban atas semua yang kurasakan. "Maksud Anda?""Jangan memanggilku seperti itu. Ini kan sudah diluar pekerjaan, sekarang yang ada adalah Rey dan Clara."Kulihat ia menghela nafas lagi, "baiklah. Maaf jika kemarin aku lancang mengirimkan surat itu padamu. Sebenarnya.... ""Justru karena itu aku datang kemari ingin berterimakasih padamu karena berkat surat itu sekarang aku bisa membuka mata lebar-lebar bahwa memang sudah saatnya aku memikirkan soal perasaanku dan aku memang sudah bangkit. Clara, tujuanku datang kemari adalah ingin benar-benar serius dengan seluruh perkataanmu itu. Bisakah aku memulai semuanya dan singgah di hatimu? Jika kamu berkata iya, aku siap kapanpun kamu bersedia kunikahi," kataku tanpa ragu sedikitpun karena aku memang sudah yakin dengan apa yang kurasakan ini. Clara terlihat sedikit terkejut, lalu menggeleng. "Tapi ak
"Kamu sudah siap?" bisik Leo di telingaku. Aku hanya mengangguk singkat, lalu berjalan pelan ke arah wanita yang sudah menungguku di depan sana. Jantungku berdegup kencang, tak kalah ketika menikah dengan Namira dulu. Di belakangku ada setidaknya sepuluh orang yang menemaniku termasuk Ahmad, Namira dan Hendra. Aku tak membawa banyak orang karena memang tempatnya tak dekat dengan tempat tinggal kami. Aku hanya membawa teman-teman dekatku saja. Clara terlihat sangat cantik hari ini. Senyum manisnya mengembang di sudut bibirnya. Kulihat kedua orangtuanya juga sangat bahagia hari ini. Sebetulnya aku sedikit berkecil hati karena takut jika orangtuanya akan menolakku. Bagaimana tidak, Clara itu masih gadis sedangkan aku adalah seorang duda beranak dua yang mana aku sangat wajib menafkahi kedua anakku meski sudah tak bersama ibunya. "Sebenarnya, kedatangan saya kemari adalah ingin mempersunting Clara, Pak, Bu." Ingatanku kembali pada sebulan yang lalu saat aku pertama kali datang kemari
"Maaf, Pak. Kartunya tidak bisa, ada uang cash saja tidak?" ucap kasir toko ketika aku hendak membayar barang belanjaan Bella, istri mudaku."Hah? Tidak bisa? Coba lagi, Mbak," kataku sedikit panik, karena kulirik dari ekor mataku Bella sudah menunggu bersama teman-teman sosialitanya di ujung sana."Maaf, tetap tidak bisa. Ada uang cash saja?" tanyanya sekali lagi, membuat pelipisku tiba-tiba saja basah oleh keringat.Mana mungkin kartuku tidak bisa? Padahal kemarin sore masih bisa kupakai transfer uang bulanan untuk Namira, istri tuaku di kampung.Ya, sudah dua bulan ini aku menikah siri dengan Bella, tanpa sepengetahuan Namira tentunya. Kalau aku jujur, sudah pasti dia tak akan memperbolehkanku menikah lagi. Jabatanku setengah tahun ini naik menjadi manager keuangan. Sedangkan aku terpisah jauh dari Namira karena ia harus mengurus ibuku yang mulai menua di kampung, hal itu membuatku mau tak mau harus menikah dengan Bella agar ada yang menemani hari-hariku.Lagipula Namira sudah sibu
Lagi-lagi tubuhku membeku, ketika kulihat ternyata ATM-ku telah berhasil ia bekukan. Bahkan seluruh isi tabunganku telah habis, ia memindahkan semua uangku ke dalam kartu yang beratas namakan Namira Sahira.Gila. Ini benar-benar gila. Mana mungkin istriku bisa secerdik ini? Bukankah ia hanya ibu rumah tangga biasa yang bisanya hanya menjaga anak dan ibuku di kampung?“Bagaimana? Bukankah rumah ini pun juga atas namaku? Apa anda akan tetap setia dengan pria tak bermoral ini, Nona?”Beberapa saat aku terdiam, berusaha mencerna keadaan saat mengetahui bahwa kini istriku telah berubah menjadi sangat garang. Hingga aku teringat akan sesuatu, bahwa Namira memegang surat kuasa atas seluruh kartu ATM-ku. Sebelum kejadian naas ini terjadi aku memang selalu memprioriaskan Namira, semua aset aku atas namakan dirinya. Bahkan ia pun juga memegang surat kuasa atas nomor rekeningku. Aku tak mengira bahwa hal itu ternyata kini menjadi boomerang untukku sendiri. Itu lah sebabnya ia bisa dengan gampang
“Rey, kemarin Namira ke kota. Katanya ada hal penting. Ada apa? Kenapa belum pulang sampai sekarang? Apa kalian ada masalah?”Tubuhku membeku saat ibu menanyakan tentang Namira. Aku harus bilang apa? Apa aku harus jujur tentang masalah pelik yang sedang kuhadapi?Tapi tunggu … Ibu bertanya tentang Namira? Itu artinya ia belum tahu yang sesungguhnya? Namira tidak menceritakan apa yang terjadi denganku? Ah, syukurlah setidaknya ia masih memiliki sedikit perasaan dengan tidak menceritakan yang sebenarnya pada ibuku.“Pekerjaan Rey baik, Bu. Doakan lancar terus, ya,” kataku mengalihkan pembicaraan.“Rey … Kenapa pertanyaan ibu tidak dijawab? Ibu tanya Namira, loh. Tidak tanya tentang pekerjaanmu,” ucap ibu tak terima dengan jawabanku."Em ... A-anu, Bu. Namira katanya kangen sama Rey, Rey juga menyuruhnya datang ke kota. Tapi mungkin dia nggak bakal lama kok, Bu," jawabku berkilah, berharap ibu akan percaya dengan alasanku."Yang bener? Biasanya juga kamu yang pulang, atau kalau nggak ana
"Astaga. Ibu ... Bagaimana bisa Ibu ada di sini," gumamku lirih saat Namira membukakan pintu untuk orang yang paling aku cintai di dunia ini.Setelah penolakanku kemarin saat Namira mengajakku pulang, tak tahunya hari ini ibu datang kemari. Si*l ... Seperti makan buah simalakama saja. Bergerak kesegala arah terasa keliru."Dengar. Kamu boleh memperlakukanku seperti ini, Mas. Tapi jangan lupa akan karmamu, bahwa yang melahirkanmu itu juga seorang wanita. Bagaimana bisa kamu juga menyakiti hati seorang wanita yang telah melahirkan anak-anakmu?" Masih terngiang jelas di telingaku saat Namira mengatakan hal itu kemarin."Halah, bisanya ceramah aja. Udah Mas, jangan pedulikan dia. Toh pernikahan kita juga sah di depan penghulu, dan aku tak masalah jika hanya dinikahi secara siri," ucap Bella menimpali, membuatku sedikit membumbung tinggi karena pembelaannya.Namira tak bergeming, ia menatap madunya bengis. Belum pernah aku melihatnya dengan tatapan seperti itu. Menyeramkan."Cukup Namira.
Dadaku berpacu begitu cepat, saat tiba-tiba saja Bella keluar kamar dengan pakaian kurang bahannya. Ia juga mengajakku pergi ke salon saat ibu baru saja tiba di rumah.Keringat dingin mulai membasahi dahiku, sedangkan kulihat Namira tersenyum tipis ke arahku. Persis seperti senyuman mengejek."Rey, kok nggak jawab?" tanya ibu lagi ketika aku terdiam saat ibu bertanya tentang Bella."Em ... Ini, anu, Bu ....""Oh, ini mertuaku? Kenalkan, Bu. Saya istri Mas Rey juga, yang artinya adalah menantumu juga, namaku Bella Cantika," sahut Bella tak terkendali, membuatku sekali lagi hampir saja jantungan.Ibu terperanjat, begitu juga makcik yang berdiri di sisi ibu. Tak terkecuali anak perempuanku yang ada dipelukan ibunya, ia sontak melepaskan pelukannya dan menatapku lekat.Usianya sudah menginjak sembilan tahun, sedikit banyaknya ia pasti tahu apa yang sedang terjadi atas perkataan Bella beberapa saat yang lalu. Ya Tuhan, andai aku bisa memutar waktu pasti aku tak akan melakukan kesalahan bod
Hingga dini hari, kedua mataku masih saja belum mau terpejam. Pikiranku masih memikirkan paket siang tadi untuk Namira. Hatiku berkecamuk, menerka-nerka siapa Leo itu.Malam ini Bella tidur lebih awal, katanya kepalanya pusing semenjak kehadiran ibu. Sedangkan Makcik pulang ke kampung sore tadi. Sebenarnya aku berharap ibu dan kedua anakku mau menerima Bella seperti kehadiran Namira, tapi rasanya hal itu masih sangat mustahil. Mengingat sikap Kirani dan Zafar ketika berhadapan dengan Bella, mereka sama sekali tak bisa bersikap baik.Akhirnya aku memutuskan keluar kamar hendak mengambil minum di dapur. Namun, aku seperti mendengar seseorang tengah menangis sesegukan di mushola rumah. Tanpa pikir panjang lagi aku lantas mendekat ke arah mushola dan melihat apa yang sedang terjadi.Betapa terkejutnya ketika kulihat ibu duduk bersimpuh dengan linangan air mata, ia menangis sesegukan dengan menyebut namaku. Seketika itu juga hatiku hancur, bagai disayat sembilu ketika melihat ibu menangis