Dadaku berpacu begitu cepat, saat tiba-tiba saja Bella keluar kamar dengan pakaian kurang bahannya. Ia juga mengajakku pergi ke salon saat ibu baru saja tiba di rumah.
Keringat dingin mulai membasahi dahiku, sedangkan kulihat Namira tersenyum tipis ke arahku. Persis seperti senyuman mengejek.
"Rey, kok nggak jawab?" tanya ibu lagi ketika aku terdiam saat ibu bertanya tentang Bella.
"Em ... Ini, anu, Bu ...."
"Oh, ini mertuaku? Kenalkan, Bu. Saya istri Mas Rey juga, yang artinya adalah menantumu juga, namaku Bella Cantika," sahut Bella tak terkendali, membuatku sekali lagi hampir saja jantungan.
Ibu terperanjat, begitu juga makcik yang berdiri di sisi ibu. Tak terkecuali anak perempuanku yang ada dipelukan ibunya, ia sontak melepaskan pelukannya dan menatapku lekat.
Usianya sudah menginjak sembilan tahun, sedikit banyaknya ia pasti tahu apa yang sedang terjadi atas perkataan Bella beberapa saat yang lalu. Ya Tuhan, andai aku bisa memutar waktu pasti aku tak akan melakukan kesalahan bodoh ini.
"Namira. Katakan dengan jujur, apa ini benar?" Bukannya bertanya padaku, ibu malah beralih bertanya pada Namira yang jelas-jelas bukan anak kandungnya. Bisa saja kan Namira bakal menjelek-jelekkan Bella dan mengarang cerita.
"Bu ...."
"Diam! Aku tidak mengajakmu berbicara, Rey," bentak ibu membuatku terlonjak, begitu juga Bella yang ada di sampingku.
"Makcik, tolong bawa anak-anak ke kamarku, ya. Ada di sebelah sana," ucap Namira dengan menunjuk pintu kamar utama yang tertutup, lalu secepat kilat makcik lantas menuntun kedua anakku ke dalam kamar.
Kulihat sekilas Namira menghela nafas panjang, lalu mendekati perempuan yang telah melahirkanku itu. "Bu, maaf, Namira bohong dengan tidak menceritakan yang sebenarnya sehingga kini Ibu harus tahu dengan cara yang tidak baik. Memang benar kalau wanita itu istri Mas Rey juga, dan karena ini lah sebenarnya Namira tega meninggalkan Ibu dan anak-anak di kampung. Maaf juga, karena Namira telah lancang memutuskan semuanya sendiri dengan menarik semua uang yang ada di tabungan Mas Rey. Dan juga Namira tidak bersedia bercerai dengan Mas Rey karena tak rela jika harta gono-gini akan dinikmati juga oleh wanita itu," tandas Namira langsung pada intinya.
Seakan seluruh sendiku lemas tak bertenaga, apa yang kukira akan menyenangkan, menyejukkan dan membahagiakan dengan memiliki dua istri nyatanya berbanding terbalik, bahkan hal ini sama sekali tak terbayangkan olehku.
Ibu mundur selangkah, bersandar pada daun pintu yang terbuka separuh. Kulihat kedua matanya mengembun, hingga akhirnya buliran bening berhasil lolos dari kedua netranya.
Ah, ibu. Maaf jika aku telah menyakitimu.
"Rey. Ibu tak mengira jika kamu berbuat serendah ini. Bahkan Bapakmu sampai mati pun tetap setia pada Ibumu tapi kenapa kamu sekarang berubah seperti ini? Apa barang wanita itu jauh lebih memuaskan dari istrimu yang telah melahirkan dua malaikat ke dunia?" tutur ibu membuat pertahananku runtuh juga. Sejujurnya kelemahan terbesarku adalah ibu, aku akan lemah dan tak berdaya jika telah berurusan dengan ibu. Karena sejak kecil aku hanya tinggal bersama ibu sepeninggal Bapak, jadi aku berusaha tetap menjaga hatinya agar tak terluka. Namun, kini aku telah menyakitinya, bahkan mungkin lebih dalam dari apa yang telah kulakukan pada Namira.
Seketika itu aku lantas mendekat ke arah ibu, lalu jatuh tersungkur di hadapannya. Memegangi kakinya sembari menangis terguguk. Aku tak memperdulikan lagi ocehan Bella yang mengatakan bahwa ia juga berhak atas diriku yang kini telah berstatus sebagai suaminya. Bagiku ibu yang paling penting sekarang.
"Bu, maaf. Maafkan Rey," pintaku mengiba, semoga saja ibu mau memaafkanku atas kelakuan burukku ini.
"Bu, sudah. Ibu istirahat, ya. Ibu kan baru saja dari perjalanan jauh, kita istirahat di kamar Namira saja, ya," bujuk Namira setelah ibu tak kunjung mengucapkan sepatah katapun padaku.
Hingga akhirnya Namira menuntun ibu masuk ke dalam kamar utama dan menutupnya rapat, sedangkan aku masih tersungkur di lantai meratapi nasibku.
"Mas, sudahlah. Nggak usah terlalu dipikirin. Udah yuk, anterin aku ke salon," rengek Bella tak kenal situasi.
Kulirik sekilas istri mudaku itu, ingin rasanya aku marah padanya atas apa yang telah ia lakukan. Tapi aku rasa, semuanya hanya akan menjadi sia-sia saja. Malah jika aku melakukan hal itu, tidak ada lagi yang ada dipihakku.
"Uangku habis," sahutku singkat, kemudian berdiri dan duduk di sofa ruang tamu. Kuusap kilat air mata yang masih membasahi pipi sembari merasakan sakit yang sedang menjalar di dalam dada.
Bella menghentakkan kakinya, lalu berjalan menjauhiku dan masuk ke dalam kamar. Aku tahu dia pasti merajuk, tapi sudah kupastikan bahwa ia akan kembali baik jika sudah kurayu. Biarlah, nanti saja aku mengurusnya. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya agar ibu tak marah lagi denganku. Tujuanku kini adalah menjadikan kedua istriku damai dan juga diterima oleh ibu.
**
"Pakeett ...." Kudengar seorang kurir berteriak tepat di depan rumahku, akhir pekan ini sengaja tak kugunakan keluar rumah melainkan santai di rumah dan menenangkan pikiran.
Sejak kedatangan ibu kemarin ke rumahku, kepalaku semakin pening karena hanya Bella lah orang yang bisa kuajak komunikasi di rumah ini. Bahkan kedua anakku pun hanya menjawab satu dua patah kata ketika aku mengajaknya berbicara.
Dengan tubuh malas aku lantas bangkit, berniat hendak keluar rumah mengambil paket. Namun, Bella menghentikan langkahku. Mungkin saja itu paket yang sedang ia tunggu, pikirku.
Beberapa menit kemudian Bella kembali masuk ke dalam rumah dan menyodorkan paket tersebut kepadaku. "Mas, ada paket nih buat istri tuamu. Kira-kira isinya apa, ya?" ucapnya membuatku terkejut, karena tak biasanya Namira memesan sesuatu lewat online.
"Buat Namira? Aku kira buat kamu," sahutku dengan menerima bungkusan paket itu dari Bella.
Kubaca dengan teliti pengirim paket tersebut.
Leo Fernanda
Leo? Bukankah nama ini yang beberapa hari lalu disebut Namira ketika sedang bertelepon?
"Kita buka aja yuk, Mas. Aku penasaran nih, siapa tau ini racun buat kita," ungkap Bella membuyarkan lamunanku.
Aku mengangguk, lalu bersiap membuka paket tersebut.
"Heh ... Apa-apaan? Lancang! Kalian buta huruf? Tidak bisa baca? Paket ini untuk Namira Sahira. Bukan sepasang manusia tak bermoral seperti kalian."
Tiba-tiba saja Namira datang dari arah belakang dan merebut paket yang masih ada di tanganku. Ia lantas kembali berlalu dan masuk ke dalam kamar sebelum aku berhasil menanyainya perihal paket tersebut.
Kira-kira apa isinya, ya? Paket dari Leo Fernanda. Jelas itu adalah lelaki. Tapi kenapa mengirim paket kepada Namira. Apa dugaanku benar? Kalau mereka ada sesuatu? Jika iya, awas saja!
Hingga dini hari, kedua mataku masih saja belum mau terpejam. Pikiranku masih memikirkan paket siang tadi untuk Namira. Hatiku berkecamuk, menerka-nerka siapa Leo itu.Malam ini Bella tidur lebih awal, katanya kepalanya pusing semenjak kehadiran ibu. Sedangkan Makcik pulang ke kampung sore tadi. Sebenarnya aku berharap ibu dan kedua anakku mau menerima Bella seperti kehadiran Namira, tapi rasanya hal itu masih sangat mustahil. Mengingat sikap Kirani dan Zafar ketika berhadapan dengan Bella, mereka sama sekali tak bisa bersikap baik.Akhirnya aku memutuskan keluar kamar hendak mengambil minum di dapur. Namun, aku seperti mendengar seseorang tengah menangis sesegukan di mushola rumah. Tanpa pikir panjang lagi aku lantas mendekat ke arah mushola dan melihat apa yang sedang terjadi.Betapa terkejutnya ketika kulihat ibu duduk bersimpuh dengan linangan air mata, ia menangis sesegukan dengan menyebut namaku. Seketika itu juga hatiku hancur, bagai disayat sembilu ketika melihat ibu menangis
[Mas, cepet pulang, ya. Sumpah aku di rumah capek banget. Ibumu emang nggak ada akhlak seharian nyuruh-nyuruh aku terus]Jam kerjaku belum juga selesai, Bella sudah mengirimkan pesan menggelikan. Seharusnya ia bahagia bukan? Ibu sudah mau bicara dengannya meskipun dengan dalih menyuruh. Itu artinya ibu sudah mulai membuka hati untuknya. Tapi kenapa Bella malah marah? Harusnya dia sabar sedikit supaya bisa meraih hati ibu sepenuhnya.Kubalas pesannya dengan emotikon jempol dan cium, lalu kembali meneruskan pekerjaanku yang belum selesai. Sejak Namira menarik semua uangku, aku merasa seperti pekerjaanku ini sia-sia saja. Kerja dari pagi sampai sore, lelah, tapi kini uangku ditarik olehnya. Sungguh mengenaskan.Ah, tapi tidak masalah. Yang penting sedikit banyak aku masih bisa menyisihkan uang di ATM tersembunyiku meski jumlahnya tak lebih dari sepuluh juta. Itu pun kemarin sudah digerogoti Bella ketika mengajak ke salon.Tak masalah bagiku, yang penting Bella senang, hari-hariku berwarn
Kusandarkan tubuhku di sisi jendela kamar yang terbuka, sedangkan Bella masih terduduk diam di atas ranjang. Tak sepatah katapun terucap sejak kepulanganku sore tadi. Terlebih setelah berdebat dengan ibu.Huufftt haaahhKini aku merasa menjadi seorang anak yang durhaka. Demi seorang wanita aku tega membentak ibuku sendiri. Ya Tuhan ... Tolong maafkan aku yang telah tega menggores hati wanita yang telah melahirkanku."Foto apa, Bu?" tanyaku saat ibu menjelaskan perihal kepergian Namira.Ibu diam, kemudian pandangan kami teralihkan pada Bella yang ikut masuk ke dalam kamar utama tempatku berbincang dengan ibu."Tanyakan padanya," sahut ibu dengan menatap tajam wanita yang kucintai dua bulan terakhir ini.Kepalaku rasanya mau pecah, saat penatku di kantor belum hilang tapi sudah berganti dengan masalah pelik di rumah. Padahal harapanku akan bahagia dengan menikahi Bella dan tetap mempertahankan Namira. Tapi ternyata aku salah."Bel, foto apa?"Bella memandangku dan ibu secara bergantian,
Berulang kali aku mengetik kemudian kembali menghapus kata di dalam layar ponselku. Hatiku bimbang, ketika ingin mengirimkan pesan pada kedua orang tua Namira di kampung. Jika bukan ke kampung, kemana dia pergi? Di kota dia sama sekali tidak tahu arah, rasanya aneh jika dia tidak pulang ke rumah.Namun, jika aku mengirimkan pesan pada ibu dan menanyakan keberadaannya pasti kedua orangtuanya akan tahu apa yang telah terjadi padaku dan Namira. Jika mereka tahu, bisa saja mereka menyuruhku bercerai dengan anaknya. Oh ... Jangan sampai. Aku mencintai Namira, mana mungkin aku bisa bercerai dengannya.Bagaimanapun caranya, aku harus membuat kedua istriku berdamai dan hidup berdampingan. Mereka berdua sangat berarti untukku. Lagipula jika aku sampai berpisah dengan Namira, pasti anak-anak akan dibawa serta olehnya dan aku tak akan sanggup jika harus berpisah dari anak-anak.Kutatap nanar sebuah bingkai foto yang terpasang indah di atas meja kerjaku, foto saat kami baru saja melangsungkan aca
"Sial!" Aku mengumpat dengan memukul setir kemudi keras saat mobil merah yang kuikuti sejak tadi berbelok arah ke kanan sedang aku harus terhenti karena lampu lalu lintas yang menyala warna merah.Jika itu Namira, bagaimana bisa dia berdandan seperti itu? Lagi pula itu mobil siapa? Lalu, siapa pria itu?Kuambil ponsel yang tersimpan di saku, lalu menekan nomor Namira cepat. Kudekatkan benda pipih itu ke telinga tapi tak sekalipun ia berdering."Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat dihubungi"Lagi-lagi aku mengumpat keras, ketika nomor Namira masih saja belum bisa dihubungi. Ada apa ini? Apa aku hanya salah lihat? Tapi wanita tadi benar-benar sangat mirip dengan Namira.Lampu hijau menyala, membuatku mau tak mau harus berbelok arah dan kembali pada perjalananku ke rumah. Hampir sepuluh menit aku mengikutinya namun semua hanya berakhir sia-sia.**Kuparkirkan mobil fortuner hitamku di garasi, lalu turun dan berniat hendak beristirahat setelah lelah seharian ini. Kulihat Kirani dan Za
Pasca kejadian sore tadi Bella belum mau bertegur sapa denganku, ia hanya duduk diam dengan memainkan ponselnya di atas ranjang. Sedang aku masih hanyut dalam pikiranku yang semakin berkecamuk. Perihal wanita misterius itu dan juga pesan Namira. Bagaimana bisa wanita itu terlihat sangat mirip dengan Namira? Juga bagaimana bisa Namira mengirimkan pesan itu padaku saat ia tak ada di rumah?Sepertinya aku salah dengan mempermainkan perasaannya. Di wanita baik, tak seharusnya aku memperlakukannya seperti ini. Tapi aku bisa apa? Semua sudah terjadi dan aku hanya boleh menjalaninya, untuk mundur pun semua sudah terasa sangat jauh.“Bel, tolong ambilin aku minum, ya,” ucapku pada Bella, karena memang aku sedang tak berselera keluar kamar.Namun, ia masih terdiam dengan terus berselancar dalam sosial medianya. Padahal, jika Namira, ia kan langsung berdiri dan menuruti perintahku. Ah, lagi-lagi Namira yang ada di kepalaku saat ini.“Bel … dengar tidak?” kataku lagi saat ia tak kunjung berdiri
Dua minggu kemudian ....Sudah dua minggu ini Namira pergi meninggalkanku dan anak-anak. Setiap hari aku harus selalu mendengar teriakan sumbang mereka, terlebih saat mereka tengah bertengkar dengan Bella. Serasa sudah seperti perang dunia ke tiga.Pagi ini aku sengaja bangun sedikit siang karena memang sedang akhir pekan. Siang nanti Bella mengajakku belanja karena ia bilang suntuk di rumah. Tak masalah aku menuruti kemauannya kali ini, karena selama dua minggu ini Bella juga sudah berkelakuan baik pada ibu.Bukan aku tak mencari Namira, tapi rasanya pencarianku sudah sampai ke ujung dunia. Setitik pun tak ada tanda-tanda keberadaan Namira. Bahkan, aku sampai menyuruh salah seorang temanku untuk menelepon ke rumah Namira di kampung. Tapi nihil, ia hilang bak ditelan bumi.Aku mendesah pelan, ketika kulihat satu lembar kertas transaksiku kemarin di ATM. Uangku tinggal tujuh juta, sedangkan siang nanti Bella juga mengajak belanja. Mana cukup untuk hidup dua minggu kedepan jika Bella te
"Hai, Mas."Mulutku terkunci, seluruh badanku seakan membeku ketika harum tubuh Namira menusuk hidungku. Ya, dia sangat wangi, cantik dan modis. Tak seperti Namira istriku yang dulu.Cukup lama aku terdiam memandanginya, sampai pada akhirnya ia masuk ke dalam rumah dan melewatiku. Dengan dua anakku yang sudah menggelayut di tubuhnya tentu saja. Sedangkan ibu, ibu tersenyum miring ketika melewatiku.Namira duduk di sofa ruang tamu, membiarkan kedua anaknya melepas rindu. Aku paham, hampir sebulan ini Namira menghilang. Dan ajaibnya dia kembali dengan segala perubahan drastis seperti ini."Mas, siapa yang datang?" teriak Bella dari depan kamar, tapi sedetik kemudian ia pun juga ikut terpaku ketika melihat Namira telah duduk di sofa dengan dua anakku di pelukannya."Hmm ... Apa kabar kalian?" ucap Namira memecah keheningan."Kami baik, Nak. Sangat baik. Bahkan suamimu ini sekarang telah berubah menjadi suami yang tunduk di bawah lengan istrinya. Sedangkan istrinya itu, masih sama seperti
"Kamu sudah siap?" bisik Leo di telingaku. Aku hanya mengangguk singkat, lalu berjalan pelan ke arah wanita yang sudah menungguku di depan sana. Jantungku berdegup kencang, tak kalah ketika menikah dengan Namira dulu. Di belakangku ada setidaknya sepuluh orang yang menemaniku termasuk Ahmad, Namira dan Hendra. Aku tak membawa banyak orang karena memang tempatnya tak dekat dengan tempat tinggal kami. Aku hanya membawa teman-teman dekatku saja. Clara terlihat sangat cantik hari ini. Senyum manisnya mengembang di sudut bibirnya. Kulihat kedua orangtuanya juga sangat bahagia hari ini. Sebetulnya aku sedikit berkecil hati karena takut jika orangtuanya akan menolakku. Bagaimana tidak, Clara itu masih gadis sedangkan aku adalah seorang duda beranak dua yang mana aku sangat wajib menafkahi kedua anakku meski sudah tak bersama ibunya. "Sebenarnya, kedatangan saya kemari adalah ingin mempersunting Clara, Pak, Bu." Ingatanku kembali pada sebulan yang lalu saat aku pertama kali datang kemari
Aku tidak ingin berlama-lama, semua langsung kubicarakan diintinya saja. Biarlah, aku memang ingin semua segera cepat selesai dan mendapatkan jawaban atas semua yang kurasakan. "Maksud Anda?""Jangan memanggilku seperti itu. Ini kan sudah diluar pekerjaan, sekarang yang ada adalah Rey dan Clara."Kulihat ia menghela nafas lagi, "baiklah. Maaf jika kemarin aku lancang mengirimkan surat itu padamu. Sebenarnya.... ""Justru karena itu aku datang kemari ingin berterimakasih padamu karena berkat surat itu sekarang aku bisa membuka mata lebar-lebar bahwa memang sudah saatnya aku memikirkan soal perasaanku dan aku memang sudah bangkit. Clara, tujuanku datang kemari adalah ingin benar-benar serius dengan seluruh perkataanmu itu. Bisakah aku memulai semuanya dan singgah di hatimu? Jika kamu berkata iya, aku siap kapanpun kamu bersedia kunikahi," kataku tanpa ragu sedikitpun karena aku memang sudah yakin dengan apa yang kurasakan ini. Clara terlihat sedikit terkejut, lalu menggeleng. "Tapi ak
Jantungku berdegup kencang saat pesawat yang membawaku sudah hampir sampai. Ini kali pertama aku pergi jauh sendirian dan tanpa alamat yang pasti. Bisa saja alamat yang diberikan oleh Clara saat itu pada Ahmad tak nyata, tapi konyolnya aku tetap terbang dan mencarinya. Dan ini juga merupakan kali pertama aku menginjakkan kaki di pulau Sumatera. Bahkan aku sama sekali tidak mengenal siapapun disini. Semoga saja perjalananku kali ini lancar hingga aku bisa bertemu dengan Clara. Setelah memantapkan hati selama seminggu ini aku akhirnya benar-benar terbang ke Sumatera. Awalnya aku ragu dengan perasaanku sendiri. Clara, karyawan baru yang mengaku menyukaiku. Aku mengira jika dia tak benar-benar serius dengan perkataannya, bahkan aku hanya menganggapnya lelucon. Terlebih saat Ahmad selalu menjodohkanku dengannya. Aku pikir memang Ahmad ingin aku bangkit dan melupakan masalaluku. Namun ternyata dia sendiri justru memendam perasaan pada wanita itu.Entah aku ini bisa disebut sebagai teman
Aku masih tertegun dengan semua penjelasan Ahmad mengenai semua perasaannya selama ini pada Clara. Sedikitpun aku tak menyangka bahwa justru dia yang memiliki perasaan pada wanita itu. "Em, aku tak tahu harus bicara apa," kataku seraya menatapnya yang baru jujur kepadaku. "Bro, setidaknya aku pun sudah lega sekarang. Meskipun dia tak bisa kuraih tapi aku sudah cukup dengan berkata jujur padamu, dan sekarang aku mau kamu mengejarnya. Aku yakin hatimu pun tak sedingin itu, kan?" tanyanya sontak membuatku terkejut lagi."Maksud kamu?""Hahaha, sudahlah. Kita ini sama-sama sudah dewasa. Aku tahu maksudmu dan kamu pun pasti tahu apa yang kumaksud," katanya lagi. Aku mengalihkan pandangan darinya, jujur saja aku masih benar-benar terkejut dengan semua penuturannya. Kedatanganku yang awalnya hanya ingin mencari tahu perihal foto yang ia kirim nyatanya justru mengejutkanku seperti ini. Sebetulnya aku pun merasa bersalah pada Ahmad karena sebagai seorang sahabat aku justru tidak tahu menge
Tiga hari sudah kepergian Ibu. Semakin kesini aku tak semakin terbiasa tapi justru semakin terbayang-bayang. Bagaimana tidak, ia adalah wanita yang sudah melahirkanku ke dunia. Dari kecil aku selalu dimanja dan semua keinginanku dituruti olehnya.Sedikitpun tak ada perlakuan kasar darinya meski aku sudah menyakiti hatinya. Kesalahanku pada Namira, adalah salah satu dosa yang sampai saat ini mungkin tak bisa terhapus.Aku begitu tega menyakiti hati ibuku dengan menduakan Namira. Namira adalah menantu kesayangan Ibu sampai-sampai ketika kami berpisah Ibu justru memilih tinggal bersama mantan istriku itu.Jangan tanya seberapa besar penyesalanku. Sungguh, mungkin jika diukur tak akan pernah ada habisnya.Seharusnya aku bisa membahagiakan Ibu, tapi nyatanya sampai akhir hayatnya aku justru tak ada di sampingnya. Jika aku masih diberi kesempatan mungkin aku akan memperbaiki semua yang sudah pernah kulakukan dulu.Kuusap air mata yang menggenang di pelupuk mata, lalu bangkit setelah mencium
Pikiranku sudah melayang. Aku tak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Di dalam sana Ibu tengah berjuang sendiri, dan itulah yang membuatku merasa tidak berguna menjadi seorang anak. "Tolong selamatkan Ibu saya, Pak. Saya sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Ibu," tuturku sendu, dan memang itulah yang terjadi. Dokter itu hanya mengangguk dan terlihat memberikan senyuman dari balik masker yang ia kenakan. Meski aku merasa jika dokter itu hanya ingin membuatku tenang, tapi nyatanya aku memang sedikit tenang usai dokter menjawab iya atas semua perkataanku. "Banyak-banyak doa saja ya, Pak. Saya akan usahakan yang terbaik," ucapnya sebelum pada akhirnya meninggalkanku, Namira dan Leo. Namira masih menangis di pelukan suaminya, sedang aku lantas duduk di kursi panjang sembari menahan air mataku agar tak jatuh. Bukan perkara apa, aku hanya tidak ingin jika air mataku justru akan membebani Ibu di dalam sana. Apapun yang nantinya terjadi, aku akan ikhlas dan memang harus ikhlas. Buk
"Mas Ibu pingsan, aku sama Mas Leo sudah membawanya ke Rumah Sakit Sehat Sentosa. Kamu bisa kesini nggak?" ucap Namira panik dari seberang sana. Aku yang semula masih fokus ke layar komputer lantas mengalihkan pandangan. Memang tak biasanya Namira menghubungiku tengah hari begini. Dan benar saja, dia membawa berita buruk. "Pingsan?""Iya, sekarang masih ada IGD," ujarnya lagi dengan sedikit kebisingan di belakang sana. "Ba-baik aku akan segera kesana."Tanpa banyak bicara aku lantas bergegas setelah mendapatkan ijin pada Bos. Beruntung, aku bekerja di tempat yang tepat sehingga saat-saat genting seperti ini aku bisa langsung mendapatkan ijin dengan mudah. Pertanyaan yang dilontarkan beberapa teman kantor tak kuhiraukan karena pikiranku sangat kalut. Mereka bertanya mengenaiku yang terlihat sangat terburu-buru. Wajar, biasanya aku ini orangnya sangat tenang, tak seperti hari ini. "Hei, kamu mau kemana? Buru-buru banget," teriak Ahmad yang melihatku berjalan setengah berlari ketika
Seminggu berlalu dan pada akhirnya Clara sudah bisa kembali masuk kerja. Seperti biasa, ahmad selalu meledekku soal Clara. Padahal aku sendiri belum memikirkan apapun. Jangankan untuk membuka hati lagi, berbincang dengan wanita dengan intens saja rasanya masih enggan. "Kamu udah nengokin Clara? Dia udah masuk tuh," ledek Ahmad ketika sampai di ruanganku. Aku hanya meliriknya sekilas, lalu menggeleng. "Ih parah banget. Aku kira kamu bakal lebih perduli, dulu aja pas baru pingsan kamu sampai bela-belain ke rumah sakit."Kutarik nafasku dalam, lalu kuletakkan bolpoinku. "Ya itu karena kemanusiaan, lagipula waktu itu aku udah nengokin jadi sekarang nggak lagi," jawabku sekenanya, malas berdebat dengan Ahmad. "Yaudah kalau gitu, aku mau keruangan dia dulu."Ahmad berlalu setelah aku tak terlalu menanggapi perkataannya. Biarkan saja, pasti dia nanti akan kembali ke ruangan ini lagi. Tiba-tiba aku teringat soal perkataan Clara tempo hari waktu di rumah sakit. Katanya dia mau resign, tapi
"Selamat, ya. Semoga bahagia," ucapku seraya menyunggingkan senyum kecut. Namira dan suaminya tersenyum dan menyambut uluran tanganku. Kedua anakku pun terlihat sangat bahagia di kursinya. Mereka duduk dengan neneknya alias ibuku. Tak kalah dengan kedua anakku, ibu juga terlihat bahagia. Apa hanya aku saja yang saat ini terlihat sedih? Sebenarnya aku juga tak terlalu memperlihatkan kesedihanku karena rasanya tak etis jika aku masih bersedih ketika mantan istriku menikah lagi. Terlebih semua ini terjadi juga karena ulahku sendiri. Aku menarik nafasku dalam, lalu kuhembuskan. Namira dan Leo tidak boleh tahu jika sebetulnya aku ini masih sedikit tak rela atas pernikahan mereka. "Terimakasih, terimakasih juga sudah berkenan hadir," jawab Namira singkat. "Em, aku mohon ijin untuk ikut serta merawat dan membesarkan anakmu." Kali ini Leo berkomentar, dan lagi-lagi aku hanya tersenyum kecut. Andaikan saat itu aku tak gegabah, pasti saat ini semua masih menjadi milikku. Dan tentu saja an