Sebuah kecelakaan tragis mengubah total hidup Livia. Ayahnya meninggal dunia, sedangkan dirinya mengalami kelumpuhan pada kakinya. Sebagai bentuk tanggung jawab atas peristiwa tersebut Rajendra bersedia menikahi Livia. Livia pikir pernikahan itu akan membuat keadaan sedikit lebih baik. Nyatanya Rajendra menjadikan ikatan suci mereka sebagai neraka dunia bagi Livia. Akankah Livia mampu bertahan? Atau ia harus menyerah? IG Author: Zizarageoveldy
view moreRajendra sampai di rumah sakit dengan pikiran kusut. Ia memarkir mobilnya sembarangan tanpa peduli apakah posisinya sudah benar atau tidak.Ia melangkah cepat menuju ruang tunggu operasi. Rasa marah, sedih, kecewa dan dikhianati berbaur dalam dadanya.Ketika melihat Rajendra muncul, Utary langsung berdiri. Wajah perempuan itu begitu kesal."Ke mana aja sih? Lama banget dari tadi. Randu sudah selesai operasinya!" ketus Utary dengan keras.Rajendra tidak memedulikan pertanyaan itu. Matanya menatap Utary dengan dingin. Mungkin ini adalah untuk pertama kalinya mata yang biasa penuh perhatian itu menyorot penuh kebencian."Kita perlu bicara, Tar," ucap Rajendra dengan nada rendah tapi tajam.Dahi Utary mengernyit. "Mau bicara apa? Randu butuh kita sekarang.""Justru karena Randu kita harus bicara sekarang." Rajendra menarik langkahnya mendekati Utary yang membuat perempuan itu mundur selangkah. "Lo pikir gue nggak tahu apa yang lo sembunyiin selama ini?""Maksud kamu apa sih, Ndra? Aku ngg
Kecurigaan yang terus mengganggu pikirannya mendorong lelaki itu untuk mengambil langkah sulit. Ia tahu hal ini akan merusak hubungan antara dirinya dan Utary. Tapi Rajendra tidak memiliki jalan lain. Jika Utary tidak dapat memberinya kebenaran, maka Rajendra akan menemukannya sendiri.Setelah memastikan Randu tertidur pulas dan Utary sedang berada di luar, Rajendra memiliki kesempatan untuk mengumpulkan sampel DNA. Rajendra mengusap bagian dalam pipi Randu untuk mengambil salivanya menggunakan kapas swab yang sebelumnya ia dapatkan dari laboratorium. "Maafin Papa, Sayang," gumamnya pelan.Rajendra memasukkan swab tersebut dengan hati-hati ke dalam wadah steril. Tak lupa ia juga mengambil beberapa helai rambut Randu sebagai sampel alternatif.Setelahnya ia mengatakan pada Utary akan ke apartemen untuk mengambil baju ganti.Rajendra menyetir menuju laboratorium swasta yang menerima tes DNA dengan cepat dan kerahasiaannya terjaga. Petugas laboratorium mengatakan hasilnya akan keluar se
Keluar dari ruangan dokter, Rajendra terus memikirkan penjelasan yang tadi didengarnya. Walaupun merasa lega lantaran kondisi Randu bisa diatasi namun hatinya tetap dihantui pertanyaan mengenai asal penyakit tersebut.Diliriknya Utary yang berjalan di sebelahnya dengan ekspresi kesal. Rajendra tidak tahu entah kenapa Utary tidak suka dengan keputusan untuk menjalani pemeriksaan. "Kenapa kamu menolak buat diperiksa?" Rajendra bertanya di sela-sela langkah mereka.Utary menghentikan langkahnya dan menatap Rajendra tidak suka. "Aku cuma nggak mau masalah ini jadi besar, Ndra. Apa nggak cukup kita tahu kalau Randu bisa sembuh?""Bukan itu masalahnya, Tar. Kalau memang penyakit ini penyakit genetik, kita harus tahu sumbernya supaya Randu nggak mengalami hal buruk ke depannya.""Kenapa sih kamu bikin rumit semuanya? Kamu cuma mau nyari alasan buat nyalahin aku kan?" Utary menyedekapkan tangannya."Aku nggak mau menyalahkan siapa pun. Aku cuma mau yang terbaik buat Randu," ujar Rajendra men
'Ya Tuhan, ngomong apa gue barusan? Ngapain juga gue minta tes DNA. Randu itu anak gue. Astaga, Randu, maafin Papa, Nak.' Rajendra berteriak di dalam hatinya sambil berdiri di koridor rumah sakit.Rajendra tidak tahu apa yang tadi menguasai pikirannya sehingga ia bisa mengatakan hal itu pada dokter. Mungkin lantaran tadi kepalanya begitu digerogoti oleh banyak pikiran sehingga ia bicara sembarangan.Bagaimana mungkin ia meragukan Randu sebagai anaknya di saat dia sedang sakit?Tanpa membuang waktu Rajendra segera mencari dokter tadi. Beruntung ia menemukannya."Dokter!"Pria bersnelli putih berambut cepak menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke belakang."Maaf, saya mengganggu, Dok. Tes DNA-nya nggak usah. Dibatalkan saja, Dok. Tadi saya hanya terlalu panik.""Baik, Pak." Dokter menjawab dengan singkat lalu pergi.Rajendra menghela napasnya kemudian kembali ke tempat perawatan Randu. Utary masih di sana, menemani anak mereka. Begitu melihat Rajendra, Utary memasang tampang masam
Di tempat yang lain Livia sedang merajut. Kali ini ia membuat topi bayi. Topi itu baru setengah jadi namun sudah terlihat indah dan menggemaskan berkat perpaduan warnanya. Livia memang sangat berbakat dalam hal merajut dan piawai memadumadankan warna.Dentingan dari ponselnya membuat Livia mengalihkan sejenak perhatiannya ke arah benda itu yang ia letakkan di atas meja. Ia meraihnya. Ia tahu itu dari Langit. Karena hanya Langit satu-satunya yang tahu SIM card baru Livia."Liv, aku lagi sama Rajendra, ngopi di dekat kantor."Itu isi chat dari Langit.Livia pandangi layar ponselnya dengan cukup lama. Pesan yang disampaikan Langit bagai membawa angin dingin yang menusuk sampai ke tulang sumsum. Nama Rajendra masih memiliki efek yang kuat padanya walaupun ia telah mencoba keras melupakan lelaki itu.Diletakkannya kembali ponsel ke atas meja dan melanjutkan rajutannya. Tapi entah mengapa tangannya terasa gemetar.Kenapa Langit mengabarkan padanya? Apa maksudnya? Pertanyaan-pertanyaan ters
Rajendra baru saja masuk ke dalam coffee shop di lingkungan kantornya ketika mendengar ponselnya lagi-lagi berbunyi. Dengan kesal ia merogoh saku celananya. Jantungnya berdebar kencang ketika melihat nama Jihan tertera di layar. Jangan-jangan mertuanya itu ingin memberitahu pada Rajendra mengenai Livia. Jangan-jangan Livia ada di sana. Dan masih banyak lagi jangan-jangan yang bersarang di kepalanya."Halo, Tante.""Halo juga, Ndra. Kamu lagi sibuk?""Nggak juga, Tante. Tumben Tante menelepon?" Degup jantung Rajendra mengencang. Mungkinkah sebentar lagi ia akan mendengar Jihan mengatakan 'Ndra, Livia ada di sini'?"Kebetulan kalau begitu. Berarti Tante nggak mengganggu. Tante mau tanya, kenapa biaya pengobatan Tante bulan ini belum dikirim?"Rajendra mengepalkan sebelah tangannya yang bebas. Ia mencoba menahan kekesalan yang yang menggumpal di dalam dadanya. Rajendra sudah teramat lelah dengan semuanya, ditambah lagi panggilan dari Jihan yang hanya menagih uang membuatnya tidak mampu m
Hari-hari yang dilalui Rajendra terasa hampa. Hampir setiap hari ia datang ke rumah. Namun rumah itu tetap kosong. Tidak ada Livia di sana. Kejadian yang terjadi pada kehidupan pribadinya sampai terbawa ke dunia kerja. Rajendra jadi sering marah pada para pegawainya.Rajendra duduk di kursi kerjanya dengan raut kusut. Kertas-kertas berserakan di mejanya tatapi tidak ada satu pun yang dipedulikannya. Pikirannya tidak jauh-jauh dari Livia yang sudah pergi meninggalkan rumah. Seharusnya saat ini Rajendra bahagia lantaran Livia, istrinya yang cacat dan membuatnya malu sudah pergi. Yang terjadi malah sebaliknya. Ia tidak bisa membuang perempuan itu jauh-jauh dari pikirannya meski sudah dua minggu berlalu. Ke mana pun ia memandang hanya wajah Livia yang terlihat.Sikap Rajendra berubah dengan dratis. Ia mudah marah pada siapa pun termasuk karena hal-hal sepele. Para pegawainya mulai sering membicarakan Rajendra di belakangnya. Membahas sikap dan perilaku atasan mereka yang semakin tidak ter
Aroma khas rumah sakit memenuhi ruang rawat berwarna putih.Livia terbaring lemah di atas bed dengan wajah pucat pasi. Sepasang matanya terpejam rapat. Irama napasnya terdengar pelan namun berat. Sebuah infus terpasang di tangan kirinya, mengalirkan cairan berisi nutrisi untuk tubuhnya.Sedangkan Langit duduk di kursi di samping tempat tidur Livia dengan wajah yang masih diselimuti kekhawatiran. Ia menatap Livia dengan sorot sedih yang tidak bisa disembunyikan. Sebelah tangannya terus menggenggam tangan Livia yang dingin, seakan ingin memberitahu Livia bahwa ia tidak sendirian. Ada Langit yang menemaninya.Sepuluh menit kemudian kelopak mata Livia terbuka dengan perlahan. Pandangannya buram, akan tetapi ia bisa melihat presensi langit yang duduk di dekatnya. Livia mencoba untuk bicara. Namun, hanya suara lirih yang keluar."Langit, ini kamu?"Langit memberi senyum tipis walaupun matanya masih memancarkan kekhawatiran. "Iya, ini aku, Liv. Aku akan tetap di sini jagain kamu. Kamu istira
Beberapa hari yang lalu ...Malam itu Livia merasakan udara begitu dingin. Angin malam berembus dari celah-celah jendela. Membuat tubuhnya yang lelah bertambah menggigil.Livia duduk sendiri di sofa ruang tamu ditemani kesunyian. Ini adalah hari kelima Rajendra pergi dari rumah dan menginap di apartemen Utary. Sebelumnya Livia sempat mendengar pembicaraan Rajendra melalui telepon yang akan menjemput Utary ke bandara. Sebelum pergi Rajendra memberhentikan Asih lalu pergi membawa Randu dan tidak kembali hingga saat ini.Sambil menyelesaikan rajutan sweater untuk Rajendra yang tinggal sedikit lagi, Livia memegangi perutnya yang semakin berat. Bayi di dalam kandungannya sangat aktif bergerak. Namun kali ini setiap pergerakannya membuat Livia merasa sakit.Livia mengelus perutnya dan berujar pelan. "Kenapa, Nak? Kamu baik-baik aja kan, Sayang?"Lama kelamaan rasa sakit tersebut terasa semakin hebat, seperti gelombang besar yang menghantam tiba-tiba. Livia menggigit bibir, menahan erangan d
Livia mencengkeram sprei di sisi badannya. Napasnya sesak akibat mencoba menahan bobot tubuh Rajendra yang berada di atasnya. Lelaki itu terus bergerak. Menghujam dengan kencang dan menghentak dengan cepat. Membuat Livia melenguh kesakitan. Namun, apa Rajendra peduli? Tentu tidak. Lelaki itu sibuk menikmati sendiri tanpa mau tahu perasaan Livia. Hujaman tajam terus diberikan, hentakan demi hentakan Livia terima. Hanya lirihan perih yang terus terlontar dari bibirnya. Sampai tubuh Rajendra mengejang. Lelaki itu mendapat pelepasannya. Beberapa detik setelah sensasi itu pergi Rajendra menarik diri. Ia buru-buru mengenakan pakaiannya. "Pergi! Tidur di sofa!" perintah lelaki itu pada Livia yang masih berbaring di tempat tidur. Suaranya sedingin tatapannya. Livia cepat mengenakan pakaiannya atau Rajendra akan marah. Diambilnya tongkat yang tersandar di sisi tempat tidur kemudian berjalan terpincang-pincang menuju sofa. Di sanalah Livia tidur setiap malam. Lebih tepatnya sejak i...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments