Livia menatap lembaran uang yang dilempar Rajendra ke hadapannya dengan tatapan memburam akibat sepasang matanya yang berselimut kabut air mata. Hatinya sedih lantaran cara Rajendra memperlakukannya dan hanya menilainya sebatas uang.
"Kenapa diam? Masih kurang uangnya? Berapa lagi yang kamu butuh, hah?" Rajendra membuka lagi dompetnya, mengambil kembali sejumlah uang dari sana, melemparnya ke muka Livia. "Kenapa kamu jahat sama saya, Ndra? Salah saya apa?" tanya Livia lirih dengan air mata yang hampir berderai. Rajendra berdecih. "Masih bisa bertanya salahmu apa?" "Saya memang nggak tahu, Ndra." "Itu karena kamu bodoh!" sergah Rajendra melampiaskan segala sakit hatinya. "Sekarang suruh orang itu pergi. Aku nggak mau ngeliat dia menginjakkan kaki di rumahku lagi!" Livia cepat menggelengkan kepalanya. "Saya sudah terlanjur menerima uang dari Pak Ryuga," dustanya. Yang sebenarnya ia belum menerima sepeser pun dari Ryuga. Mereka baru sekadar berkenalan. "Kembalikan!" Kata bernada perintah itu diucapkan dengan tegas. "Nggak bisa, Ndra. Nggak enak. Saya yang malu jadinya." Mengetahui sang istri tidak mau mematuhi perintahnya membuat Rajendra bertambah dongkol. "Terbukti kalau kamu memang mata duitan. Lagian apa sih yang akan kamu lakukan? Mengajar? Gimana mau mengajar? Ngurus diri aja susah apalagi mengajar anak orang." "Soal kaki saya nggak ada hubungannya dengan ilmu yang akan saya berikan," jawab Livia membela diri. "Oh ya?" "Iya." Rajendra menaikkan dagunya. Menatap Livia lurus-lurus dengan sorotnya yang tegas. "Termasuk kalau aku yang melarangmu kamu tetap nggak akan mendengarkan?" "Kalau kamu bisa melakukan apa pun kenapa saya nggak boleh? Bahkan yang saya lakukan adalah hal yang positif. Saya hanya mengajar les. Sedangkan kamu menghamili perempuan lain. Saya baru akan mendengarkan kamu jika kamu berhenti berhubungan dengan dia." Rajendra tersenyum sinis. Pria itu memajukan langkahnya hingga jaraknya hanya seujung kuku dengan Livia. Kemudian dengan suaranya yang dingin ia mendesis tepat di depan muka Livia. "Dan itu nggak akan pernah terjadi. Aku akan menikahi Utary, paham?" Livia terdiam. Jika Rajendra akan menikahi Utary tapi tidak mau menceraikan Livia, apa itu artinya Livia akan menjadi istri kedua? Livia tidak mampu membayangkannya. Meskipun selama dua tahun ini Rajendra tidak pernah memperlakukannya dengan baik, Livia merasa keberatan membagi laki-laki itu dengan wanita lain. Sadar di luar sana Ryuga dan Hazel masih menunggu, Livia keluar dari kamar. Ia melihat sepasang ayah dan anak tersebut masih setia duduk di sana. Sejak Livia menampakkan dirinya kembali, Ryuga tidak henti menatapnya. Pria itu merasa prihatin melihat keadaan Livia yang berjalan terpincang-pincang. "Maaf, Pak, agak lama," ucap Livia tidak enak hati lantaran membiarkan tamunya menunggu. "Nggak apa-apa, Bu Livia. Jadi bagaimana? Kapan Hazel bisa mulai les?" "Besok sudah bisa ya, Pak. Jadwalnya tiga kali seminggu." "Baik, Bu Livia, mulai besok malam saya akan antar Hazel ke sini," jawab Ryuga. Pria itu berpamitan setelah memberikan sejumlah uang pada Livia. *** Pagi ini udara begitu dingin, tapi suasana ruang makan di rumah keluarga Rajendra jauh lebih dingin. Sejak pertengkaran semalam dengan Livia, Rajendra tidak berbicara. Begitu pun saat di ruang makan pagi ini. "Livia, siapa lelaki yang datang kemarin?" Marina bertanya tiba-tiba ketika Livia meletakkan teh di hadapan mertuanya itu. "Namanya Ryuga, Bu. Nama anaknya Hazel. Dia--" "Saya nggak nanya siapa nama mereka. Yang saya tanya siapa mereka? Apa tujuannya datang ke sini?" potong Marina sebelum Livia menuntaskan perkataannya. "Saya membuka les, Bu. Saya akan mengajar Hazel dan murid-murid lainnya kalau ada yang mendaftar." Marina terperanjat mendengar jawaban menantunya. "Apa maksud kamu? Apa uang dari Rajendra masih nggak cukup juga? Kamu jangan kayak orang susah. Apa nggak cukup jadi aib sehingga masih membuat malu keluarga ini lagi?" "Iya nih. Selalu aja bikin malu keluarga. Apa sih mau kamu?" Sherly ikut mencecar Livia. "Saya cuma mau mencari kegiatan positif," balas Livia menjawab orang-orang yang bertanya padanya. "Jadi kamu pikir semua yang kamu lakuin di rumah ini adalah kegiatan negatif? Ngurus rumah aja nggak beres mau sok-sok ngajarin anak orang. Sehebat apa sih kamu?" cecar Marina belum puas. Livia sengaja tidak menjawab karena setiap kali berdebat dan dirinya menjawab akan dianggap sebagai perlawanan. Jadi yang dilakukannya adalah meninggalkan ruang makan untuk mengerjakan pekerjaannya yang lain. Sebelum benar-benar menjauh dari tempat itu Livia masih sempat mendengar percakapan mertua dan suaminya. "Ndra, jangan diam aja dong! Lakukan sesuatu," suruh Marina. "Biar aja, Mi. Biar dia melakukan apa pun yang dia suka," kata Rajendra menanggapi. "Lho, gimana sih? Nanti yang ada dia bakal besar kepala dan bikin kita jadi lebih malu. Mami udah kenyang digosipin tetangga. Mami malu memiliki menantu cacat. Mami nggak mau lagi digosipin yang bukan-bukan. Kalau dia menerima murid les di sini, nanti tetangga akan bilang kalau kita kekurangan uang," tutur Marina menyampaikan kegelisahannya dengan wajah yang sangat gusar. "Percayalah, Mi, itu nggak akan bertahan lama. Nanti dia juga akan berhenti dengan sendirinya," tandas Rajendra menutup percakapan pagi itu. Lelaki itu yakin tidak akan ada orang yang mau berinteraksi lama-lama dengan orang cacat seperti istrinya. *** Rajendra baru tiba di kantornya. Visualnya yang gagah menarik perhatian orang-orang agar terus memandang padanya. Tidak sedikit para karyawannya mendambakan Rajendra bahkan menjadikan lelaki itu sebagai bahan fantasinya. Namun di antara begitu banyak wanita cantik entah kenapa Rajendra malah memilih perempuan cacat untuk menjadi istrinya. Tidak ada yang tahu alasan di balik semua itu kecuali keluarga dan orang-orang terdekat Rajendra. Bahkan pernikahannya dengan Livia juga diselenggarakan secara tertutup dan hanya dihadiri orang-orang tertentu. Itulah sebabnya Utary tidak tahu apa-apa. Langkah Rajendra berakhir ketika memasuki ruang kerjanya. Tepat di saat itu ia melihat Utary sudah berada di ruangannya. "Kapan kamu datang? Gimana caranya kamu masuk?" Itu pertanyaan pertama Rajendra. Memang tidak semua orang leluasa masuk ke ruangannya. Hanya Tasia, sekretarisnya yang ia percayai. Utary mengelus senyum lantas berdiri. Perempuan itu melangkah mendekati Rajendra. Dengan sedikit berjingkat dikecupnya pipi laki-laki itu. "Kenapa harus heran? Aku kan pacarmu. Apa aku juga harus minta izin untuk masuk ke ruanganmu?" Rajendra menghela napas. Kedatangan Utary sering-sering ke kantornya tidak akan baik bagi reputasinya. Orang-orang tahu Rajendra sudah menikah. "Tar, tolong jangan sering-sering ke sini." Utary langsung mendelik mendengar perkataan Rajendra. "Kenapa aku nggak boleh ke sini? Aku kan kangen kamu." "Tapi kamu bisa meneleponku, Tar. Atau aku yang datang mengunjungimu ke apartemen." "Iya deh, besok aku nggak akan ke sini lagi kalau mengganggu pekerjaanmu." Perempuan itu memberengut. Pura-pura merajuk. Rajendra tersenyum kecil. Dibelainya rambut Utary dan berkata, "Bukan itu maksudku. Kamu sama sekali nggak mengganggu. Tapi akan lebih baik kalau kita bertemu di luar." "Janji ya nanti pulang kerja kamu ke apartemenku?" tagih Utary dengan wajah yang masih cemberut. "Janji," jawab Rajendra sembari mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya ke udara. "Aku udah bilang belum sih?" "Soal apa?" "Dua minggu yang lalu aku ketemu Livia di supermarket. Nggak tahu kenapa dia nyerang aku tiba-tiba padahal aku nggak salah apa-apa. Dia mendorong troli ke perutku dengan kuat. Sakit banget, Ndraaa." Utary bersungut-sungut saat menyampaikan cerita yang sudah dimodifikasi dengan fitnah itu. Rajendra terkejut mendengarnya. "Perut kamu kena troli? Terus gimana? Kamu nggak apa-apa? Anak kita baik-baik aja kan?" Ia tak kuasa menyembunyikan perasaan cemas. "Aku nggak tahu, Ndra, aku belum ke dokter." "Sudah dua minggu tapi kamu biarin?" "Gimana mau ke dokter? Aku nggak punya uang. Kamu kan tahu aku baru habis resign." Utary memasang wajah sedih. Sebelumnya ia mengatakan pada Rajendra bahwa ia keluar dari tempat kerjanya lantaran selalu digoda oleh bosnya yang genit. "Harusnya kamu bilang dari awal kalau memang itu masalahnya." Rajendra menyayangkan sikap Utary yang tidak berterus terang. "Aku malu. Nanti kamu bilang aku matre." Rajendra berdecak. "Nggak mungkin aku bilang begitu." Kemudian Rajendra mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi M-banking. "Kamu butuh berapa, Tar?" tanyanya. "Terserah kamu. Tapi kalau bisa lebihin buat beli skincare ya, Ndra. Skincare aku udah habis," ucap perempuan itu malu-malu. "Oke." Dengan begitu ringannya Rajendra mentransfer uang sepuluh juta pada Utary lalu menunjukkan bukti transaksi yang membuat perempuan itu tersenyum lebar. *** Sepulang dari kantor yang dilakukan Rajendra adalah mencari Livia. Ia menemukan istrinya itu sedang bersiap-siap di kamar. Sebentar lagi Hazel akan datang. "Jadi kamu sengaja melakukan itu semua karena iri pada pacarku?" serang Rajendra langsung. Livia yang tidak mengerti apa-apa menatap lelaki itu keheranan. "Maksud kamu apa, Ndra?" Ia bertanya bingung. Sungguh, Livia tidak tahu kali ini Rajendra marah kenapa. "Jangan pura-pura bego. Bukan salah Utary kalau kamu nggak bisa hamil." Livia terdiam, mencoba mencerna ke mana arah pembicaraan suaminya. Dan ia masih belum paham. "Kamu sengaja mendorong troli hingga mengenai perut Utary untuk mencelakakan kandungannya. Begitu kan?" tuding Rajendra memperjelas. Perkataan Rajendra berhasil memulihkan ingatan Livia. Ia ingat sekarang kejadian dua minggu yang lalu di supermarket. "Saya nggak sengaja. Dia yang mengganggu saya duluan. Dia menghalangi jalan saya," jawab Livia mengatakan keadaan yang sejujurnya tanpa bermaksud membela diri. Bukannya percaya, Rajendra malah semakin muak karena ia menganggap Livia sengaja melakukan itu untuk mencelakakan anaknya yang berada di kandungan Utary. Tangan pria itu lantas naik mencengkeram bahu Livia. Diancamnya perempuan itu dengan tatapan tajamnya yang menusuk seperti biasa. "Awas kamu, Livia. Kalau terjadi sesuatu yang buruk pada anakku, aku nggak akan sungkan-sungkan untuk melakukan hal yang sama sampai kamu merasa menyesal sudah terlahir ke dunia ini." ***"Selamat malam, Bu Livia, saya mengantar Hazel les," kata Ryuga setelah Livia muncul dan duduk di hadapannya."Selamat malam, Pak Ryuga," jawab Livia ramah. Ekspresinya begitu ceria. Tidak ada yang tahu jika sesaat yang lalu Livia baru bertengkar hebat dengan suaminya. "Hazel silakan ditinggal ya, Pak. Nanti Bapak bisa jemput satu setengah jam lagi," sambung perempuan itu."Baiklah, Bu." Ryuga lantas berdiri, bersiap untuk pergi."Papa, jangan telat jemput aku ya, Pa," kata Hazel sebelum ayahnya meninggalkannya dengan Livia."Tentu, Sayang, Papa akan tepat waktu," janji pria itu.Sepeninggal Ryuga, Livia mengajak Hazel ke ruangan lain yang berada tepat di depan kamarnya. Di sanalah aktivitas belajar mengajar diselenggarakan.Hari pertama Livia mengajarkan matematika. Tadi Ryuga sempat bercerita padanya bahwa sang putri lemah dalam bidang pelajaran itu."Hazel, Bu Livia tinggal sebentar ya. Sekarang coba kamu kerjakan soal-soal ini dari nomor satu sampai sepuluh," kata Livia memberi in
Livia mencengkeram sprei di sisi badannya. Napasnya sesak akibat mencoba menahan bobot tubuh Rajendra yang berada di atasnya. Lelaki itu terus bergerak. Menghujam dengan kencang dan menghentak dengan cepat. Membuat Livia melenguh kesakitan. Namun, apa Rajendra peduli? Tentu tidak. Lelaki itu sibuk menikmati sendiri tanpa mau tahu perasaan Livia. Hujaman tajam terus diberikan, hentakan demi hentakan Livia terima. Hanya lirihan perih yang terus terlontar dari bibirnya. Sampai tubuh Rajendra mengejang. Lelaki itu mendapat pelepasannya. Beberapa detik setelah sensasi itu pergi Rajendra menarik diri. Ia buru-buru mengenakan pakaiannya. "Pergi! Tidur di sofa!" perintah lelaki itu pada Livia yang masih berbaring di tempat tidur. Suaranya sedingin tatapannya. Livia cepat mengenakan pakaiannya atau Rajendra akan marah. Diambilnya tongkat yang tersandar di sisi tempat tidur kemudian berjalan terpincang-pincang menuju sofa. Di sanalah Livia tidur setiap malam. Lebih tepatnya sejak i
Betapa terkejutnya Livia mendengar pengakuan perempuan yang kemudian ia ketahui bernama Utary itu.Bagaimana bisa perempuan itu hamil? Apa itu artinya Rajendra sudah mengkhianati Livia?Dengan hatinya yang hancur Livia menahan air matanya di depan Utary. Ia tidak boleh menangis menunjukkan kelemahannya."Nggak mungkin kamu mengandung anak Rajendra. Suami saya orangnya sangat setia. Dia nggak mungkin mengkhianati saya. Tolong jangan menipu.""Aku nggak menipu. Anak ini memang anak Rajendra. Kami melakukannya atas dasar perasaan cinta," ucap Utary bangga. "Justru aku yang harusnya meragukan kamu. Perempuan seperti kamu istrinya Rajendra? Nggak mungkin!" Utary memindai sekujur tubuh Livia dari puncak kepala hingga bawah kaki, menunjukkan betapa tidak percayanya dia. Perempuan itu terkejut ketika melihat Livia bertumpu pada sebuah tongkat. "Nggak mungkin kamu istrinya. Kamu hanya pembantu di rumah ini kan?" hinanya dengan pandangan merendahkan."Saya bukan pembantu. Saya istri Rajendra ya
Suara yang ditimbulkan kotak makan membuat Rajendra dan wanitanya terkejut. Keduanya sontak memisahkan diri setelah tadi larut dalam ciuman panas yang membara.Rajendra menggeram kesal menyadari Livialah yang datang. Apalagi perempuan itu langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Tadi saking asyik berciuman ia tidak tahu bahwa Livia sudah mengetuk pintu."Mau apa?" tanya lelaki itu dingin pada Livia yang berdiri membatu.Segala pertanyaan yang tersusun runut di benak Livia buyar begitu saja mengetahui perbuatan Rajendra dan wanita yang berciuman dengannya adalah Utary."Kamu lagi!" seru Utary jengkel. "Ndra, kenapa kamu biarkan perempuan itu datang ke sini? Tadi di rumah kamu dia mengaku-ngaku jadi istrimu. Tapi Tante Marina bilang dia hanya pembantu. Jadi mana yang benar?""Ya, dia hanya pembantu," kata Rendra menjawab sambil memandang Livia dengan tatapannya yang tajam. Ia benci Livia yang selalu saja datang ke kantornya untuk mengantar makanan.Hancur sudah hati Liv
Livia tidak punya tempat untuk berteduh. Ingin menginap di hotel tapi ia tidak punya uang lebih. Rajendra membatasi uang belanjanya yang hanya cukup untuk keperluan Livia sehari-hari. Jadi, Livia terpaksa pulang ke rumahnya setelah seharian ini berada di luar. Kepulangan Livia disambut oleh wajah masam mertuanya. "Dari mana kamu? Seharian keluar rumah sesukamu. Kamu pikir kamu siapa yang bisa seenaknya keluar masuk rumah ini?" "Maaf, Bu, tadi saya ke kantor mengantar makan siang untuk Rajendra." "Itu tadi siang. Apa kamu nggak tahu kalau sekarang sudah malam?" Livia hanya bisa menunduk mendengar perkataan mertuanya. Ia pikir dengan tidak meladeni Marina perempuan itu menganggap masalah selesai sampai di sana. Nyatanya Livia salah. Marina terus menyalahkannya. "Oh, jadi selain pincang kamu juga tuli sekarang?" kesalnya lantaran Livia tidak merespon perkataannya. Livia mengangkat wajah, mempertemukan tatapannya dengan sang mertua. "Maaf, Bu, saya salah," akunya tidak ingin
"Jangan harap. Itu nggak akan pernah terjadi. Bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku ingin melihatmu menderita seperti yang selama ini kurasakan." Perkataan Rajendra kemarin malam yang menolak untuk menceraikannya terus terngiang-ngiang oleh Livia dan terbawa sampai hari ini. Livia tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Rajendra bisa menderita? Lelaki itu mendapat apa pun dari Livia. Setiap kali Rajendra menginginkan tubuhnya Livia selalu bersedia. Pernah saat Livia sedang sakit ia tetap melayani Rajendra lantaran lelaki itu terus memaksa. Jadi, kalau pun ada yang menderita di dalam pernikahan ini, Livia adalah satu-satunya. Tapi, pernahkah Rajendra menyadari akan hal itu? "Aww!!!" Livia terpekik kesakitan. Akibat melamun tangannya jadi ikut teriris bersama bawang. Livia segera membersihkan jarinya yang berdarah dengan air di wastafel. Namun darahnya tetap keluar. Tadi ia mengiris terlalu kuat sehingga lukanya ikut dalam. 'Aku harus beli obat merah atau plester,' pik