Livia menatap lembaran uang yang dilempar Rajendra ke hadapannya dengan tatapan memburam akibat sepasang matanya yang berselimut kabut air mata. Hatinya sedih lantaran cara Rajendra memperlakukannya dan hanya menilainya sebatas uang.
"Kenapa diam? Masih kurang uangnya? Berapa lagi yang kamu butuh, hah?" Rajendra membuka lagi dompetnya, mengambil kembali sejumlah uang dari sana, melemparnya ke muka Livia. "Kenapa kamu jahat sama saya, Ndra? Salah saya apa?" tanya Livia lirih dengan air mata yang hampir berderai. Rajendra berdecih. "Masih bisa bertanya salahmu apa?" "Saya memang nggak tahu, Ndra." "Itu karena kamu bodoh!" sergah Rajendra melampiaskan segala sakit hatinya. "Sekarang suruh orang itu pergi. Aku nggak mau ngeliat dia menginjakkan kaki di rumahku lagi!" Livia cepat menggelengkan kepalanya. "Saya sudah terlanjur menerima uang dari Pak Ryuga," dustanya. Yang sebenarnya ia belum menerima sepeser pun dari Ryuga. Mereka baru sekadar berkenalan. "Kembalikan!" Kata bernada perintah itu diucapkan dengan tegas. "Nggak bisa, Ndra. Nggak enak. Saya yang malu jadinya." Mengetahui sang istri tidak mau mematuhi perintahnya membuat Rajendra bertambah dongkol. "Terbukti kalau kamu memang mata duitan. Lagian apa sih yang akan kamu lakukan? Mengajar? Gimana mau mengajar? Ngurus diri aja susah apalagi mengajar anak orang." "Soal kaki saya nggak ada hubungannya dengan ilmu yang akan saya berikan," jawab Livia membela diri. "Oh ya?" "Iya." Rajendra menaikkan dagunya. Menatap Livia lurus-lurus dengan sorotnya yang tegas. "Termasuk kalau aku yang melarangmu kamu tetap nggak akan mendengarkan?" "Kalau kamu bisa melakukan apa pun kenapa saya nggak boleh? Bahkan yang saya lakukan adalah hal yang positif. Saya hanya mengajar les. Sedangkan kamu menghamili perempuan lain. Saya baru akan mendengarkan kamu jika kamu berhenti berhubungan dengan dia." Rajendra tersenyum sinis. Pria itu memajukan langkahnya hingga jaraknya hanya seujung kuku dengan Livia. Kemudian dengan suaranya yang dingin ia mendesis tepat di depan muka Livia. "Dan itu nggak akan pernah terjadi. Aku akan menikahi Utary, paham?" Livia terdiam. Jika Rajendra akan menikahi Utary tapi tidak mau menceraikan Livia, apa itu artinya Livia akan menjadi istri kedua? Livia tidak mampu membayangkannya. Meskipun selama dua tahun ini Rajendra tidak pernah memperlakukannya dengan baik, Livia merasa keberatan membagi laki-laki itu dengan wanita lain. Sadar di luar sana Ryuga dan Hazel masih menunggu, Livia keluar dari kamar. Ia melihat sepasang ayah dan anak tersebut masih setia duduk di sana. Sejak Livia menampakkan dirinya kembali, Ryuga tidak henti menatapnya. Pria itu merasa prihatin melihat keadaan Livia yang berjalan terpincang-pincang. "Maaf, Pak, agak lama," ucap Livia tidak enak hati lantaran membiarkan tamunya menunggu. "Nggak apa-apa, Bu Livia. Jadi bagaimana? Kapan Hazel bisa mulai les?" "Besok sudah bisa ya, Pak. Jadwalnya tiga kali seminggu." "Baik, Bu Livia, mulai besok malam saya akan antar Hazel ke sini," jawab Ryuga. Pria itu berpamitan setelah memberikan sejumlah uang pada Livia. *** Pagi ini udara begitu dingin, tapi suasana ruang makan di rumah keluarga Rajendra jauh lebih dingin. Sejak pertengkaran semalam dengan Livia, Rajendra tidak berbicara. Begitu pun saat di ruang makan pagi ini. "Livia, siapa lelaki yang datang kemarin?" Marina bertanya tiba-tiba ketika Livia meletakkan teh di hadapan mertuanya itu. "Namanya Ryuga, Bu. Nama anaknya Hazel. Dia--" "Saya nggak nanya siapa nama mereka. Yang saya tanya siapa mereka? Apa tujuannya datang ke sini?" potong Marina sebelum Livia menuntaskan perkataannya. "Saya membuka les, Bu. Saya akan mengajar Hazel dan murid-murid lainnya kalau ada yang mendaftar." Marina terperanjat mendengar jawaban menantunya. "Apa maksud kamu? Apa uang dari Rajendra masih nggak cukup juga? Kamu jangan kayak orang susah. Apa nggak cukup jadi aib sehingga masih membuat malu keluarga ini lagi?" "Iya nih. Selalu aja bikin malu keluarga. Apa sih mau kamu?" Sherly ikut mencecar Livia. "Saya cuma mau mencari kegiatan positif," balas Livia menjawab orang-orang yang bertanya padanya. "Jadi kamu pikir semua yang kamu lakuin di rumah ini adalah kegiatan negatif? Ngurus rumah aja nggak beres mau sok-sok ngajarin anak orang. Sehebat apa sih kamu?" cecar Marina belum puas. Livia sengaja tidak menjawab karena setiap kali berdebat dan dirinya menjawab akan dianggap sebagai perlawanan. Jadi yang dilakukannya adalah meninggalkan ruang makan untuk mengerjakan pekerjaannya yang lain. Sebelum benar-benar menjauh dari tempat itu Livia masih sempat mendengar percakapan mertua dan suaminya. "Ndra, jangan diam aja dong! Lakukan sesuatu," suruh Marina. "Biar aja, Mi. Biar dia melakukan apa pun yang dia suka," kata Rajendra menanggapi. "Lho, gimana sih? Nanti yang ada dia bakal besar kepala dan bikin kita jadi lebih malu. Mami udah kenyang digosipin tetangga. Mami malu memiliki menantu cacat. Mami nggak mau lagi digosipin yang bukan-bukan. Kalau dia menerima murid les di sini, nanti tetangga akan bilang kalau kita kekurangan uang," tutur Marina menyampaikan kegelisahannya dengan wajah yang sangat gusar. "Percayalah, Mi, itu nggak akan bertahan lama. Nanti dia juga akan berhenti dengan sendirinya," tandas Rajendra menutup percakapan pagi itu. Lelaki itu yakin tidak akan ada orang yang mau berinteraksi lama-lama dengan orang cacat seperti istrinya. *** Rajendra baru tiba di kantornya. Visualnya yang gagah menarik perhatian orang-orang agar terus memandang padanya. Tidak sedikit para karyawannya mendambakan Rajendra bahkan menjadikan lelaki itu sebagai bahan fantasinya. Namun di antara begitu banyak wanita cantik entah kenapa Rajendra malah memilih perempuan cacat untuk menjadi istrinya. Tidak ada yang tahu alasan di balik semua itu kecuali keluarga dan orang-orang terdekat Rajendra. Bahkan pernikahannya dengan Livia juga diselenggarakan secara tertutup dan hanya dihadiri orang-orang tertentu. Itulah sebabnya Utary tidak tahu apa-apa. Langkah Rajendra berakhir ketika memasuki ruang kerjanya. Tepat di saat itu ia melihat Utary sudah berada di ruangannya. "Kapan kamu datang? Gimana caranya kamu masuk?" Itu pertanyaan pertama Rajendra. Memang tidak semua orang leluasa masuk ke ruangannya. Hanya Tasia, sekretarisnya yang ia percayai. Utary mengulas senyum lantas berdiri. Perempuan itu melangkah mendekati Rajendra. Dengan sedikit berjingkat dikecupnya pipi laki-laki itu. "Kenapa harus heran? Aku kan pacarmu. Apa aku juga harus minta izin untuk masuk ke ruanganmu?" Rajendra menghela napas. Kedatangan Utary sering-sering ke kantornya tidak akan baik bagi reputasinya. Orang-orang tahu Rajendra sudah menikah. "Tar, tolong jangan sering-sering ke sini." Utary langsung mendelik mendengar perkataan Rajendra. "Kenapa aku nggak boleh ke sini? Aku kan kangen kamu." "Tapi kamu bisa meneleponku, Tar. Atau aku yang datang mengunjungimu ke apartemen." "Iya deh, besok aku nggak akan ke sini lagi kalau mengganggu pekerjaanmu." Perempuan itu memberengut. Pura-pura merajuk. Rajendra tersenyum kecil. Dibelainya rambut Utary dan berkata, "Bukan itu maksudku. Kamu sama sekali nggak mengganggu. Tapi akan lebih baik kalau kita bertemu di luar." "Janji ya nanti pulang kerja kamu ke apartemenku?" tagih Utary dengan wajah yang masih cemberut. "Janji," jawab Rajendra sembari mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya ke udara. "Aku udah bilang belum sih?" "Soal apa?" "Dua minggu yang lalu aku ketemu Livia di supermarket. Nggak tahu kenapa dia nyerang aku tiba-tiba padahal aku nggak salah apa-apa. Dia mendorong troli ke perutku dengan kuat. Sakit banget, Ndraaa." Utary bersungut-sungut saat menyampaikan cerita yang sudah dimodifikasi dengan fitnah itu. Rajendra terkejut mendengarnya. "Perut kamu kena troli? Terus gimana? Kamu nggak apa-apa? Anak kita baik-baik aja kan?" Ia tak kuasa menyembunyikan perasaan cemas. "Aku nggak tahu, Ndra, aku belum ke dokter." "Sudah dua minggu tapi kamu biarin?" "Gimana mau ke dokter? Aku nggak punya uang. Kamu kan tahu aku baru habis resign." Utary memasang wajah sedih. Sebelumnya ia mengatakan pada Rajendra bahwa ia keluar dari tempat kerjanya lantaran selalu digoda oleh bosnya yang genit. "Harusnya kamu bilang dari awal kalau memang itu masalahnya." Rajendra menyayangkan sikap Utary yang tidak berterus terang. "Aku malu. Nanti kamu bilang aku matre." Rajendra berdecak. "Nggak mungkin aku bilang begitu." Kemudian Rajendra mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi M-banking. "Kamu butuh berapa, Tar?" tanyanya. "Terserah kamu. Tapi kalau bisa lebihin buat beli skincare ya, Ndra. Skincare aku udah habis," ucap perempuan itu malu-malu. "Oke." Dengan begitu ringannya Rajendra mentransfer uang sepuluh juta pada Utary lalu menunjukkan bukti transaksi yang membuat perempuan itu tersenyum lebar. *** Sepulang dari kantor yang dilakukan Rajendra adalah mencari Livia. Ia menemukan istrinya itu sedang bersiap-siap di kamar. Sebentar lagi Hazel akan datang. "Jadi kamu sengaja melakukan itu semua karena iri pada pacarku?" serang Rajendra langsung. Livia yang tidak mengerti apa-apa menatap lelaki itu keheranan. "Maksud kamu apa, Ndra?" Ia bertanya bingung. Sungguh, Livia tidak tahu kali ini Rajendra marah kenapa. "Jangan pura-pura bego. Bukan salah Utary kalau kamu nggak bisa hamil." Livia terdiam, mencoba mencerna ke mana arah pembicaraan suaminya. Dan ia masih belum paham. "Kamu sengaja mendorong troli hingga mengenai perut Utary untuk mencelakakan kandungannya. Begitu kan?" tuding Rajendra memperjelas. Perkataan Rajendra berhasil memulihkan ingatan Livia. Ia ingat sekarang kejadian dua minggu yang lalu di supermarket. "Saya nggak sengaja. Dia yang mengganggu saya duluan. Dia menghalangi jalan saya," jawab Livia mengatakan keadaan yang sejujurnya tanpa bermaksud membela diri. Bukannya percaya, Rajendra malah semakin muak karena ia menganggap Livia sengaja melakukan itu untuk mencelakakan anaknya yang berada di kandungan Utary. Tangan pria itu lantas naik mencengkeram bahu Livia. Diancamnya perempuan itu dengan tatapan tajamnya yang menusuk seperti biasa. "Awas kamu, Livia. Kalau terjadi sesuatu yang buruk pada anakku, aku nggak akan sungkan-sungkan untuk melakukan hal yang sama sampai kamu merasa menyesal sudah terlahir ke dunia ini." ***"Selamat malam, Bu Livia, saya mengantar Hazel les," kata Ryuga setelah Livia muncul dan duduk di hadapannya."Selamat malam, Pak Ryuga," jawab Livia ramah. Ekspresinya begitu ceria. Tidak ada yang tahu jika sesaat yang lalu Livia baru bertengkar hebat dengan suaminya. "Hazel silakan ditinggal ya, Pak. Nanti Bapak bisa jemput satu setengah jam lagi," sambung perempuan itu."Baiklah, Bu." Ryuga lantas berdiri, bersiap untuk pergi."Papa, jangan telat jemput aku ya, Pa," kata Hazel sebelum ayahnya meninggalkannya dengan Livia."Tentu, Sayang, Papa akan tepat waktu," janji pria itu.Sepeninggal Ryuga, Livia mengajak Hazel ke ruangan lain yang berada tepat di depan kamarnya. Di sanalah aktivitas belajar mengajar diselenggarakan.Hari pertama Livia mengajarkan matematika. Tadi Ryuga sempat bercerita padanya bahwa sang putri lemah dalam bidang pelajaran itu."Hazel, Bu Livia tinggal sebentar ya. Sekarang coba kamu kerjakan soal-soal ini dari nomor satu sampai sepuluh," kata Livia memberi in
Livia menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Sudah sejak tadi benda tersebut berada di dalam genggamannya. Livia melakukan itu hanya untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak salah lihat.Livia mengerjap berkali-kali dan ia mendapati hal yang sama. Di layar ponselnya terpampang dengan begitu nyata potret-potret yang memuat kemesraan Rajendra dengan Utary.Dada Livia sesak. Hatinya hancur. Batinnya terluka. Tidak ada yang lebih menyakiti Livia selain menyaksikan sendiri suaminya berbagi kehangatan dengan wanita lain. Livia lebih suka Rajendra membentak-bentaknya atau memperlakukannya dengan dingin ketimbang melihat kemesraan yang dipamerkan lelaki itu dan wanitanya.Ketika Livia akan menghubungi Rajendra sekali lagi untuk menanyakan maksud pria itu mengirim foto-foto tersebut, ponsel lelaki itu sudah mati. Livia tahu Rajendra sengaja melakukannya.Sampai keesokan pagi ketika Livia terbangun di sofanya yang dingin, ia tidak melihat Rajendra. Pria itu tidak ada di kasurnya yang besar. I
Tok tok tok ...Kelopak mata Livia terbuka dengan perlahan ketika telinganya mendengar ketukan keras di depan pintu.Tok tok tok ...Pintu kembali diketuk. Kali ini dengan ketukan yang lebih keras dan terkesan tidak sabar.Livia mengusap matanya mengusir kantuk yang masih menggayuti. Siapa yang sepagi ini mengetuk pintu kamarnya?Dengan berat hati Livia terpaksa bangun dari tidurnya. Diambilnya tongkat yang selalu berada di dekatnya kemudian melangkah dengan menumpukan badannya ke tongkat tersebut.Pintu Livia buka. Perempuan itu sedikit kaget begitu menyaksikan siapa yang saat ini sedang berdiri di hadapannya. Utary!"Mana Rajendra?" tanya Utary langsung."Dia masih tidur," jawab Livia. "Ada apa?"Utary tidak menjawab pertanyaan itu. Ia menerobos masuk ke kamar Livia dan naik ke tempat tidur di mana Rajendra berada."Ndra, bangun. Perut aku sakit." Utary membangunkan Rajendra dengan cara mengguncang-guncang tubuhnya.Rajendra menggumam tidak jelas sambil menggeliatkan badannya. Tetap
Setelah mengetahui siapa pria yang saat ini berada di hadapannya, dengan cepat Livia mengusap muka untuk menghapus air matanya. Ia juga berdiri."Pak Ryuga," sapa Livia pada Ryuga, lelaki yang saat ini berada di dekatnya. Livia malu karena kedapatan menangis. Ia harap Ryuga tidak mendengar curhatan hatinya tadi. Ryuga tersenyum pada Livia. "Lagi ziarah?" tanya pria itu."Iya, Pak. Ini makam ayah dan ibu saya.""Maaf, saya tidak tahu kalau kedua orang tua anda sudah meninggal.""Nggak apa-apa, Pak. Kejadiannya sudah lama berlalu."Ryuga mengangguk."Kalau Pak Ryuga sedang apa di sini?" Livia bertanya penasaran."Saya sedang melayat. Kebetulan ada kenalan yang meninggal." Ryuga menunjuk ke sudut pemakaman. Di sana masih ada beberapa pelayat yang tersisa.Livia menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Pak Ryuga, saya duluan ya.""Ibu pakai apa?""Rencananya pakai taksi.""Sudah dipesan taksinya?""Belum, Pak.""Apa Ibu Livia keberatan pulang bersama saya?" Ryuga menawarkan diri. Ryuga m
Ryuga melangkah mendekati Rajendra. Disapanya lelaki itu. "Selamat sore, saya mengantar Livia pulang. Tadi kebetulan bertemu di pemakaman." Jantung Livia menderu semakin kencang. Ia takut mendengar jawaban Rajendra. Bukan tidak mungkin lelaki itu akan bersikap kasar pada Ryuga. Dan itu akan membuat Livia malu. Ternyata kekhawatirannya tidak terjadi ketika detik setelahnya Rajendra hanya mengangguk tipis kemudian berlalu pergi meninggalkan Livia dan Ryuga. "Yang tadi suami kamu?" Ryuga menanyakannya ketika Rajendra baru saja berlalu. "Iya," jawab Livia. "Namanya Rajendra." "Baiklah. Saya permisi dulu." "Terima kasih sudah mengantar saya, Ryuga." "My pleasure, Livia." Kemudian Ryuga masuk ke mobilnya meninggalkan rumah Livia. Livia masuk ke dalam rumah untuk kemudian menuju kamarnya. Setibanya di kamar lagi-lagi ia menemukan Rajendra dengan tatapannya yang tidak menyenangkan. Lelaki itu tidak bicara, hanya sikapnya yang dingin pada Livia. Livia akan mengganti ba
"Yang benar saja, Ndra?" protes Livia tidak terima."Kalau kamu keberatan kamu bisa keluar. Tidur di kamar lain, jangan di sini!" usir Rajendra tegas.Livia menggelengkan kepalanya. Ia tidak mungkin pindah ke kamar lain dan membiarkan Utary tidur bersama suaminya. Apalagi mereka belum menikah."Saya nggak akan pergi, saya akan tetap di sini.""Kalau begitu jangan banyak protes. Ikuti saja apa yang kumau. Badan Utary panas, dan aku nggak mungkin membiarkannya tidur sendiri. Utary sedang mengandung anakku," tandas Rajendra tidak ingin diinterupsi.Livia hanya bisa membiarkan ketika Utary berbaring di tempat tidur. Rajendra ikut merebahkan tubuhnya di sebelahnya. "Masih panas banget badan kamu," kata Rajendra sambil meraba dahi Utary. "Minum obat ya, Tar?""Orang hamil nggak boleh sembarangan minum obat, Ndra. Harus konsultasi ke dokter dulu," jawab Utary menolak."Oke. Kalau gitu sekarang kamu istirahat."
"Tunggu apa lagi?" sergah Rajendra dengan keras pada Livia yang masih berdiri termangu di tempatnya. Entah apa yang perempuan itu nanti."Kenapa harus saya, Ndra? Kenapa harus saya yang menyediakan kompres dan membelikan obat untuk pacar kamu? Saya ini istrimu, Ndra. Apa kamu nggak memikirkan perasaan saya?" ujar Livia sedih sembari mencoba mengingatkan kembali posisinya kalau saja Rajendra lupa."Jangan pernah menyebut kata itu lagi. Kamu tahu persis aku menikahimu hanya karena terpaksa. Kamu hanya istri di atas kertas. Nggak lebih. Sekarang buruan siapkan kompres untuk Utary dan belikan obatnya," suruh Rajendra sekali lagi sambil melempar uang ke arah Livia. Kemudian lelaki itu masuk ke dalam kamar.Livia memungut uang yang diberikan Rajendra. Dilangkahkannya kaki ke ruang belakang untuk menyiapkan kompres seperti yang diperintahkan suaminya. Livia mengantarnya ke kamar. Lagi-lagi pemandangan yang disaksikannya di kamar tersebut membuat hatinya pedih bagai diiris sembilu. Rajendra s
"Kenapa lama?" Baru saja Livia menginjakkan kaki di dalam rumah ia langsung disambut oleh pertanyaan tersebut yang berasal dari mulut Rajendra."Tadi apotiknya tutup jadi saya mencari apotik lain," jawab Livia menyampaikan alasannya.Rajendra mendengkus. Tidak percaya pada alasan istrinya begitu saja."Siapa yang mengantarmu pulang?" tanyanya lagi meski ia tahu persis siapa lelaki yang mengantar istrinya."Kamu mengintip saya?""Bukan mengintip tapi suara mobilnya yang berisik membuat tidur kekasihku jadi terganggu."Livia tersenyum getir. Rajendra terlalu berlebihan. Suara mobil Ryuga tidaklah keras."Kenapa nggak dijawab? Siapa yang mengantarmu pulang?" "Kamu pasti tahu siapa yang mengantar saya. Bukankah kamu melihatnya sendiri?" Mendengar kalimat Livia yang terkesan sedang melawannya membuat amarah Rajendra semakin menjadi."Hanya perempuan murahan yang mau diantar lelaki asing.""Lebih murahan mana saya atau kekasihmu yang nggak tahu malu itu?"Tangan Rajendra sontak naik ke u
Perkataan Langit membuat langkah Rajendra terhenti. Rahangnya menegang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Langit seolah tahu caranya menusuk di tempat yang paling menyakitkan.Bersama napasnya yang menderu Rajendra memutar badan menghadap Langit. Tatapannya lebih tajam dari pisau, seakan hendak mengiris siapa pun yang berani menyakiti hatinya."Lo kalo ngomong hati-hati." Rajendra mengingatkan dengan nada penuh ancaman. Ia khawatir kalau saja ada orang yang berada di dekat mereka dan mendengar ucapan Langit tadi.Langit terkekeh. Tidak merasa gentar sama sekali. "Selow, Ndra. Gue kan cuma nanya. Kok lo jadi marah? Topiknya terlalu sensitif ya? Atau ..." Langit berhenti sesaat membiarkan pertanyaannya menggantung di udara. Kemudian ia kembali melanjutkan. "Lo mulai ngerasa bersalah sama Livia?"Geraman kecil keluar dari mulut Rajendra. Ia memang terusik mendengar nama Livia disebut. Tapi tidak mungkin ia menunjukkannya pada Langit."Urusannya apa sana lo?" Rajendra membalas de
Pagi hari saat Livia sedang bersiap-siap menyediakan sarapan ia mendengar tangisan Randu yang diiringi pekikan Utary."Ndraaa, bantuin aku dong! Randu nangis terus nih!"Tidak ada jawaban dari Rajendra karena pria itu juga sedang bersiap-siap di kamarnya untuk berangkat kerja."Rajendraaaa! Bantuin dong. Anak kamu nangis mulu nih!" Teriakan Utary menggema sekali lagi yang membuat Livia tidak tahan.Livia meninggalkan meja makan lalu meraih tongkatnya. Ia menuju kamar Utary.Livia menemukan Utary sedang duduk di tepi ranjang. Sedangkan si kecil Randu ia biarkan menangis di dalam box-nya."Tary, Randu kenapa?" tanya Livia baik-baik."Udah tahu nanya!" balas Utary sewot. "Lagian Rajendra yang aku panggil kenapa kamu yang ke sini?"Livia menahan napas sambil mencoba tetap bersabar menghadapi Utary meskipun kata-katanya terdengar kasar."Rajendra lagi siap-siap mau berangkat kerja. Mungkin sekarang baru selesai mandi."Kemudian Livia berjalan mendekat. Ia letakkan tongkatnya di samping tem
Utary telah kembali berada di rumah setelah dua hari dirawat di rumah sakit. Rumah menjadi lebih hidup oleh tangisan dan rengekan Randu. Rajendra juga jadi rajin pulang lebih cepat dari kantor. Hal pertama yang ia lakukan setiap kali tiba di rumah adalah mencari Randu. Ia menggendong anak itu dan menciuminya dengan kasih sayang.Hanya saja Livia merasa miris melihat Randu yang masih bayi tidak menerima ASI dari ibunya. Utary beralasan air susunya tidak ada. Padahal yang sebenarnya terjadi ia malas menyusui, begadang tengah malam dan khawatir bentuk payudaranya akan rusak.Setiap malam ketika tangisan keras Randu membangunkan seisi rumah, Utary selalu mengabaikannya. Perempuan itu tetap tidur atau beralasan kondisinya masih belum pulih dan dia berdalih harus banyak beristirahat.Rajendralah yang nengambil alih tugas Utary. Saat randu terbangun tengah malam ia yang mengurus sang putra sementara Utary tidur nyenyak karena mengaku kelelahan mengurus Randu saat siang.Mulai dari menggendon
Livia Mellanie duduk sendiri di bangku panjang lorong rumah sangkit. Tongkatnya ia sandarkan ke samping. Kedua tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuan. Pandangannya tertunduk menatap lantai putih rumah sakit. Ia berusaha menenangkan pikirannya yang kacau namun seribu tanya terus berputar-putar di kepalanya.Untuk apa aku di sini? Apa aku akan tetap bertahan? Sementara Rajendra sudah memiliki kehidupan yang lengkap dan begitu bahagia. Apakah ini saatnya untuk mundur? Apa lebih baik ia kabur saja ke tempat yang jauh?Derap langkah kaki yang mendekat membuat Livia mengangkat kepala dan memandang ke arah tersebut. Rajendra muncul. Ia tidak sendiri. Ada bayi mungil terbungkus selimut biru di dalam dekapannya. Livia bisa melihat dengan jelas betapa rona kebahagiaan menghiasi wajah Rajendra.Rajendra semakin mendekat ke arah Livia."Liv, ini anakku," ucapnya pelan sambil menunjukkannya pada Livia.Livia mengulas senyum. Dipandanginya Rajendra dan bayi yang sedang digendongnya. Bay
Livia yang masih terjaga dan asyik menciumi Rajendra tersentak ketika mendengar ketukan dan suara lirih di pintu. Semula ia mengira itu hanya halusinasinya lantaran terlalu lelah. Namun suara itu terus terdengar. Buru-buru Livia menjauhkan mulutnya dari kening Rajendra. Livia berdiri lalu berjalan menuju pintu dengan bantuan tongkatnya. Ketika daun pintu terbuka ia dibuat termangu oleh pemandangan yang dilihatnya.Kekasih suaminya sedang terbaring di lantai. Tubuhnya menggigil dan badannya basah oleh keringat. Sementara tangannya terus mengusap-usap perut."Tary!" seru Livia panik. "Kenapa begini?" Livia bersimpuh di dekat Utary mengamati keadaan wanita itu."Tolong ... aku, Liv. Perutku ... sakit ... banget ..." Utary merintih dengan suara putus-putus.Livia mencoba membantu Utary bangun namun ia juga tidak berdaya. Dengan segera ia kembali ke kamar untuk membangunkan Rajendra."Bangun, Ndra! Rajendra, bangun! Utary lagi kontraksi. Kayaknya dia bakal ngelahirin!" seru Livia panik. N
Livia dibuat termangu oleh permintaan Rajendra. Bibirnya setengah terbuka namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Livia menatap wajah Rajendra yang tampak lelah dengan mata yang hampir terpejam. Ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi ditelannya kembali.Jauh di dalam hatinya ada amarah yang mendidih, tetapi juga rasa sayang yang masih bertahta."Baik." Akhirnya Livia menjawab dengan suara yang hampir tak terdengar.Rajendra membalas dengan anggukan kepala, tidak menangkap perasaan apa pun yang terefleksi dari tatapan Livia. Ia segera menuju tempat tidur dan merebahkan tubuhnya. Dalam sekejap lelaki itu terlelap.Keluar dari kamar, Livia menujukan langkahnya ke kamar Utary. Diketuknya pintu dengan perlahan."Ngapain sih, Ndra, pake ketuk pintu segala?" Suara Utary terdengar dari dalam. Livia memutar gagang pintu dan mendorongnya. Tatapan Utary seketika berubah penuh kecurigaan ketika tahu Livialah yang datang. Tadinya ia pikir Rajendra."Rajendra mana?" Utary bertanya dengan nad
Livia terdiam memandangi Utary yang tersenyum dengan penuh kemenangan. Perkataan wanita itu menggema di kepalanya tanpa mampu ia singkirkan.Di sisi pahanya sebelah tangan Livia yang bebas terkepal. Dadanya terlalu sesak. Dengan keberanian yang mulai terkumpul Livia mengangkat dagu, mempertemukan tatapannya dengan mata Utary."Utary ..." Suara Livia begitu tenang. "Saya nggak akan peduli apa pun yang kamu katakan. Tapi satu hal yang jelas saya adalah istri Rajendra satu-satunya yang sah baik dari segi agama ataupun negara. Apa pun yang terjadi, posisi itu nggak akan berubah."Hati Utary panas mendengarnya namun perempuan itu menutupi dengan tawa. Tawa sinis yang terkesan meremehkan. "Kamu itu cuma istri di atas kertas, Livia. Sadar nggak sih? Sedangkan di hati Rajendra kamu bukan siapa-siapa."Puncak kemarahan Livia sudah sampai ubun-ubun tapi ia tetap berusaha menahan diri. "Dan apa kamu tahu apa yang nggak berubah dari Rajendra?"Dahi Utary berkerut. Ia bingung tapi tertarik ingin t
Sore ini Livia sedikit bersantai. Ketiadaan Utary di di rumah tersebut benar-benar membuatnya bebas dan lega. Livia tidak peduli sekarang Utary ada di mana. Yang penting tidak lagi berada di rumah itu.Saat Livia sedang asyik menonton berita sore ia mendengar suara mobil Rajendra. Tumben Rajendra pulang sore, pikirnya.Livia bangkit dari tempat duduknya, bergegas meraih tongkat kemudian berjalan terpincang-pincang untuk menyambut Rajendra. Ketika pintu rumah ia buka alangkah kagetnya Livia. Rajendra tidak sendiri. Lelaki itu membukakan pintu penumpang bagian depan. Utary keluar dari sana dengan wajah ceria. Selanjutnya Rajendra mengeluarkan kantong belanjaan dan barang-barang dari mobilnya. Rupanya mereka baru pulang membeli peralatan dan perlengkapan bayi.Mengetahui Utary telah kembali dada Livia terasa sesak. Kelegaan yang sempat hadir lenyap begitu saja. Kebebasannya seakan kembali direnggut. Dan ia harus kembali berbagi Rajendra."Kenapa masih berdiri di sana? Bantuin!" perintah
Pagi ini Livia terbangun jauh lebih awal dari hari-hari sebelumnya. Kehangatan tubuh Rajendra yang mendekapnya sepanjang malam masih dirasakannya. Dan untuk pertama kalinya Livia tidak merasa sendirian di ruangan itu.Kedua bola mata Livia mengamati wajah suaminya yang masih tertidur. Wajah Rajendra lebih damai dari biasanya. Jantung Livia berdebar-debar tak karuan, berharap kehangatan ini bertahan lebih lama.Sejurus kemudian keinginan itu dipengaruhi oleh keraguan. Apakah semua ini hanya berlangsung sesaat saja? Atau Rajendra benar-benar mulai menerima dirinya apa adanya?Di saat Livia bergerak untuk bangun dari tempat tidur, tangan Rajendra mengeratkan dekapannya. Suara lelaki itu pun terdengar yang sepertinya masih separuh sadar."Jangan bangun dulu," ujarnya.Livia langsung termangu. Ia tidak pernah mendengar nada selembut itu keluar dari mulut Rajendra untuknya."Kenapa nggak boleh bangun?" Livia tidak mengerti.Rajendra mengubur wajahnya di rambut Livia lalu menggumam pelan, "