"Livia! Bangun!" Sepasang mata Livia terbuka ketika ia mendengar suara keras suaminya. Tampak Rajendra sedang menatapnya dengan nyalang. Di dekat lelaki itu ada Utary yang sedang muntah.Livia mengusap matanya yang berat digayuti kantuk. Kemarin malam setelah dipaksa Rajendra Livia akhirnya tidur di kamar. Di sofa dinginnya seperti biasa. Livia baru bisa memejamkan matanya menjelang pukul tiga pagi. Itulah sebabnya kenapa ia masih merasa ngantuk."Bersiin itu terus buatin teh hangat untuk Utary," kata Rajendra memberi perintah.Livia menatap nanar pada lantai yang berserakan muntah Utary. Ia hanya bisa mengelus dada. Apa Utary tidak bisa muntah di kamar mandi?"Buruan! Tunggu apa lagi?!" bentak Rajendra melihat Livia diam termangu.Dengan matanya yang masih mengantuk Livia bangun dari sofa. Sambil bertumpu pada tongkatnya Livia terpincang seperti biasa. Namun akibat terburu-buru ia jatuh terpeleset."Aduh!" rintihnya sambil meringis kesakitan.Utary yang melihat pemandangan itu tert
Livia mengantar bubur untuk Utary. Tangan kanannya memegang tongkat sedangkan tangan kirinya membawa mangkuk. Ternyata Utary tidak ada di ruang makan. "Antar ke kamar, Utary ada di sana," kata Marina memberitahu.Livia membawa langkahnya ke kamar tamu. Ia pikir Utary sudah kembali ke sana. Nyatanya perempuan itu ada di kamar Livia dengan Rajendra.“Sorry ya, Liv, aku jadi merepotkan kamu.” Utary berujar lirih ketika Livia meletakkan nampan di atas nakas.“It’s okay, santai aja, Tar.” Meski pada awalnya Livia merasa berat melakukan ini semua, namun perempuan itu mencoba berdiri di sudut pandang lain. Anggap saja ia melakukannya untuk seorang teman agar hatinya bisa sedikit lebih ringan.“Sarapan dulu yuk, setelahnya baru minum obat,” ucap Rajendra sambil membantu Utary yang sedang berbaring agar duduk.Livia masih berada di sana menyaksikan Utary dengan gerakan gemulai duduk dengan punggung tersandar ke headboard. Sementara Rajendra mulai menyuapi kekasihnya itu.Suapan pertama baru s
"Livia, aku mau bicara!”Suara bariton milik Rajendra menahan langkah Livia. Perempuan itu lantas menoleh pada pemilik raut gagah yang mencegatnya.“Iya?”“Mau kabur ke mana kamu?”“Kabur?” Livia mengernyitkan dahi. Ia sama sekali tidak kabur atau melarikan diri. “Saya mau mencuci, masih banyak pekerjaan yang harus saya lakukan."Rajendra menarik langkah mendekati Livia kemudian berdiri tegak di hadapan perempuan itu lalu seperti biasa menyorot Livia dengan tatapan penuh intimidasi.“Jangan jadikan pekerjaan sebagai alasan atas kesalahan kamu.”“Kesalahan yang mana?” Livia sungguh tak mengerti Rajendra sedang membicarakan apa.“Jangan berpura-pura lugu. Kita sama-sama tahu apa yang sedang aku bicarakan.”Livia menahan napas saat menyadari yang dimaksudkan Rajendra adalah kekasihnya. Memangnya apa ada topik lain di antara mereka selain perempuan itu?“Jadi ini tentang Utary?”Rajendra mendengkus.“Kenapa dengan dia?”“Kamu sengaja meracuninya. Kamu bermaksud untuk mencelakai dia. Itu k
Hari itu kediaman Rajendra lebih ramai dari biasanya. Tamu-tamu berdatangan. Jejeran kendaraan berderet hingga menyesaki bibir jalan.Hari ini akan diselenggarakan pernikahan Marina dengan seorang pengusaha bernama Hendrawan. Kedua orangtua Rajendra memang sudah bercerai. Jika Marina sudah lama menjanda dan akan memulai hidup barunya hari ini, maka ayah kandung Rajendra sudah sejak lama menikah lagi.Wajah Marina tampak begitu semringah. Senyum manis terus terkembang di bibirnya. Wanita itu benar-benar bahagia. Terlebih setelah proses akad nikah dilangsungkan dan sepasang sejoli itu resmi dinyatakan sebagai suami istri.Setelah menikah Hendrawan berniat mengajak Marina ikut dengannya yang berarti Marina akan pergi dari rumah yang selama ini ia tempati.Livia tidak tahu harus senang atau sedih. Baginya terbebas dari kungkungan sang mertua adalah hal yang ia impikan sejak lama. Namun jika Marina pergi itu artinya Livia akan tinggal bertiga dengan Rajendra dan juga Utary karena Sherly
"Yang bener dong, Liv, bercandanya jangan kelewatan," kata Langit setelah mampu menguasai rasa terkejutnya.Livia tersenyum getir. Langit tentu tidak akan percaya pada kata-katanya."Saya nggak bercanda, yang saya katakan itu fakta."Langit semakin kaget oleh ucapan yang terlontar dari mulut Livia. Bagaimana mungkin Rajendra memiliki kekasih di saat lelaki itu sudah menikah dengan Livia?"Nggak hanya itu saja, Rajendra juga mengajak kekasihnya tinggal satu rumah dengan kami," imbuh Livia menambahkan.Langit tidak bisa untuk lebih terkejut lagi. Wajah lelaki itu berubah dalam hitungan detik, menciptakan ekspresi tidak mengerti dan rasa marah yang mendalam."Kenapa kamu biarkan ini terjadi? Kenapa kamu biarkan suami kamu membawa wanita lain ke dalam rumah kalian?”"Utary sedang hamil dan Rajendra merasa harus bertanggungjawab jawab.""Hamil? Astaga!" Langit tidak tahu harus berkata apa lagi setelah mengetahuinya. Ia benar-benar syok. Ternyata sepupunya sebrengsek itu. "Tapi bukan berar
Suasana rumah terasa sepi. Tidak ada lagi celotehan Marina serta ocehan Sherly. Setelah resmi menikah tadi siang Marina ikut dengan suaminya yang kaya-raya. Begitu pun dengan Sherly.Otomatis di rumah tersebut hanya tinggal Livia, Rajendra serta Utary. Lingkungan tempat tinggal mereka memang individualis. Semua orang sibuk dengan diri masing-masing dan tidak pernah mau tahu urusan orang lain selagi tidak mengganggu. Jadi Livia pikir percuma saja jika dirinya melapor pada RT apalagi keluarga Rajendra adalah keluarga terhormat yang disegani masyarakat sekitar.Saat ini Livia sedang berdiri di depan kamar Marina. Pintu kamar mertuanya itu dikunci. Begitu pun dengan kamar Sherly. Walau keduanya sudah pindah dari sana namun tidak seorang pun boleh menempati kamar tersebut.Livia menghela napas kemudian di saat ia akan bergerak pergi meninggalkan kedua kamar itu ia mendengar dehaman seseorang."Mau cari apa di sini?" Livia terperanjat dan seketika menoleh. Rajendra sudah berada di dekatnya
Livia refleks memutar tubuhnya ke belakang ketika mendengar suara Rajendra. Ternyata pria itu sudah bangun dan saat ini tengah menatapnya."Saya mau berangkat kerja.""Apa? Kerja?"Rajendra ingin tertawa sekarang. Hanya bekerja di dapur dan membersihkan rumah Livia sampai berpenampilan serapi itu seolah akan bekerja di kantor."Kamu salah makan apa?" Livia mengernyitkan dahinya tidak mengerti apa maksud perkataan suaminya. Jadi, ia pun menanyakannya. "Maksud kamu apa, Ndra?""Hanya bekerja di dapur kamu sampai berpakaian seperti itu." Rajendra menahan geli oleh keanehan Livia."Saya nggak bekerja di dapur. Saya bekerja di kantor. Mulai hari ini saya akan bekerja di kantor Langit."Ekspresi Rajendra sontak berubah mendengar pembeberan Livia. "Jangan bercanda kamu, Livia.""Saya nggak bercanda. Langit mengajak saya bekerja di kantornya jadi saya terima tawaran itu."Rajendra terkejut mendengar penjelasan Livia. Dari ekspresinya perempuan itu terlihat bersungguh-sungguh. Tidak. Ini ti
Taksi yang membawa Livia menurunkannya tepat di depan Decamica Building. Bangunan tersebut adalah milik Bentala Group, perusahaan milik Rajendra. Namun di gedung puluhan lantai itu banyak perusahaan yang berkantor, di antaranya adalah PT. Cakrawala Hira, perusahaan yang dipimpin oleh Langit.Livia mengeluarkan ponselnya. Ia bermaksud menghubungi Langit untuk memberitahu mengenai kedatangannya."Halo, Livia." Langit langsung menjawab setelah deringan pertama."Pagi, Langit, saya sudah di lobi.""Langsung ke lantai 17 ya. Kantorku ada di sana.""Baik." Livia menutup telepon tersebut.Di lobi yang luas itu pemandangan hilir mudik orang-orang adalah hal yang biasa. Namun Livia yang melangkah terpincang-pincang dengan tongkatnya adalah hal yang aneh dan begitu menarik perhatian orang-orang. Otomatis atensi mereka tertuju pada Livia.Saat Livia melirik ke arah resepsionis, dua orang perempuan di sana terlihat sedang berbisik-bisik sambil tertawa. Mereka adalah orang yang sama saat Livia me
Javier turun dari mobilnya. Hari itu lelaki tersebut berpenampilan casual menggunakan celana jeans dan kaos Polo berwarna navy."Ada tamu, Liv?" tanya pria itu pada Livia yang menyambutnya.Livia mengangguk."Siapa?" Javier memandang ke arah rumah."Rajendra. Sekarang lagi mancing sama Gadis dan dua anak lainnya di belakang."Ekspresi Javier berubah dalam hitungan detik mendengar informasi itu."Kamu gimana sih, Liv? Katanya hari ini kita mau jalan ke mall.""Sorry, Jav. Aku juga nggak tahu kalau Rajendra bakal ke sini. Dia yang bikin janji sama Gadis. Dan Gadis nggak bilang ke aku."Javier berdecak kesal karena Rajendra merusak rencananya. Sejak lelaki itu hadir, hubungannya dengan Livia dan Gadis menjadi kacau."Sekarang panggil Gadis, kita pergi." Javier memerintah."Nggak bisa begitu, Jav. Gadis lagi quality time sama papanya. Aku nggak mungkin tiba-tiba ngerusak kebahagiaan dia. Dia lagi happy-happy-nya.""Kalau begitu kita pergi berdua.""Sorry, Jav. Aku nggak mungkin ninggalin
Pagi itu halaman rumah Livia diterpa cahaya matahari dengan hangat. Gadis asyik membantu Livia menyiram bunga di halaman.Ketika suara mobil terdengar berhenti di luar pagar awalnya Gadis tidak peduli siapa yang datang. Ia pikir teman Livia atau siapa. Namun ketika tahu itu Rajendra, Gadis langsung berseru riang. "Papa!" dan langsung berlari ke arah mobil Rajendra.Livia yang sedang membersihkan halaman rumah ikut memandang ke arah itu. Ia tidak tahu apa maksud kedatangan Rajendra hari ini. Apalagi dengan membawa Randu dan Lunetta."Papa kok ke sini nggak bilang-bilang Adis dulu?" Gadis mendongak penuh rasa penasaran."Kan Papa udah janji hari Minggu kita mau mancing di kolam belakang. Adis lupa ya?""Oh iya ya. Adis baru ingat." Gadis melompat kegirangan.Livia menghela napas pelan melihat Rajendra mengambil alat pancingnya dari bak belakang pick up double cabin. Apalagi lelaki itu juga membawa dua anaknya yang lain."Sini Adis bawa, Pa," ujar Gadis antusias.Rajendra memberi satu p
Ketika Javier berkata akan membantu mengurus perceraian, Livia hanya diam. Jemarinya saling bertautan di atas pangkuannya, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. Semestinya ia merasa lega. Perceraian tersebut adalah akhir dari segala keterikatan dengan Rajendra. Tapi kenapa hatinya justru terasa berat?Livia menatap ke luar jendela mobil dengan sorot kosong. Dadanya semakin terasa sesak."Aku akan bantu kamu bicara sama pengacara," kata Javier yang masih fokus menyetir.Livia mengambil napas dalam. "Javier ..." Ia menggigit bibir, merasa ragu untuk melanjutkan perkataannya."Ya.""Kamu yakin perceraian ini adalah jalan terbaik untukku?""Sure. Setelah semua derita yang kamu alami kamu berhak mendapatkan yang terbaik. Kamu sudah terlalu lama menderita."Terlalu lama menderita.Kalimat itu seharusnya menyadarkan Livia. Menjadi pengingat bahwa Rajendra pernah menyakitinya begitu dalam. Tapi kenapa di dalam hatinya ada suara yang membisikkan bahwa ia masih harus bertahan?Bahwa ia
Di dalam mobil Rajendra, Randu dan Gadis duduk di kursi belakang sambil bersenda gurau. Sementara Lunetta menatap keduanya dengan perasaan tidak senang. Lunetta tidak suka melihat kedekatan Randu dan Gadis. Gadis seolah sedang mengambil Randu darinya. Gadis yang baru saja masuk ke dalam hidup mereka kini seolah mengambil tempat Lunetta di hati Randu."Bang Randu mau nggak main ke rumah Adis?" tanya Gadis setelah mereka puas bersenda gurau. Ia tertawa kecil dengan mata dipenuhi binar. "Di belakang rumah Adis ada kolam ikan. Kita bisa ambil ikannya terus digoreng deh.""Oh ya?" Randu tampak tertarik.Gadis mengangguk-angguk. "Ikannya udah gede-gede lho, Bang. Dulu Om Jav yang beli bibitnya."Rajendra yang mendengar obrolan keduanya sejak tadi mengembuskan napas. Lagi-lagi Om Jav. Tampaknya Lelaki itu yang selalu berjasa dalam hidup Livia dan Gadis. Perannya begitu besar terutama dalam pertumbuhan Gadis."Terus gimana cara kita tangkap ikannya?" Randu tampak berpikir."Kan bisa dipancin
"Papa, kita ke mana? Kok jalannya bukan jalan ke sekolah?" tanya Lunetta begitu mereka berbelok ke sebelah kiri di perempatan lalu lintas. Biasanya jalan ke sekolah mereka adalah lurus."Kita jemput Gadis dulu ya," jawab Rajendra yang sedang menyetir.Lunetta berdecak mendengarnya. "Emang dia siapa sih, Pa? Kenapa harus pergi sekolah sama kita?""Lunetta, Papa kan udah bilang kalau Gadis itu saudara kalian juga. Dia juga anak Papa," kata Rajendra memberi pengertian.Lunetta langsung memberengut dan membuang pandangannya ke jalan."Jangan ngambek dong. Gadis itu anak baik. Kamu belum nyoba main sama dia kan?" Rajendra tersenyum sambil mengelus rambut Lunetta.Sementara Randu yang duduk di belakang tidak banyak protes. Ia tidak menganggap Gadis sebagai saingannya. Hanya merasa heran atas semua kejadian yang tiba-tiba ini. Tiba-tiba punya saudara, tiba-tiba menjadi keluarga.Mobil Rajendra berhenti tepat di depan rumah Livia. Dari arah berlawanan sebuah Range Rover hitam ikut berhenti. D
Livia baru saja menemani Gadis menggosok gigi dan mengganti piyama. Sekarang mereka berbaring di tempat tidur ditemani oleh lampu tidur yang redup. Gadis memeluk boneka Mashanya dengan erat."Bunda ...," panggil Gadis pelan."Iya, Sayang?" Livia menjawab sambil menyibak rambut Gadis yang menutupi sedikit wajahnya."Apa benar Papa Rajendra itu papanya Adis? Kenapa Bunda bilang kalau papanya Adis udah meninggal?"Livia terdiam sesaat. Pertanyaan tersebut datang lebih cepat dari yang ia kira. Matanya menatap wajah Gadis yang polos tapi penuh rasa ingin tahu. Gadis memang masih kecil. Tapi banyak pertanyaan-pertanyaannya yang tidak mampu Livia jawab."Bunda ..." Gadis menggoyangkan tangan Livia dengan pelan, menunggu jawaban.Livia menelan saliva lalu mencoba merangkai kata-kata. "Sayang, dulu Bunda kira Papa memang sudah meninggal soalnya Papa dan Bunda sangat lama berpisah, tapi ternyata Papanya Adis masih hidup.""Jadi Bunda bohongin Adis?" Gadis mengerutkan keningnya."Nggak, Sayang.
Livia dan Rajendra sama kagetnya melihat keberadaan Gadis. Entah apa yang membuat anak itu terbangun."Livia, please, jangan sampai kita bertengkar di depan Gadis," bisik Rajendra pelan sebelum kemudian tersenyum pada Gadis.Rajendra yang sejak tadi berdiri di sisi pintu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah Livia.Rajendra bersimpuh sambil mengembangkan tangannya untuk memeluk Gadis. Namun ketika melihat tatapan tajam sang bunda, Gadis yang juga hendak memeluk Rajendra mengurungkan niatnya. Anak itu masih berdiri kaku di tempatnya dan terlihat takut pada Livia.Livia melangkah mendekat kemudian bertanya pada Gadis. "Adis kenapa bangun? Ayo tidur lagi, Nak. ""Adis lapar, Nda. Adis mau makan." Gadis kecil itu memegang perutnya.Livia mengesahkan napas. Ia baru ingat tidak ada makanan untuk makan malam. Hari ini lantaran pekerjaannya terlalu banyak ia tidak sempat memasak."Kebetulan kalau gitu. Papa juga belum makan. Kita makan di luar yuk, Dis? Papa lapar nih," ucap Rajendra yan
Cukup lama Rajendra menanti sampai mobil Javier bergerak pergi dari rumah Livia."Shit! Entah apa yang dia lakukan di sana," umpat Rajendra memaki. Rasanya ia kesal sekali. Sudah sejak tadi ia menanti bermeter-meter dari rumah Livia, ia menunggu di bawah pohon rindang.Rajendra menarik hand brake. Kemudian mobilnya bergerak pelan menuju rumah Livia.Turun dari mobil, Rajendra mengedarkan matanya ke sekeliling. Suasana halaman rumah itu persis yang digambar Gadis di bukunya.Ragu-ragu tangan Rajendra terangkat hendak mengetuk pintu. Benaknya memetakan beberapa kemungkinan.Apa yang akan Livia lakukan jika nanti melihat Rajendralah yang datang?Apa nanti Livia akan mengusirnya? Mengata-ngatainya? Atau menerimanya dengan baik-baik?Atau sebaiknya ia menunggu waktu yang tepat untuk berkunjung ke rumah itu?Tidak. Ia tidak perlu menunda apa pun. Karena waktu yang tepat adalah saat ini. Semakin cepat akan semakin bagus.Maka yang kemudian Rajendra lakukan adalah memberanikan diri mengetuk p
Javier menarik napasnya dalam-dalam sebelum mulai bicara pada Livia."Liv, aku mohon kamu jujur. Sebenarnya siapa Rajendra?"Livia agak terkejut mendengar perkataan Javier. Jantungnya berdegup cepat.Tapi ia mencoba untuk tetap tenang seolah sesuatu yang barusan didengarnya adalah hal yang biasa."Rajendra mana ya, Jav?"Mendengarnya, Javier tersenyum asimetris. Ia salut pada Livia yang cukup pandai berpura-pura dalam hal ini."Rajendra Geraldy. Kompetitor bisnisku. Orang yang kita temui di hari pertama Gadis sekolah dan langsung mengenalmu tapi kamu pura-pura nggak kenal."Kata-kata 'pura-pura nggak kenal' membidik Livia tepat pada sasaran. Membuatnya merasa harus jujur mengenai semuanya pada Javier."Mungkin kamu ingin cerita sesuatu padaku mengenai Rajendra," pancing Javier.Livia terdiam cukup lama. Batinnya berkecamuk. Ia rasa tiada gunanya lagi menyembunyikan fakta itu dari Javier. Javier bukan orang bodoh. Lelaki itu tidak bisa lagi dikibuli."Rajendra adalah masa lalu yang sud