Langit tertegun beberapa detik mengetahui telepon tersebut dari Rajendra. Ia berpikir lebih baik nanti saja diterimanya telepon itu. Maka Langit mengembalikan ponselnya ke dalam saku."Kenapa nggak dijawab? Saya akan keluar kalau telepon itu penting," ujar Livia. "Saya nggak akan nguping."Langit terkekeh mendengar perkataan istri sepupunya. "Kalau kamu dengar juga nggak apa-apa. Masalahnya itu bukan telepon penting." Lalu Langit buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Oh ya, Livia, aku akan mengenalkanmu pada sekretarisku."Livia mengangguk.Langit mengangkat gagang telepon lalu meminta seseorang datang ke ruangannya."Sasa, ke ruangan saya sekarang," perintah pria itu tegas dan berwibawa.Tidak sampai satu menit sesosok perempuan muncul. Ia mengenakan blouse merah jambu dan rok selutut."Sasa, kenalkan ini Livia. Dia yang akan menggantikan posisi Sari. Tolong kamu tunjukkan padanya job desc-nya apa saja dan bantu jika ada kesulitan.""Baik, Pak Langit," jawab sekretaris Langit itu patuh
Pintu ruangan divisi pemasaran terbuka bersamaan dengan hadirnya sosok Langit. Mendadak semua yang ada di dalam ruangan tersebut menoleh ke arah yang sama, kecuali Livia. Livia sibuk dengan pekerjaannya menginput data."Nggak pada makan siang?" tanya Langit pada bawahannya."Iya, Pak, sebentar lagi." Poppy yang menjawab sembari berpura-pura sibuk menata kertas di atas meja. Begitu pun dengan Chika dan Linda, mendadak mereka jadi tampak sibuk padahal sesaat yang lalu ketiganya duduk santai di kursi masing-masing sambil mengobrol dan sesekali menyindir Livia."Makan siang aja dulu, udah jam istirahat. Nanti dilanjutkan kembali," suruh Langit."Baik, Pak."Ketiganya bangkit dari tempat duduk mereka lalu keluar satu demi satu setelah menyapa langit dengan sopan.Langit lantas menarik langkahnya mendekati Livia yang masih berada di kursinya."Liv, ayo makan siang dulu," ajaknya."Sebentar, Lang, tinggal dikit lagi. Nanggung." Livia menunjukkan sheet di layar komputer yang sedang dikerjakan
Seketika tubuh Livia membeku. Wajahnya pun memucat mengetahui siapa lelaki yang berada di hadapannya lalu masuk ke dalam lift, bergabung bersamanya dan Langit.Rajendra!"Hai, Ndra, nggak nyangka bakal ketemu di sini," sapa Langit dengan santai seolah tadi tidak terjadi perdebatan apa pun di antara mereka."Lift ini milik umum jadi siapa pun bisa menggunakannya," jawab Rajendra dingin. Lelaki itu lalu melirik ke arah Livia. Livia membalas tatapan tajam Rajendra. Saking tajamnya seolah akan membelah tubuh Livia.Selama beberapa saat suasana terasa canggung. Rajendra ingin memarahi Livia namun ada Langit di sana yang ia yakini pasti akan membela Livia."Ndra, gue sama Livia mau makan siang bareng. Lo mau gabung sekalian sama kita?" Langit memecah kebekuan dengan bertanya pada Rajendra."Gue udah ada janji sama Utary. Mau kontrol kandungan." Nada suara Rajendra masih sedingin tadi.Mendengar nama perempuan itu disebut Livia menelan salivanya. Rajendra pasti sedang berbahagia karena sebe
Livia masih termangu dengan handphone yang berada di tangannya.Apa Rajendra tidak salah menghubunginya? Tapi kenapa? Apa lelaki itu salah tujuan, salah pencet atau ketidaksengajaan lainnya?"Silakan diterima teleponnya dulu," kata Langit menyilakan kala melihat Livia tertegun menyaksikan layar ponselnya.Livia memberi jawaban anggukan kepala."Halo, Ndra," sapanya pelan."Kamu di mana?" Suara di ujung telepon bertanya tanpa berbasa-basi."Di luar.""Di luar itu banyak.""Masih di jalan mau pergi makan.” Livia mengatakan dengan jujur agar suaminya itu puas.“Jadi ini alasan kamu pengen kerja dan ngotot ngelawan aku biar bisa pergi sama laki-laki lain?" suara Rajendra meningkat drastis. Livia terdiam sebentar. Ia tidak paham kenapa Rajendra marah-marah padanya. Lantaran tidak ingin bertengkar Livia memutuskan untuk mengakhiri panggilan tersebut."Ndra, udah dulu ya." Tanpa menunggu jawaban dari suaminya langsung saja Livia memutuskan sambungan telepon yang membuat Rajendra kesal sete
Hari ini cukup menyenangkan bagi Livia. Ia mendapat pengalaman baru bekerja di kantor Langit yang juga mengurangi interaksinya dengan Utary."Biar aku yang mengantarmu pulang, Liv," suara itu terdengar kala Livia sedang menunggu taksi di depan lobi.Livia lantas menoleh dan mendapati Langit sudah berada di sebelahnya."Eh, Lang. Saya naik taksi saja," jawab Livia menolak. Tidak enak jika dilihat para pegawai yang lainnya."Ayolah, Liv, jangan menolak. Pada jam segini biasanya susah dapat taksi."Saat itu sore hari bertepatan dengan jam pulang kerja para pekerja kantoran. Livia pikir yang dikatakan Langit ada benarnya juga. Buktinya sejak tadi belum ada driver yang mengambil orderan Livia. Jadi ia pun menerima tawaran Langit yang ingin mengantarnya pulang.Ketika Livia akan masuk ke mobil Langit tanpa sengaja ia melihat trio julid sedang memerhatikannya. Entah apa yang ada di pikiran para perempuan itu."Gimana kerja hari ini?" Langit bertanya seiring roda mobil yang berputar di jalan
Livia disambut oleh tampang masam Rajendra ketika memasuki rumah. Livia pura-pura tidak melihat. Ia meneruskan gerakannya meletakkan tas dan membuka jam tangan. Ia bermaksud istirahat sebentar lalu mandi."Apa kamu nggak malu?" Suara Rajendra terdengar olehnya dan berhasil membuat Livia menoleh."Malu kenapa?""Kamu kerja di kantor dengan keadaan seperti itu," jawab Rajendra sambil melirik kaki Livia lalu beralih menatap tongkat perempuan itu. "Tolong pertimbangkan juga reputasiku.""Reputasi?" Livia tersenyum awkward. "Reputasi apa yang harus saya jaga jika kamu sendiri yang merusaknya."Rajendra menarik langkah lebih dekat dengan Livia. Tubuh menjulangnya berada tepat di depan wanita itu. Jarak mereka tidak lebih dari satu jengkal."Apa maksudmu?" Rajendra mendesis dingin."Apa kamu nggak berpikir? Dengan membawa kekasihmu tinggal bersama kita ke sini akan merusak nama baik dan reputasimu?""Aku nggak perlu memikirkan apa-apa. Sudah kubilang kan kalau Utary tanggung jawabku?""Ya su
"Maaf ya, Livia, saya sampai merepotkan kamu," ujar Ryuga setelah mereka berada di dalam mobil lelaki itu.Walau Rajendra melarang dengan keras Livia tetap teguh pada keinginannya. Apalagi mereka telah membuat kesepakatan. Rajendra boleh membawa Utary tinggal di rumah mereka dan Livia akan melayaninya seperti yang ia lakukan pada Rajendra dengan syarat Rajendra tidak menghalangi Livia untuk beraktivitas di luar."Nggak apa-apa, Ryuga, nggak repot kok." Livia malah senang ia bisa lebih sering pergi dari rumah sehingga tidak melihat kemesraan Rajendra dan Utary."Soal biaya saya akan bayar dua kali lipat. Nanti sisanya saya transfer ke rekening kamu ya. Tolong kirim via chat nomor rekening kamu." "Nggak perlu, Ryuga. Jangan ditambah lagi. Itu semua sudah cukup," jawab Livia menolak."Tapi waktu kamu jadi banyak terbuang, belum lagi untuk transportasi.""Bukan masalah. Saya malah senang daripada di rumah terus. Saya ada ide, gimana kalau ke depannya lesnya diadakan di rumah kamu? Jadi s
Livia cukup terkejut mendengar perkataan Ryuga. Sampai-sampai ia merasa perlu untuk meraba telinganya sendiri demi meyakinkan diri bahwa ia tidak salah dengar."Tolong bilang sama dia mohon menunggu setengah jam lagi. Atau kalau terlalu lama suruh dia pulang duluan. Nanti saya akan pulang sendiri," kata Livia menjawab perkataan Ryuga.Ryuga mengangguk pelan lalu kembali ke beranda, tempat Rajendra menunggu. Ryuga tidak mungkin membiarkan Livia pulang sendiri. Jadi yang dikatakannya pada Rajendra adalah, "Livia harus mengajar setengah jam lagi. Dia bilang kalau terlalu lama menunggu silakan pulang dulu, nanti biar saya yang mengantarnya."Rajendra mengepalkan tangannya di sisi paha mendengar penolakan Livia yang disampaikan melalui Ryuga."Saya tunggu dia saja," putusnya."Silakan. Mau minum apa?" "Nggak usah, terima kasih."Ryuga ikut duduk di kursi dekat Rajendra. Mereka hanya dipisahkan oleh sebuah meja persegi sebagai pembatas."Rokok?" tawar Ryuga setelah mengeluarkan kotak rokok
"Memangnya dia siapa sih, Pa? Kenapa harus pulang dengan kita dan ikut ke rumah?" tanya Lunetta di tengah-tengah kebimbangan Gadis."Lunetta, ini namanya Gadis. Dia adalah anak Papa juga," terang Rajendra menjelaskan."Anak Papa? Bukankah anak Papa hanya ada dua? Aku dan Randu?" Lunetta tampak tidak terima."Anak Papa sebenarnya ada tiga. Tapi Gadis tinggal sama bundanya, nggak sama Papa."Lunetta tampak kebingungan. Ia tidak mengerti bagaimana hal ini bisa terjadi.Rajendra yang mengerti kebingungan Lunetta lantas menjelaskan. "Lunetta, sekarang kamu memang belum mengerti. Tapi nanti setelah kamu dewasa kamu akan paham segalanya. Yang jelas kalian bertiga bersaudara. Kalian semua anak Papa. Jadi kalian harus saling menyayangi." Rajendra menjelaskan sambil memandangi putra dan putrinya bergantian."Baik, Pa," jawab Randu. Sedangkan Lunetta hanya diam. Anak itu masih cemberut.Di saat itu petugas daycare yang mengenal Rajendra karena suaminya adalah cleaning service di tempat Rajendra
Rajendra mematung memandangi punggung Livia yang membawa Gadis jauh darinya. Kedua anaknya, Randu dan Lunetta berdiri di sebelahnya tanpa suara seolah mengerti bahwa hati ayah mereka sedang terluka parah."Papa, yang tadi siapa?" Randu memberanikan diri untuk bertanya."Itu Gadis dan Bunda Livia. Dulu waktu Randu kecil Bunda Livia yang selalu mengurus dan merawat Randu," terang Rajendra singkat.Mata Rajendra masih terpaku pada Gadis. Anak perempuan yang sangat ia sayangi kini memandangnya seperti orang asing.Hari itu Rajendra merasa dunianya runtuh. Anak kandungnya tidak mengenalinya sedangkan istrinya yang masih ia cintai bersikap seolah-olah tidak pernah ada dalam hidupnya.Namun Rajendra bertekad. Ia akan menemukan cara agar bisa kembali pada istri dan anaknya. Langkah pertamanya adalah mencari kebenaran. Mencari peran Javier dalam hidup Livia dan apa yang terjadi selama tiga tahun lebih ini. Hatinya memang hancur, tapi ia tidak akan berhenti sampai mendapatkan Livia kembali. Li
Sedikit pun Rajendra tidak menyangka kalau jawaban tersebut akan keluar dari mulut Livia.Kenapa Livia pura-pura tidak mengenalnya? Apa ini bentuk pembalasan dari perempuan itu atas rasa sakit hatinya? Atau dia mengalami amnesia?"Kamu benar-benar nggak ingat aku, Liv? Aku Rajendra. Su--""Maaf, saya nggak kenal anda dan kita belum pernah bertemu sebelumnya," potong Livia memutus ucapan Rajendra yang belum selesai. "Jav, ayo!" ajak Livia menarik tangan Javier."Ndra, gue duluan ya," kata Javier menuruti permintaan Livia.Rajendra hanya bisa memerhatikan punggung Livia yang menjauh. Banyak pertanyaan antri di benaknya.Apa Livia sudah menikah dengan Javier? Apa anak perempuan kecil itu adalah Gadis, putri cantik kesayangannya?Rajendra terus memerhatikan ketiganya dari jauh. Hatinya terasa pilu saat melihat kebersamaan ketiganya yang menyimbolkan keharmonisan sebuah keluarga kecil. Terlebih ketika menyadari anak perempuan itu adalah Gadis. Anak kandungnya dengan Livia. Gadis yang dulu
Di tahun keempat usia Gadis, kehidupan Livia telah berubah. Ia tidak lagi bekerja menjadi pramuniaga di Ratna Butik. Tetapi ... menjadi sekretaris CEO di perusahaan Javier. Yang mana, Javier adalah CEO-nya. Hubungan mereka semakin akrab namun saat di kantor keduanya tetap profesional sebagai atasan dan bawahan.Hari ini Javier datang pagi-pagi sekali ke rumah Livia. Mereka akan mengantar Gadis ke sekolah. Ini adalah hari pertama Gadis bersekolah di TK A yang dikhususkan untuk anak berusia 4-5 tahun, sedangkan TK B untuk anak-anak berusia 5-6 tahun."Om Jav!" teriak Gadis begitu melihat Javier datang. Kala itu Gadis sudah siap dengan seragam sekolahnya. Kemeja putih, rok warna pink dan juga rompi warna pink lembut. Gadis berlari ke arah Javier yang baru saja tiba. Javier berjongkok lalu meraup Gadis ke dalam pelukannya. Ia menciumi kedua pipi anak itu bolak-balik yang juga dibalas oleh Gadis. Begitulah kebiasaan mereka selama ini. Keduanya begitu dekat bagaikan ayah dan anak."Sudah
Hari-hari terus berlalu. Detik waktu tidak henti bergulir. Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Dan tahun pun tidak lagi sama. Javier semakin intens mendekati Livia. Mulai dari sering mengirim makanan, mengirim Livia bunga. Mampir di Ratna butik lalu membeli baju-baju perempuan yang entah untuk siapa, atau pun sekadar lewat di depan butik lalu curi-curi pandang ke arah dalam.Apa laki-laki itu tidak punya pekerjaan hingga terus mondar-mandir di sini? pikir Livia.Kadang Javier muncul malam-malam di rumah Livia membawakan baju atau makanan untuk Gadis.Hingga tanpa terasa sudah dua tahun Javier melakukan pendekatan pada Livia yang artinya umur Gadis sekarang sudah tiga tahun. Namun usahanya sia-sia. Livia begitu sulit untuk dijangkau. Ia hanya berbicara sekadar saja saat diajak mengobrol dan menjaga batasan di antara mereka. Livia begitu sulit untuk disentuh.Siang itu Livia mendapat telepon dari daycare yang mengabarkan bahwa Gadis demam tinggi. Detik itu juga Livia meluncur
Diam-Diam Livia bersembunyi ke belakang dan membiarkan Kinan melayani pembeli sendiri. Livia tahu tindakannya ini salah. Tapi ia tidak mau ambil risiko. Tasia bisa mengenalinya lalu melaporkan pada Rajendra. Bisa ditebak kelanjutannya seperti apa. Rajendra akan datang ke butik mencarinya.Lebih dari lima belas menit Livia bersembunyi di belakang sampai akhirnya Kinan muncul dengan wajah masam."Ya ampun, Liiiiv. Aku tuh nyari kamu dari tadi. Ngapain sih di sini? Bukannya bantu-bantu malah ngetem.""Sorry, Liv, tadi aku sakit perut," jawab Livia mencari alasan.Kinan masih memandangnya dengan ekspresi sebal yang membuat Livia semakin tidak enak hati."Maaf ya, Kin."Kinan berdecak. "Lain kali jangan ulangi lagi. Kalau mau ada apa-apa bilang ke aku dulu.""Oke, siap." Livia menjawab dengan meletakkan tangannya di pelipis seperti sedang hormat yang akhirnya membuat Kinan tertawa.Melihatnya, Livia jadi lega."Tadi mereka jadi belanja?" Livia bertanya kemudian."Jadi. Tiga-tiganya malah."
Ratna yang sedang membaca laporan keuangan mendongak dari tumpukan kertas-kertas lalu memandangi keponakannya."Kamu kenapa, Jav? Tiba-tiba ngomong begitu?""Tumben aja sih. Nggak biasanya Tante punya karyawan secantik itu."Ratna tersenyum mendengar perkataan Javier. "Dia teman Suci. Namanya Livia. Jangan kamu goda. Dia itu sudah punya anak. Dia ibu tunggal."Javier sedikit kecewa mendengar pertanyaan itu. Lalu kepalanya dipenuhi rasa ingin tahu.Ibu tunggal? Memang ke mana suaminya? Meninggal? Atau cerai hidup?"Siap, Tante, nggak bakal aku goda.""Bagus. Dia di sini untuk kerja, bukan untuk digoda keponakan Tante."Javier terkekeh mendengarnya."Ngomong-ngomong tumben kamu ke sini, Jav?" Ratna mengalihkan topik pembicaraan."Aku nggak sengaja lewat depan butik Tante terus ngerasa ada aura cewek cantik. Makanya mampir.""Kamu ini masih saja bercanda." Ratna memutar matanya.Javier tertawa lagi. "Jadi aku mau tanya, untuk acara kita minggu depan. Katanya Tante yang handle.""Iya, Tan
Balasan pesan dari Suci datang dengan cepat. Seakan ia mengerti kalau saat ini Livia benar-benar terdesak."Kamu bisa mulai kapan pun, Liv. Tapi kalau bisa besok jam sembilan kamu sudah di butik. Aku akan kirim alamatnya.""Ahhh, i can't thank you enough, Ci."Mata Livia berkaca-kaca setelah Suci mengirimkan alamat butik milik mamanya yang artinya miliknya juga. Tatapannya kini tertuju pada anak gadisnya. Gadis masih terlalu kecil untuk dititip. Dan Livia tidak pernah percaya pada pengasuh. Namun mulai besok ia harus menitipkannya di daycare.Livia mengusap-usap punggung Gadis, membuat anak itu menggeliat. Matanya terbuka. Wajah polosnya menatap Livia. Livia tersenyum padanya."Hai, anak gadis Bunda sudah bangun?""Da ... da ... da...," oceh Gadis yang membuat Livia tertawa. Namun di dalam hati ia merasa sedih lantaran besok akan meninggalkannya di penitipan anak."Gadis, dengar Bunda ya, Sayang," ujar Livia seraya merangkum kedua pipi anaknya. "Mulai besok Bunda harus kerja jadi Gadi
Sudah dua minggu lebih Livia berada di Indonesia pasca kepulangannya dari Ohio. Livia yakin dalam rentang waktu tersebut Rajendra mungkin saja mencarinya tapi lelaki itu gagal menghubunginya lantaran Livia sudah kembali menggunakan SIM card-nya saat bersembunyi dulu.Tidak ada yang tahu Livia sedang berada di mana sekarang. Termasuk Langit. Livia tidak menghubungi Langit untuk meminta pertolongan atau sekadar memberitahu bahwa saat ini kakinya sudah sehat. Biarlah. Lebih baik tidak ada seorang pun yang tahu mengenai keberadaannya. Hanya saja Livia tidak mungkin terus begini. Persediaan uangnya sudah sangat menipis. Ia harus segera mencari kerja. Sedangkan untuk merajut tidak bisa lagi ia andalkan sebagai sumber pernghasilannya. Merajut dalam jumlah yang banyak membutuhkan waktu yang lama. Sementara Gadis sudah semakin besar. Saat ini umur anak itu hampir memasuki usia 11 bulan.Livia mengusap kepala Gadis yang sedang tidur. Wajah kecil itu begitu tenang sekaligus menjadi pengingat be