Livia cukup terkejut mendengar perkataan Ryuga. Sampai-sampai ia merasa perlu untuk meraba telinganya sendiri demi meyakinkan diri bahwa ia tidak salah dengar."Tolong bilang sama dia mohon menunggu setengah jam lagi. Atau kalau terlalu lama suruh dia pulang duluan. Nanti saya akan pulang sendiri," kata Livia menjawab perkataan Ryuga.Ryuga mengangguk pelan lalu kembali ke beranda, tempat Rajendra menunggu. Ryuga tidak mungkin membiarkan Livia pulang sendiri. Jadi yang dikatakannya pada Rajendra adalah, "Livia harus mengajar setengah jam lagi. Dia bilang kalau terlalu lama menunggu silakan pulang dulu, nanti biar saya yang mengantarnya."Rajendra mengepalkan tangannya di sisi paha mendengar penolakan Livia yang disampaikan melalui Ryuga."Saya tunggu dia saja," putusnya."Silakan. Mau minum apa?" "Nggak usah, terima kasih."Ryuga ikut duduk di kursi dekat Rajendra. Mereka hanya dipisahkan oleh sebuah meja persegi sebagai pembatas."Rokok?" tawar Ryuga setelah mengeluarkan kotak rokok
Livia melangkah ke bagian tengah mobil karena biasanya disitulah ia duduk, tapi Rajendra menuntunnya ke arah depan. Lelaki itu membukakan pintu depan bagian kiri yang membuat Livia terheran-heran.Apa yang terjadi dengan Rajendra? Dia salah makan apa?Setelah membukakan dan menutupkan pintu untuk Livia, Rajendra melangkah cepat memutari mobil. Ia masuk ke bangku pengemudi.Baru saja roda mobil berputar Rajendra langsung memberi peringatan pada Livia."Jangan senang dulu atas apa yang kuucapkan tadi."Livia terdiam sebentar mencoba mencerna perkataan Rajendra. Sampai ia sadar bahwa segalanya hanya sandiwara."Ya, saya tahu kamu hanya berpura-pura. Tapi lain kali nggak usah repot-repot berbuat baik di depan orang lain. Nggak ada gunanya," jawab Livia ringan sambil tersenyum santai. Livia sudah lelah menghadapi Rajendra dengan kesedihan dan air mata. Jadi yang dilakukannya sekarang adalah menanggapi semuanya dengan santai, ringan dan tanpa beban.Rajendra mendengkus. Ia tidak suka mende
Geraham Rajendra gemeretuk menahan kesal. Livia benar-benar berubah. Wanita itu sudah berani padanya sekarang.Di mana Livia yang takut padanya?Di mana Livia yang mengikuti segala perintahnya?Di mana Livia yang patuh? Livia yang di sebelahnya ini bukanlah Livia yang dikenalnya. Livia istrinya tidak pelawan. Malah Livia yang sekarang berani mengoloknya."Dijawab aja, nggak usah takut, saya nggak bakal nguping," ujar Livia ketika ponsel Rajendra berdering sekali lagi.Rajendra menatap layar, menemukan nama Utary sebagai caller ID. Rajendra menggeser tanda terima dan sengaja menyalakan loud speaker agar Livia bisa mendengar percakapannya dengan sang kekasih dengan maksud membuatnya cemburu."Iya, Sayang?"Mendadak Livia ingin muntah mendengar kata itu diucapkan, terlebih dengan nada yang begitu lembut. Suara Rajendra berubah 180 derajat dibandingkan saat berbicara dengan Livia tadi. Hanya ada dua intonasi yang digunakan pria itu saat berbicara dengan Livia. Kalau bukan dengan nada di
Setelah berkeliling sampai larut malam mencari makanan yang diidamkan kekasihnya, Rajendra menyerah. Ia mengajak Livia pulang."Apa saya bilang, mau dicari sampai ujung dunia juga nggak bakalan ada." Livia menggumam kesal lantaran Rajendra sudah banyak menghabiskan waktunya.Mendengar perkataan Livia, Rajendra sontak mengirim tatapan tajam padanya."Kenapa?" balas Livia. "Mau marah sama saya?" tantangnya.Rajendra tidak menjawab. Tapi pijakan kakinya di pedal gas bertambah kuat. Begitu caranya membalas kejengkelan pada sang istri."Lagian heran. Di antara segitu banyak makanan kenapa harus makanan yang nggak ada eksistensinya." Livia menggumam lagi yang sebenarnya ia tujukan untuk dirinya sendiri namun cukup terdengar oleh Rajendra."Kamu nggak akan ngerti karena kamu nggak bisa hamil."Sederet kalimat yang diucapkan Rajendra mengunci mulut Livia hingga ia tidak mampu berkata apa pun lagi. Ingin menyangkal tapi faktanya memang begitu. Dua tahun berumah tangga dengan Rajendra ia tidak
"Mama kena gagal ginjal dan dokter bilang Mama harus cuci darah dua sampai tiga kali seminggu." Yasmin langsung melaporkan pada Livia begitu perempuan itu tiba di rumah sakit.Livia menghela napasnya kemudian memandang Jihan yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Jihan ibu tirinya yang sudah mengusir Livia pergi dari rumah. Perempuan itu juga yang memaksa Rajendra bertanggung jawab menikahi Livia hingga hidupnya jadi seperti sekarang."Jangan diam aja dong, Liv!" tegur Yasmin lantaran Livia tidak meresponnya. Livia bukannya tidak melakukan sesuatu. Ia hanya sedang berpikir mengenai sesuatu hal."Kalau dokter bilang begitu kita bisa apa?" jawab Livia pasrah."Tapi uangnya dari mana? Kamu pikir cuci darah itu gratis?"Livia memijit pelipisnya. Ia tidak punya uang yang cukup untuk membiayainya. Uang hasil mengajar les tidak seberapa. Sedangkan ia juga belum menerima gaji karena masih baru bekerja di kantor Langit."Jawab dong, Liv! Itu Mama lagi sakit. Kamu nggak usah pura-pura lu
Ketegangan di antara mereka semakin terasa. Rajendra memandangi Langit, menimbang perkataan sepupunya itu. Meski terdengar tak masuk akal, ucapan Langit menanamkan benih keraguan di hatinya. Mengapa Langit bisa berpikir begitu? Bukankah ia dan Utary sudah bersama sejak lama?"Tes DNA?" Rajendra mengulang dengan nada bingung, seolah mencoba menolak kenyataan yang baru saja disarankan oleh sahabatnya."Iya, Ndra. Gue cuma nggak mau lo kecewa nantinya. Cinta itu nggak selalu buta, tapi kadang kita yang memilih untuk nggak ngeliat," jawab Langit dengan nada tegas, namun penuh simpati.Pikiran Rajendra semakin kacau. Di satu sisi, ia tak ingin meragukan Utary. Namun di sisi lain, benih keraguan yang ditanamkan Langit perlahan tumbuh."Ya udah, gue pergi dulu ya, Ndra. Coba pertimbangkan lagi saran gue," ucap Langit sebelum meninggalkan Rajendra. Langit menepuk bahu Rajendra pelan sebelum melangkah pergi, meninggalkan sepupunya yang masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Rajendra hanya
"Mama kena gagal ginjal dan dokter bilang Mama harus cuci darah dua sampai tiga kali seminggu."Perbincangan dengan Yasmin tadi terus terngiang-ngiang di telinga Livia dalam perjalanannya di dalam taksi menuju kantor. Juga ucapan Yasmin yang menyuruh Livia meminta uang pada Rajendra. Livia tahu ia tidak mungkin melakukan hal tersebut karena Rajendra akan semakin menginjak-injak harga dirinya.Livia memandang keluar jendela taksi, menyaksikan lalu lintas yang padat namun terasa jauh dari pikirannya. Kata-kata Yasmin terus berputar di benaknya. Ibu mereka yang membutuhkan biaya besar untuk cuci darah, dan saran Yasmin untuk meminta bantuan keuangan pada Rajendra.Rajendra. Nama itu langsung menimbulkan rasa sesak di dada Livia. Ia tahu bagi Rajendra uang bukanlah masalah yang besar. Akan tetapi, meminta bantuan dari pria itu berarti membuka peluang baginya untuk kembali mempermalukan Livia. Selama ini, harga dirinya sudah cukup hancur oleh sikap dingin dan merendahkan Rajendra. Ia tida
Selepas dari kantor Rajendra, Livia naik ke lantai 17. Namun sebelumnya ia menelepon Yasmin memberi kabar bahwa uang untuk pengobatan ibu mereka akan dikirim oleh Rajendra.Yasmin terdengar girang melalui suaranya. Begitu kontras dengan Livia yang murung. Ekspresi wajahnya terus terbawa sampai ke kantor."Duh, enak bener ya baru datang jam segini," sindir Linda, rekan sekerjanya begitu melihat Livia muncul. Rekan-rekannya yang lain ikut julid.Livia yang tahu dirinya disindir tidak menanggapi sindiran Linda. Ia bahkan baru ingat belum meminta izin pada Langit sebelumnya.Livia menghela napas dan mencoba fokus pada pekerjaan yang menumpuk di mejanya. Namun tidak bisa. Ia kemudian keluar dari ruangannya menuju ruangan Langit.Setelah beberapa langkah, Livia berhenti sejenak di depan pintu ruangan Langit. Ia merasakan detak jantungnya berdebar kencang, antara rasa cemas dan ragu. Meskipun Langit adalah atasan yang baik, Livia tidak ingin mengecewakannya dengan keterlambatannya.Setelah b
Rajendra melangkah ke kamar Utary dengan berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalanya. Setelah pintu kamar ia buka, Rajendra mendapati Utary sedang leyeh-leyeh di atas tempat tidur sambil main hp.Melihat pemandangan itu Rajendra menghela napasnya."Tary," panggil Rajendra datar.Utary melihat sekilas kemudian kembali fokus pada ponselnya. "Ada apa, Ndra?" tanyanya acuh tak acuh sambil tetap memainkan ponselnya.Rajendra berdiri di sisi pintu, mengamati Utary dengan tatapan menusuk. "Kenapa bukan kamu yang mandiin Randu? Kenapa Livia?"Dengan malas Utary meletakkan ponselnya. "Kan udah aku bilang. Aku masih belum pulih, Ndra. Aku takut nanti Randu jadi kenapa-napa. Kalau dia jatuh saat aku mandiin gimana? Lagian Livia juga nggak keberatan. Dia happy-happy aja tuh."Rajendra membawa langkahnya mendekat. Hingga dirinya dan Utary saling berhadapan. "Tary, ini bukan soal happy atau enggak. Tapi soal kewajiban kamu sebagai ibu. Aku lihat Randu lebih dekat dengan Livia, bukannya dengan k
Perkataan Langit membuat langkah Rajendra terhenti. Rahangnya menegang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Langit seolah tahu caranya menusuk di tempat yang paling menyakitkan.Bersama napasnya yang menderu Rajendra memutar badan menghadap Langit. Tatapannya lebih tajam dari pisau, seakan hendak mengiris siapa pun yang berani menyakiti hatinya."Lo kalo ngomong hati-hati." Rajendra mengingatkan dengan nada penuh ancaman. Ia khawatir kalau saja ada orang yang berada di dekat mereka dan mendengar ucapan Langit tadi.Langit terkekeh. Tidak merasa gentar sama sekali. "Selow, Ndra. Gue kan cuma nanya. Kok lo jadi marah? Topiknya terlalu sensitif ya? Atau ..." Langit berhenti sesaat membiarkan pertanyaannya menggantung di udara. Kemudian ia kembali melanjutkan. "Lo mulai ngerasa bersalah sama Livia?"Geraman kecil keluar dari mulut Rajendra. Ia memang terusik mendengar nama Livia disebut. Tapi tidak mungkin ia menunjukkannya pada Langit."Urusannya apa sana lo?" Rajendra membalas de
Pagi hari saat Livia sedang bersiap-siap menyediakan sarapan ia mendengar tangisan Randu yang diiringi pekikan Utary."Ndraaa, bantuin aku dong! Randu nangis terus nih!"Tidak ada jawaban dari Rajendra karena pria itu juga sedang bersiap-siap di kamarnya untuk berangkat kerja."Rajendraaaa! Bantuin dong. Anak kamu nangis mulu nih!" Teriakan Utary menggema sekali lagi yang membuat Livia tidak tahan.Livia meninggalkan meja makan lalu meraih tongkatnya. Ia menuju kamar Utary.Livia menemukan Utary sedang duduk di tepi ranjang. Sedangkan si kecil Randu ia biarkan menangis di dalam box-nya."Tary, Randu kenapa?" tanya Livia baik-baik."Udah tahu nanya!" balas Utary sewot. "Lagian Rajendra yang aku panggil kenapa kamu yang ke sini?"Livia menahan napas sambil mencoba tetap bersabar menghadapi Utary meskipun kata-katanya terdengar kasar."Rajendra lagi siap-siap mau berangkat kerja. Mungkin sekarang baru selesai mandi."Kemudian Livia berjalan mendekat. Ia letakkan tongkatnya di samping tem
Utary telah kembali berada di rumah setelah dua hari dirawat di rumah sakit. Rumah menjadi lebih hidup oleh tangisan dan rengekan Randu. Rajendra juga jadi rajin pulang lebih cepat dari kantor. Hal pertama yang ia lakukan setiap kali tiba di rumah adalah mencari Randu. Ia menggendong anak itu dan menciuminya dengan kasih sayang.Hanya saja Livia merasa miris melihat Randu yang masih bayi tidak menerima ASI dari ibunya. Utary beralasan air susunya tidak ada. Padahal yang sebenarnya terjadi ia malas menyusui, begadang tengah malam dan khawatir bentuk payudaranya akan rusak.Setiap malam ketika tangisan keras Randu membangunkan seisi rumah, Utary selalu mengabaikannya. Perempuan itu tetap tidur atau beralasan kondisinya masih belum pulih dan dia berdalih harus banyak beristirahat.Rajendralah yang nengambil alih tugas Utary. Saat randu terbangun tengah malam ia yang mengurus sang putra sementara Utary tidur nyenyak karena mengaku kelelahan mengurus Randu saat siang.Mulai dari menggendon
Livia Mellanie duduk sendiri di bangku panjang lorong rumah sangkit. Tongkatnya ia sandarkan ke samping. Kedua tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuan. Pandangannya tertunduk menatap lantai putih rumah sakit. Ia berusaha menenangkan pikirannya yang kacau namun seribu tanya terus berputar-putar di kepalanya.Untuk apa aku di sini? Apa aku akan tetap bertahan? Sementara Rajendra sudah memiliki kehidupan yang lengkap dan begitu bahagia. Apakah ini saatnya untuk mundur? Apa lebih baik ia kabur saja ke tempat yang jauh?Derap langkah kaki yang mendekat membuat Livia mengangkat kepala dan memandang ke arah tersebut. Rajendra muncul. Ia tidak sendiri. Ada bayi mungil terbungkus selimut biru di dalam dekapannya. Livia bisa melihat dengan jelas betapa rona kebahagiaan menghiasi wajah Rajendra.Rajendra semakin mendekat ke arah Livia."Liv, ini anakku," ucapnya pelan sambil menunjukkannya pada Livia.Livia mengulas senyum. Dipandanginya Rajendra dan bayi yang sedang digendongnya. Bay
Livia yang masih terjaga dan asyik menciumi Rajendra tersentak ketika mendengar ketukan dan suara lirih di pintu. Semula ia mengira itu hanya halusinasinya lantaran terlalu lelah. Namun suara itu terus terdengar. Buru-buru Livia menjauhkan mulutnya dari kening Rajendra. Livia berdiri lalu berjalan menuju pintu dengan bantuan tongkatnya. Ketika daun pintu terbuka ia dibuat termangu oleh pemandangan yang dilihatnya.Kekasih suaminya sedang terbaring di lantai. Tubuhnya menggigil dan badannya basah oleh keringat. Sementara tangannya terus mengusap-usap perut."Tary!" seru Livia panik. "Kenapa begini?" Livia bersimpuh di dekat Utary mengamati keadaan wanita itu."Tolong ... aku, Liv. Perutku ... sakit ... banget ..." Utary merintih dengan suara putus-putus.Livia mencoba membantu Utary bangun namun ia juga tidak berdaya. Dengan segera ia kembali ke kamar untuk membangunkan Rajendra."Bangun, Ndra! Rajendra, bangun! Utary lagi kontraksi. Kayaknya dia bakal ngelahirin!" seru Livia panik. N
Livia dibuat termangu oleh permintaan Rajendra. Bibirnya setengah terbuka namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Livia menatap wajah Rajendra yang tampak lelah dengan mata yang hampir terpejam. Ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi ditelannya kembali.Jauh di dalam hatinya ada amarah yang mendidih, tetapi juga rasa sayang yang masih bertahta."Baik." Akhirnya Livia menjawab dengan suara yang hampir tak terdengar.Rajendra membalas dengan anggukan kepala, tidak menangkap perasaan apa pun yang terefleksi dari tatapan Livia. Ia segera menuju tempat tidur dan merebahkan tubuhnya. Dalam sekejap lelaki itu terlelap.Keluar dari kamar, Livia menujukan langkahnya ke kamar Utary. Diketuknya pintu dengan perlahan."Ngapain sih, Ndra, pake ketuk pintu segala?" Suara Utary terdengar dari dalam. Livia memutar gagang pintu dan mendorongnya. Tatapan Utary seketika berubah penuh kecurigaan ketika tahu Livialah yang datang. Tadinya ia pikir Rajendra."Rajendra mana?" Utary bertanya dengan nad
Livia terdiam memandangi Utary yang tersenyum dengan penuh kemenangan. Perkataan wanita itu menggema di kepalanya tanpa mampu ia singkirkan.Di sisi pahanya sebelah tangan Livia yang bebas terkepal. Dadanya terlalu sesak. Dengan keberanian yang mulai terkumpul Livia mengangkat dagu, mempertemukan tatapannya dengan mata Utary."Utary ..." Suara Livia begitu tenang. "Saya nggak akan peduli apa pun yang kamu katakan. Tapi satu hal yang jelas saya adalah istri Rajendra satu-satunya yang sah baik dari segi agama ataupun negara. Apa pun yang terjadi, posisi itu nggak akan berubah."Hati Utary panas mendengarnya namun perempuan itu menutupi dengan tawa. Tawa sinis yang terkesan meremehkan. "Kamu itu cuma istri di atas kertas, Livia. Sadar nggak sih? Sedangkan di hati Rajendra kamu bukan siapa-siapa."Puncak kemarahan Livia sudah sampai ubun-ubun tapi ia tetap berusaha menahan diri. "Dan apa kamu tahu apa yang nggak berubah dari Rajendra?"Dahi Utary berkerut. Ia bingung tapi tertarik ingin t
Sore ini Livia sedikit bersantai. Ketiadaan Utary di di rumah tersebut benar-benar membuatnya bebas dan lega. Livia tidak peduli sekarang Utary ada di mana. Yang penting tidak lagi berada di rumah itu.Saat Livia sedang asyik menonton berita sore ia mendengar suara mobil Rajendra. Tumben Rajendra pulang sore, pikirnya.Livia bangkit dari tempat duduknya, bergegas meraih tongkat kemudian berjalan terpincang-pincang untuk menyambut Rajendra. Ketika pintu rumah ia buka alangkah kagetnya Livia. Rajendra tidak sendiri. Lelaki itu membukakan pintu penumpang bagian depan. Utary keluar dari sana dengan wajah ceria. Selanjutnya Rajendra mengeluarkan kantong belanjaan dan barang-barang dari mobilnya. Rupanya mereka baru pulang membeli peralatan dan perlengkapan bayi.Mengetahui Utary telah kembali dada Livia terasa sesak. Kelegaan yang sempat hadir lenyap begitu saja. Kebebasannya seakan kembali direnggut. Dan ia harus kembali berbagi Rajendra."Kenapa masih berdiri di sana? Bantuin!" perintah