"Maaf ya, Livia, saya sampai merepotkan kamu," ujar Ryuga setelah mereka berada di dalam mobil lelaki itu.Walau Rajendra melarang dengan keras Livia tetap teguh pada keinginannya. Apalagi mereka telah membuat kesepakatan. Rajendra boleh membawa Utary tinggal di rumah mereka dan Livia akan melayaninya seperti yang ia lakukan pada Rajendra dengan syarat Rajendra tidak menghalangi Livia untuk beraktivitas di luar."Nggak apa-apa, Ryuga, nggak repot kok." Livia malah senang ia bisa lebih sering pergi dari rumah sehingga tidak melihat kemesraan Rajendra dan Utary."Soal biaya saya akan bayar dua kali lipat. Nanti sisanya saya transfer ke rekening kamu ya. Tolong kirim via chat nomor rekening kamu." "Nggak perlu, Ryuga. Jangan ditambah lagi. Itu semua sudah cukup," jawab Livia menolak."Tapi waktu kamu jadi banyak terbuang, belum lagi untuk transportasi.""Bukan masalah. Saya malah senang daripada di rumah terus. Saya ada ide, gimana kalau ke depannya lesnya diadakan di rumah kamu? Jadi s
Livia cukup terkejut mendengar perkataan Ryuga. Sampai-sampai ia merasa perlu untuk meraba telinganya sendiri demi meyakinkan diri bahwa ia tidak salah dengar."Tolong bilang sama dia mohon menunggu setengah jam lagi. Atau kalau terlalu lama suruh dia pulang duluan. Nanti saya akan pulang sendiri," kata Livia menjawab perkataan Ryuga.Ryuga mengangguk pelan lalu kembali ke beranda, tempat Rajendra menunggu. Ryuga tidak mungkin membiarkan Livia pulang sendiri. Jadi yang dikatakannya pada Rajendra adalah, "Livia harus mengajar setengah jam lagi. Dia bilang kalau terlalu lama menunggu silakan pulang dulu, nanti biar saya yang mengantarnya."Rajendra mengepalkan tangannya di sisi paha mendengar penolakan Livia yang disampaikan melalui Ryuga."Saya tunggu dia saja," putusnya."Silakan. Mau minum apa?" "Nggak usah, terima kasih."Ryuga ikut duduk di kursi dekat Rajendra. Mereka hanya dipisahkan oleh sebuah meja persegi sebagai pembatas."Rokok?" tawar Ryuga setelah mengeluarkan kotak rokok
Livia melangkah ke bagian tengah mobil karena biasanya disitulah ia duduk, tapi Rajendra menuntunnya ke arah depan. Lelaki itu membukakan pintu depan bagian kiri yang membuat Livia terheran-heran.Apa yang terjadi dengan Rajendra? Dia salah makan apa?Setelah membukakan dan menutupkan pintu untuk Livia, Rajendra melangkah cepat memutari mobil. Ia masuk ke bangku pengemudi.Baru saja roda mobil berputar Rajendra langsung memberi peringatan pada Livia."Jangan senang dulu atas apa yang kuucapkan tadi."Livia terdiam sebentar mencoba mencerna perkataan Rajendra. Sampai ia sadar bahwa segalanya hanya sandiwara."Ya, saya tahu kamu hanya berpura-pura. Tapi lain kali nggak usah repot-repot berbuat baik di depan orang lain. Nggak ada gunanya," jawab Livia ringan sambil tersenyum santai. Livia sudah lelah menghadapi Rajendra dengan kesedihan dan air mata. Jadi yang dilakukannya sekarang adalah menanggapi semuanya dengan santai, ringan dan tanpa beban.Rajendra mendengkus. Ia tidak suka mende
Geraham Rajendra gemeretuk menahan kesal. Livia benar-benar berubah. Wanita itu sudah berani padanya sekarang.Di mana Livia yang takut padanya?Di mana Livia yang mengikuti segala perintahnya?Di mana Livia yang patuh? Livia yang di sebelahnya ini bukanlah Livia yang dikenalnya. Livia istrinya tidak pelawan. Malah Livia yang sekarang berani mengoloknya."Dijawab aja, nggak usah takut, saya nggak bakal nguping," ujar Livia ketika ponsel Rajendra berdering sekali lagi.Rajendra menatap layar, menemukan nama Utary sebagai caller ID. Rajendra menggeser tanda terima dan sengaja menyalakan loud speaker agar Livia bisa mendengar percakapannya dengan sang kekasih dengan maksud membuatnya cemburu."Iya, Sayang?"Mendadak Livia ingin muntah mendengar kata itu diucapkan, terlebih dengan nada yang begitu lembut. Suara Rajendra berubah 180 derajat dibandingkan saat berbicara dengan Livia tadi. Hanya ada dua intonasi yang digunakan pria itu saat berbicara dengan Livia. Kalau bukan dengan nada di
Setelah berkeliling sampai larut malam mencari makanan yang diidamkan kekasihnya, Rajendra menyerah. Ia mengajak Livia pulang."Apa saya bilang, mau dicari sampai ujung dunia juga nggak bakalan ada." Livia menggumam kesal lantaran Rajendra sudah banyak menghabiskan waktunya.Mendengar perkataan Livia, Rajendra sontak mengirim tatapan tajam padanya."Kenapa?" balas Livia. "Mau marah sama saya?" tantangnya.Rajendra tidak menjawab. Tapi pijakan kakinya di pedal gas bertambah kuat. Begitu caranya membalas kejengkelan pada sang istri."Lagian heran. Di antara segitu banyak makanan kenapa harus makanan yang nggak ada eksistensinya." Livia menggumam lagi yang sebenarnya ia tujukan untuk dirinya sendiri namun cukup terdengar oleh Rajendra."Kamu nggak akan ngerti karena kamu nggak bisa hamil."Sederet kalimat yang diucapkan Rajendra mengunci mulut Livia hingga ia tidak mampu berkata apa pun lagi. Ingin menyangkal tapi faktanya memang begitu. Dua tahun berumah tangga dengan Rajendra ia tidak
"Mama kena gagal ginjal dan dokter bilang Mama harus cuci darah dua sampai tiga kali seminggu." Yasmin langsung melaporkan pada Livia begitu perempuan itu tiba di rumah sakit.Livia menghela napasnya kemudian memandang Jihan yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Jihan ibu tirinya yang sudah mengusir Livia pergi dari rumah. Perempuan itu juga yang memaksa Rajendra bertanggung jawab menikahi Livia hingga hidupnya jadi seperti sekarang."Jangan diam aja dong, Liv!" tegur Yasmin lantaran Livia tidak meresponnya. Livia bukannya tidak melakukan sesuatu. Ia hanya sedang berpikir mengenai sesuatu hal."Kalau dokter bilang begitu kita bisa apa?" jawab Livia pasrah."Tapi uangnya dari mana? Kamu pikir cuci darah itu gratis?"Livia memijit pelipisnya. Ia tidak punya uang yang cukup untuk membiayainya. Uang hasil mengajar les tidak seberapa. Sedangkan ia juga belum menerima gaji karena masih baru bekerja di kantor Langit."Jawab dong, Liv! Itu Mama lagi sakit. Kamu nggak usah pura-pura lu
Ketegangan di antara mereka semakin terasa. Rajendra memandangi Langit, menimbang perkataan sepupunya itu. Meski terdengar tak masuk akal, ucapan Langit menanamkan benih keraguan di hatinya. Mengapa Langit bisa berpikir begitu? Bukankah ia dan Utary sudah bersama sejak lama?"Tes DNA?" Rajendra mengulang dengan nada bingung, seolah mencoba menolak kenyataan yang baru saja disarankan oleh sahabatnya."Iya, Ndra. Gue cuma nggak mau lo kecewa nantinya. Cinta itu nggak selalu buta, tapi kadang kita yang memilih untuk nggak ngeliat," jawab Langit dengan nada tegas, namun penuh simpati.Pikiran Rajendra semakin kacau. Di satu sisi, ia tak ingin meragukan Utary. Namun di sisi lain, benih keraguan yang ditanamkan Langit perlahan tumbuh."Ya udah, gue pergi dulu ya, Ndra. Coba pertimbangkan lagi saran gue," ucap Langit sebelum meninggalkan Rajendra. Langit menepuk bahu Rajendra pelan sebelum melangkah pergi, meninggalkan sepupunya yang masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Rajendra hanya
"Mama kena gagal ginjal dan dokter bilang Mama harus cuci darah dua sampai tiga kali seminggu."Perbincangan dengan Yasmin tadi terus terngiang-ngiang di telinga Livia dalam perjalanannya di dalam taksi menuju kantor. Juga ucapan Yasmin yang menyuruh Livia meminta uang pada Rajendra. Livia tahu ia tidak mungkin melakukan hal tersebut karena Rajendra akan semakin menginjak-injak harga dirinya.Livia memandang keluar jendela taksi, menyaksikan lalu lintas yang padat namun terasa jauh dari pikirannya. Kata-kata Yasmin terus berputar di benaknya. Ibu mereka yang membutuhkan biaya besar untuk cuci darah, dan saran Yasmin untuk meminta bantuan keuangan pada Rajendra.Rajendra. Nama itu langsung menimbulkan rasa sesak di dada Livia. Ia tahu bagi Rajendra uang bukanlah masalah yang besar. Akan tetapi, meminta bantuan dari pria itu berarti membuka peluang baginya untuk kembali mempermalukan Livia. Selama ini, harga dirinya sudah cukup hancur oleh sikap dingin dan merendahkan Rajendra. Ia tida
Badan Livia sungguh terasa sangat tidak enak pagi ini. Kepalanya pusing. Ada gelombang dalam perutnya yang ingin menerjang keluar. Berkali-kali ia bolak-balik kamar mandi hanya untuk muntah.Setiap kali ia mencoba kembali berbaring di atas sofa dinginnya, gelombang mual kembali menyerang. Memaksanya tertatih-tatih ke kamar mandi."Huek ... Huek ... Huek ..." Suara muntahan kembali menggema, membuat tubuh Livia semakin lelah. Ia menghela napas panjang tapi perasaan sakit itu tidak kunjung reda. Pandangannya nanar, tubuh Livia juga gemetar. Livia tidak tahu apa ia sanggup bertahan tanpa meringkuk di sofa sepanjang hari ini.Livia lalu keluar dari kamar mandi dengan agak terhuyung."Huek huek huek. Ngapain sih muntah-muntah terus? Ribut aja kayak orang lagi hamil," omel Rajendra yang masih membungkus dirinya dengan selimut. Entah ada angin apa, tadi malam Rajendra tidur di kamarnya dengan Livia.Detik itu juga langkah kaki Livia terhenti. Sontak dipegangi perut dengan tangannya yang beb
"Bu Livia!!!" teriak Hazel panik sembari mengguncang bahu Livia pelan.Ryuga yang mendengar teriakan Hazel langsung berlari ke arah mereka. Dilihatnya Livia terkulai lemah di pundak Hazel. Sepasang matanya terpejam. Wajahnya tampak semakin pucat."Livia! Livia!" panggil Ryuga cemas sembari mengguncang pundak wanita itu. "Bangun, Livia!"Akhirnya Livia membuka matanya. Sejenak tatapannya terlihat kosong sebelum sepenuhnya sadar."Maaf, saya hanya sedikit pusing," ujarnya lemah."Apanya yang sedikit? Kamu udah sempat pingsan begitu," omel Ryuga kemudian memapah Livia yang nyaris jatuh dari kursinya."Papa, gimana kalau Bu Livia kita bawa ke dokter," usul Hazel yang berdiri di dekat keduanya. Anak itu masih panik.Ryuga mengiakan. Ditatapnya Livia dengan muka serius. "Liv, saya antar kamu ke dokter sekarang."Cepat-cepat Livia gelengkan kepalanya. "Nggak perlu. Saya nggak apa-apa. Tadi hanya sedikit pusing. Dibawa istirahat sebentar juga baikan.""Livia, jangan keras kepala. Ayo kita ke
Rajendra menarik napas dalam-dalam dengan perasaan dongkol. Ditutupnya tirai kemudian tergesa menuju kamar Utary. Tangisan Randu terdengar kian lantang disusul teriakan Utary yang tidak sabar."Lama banget sih!" Utary bersungut-sungut ketika melihat Rajendra muncul."Kenapa bukan kamu sendiri yang urus?" balas Rajendra tak kalah kesal.Utary yang berdiri di pojok ruangan merotasi matanya dengan ekspresi malas. "Mana bisa aku ngurus gituan. Jijik aku tuh, Ndra. Lagian itu kan kerjaan Livia," ujarnya dengan ekspresi jijik lalu menutup hidung.Rajendra menggeleng-gelengkan kepalanya namun tidak lagi berkata apa-apa. Ia sedang malas bertengkar. Mood-nya baru saja memburuk akibat Livia pergi dengan Ryuga tadi.Rajendra mendekati Randu. Wajah bayi kecil itu memerah akibat terlalu lama menangis. Rajendra mengganti popok anak itu dan membersihkan kotorannya. Sedangkan Utary bersandar di dinding sambil mengamati itu semua.Setelah selesai Rajendra menggendong Randu hingga tangisnya reda. Wajah
Test pack tersebut masih berada di tangan Livia. Dua garis merah di sana bagaikan sebuah mukjizat yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun di balik perasaan bahagia yang membuncah ada kekhawatiran yang menyelinap.Bagaimana sikap suaminya menanggapi hal besar ini?Apakah Rajendra akan menerima dengan senang hati atau justru sebaliknya? Livia tidak ingin kehadiran janin kecil di dalam rahimnya dianggap sebagai beban baru. Apalagi sudah ada Randu.Berbagai pikiran tersebut membuat Livia resah. Akan tetapi Livia juga menyadari bahwa berita ini adalah kesempatan untuk membuktikan dan mematahkan dugaan orang-orang. Ia ingin menunjukkan pada orang-orang yang menghinanya bahwa ia tidaklah serendah seperti yang mereka kira. Ia memiliki sesuatu yang berharga, yaitu janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.Lama menenangkan diri, Livia memutuskan untuk menyimpan kabar ini sementara waktu. Ia ingin memastikan bahwa dirinya siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi nantinya.
Livia terpincang ke kamarnya dengan pelan. Meskipun sudah pergi dan membelakangi Marina serta Utary, tetapi Livia masih merasakan tatapan tajam keduanya yang tertuju padanya.Setelah tiba di kamar Livia menutup pintu dengan pelan lalu merapatkan tubuhnya ke balik pintu tersebut. Livia merasa begitu lelah, baik secara fisik maupun emosional.Kemudian ia melangkah ke sofa dinginnya dan duduk di sana. Dalam kesendirian tersebut Livia meremas ujung bajunya.Perkataan Marina masih terus berputar-putar di kepalanya. Setiap kali terngiang, perasaan sakit yang ia rasakan semakin dalam.Istri yang mandul, tidak berguna, yang kerjanya hanya makan serta tidur.Livia menghela napas mencoba menguatkan diri. Namun dirinya justru semakin rapuh.Perasaan mual itu kembali datang. Kali ini disertai perasaan ingin muntah. Livia cepat meraih tongkatnya kemudian bergegas menuju kamar mandi.Livia menangkup di wastafel mengeluarkan segala isi perutnya sampai ia kehabisan tenaga. Ketika ia mengangkat wajah,
Setelah tiba di kamar mandi Livia menatap refleksinya di cermin. Wajahnya terlihat lebih pucat dari yang sudah-sudah. Tubuhnya juga terasa sangat lemah. Dipercikkannya air dingin ke wajahnya. Namun ternyata tidak bisa menghilangkan mual yang menerpanya.Mungkin aku terlalu kelelahan mengurus Randu, batinnya.Teringat Randu yang ia tinggalkan begitu saja ditambah lagi tangisan anak itu membuat Livia cepat-cepat keluar dari kamar mandi."Astaga, Randu sayang, maafin Mama, Nak, Mama nggak tahu kalau kamu udah bangun. Mama tadi lagi nyetrika baju kamu, Sayang." Livia mendengar suara Utary lalu melihatnya tergopoh-gopoh menuju stroller Randu dan menggendong anak itu. Utary tidak sendiri di sana tapi ada juga Marina, mertuanya."Bu Marina. Saya nggak tahu kalau Ibu datang," sapa Livia. Ia bermaksud menjabat tangan Marina sebagai tanda sopan santun pada mertuanya.Alih-alih akan menyambutnya wanita itu malah menyilangkan tangan di dada dan membiarkan tangan Livia menggantung di udara.Dengan
Livia sedang mengajak Randu jalan-jalan pagi di sekeliling rumah. Anak itu begitu anteng di dalam stroller. Semilir angin yang berembus membuat anak itu terkantuk-kantuk. Livia tersenyum melihatnya. "Ngantuk ya, Nak?" Livia mengecup pipi anak itu gemas.Tiba-tiba ponselnya berbunyi, membuat perhatian Livia teralihkan. Ia mengeluarkan benda itu dari dalam sakunya. Senyum terukir di bibirnya menyaksikan nama Langit tertera di layar.Livia jawab panggilan tersebut dengan nada ceria. "Iya, Lang. Tumben nelepon pagi-pagi?"Di seberang sana suara Langit juga terdengar riang. "Nggak boleh emang? Aku lagi kangen ngobrol sama kamu nih. Kamu ngapain?"Livia tertawa ringan. Diliriknya Randu yang sudah hampir tertidur di dalam stroller. "Saya lagi ajak Randu jalan-jalan ngelilingin rumah. Dia kayaknya udah mau tidur. Kalau kangen kenapa nggak ke sini aja?""Di sana herdernya galak, jadi takut kalau mau ke sana." Langit menjawab dengan nada bercanda. Livia tertawa lagi. Begitu tipis."Eh, Liv, n
Rajendra melangkah ke kamar Utary dengan berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalanya. Setelah pintu kamar ia buka, Rajendra mendapati Utary sedang leyeh-leyeh di atas tempat tidur sambil main hp.Melihat pemandangan itu Rajendra menghela napasnya."Tary," panggil Rajendra datar.Utary melihat sekilas kemudian kembali fokus pada ponselnya. "Ada apa, Ndra?" tanyanya acuh tak acuh sambil tetap memainkan ponselnya.Rajendra berdiri di sisi pintu, mengamati Utary dengan tatapan menusuk. "Kenapa bukan kamu yang mandiin Randu? Kenapa Livia?"Dengan malas Utary meletakkan ponselnya. "Kan udah aku bilang. Aku masih belum pulih, Ndra. Aku takut nanti Randu jadi kenapa-napa. Kalau dia jatuh saat aku mandiin gimana? Lagian Livia juga nggak keberatan. Dia happy-happy aja tuh."Rajendra membawa langkahnya mendekat. Hingga dirinya dan Utary saling berhadapan. "Tary, ini bukan soal happy atau enggak. Tapi soal kewajiban kamu sebagai ibu. Aku lihat Randu lebih dekat dengan Livia, bukannya dengan k
Perkataan Langit membuat langkah Rajendra terhenti. Rahangnya menegang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Langit seolah tahu caranya menusuk di tempat yang paling menyakitkan.Bersama napasnya yang menderu Rajendra memutar badan menghadap Langit. Tatapannya lebih tajam dari pisau, seakan hendak mengiris siapa pun yang berani menyakiti hatinya."Lo kalo ngomong hati-hati." Rajendra mengingatkan dengan nada penuh ancaman. Ia khawatir kalau saja ada orang yang berada di dekat mereka dan mendengar ucapan Langit tadi.Langit terkekeh. Tidak merasa gentar sama sekali. "Selow, Ndra. Gue kan cuma nanya. Kok lo jadi marah? Topiknya terlalu sensitif ya? Atau ..." Langit berhenti sesaat membiarkan pertanyaannya menggantung di udara. Kemudian ia kembali melanjutkan. "Lo mulai ngerasa bersalah sama Livia?"Geraman kecil keluar dari mulut Rajendra. Ia memang terusik mendengar nama Livia disebut. Tapi tidak mungkin ia menunjukkannya pada Langit."Urusannya apa sana lo?" Rajendra membalas de