"Mama kena gagal ginjal dan dokter bilang Mama harus cuci darah dua sampai tiga kali seminggu."Perbincangan dengan Yasmin tadi terus terngiang-ngiang di telinga Livia dalam perjalanannya di dalam taksi menuju kantor. Juga ucapan Yasmin yang menyuruh Livia meminta uang pada Rajendra. Livia tahu ia tidak mungkin melakukan hal tersebut karena Rajendra akan semakin menginjak-injak harga dirinya.Livia memandang keluar jendela taksi, menyaksikan lalu lintas yang padat namun terasa jauh dari pikirannya. Kata-kata Yasmin terus berputar di benaknya. Ibu mereka yang membutuhkan biaya besar untuk cuci darah, dan saran Yasmin untuk meminta bantuan keuangan pada Rajendra.Rajendra. Nama itu langsung menimbulkan rasa sesak di dada Livia. Ia tahu bagi Rajendra uang bukanlah masalah yang besar. Akan tetapi, meminta bantuan dari pria itu berarti membuka peluang baginya untuk kembali mempermalukan Livia. Selama ini, harga dirinya sudah cukup hancur oleh sikap dingin dan merendahkan Rajendra. Ia tida
Selepas dari kantor Rajendra, Livia naik ke lantai 17. Namun sebelumnya ia menelepon Yasmin memberi kabar bahwa uang untuk pengobatan ibu mereka akan dikirim oleh Rajendra.Yasmin terdengar girang melalui suaranya. Begitu kontras dengan Livia yang murung. Ekspresi wajahnya terus terbawa sampai ke kantor."Duh, enak bener ya baru datang jam segini," sindir Linda, rekan sekerjanya begitu melihat Livia muncul. Rekan-rekannya yang lain ikut julid.Livia yang tahu dirinya disindir tidak menanggapi sindiran Linda. Ia bahkan baru ingat belum meminta izin pada Langit sebelumnya.Livia menghela napas dan mencoba fokus pada pekerjaan yang menumpuk di mejanya. Namun tidak bisa. Ia kemudian keluar dari ruangannya menuju ruangan Langit.Setelah beberapa langkah, Livia berhenti sejenak di depan pintu ruangan Langit. Ia merasakan detak jantungnya berdebar kencang, antara rasa cemas dan ragu. Meskipun Langit adalah atasan yang baik, Livia tidak ingin mengecewakannya dengan keterlambatannya.Setelah b
Setelah ajakan papinya Rajendra masih mengalami kebimbangan. Ia ingin mengajak Livia, istrinya yang cacat, ke acara makan malam keluarga besar, tapi di sisi lain ia merasa tidak sampai hati meninggalkan Utary, kekasihnya yang sedang hamil."Nanti malam luangkan waktumu, Papi mengajakku ke acara makan malam," ujar Rajendra pagi itu pada Livia."Hubungannya dengan saya?" sahut Livia sambil tetap mengoles pemulas di bibirnya. Mendengar jawaban acuh tak acuh Livia membuat Rajendra sukses terpancing emosi. Ditatapnya perempuan itu dengan tajam. Kata-kata Livia selalu berhasil menyulut emosinya, tetapi ia tahu pertengkaran tidak akan menyelesaikan masalah. "Hubungannya?" Rajendra mengulang pertanyaan itu dengan nada yang dingin. "Kamu ini istriku, Liv. Tentu saja ada hubungannya. Papi ingin kita datang bersama. Apa itu terlalu sulit untuk dimengerti?"Livia menghentikan tangannya yang tengah mengoleskan pemulas di bibir, lalu menatap Rajendra sekilas di cermin. Tatapannya datar, nyaris ta
Rajendra terpaksa membawa istri yang dibencinya pergi memenuhi undangan makan malam dari papinya. Rajendra juga terpaksa meninggalkan kekasihnya di rumah karena tidak ingin papinya tahu. Ia hanya ingin orang-orang tahu bahwa hubungannya dengan Livia baik-baik saja dan mereka adalah suami istri yang bahagia.Di dalam mobil yang membelah jalan raya menuju rumah Erwin, suasana di antara Rajendra dan Livia dilingkupi oleh keheningan yang dalam. Rajendra menatap lurus ke depan, tangannya menggenggam kemudi dengan erat, sementara Livia duduk diam di sampingnya. Sesekali wanita itu melirik ke luar jendela dengan tatapan kosong. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya deru mesin yang terdengar samar-samar di antara mereka. Setiap kali Livia hendak membuka mulut untuk berbicara, ia ragu, takut kata-katanya hanya akan membuat suasana semakin tegang.Di sisi lain, Rajendra merasa tidak ada alasan untuk memulai percakapan. Baginya, kebersamaan mereka hanyalah sebuah kewajiban, bukan pilihan yang
Saat mobil mereka berhenti di halaman rumah Erwin, pandangan Rajendra menyapu deretan mobil yang terparkir rapi. Tanda bahwa saudara-saudaranya sudah tiba, membuatnya merasa semakin tertekan, karena harus mempertahankan citra pernikahan bahagia yang akan ia bangun di hadapan keluarga ayahnya.Rajendra melirik Livia dengan tatapan singkat yang penuh dengan rasa muak dan frustrasi yang dipendamnya. Di dalam hati ia bergumam penuh amarah, 'Bagaimana bisa hidupku berakhir dengan wanita cacat ini?'Bagi Rajendra, berada bersama Livia adalah beban yang harus ia tanggung, bukan pilihan yang ia inginkan.Rajendra menghela napas berat sebelum keluar dari mobil, mengumpulkan segenap ketenangan yang ia butuhkan untuk berpura-pura. Ia berjalan ke sisi mobil lalu membukakan pintu untuk Livia. Pria itu mengulurkan tangan, bukan karena peduli, tetapi semata-mata untuk menjaga image.Livia menerima uluran tangan Rajendra dengan senyum kecil yang dipaksakan, sadar bahwa bantuan itu tidak berasal dari
Rajendra sempat tertegun sejenak, menyadari bahwa semua mata kini tertuju padanya dan ponselnya. Sesaat itu pula obrolan yang ramai mendadak sunyi. Dengan ragu, Rajendra mengambil ponselnya dan menatap layar. Ia merasa jantungnya berdebar lebih kencang, mencoba menebak alasan Utary meneleponnya di tengah suasana makan malam ini. Padahal tadi saat di mobil kekasihnya itu juga sudah menelepon.Erwin, sang ayah yang duduk di seberangnya lantas berkata dengan nada bercanda. "Weekend begini siapa yang menelepon Pak CEO kita? Dari kantor?"Rajendra mencoba tertawa, meski suara tawanya terdengar sedikit tertekan. "Iya, mungkin urusan pekerjaan." Ia mereject panggilan dan menjawab ayahnya dengan nada santai, sambil berusaha keras untuk menutupi kegugupannya.Livia tetap diam. Ia memilih untuk tidak berkata apa-apa, hanya kembali berusaha menikmati hidangan di depannya, meski dalam hati ia merasa semakin jauh dari suaminya yang hanya berpura-pura.Hanya beberapa menit setelah panggilan pertama
Ketegangan masih melingkupi raut gagah Rajendra. Lelaki itu menyetir dengan kencang, membuat istrinya tidak tahan untuk tidak berkomentar."Kenapa kekasihmu? Keguguran? Atau kesurupan?" ujarnya sambil tersenyum asimetris.Sontak saja Rajendra mengalihkan pandangannya yang sejak tadi tertuju ke jalan raya pada Livia."Jaga mulutmu, Liv. Hati-hati kalau bicara," ucapnya marah."Apa salah saya? Saya kan cuma bertanya," jawab Livia ringan."Kalau itu yang kamu sebut bertanya, sebaiknya kamu pikir-pikir lagi sebelum bicara," ucap Rajendra dengan nada yang dingin. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terdengar tegas, menyiratkan batas yang tidak boleh dilanggar.Livia tertawa kecil, nada geli dalam suaranya jelas terdengar. "Kamu jadi begitu sensitif. Kenapa? Memangnya ada yang perlu ditakutkan?"Rajendra mengepalkan tangan di setir, membiarkan beberapa detik berlalu dalam keheningan. Pertanyaan Livia, meski diucapkan dengan nada bercanda membuatnya sakit hati. Tanpa melihat ke arah Livia,
Di depan cermin, Livia dengan hati-hati mengaplikasikan sentuhan akhir pada riasannya, memastikan penampilannya terlihat sempurna namun alami.Wajahnya tampak berseri-seri dengan sedikit rona merah di pipinya dan lipstik yang juga berwarna merah. Di atas meja rias ada beberapa aksesoris hendak ia gunakan. Mungkin ia akan memilih anting kecil berkilau atau gelang tipis untuk melengkapi penampilannya.Kemudian Livia mengambil tas dan memeriksa isinya untuk memastikan ia memiliki semua barang yang ia butuhkan seperti ponsel dan dompet.Sesekali, ia melirik jam di dinding untuk memperkirakan kedatangan penjemputnya. Pandangannya sejenak melayang ke luar jendela, menikmati langit malam yang muncul dari balik kaca.Ia kemudian mengingat tujuan mereka dengan penuh minat. Ia pernah mendengar bahwa restoran itu terkenal dengan suasananya yang hangat dan makanannya yang lezat.Senyum tipis tersungging di wajah Livia saat membayangkan waktu santai yang akan ia habiskan bersama Ryuga malam ini.
Setelah Livia mengunci pintu kamar, tubuhnya lemas dan ia merosot ke lantai dengan punggung bersandar pada pintu. Tangisnya pecah dan tidak mampu lagi untuk ia tahan. Hatinya hancur berkeping-keping. Kehancurannya kali ini lebih parah dari kehancuran apa pun yang pernah ia rasakan.'Kenapa ini semua terjadi padaku?' pikir Livia sambil memeluk lututnya, membiarkan perasaan sakit menguasainya.Dari balik pintu, Livia mendengar Rajendra mengetuk dengan panik. Suaranya begitu penuh dengan permohonan. "Liv, aku mohon buka pintunya dulu. Kita bisa bicara baik-baik, Sayang "Livia menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangan. Ia tidak ingin mendengar apa pun dari Rajendra. Semua yang keluar dari mulut lelaki itu hanyalah dusta belaka.Kenangan demi kenangan mengenai pernikahan mereka mulai bermunculan di benak Livia bagaikan film yang diputar ulang. Janji-janji Rajendra, senyumnya yang menawan, caranya mencumbu, serta sentuhannya yang begitu lembut, saat ini terasa begitu palsu.Li
Suasana di ruangan itu mendadak mencekam. Pernyataan Sharon membuat Livia mengernyitkan dahinya dan menatap Rajendra dengan sorot penuh tanda tanya."Maksudnya apa, Ndra? Kenapa dia bilang kamu akan kabur dari dia?" tanya Livia dengan perasaan tidak enak.Rajendra tidak sanggup berkata sepatah kata pun, seperti ada gumpalan besar yang menyumbat tenggorokannya."Livia, aku bisa jelasin nanti. Kita bicara berdua, Sayang," ucap Rajendra akhirnya tanpa bisa menyembunyikan rasa panik di wajahnya.Mendengarnya, membuat Sharon tertawa kecil. "Dia memang selalu mengatakan itu, Liv. Nanti, sebentar, besok dan banyak lagi lainnya. Padahal dia hanya ingin lari dari masalah.""Masalah apa?" Livia menatap Sharon dengan tatapan menusuk. "Boleh aku bicara?" Sharon pura-pura meminta izin."Bicaralah," jawab livia tidak sabar."Oke. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana." Lalu Sharon menatap Rajendra. "Aku harus mulai dari mana ya, Ndra? Apa semuanya harus kuceritakan?"Rajendra menggeram kesal n
Livia dan Rajendra mulai berbenah barang-barang mereka. Lusa mereka akan pulang ke Indonesia.Sebenarnya Livia masih ingin berada lebih lama di Ohio, tapi alasan yang disampaikan Rajendra membuatnya menyerah pada keinginan lelaki itu.Jauh di dalam hatinya Rajendra merasa bersalah. Uangnya masih banyak untuk biaya hidup di Ohio. Ia hanya ingin lari dari semua kenyataan ini. Ia tidak ingin Livia tahu fakta mengenai Lunetta yang merupakan darah dagingnya.Sementara itu Sharon terus mendesak. Lantaran Rajendra tidak mau menjawab panggilan darinya setiap kali Sharon menelepon, wanita itu memborbardirnya dengan pesan."Rajendra sayang, aku tidak bisa menunggu sampai enam hari lagi. Kepalaku semakin sering sakit. Dokter bilang aku harus dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu. Bagaimana dengan Lunetta? Apa aku harus mengantarnya ke apartemenmu?"Rajendra mendengkus membaca pesan itu lalu dengan kasar menghentakkan jarinya di layar gawai."Aku bilang tunggu dulu. Enam hari lagi nggak la
Rajendra mengemudikan mobilnya pulang dengan perasaan kacau. Amplop hasil tes DNA tergelak di dashboard, seakan menjadi pengingat atas kesalahan dan kebohongan yang selama ini ia simpan. Wajah Sharon dan Lunetta terus berkelindan di pikirannya. Tapi bayangan Livia yang tersenyum lembut selalu muncul di atas segalanya.Setibanya di hunian mereka Livia ternyata sudah pulang. Perempuan itu tersenyum ceria."Ndra, kata dokter Justin progress aku sudah 95%. Sebentar lagi aku bisa jalan kayak kamu, Ndra.""Syukurlah, Sayang," jawab Rajendra sambil memaksakan sebuah senyuman sambil menahan kecamuk di dadanya."Tadi kamu jalan-jalan ke mana sama Gadis?""Aku ajak dia ke playground. Dia happy di sana. Sampai nggak mau pulang," dusta Rajendra."Iya ya, Nak?" Livia terkikik sambil menggelitik Gadis yang membuatnya tertawa.Rajendra menatap interaksi ibu dan anak itu yang begitu bahagia. Akankah kebahagiaan tersebut tetap ada setelah Livia tahu kenyataan yang sebenarnya? ***Malamnya Rajendra me
"Ndra, tahu nggak, dokter aku udah ganti lagi. Namanya dokter Justin. Dia yang bakal menangani aku sampai sembuh. Dia bilang sebentar lagi aku bisa berjalan."Baru saja Rajendra tiba di apartemen ia disambut oleh ocehan Livia yang tampak begitu ceria.Rajendra terdiam sesaat. Ini membuatnya bingung. Dokter Hailey bilang kesempatan Livia untuk berjalan normal lagi sangat kecil, tapi dokter Justin mengatakan sebaliknya. Apa ini bukan hanya untuk menambah semangat Livia saja?"Ndra, kok diam?" Livia mengguncang tangan Rajendra yang terpaku."Eh, iya, Sayang. Aku ikut senang." Rajendra tersenyum kikuk. "Aaa ... aku udah nggak sabar. Coba deh kamu lihat."Livia kemudian melangkah di hadapan Rajendra setapak demi setapak. Rajendra memerhatikannya. Livia memang masih pincang tapi tidak separah dulu."Gimana, Ndra?" tanyanya setelah melakukan 'pertunjukan' berjalannya di hadapan Rajendra."Hebat, Sayang. Pincangnya udah nggak terlalu kelihatan. Aku yakin ini memang nggak bakal lama." Raje
Rajendra bangun lebih cepat dari Livia. Ia lalu duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap kosong ke arah jendela yang tirainya masih tertutup rapat.Livia masih pulas dalam tidurnya. Ekspresinya begitu tenang seolah tidak ada masalah yang membebani hidup mereka.Tapi lain halnya bagi Rajendra. Hari ini terasa bagaikan medan perang.Rajendra mengisi paru-parunya dengan udara baru lalu melangkah keluar kamar dengan hati-hati agar tidak membangunkan Livia.Ia melangkah ke dapur, menuang segelas air putih lalu meneguknya. Setelahnya ia duduk di kursi meja makan dengan kepala tertunduk.Pikirannya mengelana tentang tes DNA hari ini. Wajah Lunetta muncul tiba-tiba, disusul oleh tawa manis Gadis dan senyum lembut Livia. Skenario terburuk tentang bagaimana reaksi Livia jika semua ini terungkap terus mengejarnya.Mengusap wajah dengan kasar, Rajendra bangkit dari duduknya. Ia harus membantu Livia membuat sarapan untuk Gadis.Rajendra menyibukkan dirinya di dapur membuat mashed potato untuk
Rajendra membeku di bangku taman setelah Sharon pergi. Wajahnya tegang, sorot matanya kosong. Udara dingin semakin menusuk kulit tetapi tidak ia rasakan. Yang ada hanyalah suara-suara yang bergema di kepalanya dan menyiksa batinnya tanpa henti. 'Lunetta anak gue? Apa memang itu faktanya? Tapi kenapa bisa?' Rajendra mendengkus menertawakan kebodohannya sendiri. Bagaimana bisa ia seceroboh itu? 'Kalau memang semua ini benar, gue mesti ngapain?' Wajah lembut Livia melintas tepat di depan matanya. Livia telah melalui begitu banyak hal bersamanya. Tidak hanya rasa sakit fisik tapi juga luka batin yang mungkin saat ini belum sembuh sepenuhnya. Rajendra baru saja mendapat kepercayaan dari Livia. Lantas bagaimana ia harus menjelaskan semua ini pada Livia? Bagaimana caranya mengatakan pada Livia bahwa Sharon adalah mantannya dan mereka memiliki seorang anak gara-gara hubungan di masa lalu? Sungguh, Rajendra tidak sanggup untuk berterus terang. Rajendra tidak ingin kehilangan Livia. R
Rajendra memandang arlojinya yang melingkar di pergelangan kiri. Sudah lima belas menit lamanya ia menunggu di sebuah taman kecil di dekat danau. Udara dingin menerpa kulit. Daun-daun berguguran menutupi jalan setapak. Rajendra duduk di bangku taman di dekat pohon dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Tatapannya begitu gelisah. Ketika ia bermaksud mengambil ponsel untuk menghubungi orang yang akan bertemu dengannya saat ini, terdengar langkah kaki mendekat. Sharon muncul. Wanita itu mengenakan mantel panjang berwarna coklat. Wajahnya tampak pucat. Ia berjalan pelan ke arah Rajendra dengan sebuah tas tersampir di bahunya. "Hai, Ndra, long time no see," ucapnya sambil tersenyum. "Langsung saja, Sha. Kamu ingin bicara apa?" balas Rajendra dengan nada dingin. Ia tidak ingin berlama-lama berurusan dengan Sharon. "Kamu nggak mau menyilakanku duduk dulu?" "Kamu bisa duduk sendiri kalau kamu mau." Nada suara Rajendra masih sedingin tadi. Sharon tersenyum getir melihat R
Dulu, pada bulan pertama memulai terapi fisik adalah hal yang paling sulit bagi Livia. Ia masih sangat bergantung pada tongkatnya. Setiap langkah begitu berat dan tubuhnya juga sering terasa lelah. Namun Livia tidak menyerah. Setiap hari ia melatih kakinya meski hanya berjalan mengitari apartemen.Di bulan kedua sudah ada kemajuan kecil. Livia mulai bisa berjalan tanpa tongkat meskipun hanya selangkah dua langkah.Di bulan ketiga tongkat mulai jarang ia gunakan saat berada di apartemen. Livia mulai bisa berjalan sendiri dengan langkahnya yang masih terpincang. Ia merasa bahagia setiap kali bisa berjalan lebih lama tanpa merasa terlalu lelah.Tiba di bulan kelima Livia hampir tidak pernah menggunakan tongkatnya lagi. Ia sudah cukup percaya diri untuk keluar apartemen meskipun kakinya masih pincang, tapi berjalan tanpa menggunakan tongkat meningkatkan rasa percaya dirinya. Walau masih ada yang memandang aneh tapi dengan tidak adanya tongkat tidak semua orang memperhatikannya seperti dul