Di depan cermin, Livia dengan hati-hati mengaplikasikan sentuhan akhir pada riasannya, memastikan penampilannya terlihat sempurna namun alami.Wajahnya tampak berseri-seri dengan sedikit rona merah di pipinya dan lipstik yang juga berwarna merah. Di atas meja rias ada beberapa aksesoris hendak ia gunakan. Mungkin ia akan memilih anting kecil berkilau atau gelang tipis untuk melengkapi penampilannya.Kemudian Livia mengambil tas dan memeriksa isinya untuk memastikan ia memiliki semua barang yang ia butuhkan seperti ponsel dan dompet.Sesekali, ia melirik jam di dinding untuk memperkirakan kedatangan penjemputnya. Pandangannya sejenak melayang ke luar jendela, menikmati langit malam yang muncul dari balik kaca.Ia kemudian mengingat tujuan mereka dengan penuh minat. Ia pernah mendengar bahwa restoran itu terkenal dengan suasananya yang hangat dan makanannya yang lezat.Senyum tipis tersungging di wajah Livia saat membayangkan waktu santai yang akan ia habiskan bersama Ryuga malam ini.
"Maaf agak lama," kata Ryuga begitu bertemu muka dengan Livia."Oh nggak kok, on time banget malah," jawab Livia sambil tersenyum.Penampilan Livia malam itu membuat Ryuga terpukau. Dress berwarna lembut, rambut panjang digerai indah dengan aksen gelombang di bawahnya, plus lipstik berwarna merah seolah melambangkan seorang wanita yang lembut, elegan tapi berani. Livia begitu cantik. Andai saja kakinya tidak pincang perempuan itu akan begitu sempurna."Oh iya, Liv, Rajendra mana? Saya mau minta izin ke dia dulu untuk membawa kamu." Kepala Ryuga celingukan ke arah rumah."Dia ada di dalam, tapi tadi saya udah minta izin kok mau pergi sama kamu.""Berarti nggak apa-apa kalau kita pergi sekarang?"Livia menganggukkan kepalanya dan membatin, sopan sekali lelaki ini. Hanya untuk pergi makan malam saja harus meminta izin pada Rajendra.Ryuga membukakan pintu untuk Livia. Seperti biasa membiarkan perempuan itu masuk dan menutupkan pintu mobil setelahnya.Seperti biasa juga Rajendra mengintip
Livia dan Ryuga tiba di restoran. Sebuah restoran mewah dengan alunan musik jazz yang diputar pelan. Keduanya duduk di dekat jendela. Dari spot itu mereka bisa melihat pemandangan kota yang indah di kala malam.Ryuga menarikkan kursi untuk Livia sebelum kemudian lelaki itu duduk di seberangnya."Indah sekali ya tempat ini. Saya suka pemandangannya. Ini baru dinner with view," ujar Livia yang disambut senyuman kecil Ryuga.Ryuga menatap Livia dengan senyuman yang lebih dalam, ia memerhatikan cara perempuan itu menikmati pemandangan di luar jendela. "Saya senang kalau kamu suka. Berarti saya nggak salah memilih tempat ini," ucapnya pelan, matanya tetap tertuju pada wajah Livia, bukan pada pemandangan yang ia bicarakan.Livia terus menatap ke luar, berusaha mengabaikan tatapan intens Ryuga padanya."Ryuga, kamu sering makan di sini?" tanyanya memindahkan topik obrolan, juga beralih menatap pria itu."Nggak juga. Kalau boleh jujur ini memang tempat favorit saya. Dan saya ke sini hanya ber
"Shit!" Rajendra mengumpat dengan penuh kekesalan ketika menelepon Livia tapi ternyata istrinya yang cacat itu tidak bisa dihubungi. Dia mematikan teleponnya. Dia sengaja. Pasti."Ndra, mana susunya?" rengek Utary, sang kekasih, dari atas tempat tidur. Perempuan itu leyeh-leyeh di sana. Embusan napas panjang, keluar dari bibir Rajendra. Ditatapnya handphone yang masih berada di tangannya dengan perasaan jengkel yang mengubun-ubun.Ketika melihat ke ranjang, Utary dengan perutnya yang semakin besar membalas tatapan Rajendra dan semakin terlihat tidak sabar. “Ndra, gimana sih? Dari tadi aku minta susu kamu kok diam aja?" ucap perempuan itu jengkel karena tidak ada usaha apa pun yang dilakukan Rajendra. Sejak tadi pria itu sibuk dengan ponselnya.Setiap memandang cantiknya wajah Utary, Rajendra merasakan cinta dan harapan. Namun, setiap kali ingatan tentang Livia memenuhi kepalanya, ia bagai dijebak. Meskipun pengorbanan Livia begitu banyak, namun Rajendra tetap tidak bisa mencintainya
Suasana yang tadinya nyaman mendadak berubah tegang ketika Livia dan Ryuga menemukan Rajendra berdiri di hadapan mereka. Ryuga dengan cepat menarik tangannya dari atas meja, sedangkan Livia tampak sedikit gugup."Ndra ...," pelan suara Livia seolah tidak memiliki kekuatan untuk mengucapkannya.Ryuga tetap bersikap tenang. Ia berdiri guna menghargai Rajendra. Tapi ekspresi Rajendra tidak berubah. Tatapannya sedingin salju namun ada api amarah di balik matanya yang berusaha lelaki itu sembunyikan. "Jadi ini makan malam yang dimaksud?" suara Rajendra semakin dingin menyamai tatapannya.Livia mencoba menjelaskan dengan tetap tenang. Sekuat mungkin mencoba agar tidak gugup karena gugup sama artinya dengan bersalah. "Kami memang makan malam dan ngobrol biasa, Ndra.""Ngobrol biasa?" Rajendra menggulir matanya menatap Livia dan Ryuga bergantian. Rajendra tidak puas oleh jawaban itu. Baginya hal yang ia lihat tadi lebih dari sekadar makan malam dan ngobrol biasa. Apalagi dalam situasi yang m
Setibanya mereka di rumah, ternyata Utary sudah tertidur. Hal itu membuat beban Rajendra jadi berkurang. Lelaki itu mengembuskan napas lega. Ia masuk ke kamarnya dan menemukan Livia sedang mengganti pakaian.Rajendra menahan tangan Livia yang akan memasang pakaian ganti lalu mendorong istrinya itu ke tempat tidur hingga perempuan itu telentang di sana.Tidak membuang kesempatan Rajendra lekas melampiaskan amarahnya. Tangannya bergerak merangkum pipi Livia."Lepasin saya!" seru Livia tidak ingin disentuh."Oh, jadi aku tidak boleh menyentuhmu. Jadi hanya lelaki itu yang boleh?" Mendadak Rajendra menjadi emosi, terlebih ketika teringat bagaimana Ryuga memegang tangan Livia tadi dan perempuan itu tampak senang-senang saja. Tidak ada penolakan darinya.Rajendra menindih tubuh Livia. Tatapannya begitu dipenuhi amarah."Apa kamu tahu? Kamu itu wanita yang sudah menikah. Kamu istriku, Livia. Nggak sepantasnya kamu berbuat seperti tadi.""Lepasin saya, Ndra. Sakit!" Livia terus berontak. Raj
Livia terbangun di sofanya yang dingin dengan keadaan kepala sedikit berat. Hal pertama yang ia lihat adalah tempat tidur yang kosong. Agaknya suaminya benar-benar tidur di kamar kekasihnya kemarin malam.Dengan perasaan hampa, Livia mendekap selimutnya, mencoba mencari kehangatan yang entah mengapa tidak pernah ia temukan di rumah ini.Ditariknya napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang terasa semakin perih. Pikirannya masih berkecamuk memikirkan bagaimana ia sampai dalam situasi seperti ini, menikah dengan pria yang tidak mencintainya dan bahkan terang-terangan membiarkan kekasihnya tinggal di rumah mereka. Melangkah gontai, Livia menuju dapur. Tangannya mulai sibuk menyiapkan sarapan, mencuci sayuran dan menyalakan kompor, seolah semua aktivitas itu bisa mengusir rasa dingin yang mengisi setiap sudut di hatinya. Namun, ada momen-momen kecil di tengah kesibukannya, ketika ia mendapati dirinya termenung, menatap hampa ke arah panci yang mendidih, merasakan kenyataan pernikah
Livia berjalan menuju kamar mandi, merasakan air hangat mengalir membelai kulitnya. Saat mengusap sabun ke tubuhnya, pikirannya tidak bisa lepas dari suasana di ruang makan tadi. Senyuman Utary yang cerah, wajah bahagia Rajendra saat mengelus perut kekasihnya, semua itu menghujam hatinya lebih dalam."Kenapa harus aku yang mengalami semua ini?" desahnya pelan, suaranya teredam oleh suara air yang mengalir.Setelah selesai mandi, Livia menatap refleksinya di cermin. Rambutnya basah tergerai, wajahnya tampak lelah. Ia tidak mengenali dirinya sendiri yang terjebak dalam pernikahan yang penuh kepalsuan.Dengan enggan, ia mengenakan pakaian terbaik yang bisa ia temukan. Ketika melihat bayangannya, dia berharap bisa menemukan sosok kuat yang pernah ada dalam dirinya. Setelah beberapa saat, ia berhasil menarik napas dalam-dalam dan melangkah keluar dari kamar mandi.Di ruang tamu, suasana tetap ceria. Livia menahan diri untuk tidak memperhatikan betapa mesranya Rajendra dan Utary, berusaha m
Rumah besar Livia dan Rajendra kini terasa sunyi. Anak-anak sudah besar dan berkeluarga. Tapi di setiap akhir pekan rumah mereka selalu ramai oleh tawa canda cucu dan cicit mereka. Anak-anak selalu menawarkan Rajendra dan Livia untuk tinggal bersama mereka tapi keduanya menolak. Mereka lebih memilih untuk tinggal berdua saja dan menghabiskan masa tua bersama.Rajendra dan Livia saat ini sedang berada di kamar mereka. Rajendra sudah berumur 90 tahun sedangkan Livia 3 tahun di bawahnya. Keduanya berbaring di tempat tidur."Hujannya lama ya, Ndra, dari tadi nggak berhenti-henti," kata Livia sembari memandang ke luar jendela, pada titik-titik hujan yang terus berjatuhan."Iya, Sayang. Sekarang kan lagi musim hujan.""Dingin ..." Rajendra merengkuh Livia, memberi lengannya untuk istrinya itu berbaring sedangkan satu tangannya lagi memeluk tubuh Livia. Meski rambut mereka sudah sepenuhnya memutih dan wajah mereka sudah keriput tapi cinta mereka begitu kuat.Livia tersenyum. "Berada di peluk
Hari-hari setelah kehamilannya terasa berat bagi Gadis. Setiap hari ia mengalami morning sickness yang menyebabkan susah makan.Randu yang biasanya pagi-pagi berangkat ke kedutaan kini harus mengurus Gadis lebih dulu sebelum pergi ke kantornya."Makan dikit ya, Abang bikinin sup hangat atau maunya roti coklat aja?" kata Randu sambil mengelus pundak Gadis yang terduduk lemas di sofa.Gadis menggelengkan kepalanya. "Adis nggak mau apa-apa, Bang. Adis nggak selera makan apa pun.""Tapi setidaknya Adis harus makan sedikit biar ada isi perutnya. Ingat, Dis, anak kita juga butuh asupan."Gadis tersenyum melihat perhatian Randu dan kepanikannya di waktu yang sama. "Ya udah, Adis mau minum teh hangat aja sama roti coklat," putusnya walau kemudian kembali berakhir dengan muntah.Malam harinya saat video call dan mengetahui keadaan Gadis, Livia langsung mengambil keputusan."Ndra, aku harus berangkat.""Ke mana?" tanya Rajendra."Ke Turki. Aku harus nemenin Gadis. Dia butuh aku saat ini. Ini ke
Gadis dan Randu memulai kehidupan mereka sebagai suami istri begitu tiba di Ankara, ibukota Turki. Kota itu terasa begitu berbeda dengan suasana di Indonesia. Udara dingin menusuk di musim gugur. Arsitektur Eropa bercampur dengan sentuhan Ottoman serta hiruk pikuk kehidupan yang begitu asing bagi Gadis.Randu sebagai diplomat muda langsung disibukkan dengan pekerjaannya di kedutaan besar Indonesia. Seringkali ia harus menghadiri rapat dengan pejabat Turki, menerima delegasi dari Indonesia, atau menghadiri acara-acara diplomatik. Sementara itu gadis masih beradaptasi dengan kehidupan barunya. Awalnya ia merasa canggung tinggal di negeri orang. Namun Randu selalu berusaha membuatnya nyaman. Mereka tinggal di sebuah apartemen yang luas dengan pemandangan kota Ankara yang indah.Setiap pagi Randu berangkat ke kedutaan, sementara gadis mulai membangun rutinitasnya sendiri. Ia mengambil kursus bahasa Turki agar bisa lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang sekitar. Selain itu ia juga se
Hari keberangkatan Gadis dan Randu ke Turki semakin dekat. Di rumah keluarga Rajendra suasana haru kian terasa.Livia sibuk memastikan semua keperluan Gadis sudah siap. Ia berulang kali memeriksa koper putrinya hanya demi memastikan tidak ada barang penting yang tertinggal."Adis, kamu yakin semuanya udah lengkap? Paspor, obat-obatan, udah?" tanya Livia dengan suara bergetar.Gadis tersenyum tipis, ia mencoba menenangkan perasaan ibunya. "Udah, Bunda. Tenang aja, Adis udah cek berkali-kali, sama kayak Bunda."Namun, Livia tetap terlihat cemas. Tangannya gemetar saat merapikan baju-baju Gadis di koper."Nda, udah. Jangan kayak gini. Nanti Adis bakal sering nelepon dan video call sama Bunda kok," kata Gadis menenangkan sang bunda.Livia mengangguk tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia belum siap berpisah dengan Gadis, namun juga tidak mungkin menahan Gadis agar tetap bersamanya karena Gadis sudah menikah.Rajendra juga mencoba untuk tegar. Ia diam saja, memerhatikan semua persiapan denga
Akad nikah Gadis dan Randu sudah selesai dilaksanakan. Acara disambung dengan resepsi pernikahan.Acara tersebut tampak meriah. Para tamu yang datang terlihat puas. Baik oleh penyelenggaraan acaranya maupun dari hidangan yang disajikan. Wedding singer yang berada di atas panggung yang berada tidak jauh dari pelaminan tidak ada hentinya menyanyikan lagu romantis, membuat atmosfer penuh cinta semakin terasa."Liv, aku mau nyanyi boleh nggak?" kata Rajendra tiba-tiba."Hah?" Mata Livia melebar mendengarnya. "Emang kamu bisa nyanyi?""Bisa dong walau suara aku pas-pasan," kekeh Rajendra.Livia ikut tertawa. "Ya udah gih, nyanyi sana biar anak-anak tahu kalau papanya ada bakat terpendam.""Kamu mau ikutan nyanyi sama aku?""Aku ngeliat dari sini aja."Rajendra berjalan ke belakang panggung, berbicara dengan seseorang lalu naik ke atas panggung. Mikrofon yang tadinya ada di tangan wedding singer berpindah ke tangan Rajendra."Bang, itu Papa mau ngapain?" tanya Gadis yang duduk di pelaminan
Begitu mendapatkan restu dari Erwin, persiapan pernikahan Gadis dan Randu segera disiapkan.Livia yang paling sibuk. Ia memastikan bahwa semua berjalan lancar dan sempurna untuk anak perempuannya. Begitu pula dengan Rajendra. Ia lebih disibukkan dengan urusan administratif.Gadis menginginkan pernikahan yang sederhana tapi tetap elegan. Setelah berdiskusi panjang akhirnya mereka memutuskan menyewa gedung yang memiliki nuansa taman di dalamnya dengan lampu-lampu gantung. Sementara untuk dekorasinya sendiri dihiasi nuansa putih dan hijau yang menyimbolkan kesan alami dan damai.Untuk pakaian pengantin Randu mengenakan beskap putih klasik. Sedangkan Gadis memilih gaun putih gading dengan detail bordir yang lembut. Saat pertama kali mencobanya ia termenung di depan cermin, menyadari bahwa sebentar lagi hidupnya akan berubah.Mengenai undangan mereka mencetak undangan simpel dengan desain minimalis. Gadis dan Randu memutuskan hanya mengundang orang-orang terdekat. Meskipun begitu Rajendra
"Yang benar aja kamu, Ndra. Nggak mungkin Gadis nikah sama Randu!" Begitu kata Erwin di saat Rajendra mengatakan tentang rencana menikahkan kedua anaknya."Aku dan Livia juga kaget, Pi. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka berdua saling mencintai," ujar Rajendra pada Erwin."Kayak nggak ada orang lain aja." Erwin terlihat tidak setuju atas rencana pernikahan keduanya."Ya mau gimana lagi, Pi. Namanya juga cinta."Erwin terdiam. Ia kehilangan kata untuk menjawab kata-kata Rajendra."Pi, kita restui saja mereka. Jangan dipersulit," pinta Rajendra." Aku nggak ingin melihat anakku menderita apalagi kalau mereka sampai kawin lari."Erwin menghela napasnya lalu bertanya, "Sejak kapan mereka pacaran?""Sudah cukup lama, Pi. Livia yang punya firasat itu tapi aku nggak percaya. Sampai akhirnya keduanya mengaku."Erwin terdiam lagi seolah sedang memikirkan perkataan Rajendra. "Kamu nggak lupa siapa orang tua Randu kan, Ndra? Jangan lupa dia anak Utary dan nggak tahu siapa bapaknya.""Aku udah lupakan
"Liv love, kamu ngeliat Gadis nggak?" tanya Rajendra setelah masuk ke ruangan Livia. Setelah semua yang terjadi Livia juga bekerja di kantor menjadi asisten pribadi Rajendra. Lagi pula anak-anak sudah besar."Paling pergi makan siang bareng Randu," jawab Livia sambil merapikan ikatan rambutnya."Makin hari mereka semakin dekat," komentar Rajendra."Iya. Aku pun ngeliatnya begitu." Livia menimpali. "Kamu ngerasa nggak sih, kalau hubungan mereka kayak udah nggak wajar?""Nggak wajar gimana?" Rajendra mengerutkan dahinya.Livia tampak ragu namun tak urung mengatakan. "Aku ngeliat mereka kayak orang lagi pacaran. Benar nggak?"Rajendra tertawa mendengarnya. "Kamu ada-ada aja, Sayang. Randu dan Gadis kan dari kecil sudah tumbuh bersama. Mereka itu kakak adik. Nggak mungkin mereka seperti yang kamu bilang."Livia terdiam. Yang dikatakan Rajendra ada benarnya. Tapi firasatnya berkata lain. Sebagai seorang ibu ia tahu persis ada yang berbeda dalam hubungan Randu dan Gadis. Cara Randu menatap
Waktu terus berlalu tanpa bisa dihentikan. Setiap detik yang terlewati bagaikan anak panah yang melesat dengan cepat.Anak-anak sekarang sudah dewasa. Randu sudah bekerja sebagai salah satu staff di Kemenlu. Sedangkan Gadis melanjutkan kerajaan bisnis Rajendra bersama dengan Livia. Hubungan Gadis dengan Randu sangat dekat. Bahkan tidak bisa lagi dibilang sebagai kakak adik biasa. Tumbuh bersama sejak kecil dan melewatkan berbagai hal berdua membuat mereka saling terikat satu sama lain. Meski tidak ada pernyataan cinta yang terucap namun keduanya menyadari bahwa mereka berdua saling mencintai. Hanya saja mereka tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Rajendra dan Livia menganggap keduanya saling menyayangi sebagai kakak dan adik. Tidak sedikit pun terbersit di pikiran mereka bahwa keduanya akan melewati batas itu."Dis, Abang pengen ngomong. Bisa nggak kita ketemuan makan siang nanti?" Itu pesan yang diterima Gadis dari Randu ketika ia sedang sibuk-sibuknya bekerja di kantor."Ha