Livia termenung lama sambil menunggu nama Utary dipanggil. Ia tidak mengerti pada dirinya sendiri. Kadang Livia merasa kuat untuk melawan Rajendra, namun di saat yang lain ia merasa begitu lemah sehingga menurut dan patuh pada apa pun kata-kata dan perintah lelaki itu.Lama menunggu, ponsel Livia berbunyi. Wajahnya yang tadi muram berubah ceria mengetahui nama langit tertera di layar. Senyum kecil terbit di bibirnya seolah Langit bisa membebaskannya dari segala masalah yang menghimpit Livia.Tanpa membiarkan dering berikutnya berbunyi Livia langsung menjawab panggilan telepon dari Langit."Halo, Langit." Livia menyapa dengan lembut."Hai, Liv, lagi di mana?""Saya di rumah sakit.""Siapa yang sakit? Kamu?" Tiba-tiba suara langit begitu penuh dengan kekhawatiran."Bukan. Tadi saya menemani Utary cek kandungan dan sekarang lagi nunggu obat di apotik.""Kenapa kamu ikut dengan mereka? Rajendra ada di sana?""Rajendra dan Utary sudah pergi. Saya yang diminta untuk mengambil obat karena Ut
Dua puluh menit kemudian Livia melihat Langit sedang melangkah ke arahnya. Pria itu mengenakan kaos oblong putih dan celana jeans. Ada rasa kasihan di matanya melihat Livia duduk bersama orang-orang lain yang juga sedang menanti antrian di apotik."Liv," sapa Langit yang berdiri di depan Livia. Kursi tunggu sudah pada penuh sehingga Langit tidak bisa duduk.Livia tersenyum. "Kenapa ke sini?" tanyanya."Buat meyakinkan diriku sendiri kalau kamu baik-baik saja," jawab Langit. Keresahan di hatinya tidak kunjung hilang. "Masih lama?""40 antrian lagi," jawab Livia sambil menunjukkan nomor antriannya.Langit mengerutkan dahinya melihat giliran Utary yang masih jauh. Sumpah, ia benar-benar kesal pada Rajendra."Ya udah sih, Liv, tinggalin dulu, nanti kita ke sini lagi," kata Langit mencetuskan ide. Lebih baik mereka pergi ke tempat lain untuk menyegarkan pikiran daripada ikut berkerumun di tempat sesak ini.Livia mengangguk setuju. Ia berdiri kemudian melangkah terpincang di sebelah Langit
Setiba di dalam mobil Livia dan Langit kembali melanjutkan percakapan. "Makasih atas nasihatnya, Lang. Saya sangat menghargai kamu," ucap Livia. "Saya akui semua yang kamu katakan itu benar, tapi entah mengapa saya masih berharap akan ada sedikit cinta dari Rajendra untuk saya.""Nggak ada yang salah dari sebuah harapan, Liv," jawab Langit sembari menyalakan mesin mobil. Kemudian lelaki itu menyambung perkataannya. "Tapi berharap dari sebuah ketidakpastian pasti sangat menyakitkan. Kamu berhak atas seseorang yang mencintai kamu, bukan hanya orang yang sekadar ada di dekat kamu.""Sayangnya nggak semua orang bisa memilih jatuh cinta pada siapa, Lang," timpal Livia mempertahankan pendapatnya."Itulah gunanya akal. Agar kita bisa berpikir dan memilih jatuh cinta pada siapa. Cinta seharusnya membuat kita bahagia bukannya menderita."Keduanya terus saja berdebat. Livia terus mempertahankan pendapatnya sedangkan Langit tak henti mengemukakan argumennya untuk mematahkan Livia."Tapi ya suda
Ketegangan antara Rajendra dan Langit terlihat dengan jelas.Rajendra tidak menyukai kehadiran Langit, apalagi Langit terlihat terlalu dekat dengan istrinya."Gue cuma nganterin Livia," ucap Langit santai, matanya tidak lepas dari ekspresi Rajendra.Rajendra mendengkus dengan sorot dingin. “Nggak perlu pake diantar. Ada yang namanya taksi."Langit hanya tersenyum, tidak ingin memperpanjang perdebatan dengan Rajendra. "Karena lo sepupu gue jadi Livia otomatis sepupu gue juga, Ndra.Nggak ada salahnya kalau gue peduli kan? Lagian gue kasihan ngeliat dia lo perlakukan kayak gitu."''Peduli?'' Rajendra mengikis jarak. Suaranya terdengar berbisik. "Gue cuma mau memastikan kepedulian lo itu nggak melampaui batas." Langit tertawa kecil dan tampak tidak terpengaruh oleh peringatan Rajendra. "Tenang, Ndra. Nggak semua orang jahat seperti yang ada di pikiran lo itu."Rajendra menggeram kesal, menahan amarah yang memuncak di dadanya. "Kalau udah nggak ada urusan lagi mending lo pergi sekarang,"
Pukulan itu meninggalkan bekas di pipi Rajendra dan membuat wajahnya tertoleh ke samping. Ia terkejut, tidak pernah menduga Livia berani melakukan hal seperti itu.Suasana terasa mencekam dan keduanya terdiam beberapa saat.Wajah Livia memerah bukan hanya karena marah tapi juga karena kesedihan yang mendalam. "Jangan pernah menghina saya seperti itu lagi, Ndra," suara Livia bergetar. Matanya dipenuhi amarah dan rasa sakit. “Kamu nggak berhak bicara seperti itu pada saya. Saya tahan dengan kelakuanmu dan masih bertahan di sini karena berusaha menjadi istri yang baik."Rajendra menyentuh pipinya yang memerah dan terasa perih. Sepasang matanya masih menatap Livia dengan campuran amarah dan keterkejutan. “Kamu pikir aku nggak tahu apa yang kamu lakukan? Kamu selalu mencari perhatian orang lain dengan kecacatanmu itu."Livia mendengkus lalu menatap suaminya dengan mata terluka. “Kamu terlalu picik untuk mengerti. Saya bekerja dan berinteraksi dengan orang lain adalah satu-satunya cara aga
Jihan termangu sejenak, seakan tidak percaya pada apa yang ada di hadapannya. Livia berdiri di depannya dengan wajah yang terlihat lelah dan penuh kesedihan."Kenapa ke sini?" Jihan bertanya. Ada nada tidak senang dalam suaranya.“Ma, izinkan aku masuk dulu. Nanti akan kuceritakan," pinta Livia begitu penuh harap.Meski dengan berat hati Jihan tetap mengizinkan Livia masuk. Setelah duduk di sofa ruang tamu Livia mulai bercerita."Aku dan Rajendra sedang ada masalah, Ma. Aku nggak tahu lagi harus pergi ke mana. Jadi tolong izinkan aku tinggal sementara di sini."Jihan menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Sorot matanya menajam saat ia menatap Livia yang duduk dengan wajah penuh keputusasaan.“Kenapa kamu sebodoh itu, Livia?" Suara Jihan meningkat drastis. "Apa kamu nggak berpikir dari mana kita mendapat uang kalau bukan dari Rajendra? Kamu lupa kalau Mama sakit? Atau kamu ingin Mama mati? Begitu kan yang kamu inginkan?"Livia terdiam mendengar kemarahan ibunya. Ia tidak
Livia merebahkan tubuhnya ke ranjang. Ia ingin tidur sekarang mengistirahatkan badan dan pikirannya. Ketika ia hendak memejamkan mata pintu kamarnya diketuk bersamaan dengan suara Jihan."Livia, buka pintunya!"Dengan enggan Livia bangun lalu berjalan ke arah pintu. Tampak Jihan sedang membawa nampan berisi sepiring nasi dan gelas air putih."Kamu pasti lapar, ayo makan dulu.""Aku nggak selera, Ma," jawab Livia menolak."Ayolah, Livia, Mama sudah susah payah menyiapkannya untukmu. Hargai Mama sedikit."Livia terpaksa menerima nampan tersebut. "Makasih, Ma.""Hm." Jihan menggumam pelan kemudian meninggalkan kamar Livia.Livia menutup pintu. Diletakkannya nampan di atas meja. Ia benar-benar kehilangan selera makan. Yang dilakukannya hanya meneguk air putih di gelas sampai tandas kemudian kembali ke tempat tidur.***Belum sampai sehari Livia pergi tapi Rajendra sudah seperti cacing kepanasan. Biasanya Livialah yang mengurus segalanya. Mulai dari pakaian sampai makanan. Rajendra pikir h
Jihan.Untuk apa mertuanya itu menelepon? Mau minta uang lagi?Namun sesaat kemudian ia teringat pada Livia. Bisa saja panggilan dari Jihan untuk membicarakan mengenai Livia kan? Atau jangan-jangan saat ini Livia memang sedang berada di rumah Jihan.Demi menjawab rasa penasarannya Rajendra terpaksa menjawab panggilan dari orang yang sebenarnya ia malas bicara dengannya."Halo," suaranya datar."Rajendra?""Ya.""Ini Tante Jihan. Tante hanya ingin memberitahu bahwa Livia ada di sini."Entah mengapa Rajendra merasa lega mendengar informasi yang diterimanya."Tadi Livia datang dan mengatakan kalian sedang ada masalah. Tante sudah menyuruhnya pulang ke rumah kalian tapi dia nggak mau. Tolong maafkan anak Tante ya. Walau sudah dewasa tapi kadang dia masih kekanakan.""Ya, Tante, saya mengerti," jawab Rajendra pendek."Tante sudah nasihati dia bahwa masalah dalam rumah tangga itu biasa. Livia nggak seharusnya pergi dari rumah." Jihan melanjutkan perkataannya. "Bisa kamu jemput Livia sekaran
"Memangnya dia siapa sih, Pa? Kenapa harus pulang dengan kita dan ikut ke rumah?" tanya Lunetta di tengah-tengah kebimbangan Gadis."Lunetta, ini namanya Gadis. Dia adalah anak Papa juga," terang Rajendra menjelaskan."Anak Papa? Bukankah anak Papa hanya ada dua? Aku dan Randu?" Lunetta tampak tidak terima."Anak Papa sebenarnya ada tiga. Tapi Gadis tinggal sama bundanya, nggak sama Papa."Lunetta tampak kebingungan. Ia tidak mengerti bagaimana hal ini bisa terjadi.Rajendra yang mengerti kebingungan Lunetta lantas menjelaskan. "Lunetta, sekarang kamu memang belum mengerti. Tapi nanti setelah kamu dewasa kamu akan paham segalanya. Yang jelas kalian bertiga bersaudara. Kalian semua anak Papa. Jadi kalian harus saling menyayangi." Rajendra menjelaskan sambil memandangi putra dan putrinya bergantian."Baik, Pa," jawab Randu. Sedangkan Lunetta hanya diam. Anak itu masih cemberut.Di saat itu petugas daycare yang mengenal Rajendra karena suaminya adalah cleaning service di tempat Rajendra
Rajendra mematung memandangi punggung Livia yang membawa Gadis jauh darinya. Kedua anaknya, Randu dan Lunetta berdiri di sebelahnya tanpa suara seolah mengerti bahwa hati ayah mereka sedang terluka parah."Papa, yang tadi siapa?" Randu memberanikan diri untuk bertanya."Itu Gadis dan Bunda Livia. Dulu waktu Randu kecil Bunda Livia yang selalu mengurus dan merawat Randu," terang Rajendra singkat.Mata Rajendra masih terpaku pada Gadis. Anak perempuan yang sangat ia sayangi kini memandangnya seperti orang asing.Hari itu Rajendra merasa dunianya runtuh. Anak kandungnya tidak mengenalinya sedangkan istrinya yang masih ia cintai bersikap seolah-olah tidak pernah ada dalam hidupnya.Namun Rajendra bertekad. Ia akan menemukan cara agar bisa kembali pada istri dan anaknya. Langkah pertamanya adalah mencari kebenaran. Mencari peran Javier dalam hidup Livia dan apa yang terjadi selama tiga tahun lebih ini. Hatinya memang hancur, tapi ia tidak akan berhenti sampai mendapatkan Livia kembali. Li
Sedikit pun Rajendra tidak menyangka kalau jawaban tersebut akan keluar dari mulut Livia.Kenapa Livia pura-pura tidak mengenalnya? Apa ini bentuk pembalasan dari perempuan itu atas rasa sakit hatinya? Atau dia mengalami amnesia?"Kamu benar-benar nggak ingat aku, Liv? Aku Rajendra. Su--""Maaf, saya nggak kenal anda dan kita belum pernah bertemu sebelumnya," potong Livia memutus ucapan Rajendra yang belum selesai. "Jav, ayo!" ajak Livia menarik tangan Javier."Ndra, gue duluan ya," kata Javier menuruti permintaan Livia.Rajendra hanya bisa memerhatikan punggung Livia yang menjauh. Banyak pertanyaan antri di benaknya.Apa Livia sudah menikah dengan Javier? Apa anak perempuan kecil itu adalah Gadis, putri cantik kesayangannya?Rajendra terus memerhatikan ketiganya dari jauh. Hatinya terasa pilu saat melihat kebersamaan ketiganya yang menyimbolkan keharmonisan sebuah keluarga kecil. Terlebih ketika menyadari anak perempuan itu adalah Gadis. Anak kandungnya dengan Livia. Gadis yang dulu
Di tahun keempat usia Gadis, kehidupan Livia telah berubah. Ia tidak lagi bekerja menjadi pramuniaga di Ratna Butik. Tetapi ... menjadi sekretaris CEO di perusahaan Javier. Yang mana, Javier adalah CEO-nya. Hubungan mereka semakin akrab namun saat di kantor keduanya tetap profesional sebagai atasan dan bawahan.Hari ini Javier datang pagi-pagi sekali ke rumah Livia. Mereka akan mengantar Gadis ke sekolah. Ini adalah hari pertama Gadis bersekolah di TK A yang dikhususkan untuk anak berusia 4-5 tahun, sedangkan TK B untuk anak-anak berusia 5-6 tahun."Om Jav!" teriak Gadis begitu melihat Javier datang. Kala itu Gadis sudah siap dengan seragam sekolahnya. Kemeja putih, rok warna pink dan juga rompi warna pink lembut. Gadis berlari ke arah Javier yang baru saja tiba. Javier berjongkok lalu meraup Gadis ke dalam pelukannya. Ia menciumi kedua pipi anak itu bolak-balik yang juga dibalas oleh Gadis. Begitulah kebiasaan mereka selama ini. Keduanya begitu dekat bagaikan ayah dan anak."Sudah
Hari-hari terus berlalu. Detik waktu tidak henti bergulir. Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Dan tahun pun tidak lagi sama. Javier semakin intens mendekati Livia. Mulai dari sering mengirim makanan, mengirim Livia bunga. Mampir di Ratna butik lalu membeli baju-baju perempuan yang entah untuk siapa, atau pun sekadar lewat di depan butik lalu curi-curi pandang ke arah dalam.Apa laki-laki itu tidak punya pekerjaan hingga terus mondar-mandir di sini? pikir Livia.Kadang Javier muncul malam-malam di rumah Livia membawakan baju atau makanan untuk Gadis.Hingga tanpa terasa sudah dua tahun Javier melakukan pendekatan pada Livia yang artinya umur Gadis sekarang sudah tiga tahun. Namun usahanya sia-sia. Livia begitu sulit untuk dijangkau. Ia hanya berbicara sekadar saja saat diajak mengobrol dan menjaga batasan di antara mereka. Livia begitu sulit untuk disentuh.Siang itu Livia mendapat telepon dari daycare yang mengabarkan bahwa Gadis demam tinggi. Detik itu juga Livia meluncur
Diam-Diam Livia bersembunyi ke belakang dan membiarkan Kinan melayani pembeli sendiri. Livia tahu tindakannya ini salah. Tapi ia tidak mau ambil risiko. Tasia bisa mengenalinya lalu melaporkan pada Rajendra. Bisa ditebak kelanjutannya seperti apa. Rajendra akan datang ke butik mencarinya.Lebih dari lima belas menit Livia bersembunyi di belakang sampai akhirnya Kinan muncul dengan wajah masam."Ya ampun, Liiiiv. Aku tuh nyari kamu dari tadi. Ngapain sih di sini? Bukannya bantu-bantu malah ngetem.""Sorry, Liv, tadi aku sakit perut," jawab Livia mencari alasan.Kinan masih memandangnya dengan ekspresi sebal yang membuat Livia semakin tidak enak hati."Maaf ya, Kin."Kinan berdecak. "Lain kali jangan ulangi lagi. Kalau mau ada apa-apa bilang ke aku dulu.""Oke, siap." Livia menjawab dengan meletakkan tangannya di pelipis seperti sedang hormat yang akhirnya membuat Kinan tertawa.Melihatnya, Livia jadi lega."Tadi mereka jadi belanja?" Livia bertanya kemudian."Jadi. Tiga-tiganya malah."
Ratna yang sedang membaca laporan keuangan mendongak dari tumpukan kertas-kertas lalu memandangi keponakannya."Kamu kenapa, Jav? Tiba-tiba ngomong begitu?""Tumben aja sih. Nggak biasanya Tante punya karyawan secantik itu."Ratna tersenyum mendengar perkataan Javier. "Dia teman Suci. Namanya Livia. Jangan kamu goda. Dia itu sudah punya anak. Dia ibu tunggal."Javier sedikit kecewa mendengar pertanyaan itu. Lalu kepalanya dipenuhi rasa ingin tahu.Ibu tunggal? Memang ke mana suaminya? Meninggal? Atau cerai hidup?"Siap, Tante, nggak bakal aku goda.""Bagus. Dia di sini untuk kerja, bukan untuk digoda keponakan Tante."Javier terkekeh mendengarnya."Ngomong-ngomong tumben kamu ke sini, Jav?" Ratna mengalihkan topik pembicaraan."Aku nggak sengaja lewat depan butik Tante terus ngerasa ada aura cewek cantik. Makanya mampir.""Kamu ini masih saja bercanda." Ratna memutar matanya.Javier tertawa lagi. "Jadi aku mau tanya, untuk acara kita minggu depan. Katanya Tante yang handle.""Iya, Tan
Balasan pesan dari Suci datang dengan cepat. Seakan ia mengerti kalau saat ini Livia benar-benar terdesak."Kamu bisa mulai kapan pun, Liv. Tapi kalau bisa besok jam sembilan kamu sudah di butik. Aku akan kirim alamatnya.""Ahhh, i can't thank you enough, Ci."Mata Livia berkaca-kaca setelah Suci mengirimkan alamat butik milik mamanya yang artinya miliknya juga. Tatapannya kini tertuju pada anak gadisnya. Gadis masih terlalu kecil untuk dititip. Dan Livia tidak pernah percaya pada pengasuh. Namun mulai besok ia harus menitipkannya di daycare.Livia mengusap-usap punggung Gadis, membuat anak itu menggeliat. Matanya terbuka. Wajah polosnya menatap Livia. Livia tersenyum padanya."Hai, anak gadis Bunda sudah bangun?""Da ... da ... da...," oceh Gadis yang membuat Livia tertawa. Namun di dalam hati ia merasa sedih lantaran besok akan meninggalkannya di penitipan anak."Gadis, dengar Bunda ya, Sayang," ujar Livia seraya merangkum kedua pipi anaknya. "Mulai besok Bunda harus kerja jadi Gadi
Sudah dua minggu lebih Livia berada di Indonesia pasca kepulangannya dari Ohio. Livia yakin dalam rentang waktu tersebut Rajendra mungkin saja mencarinya tapi lelaki itu gagal menghubunginya lantaran Livia sudah kembali menggunakan SIM card-nya saat bersembunyi dulu.Tidak ada yang tahu Livia sedang berada di mana sekarang. Termasuk Langit. Livia tidak menghubungi Langit untuk meminta pertolongan atau sekadar memberitahu bahwa saat ini kakinya sudah sehat. Biarlah. Lebih baik tidak ada seorang pun yang tahu mengenai keberadaannya. Hanya saja Livia tidak mungkin terus begini. Persediaan uangnya sudah sangat menipis. Ia harus segera mencari kerja. Sedangkan untuk merajut tidak bisa lagi ia andalkan sebagai sumber pernghasilannya. Merajut dalam jumlah yang banyak membutuhkan waktu yang lama. Sementara Gadis sudah semakin besar. Saat ini umur anak itu hampir memasuki usia 11 bulan.Livia mengusap kepala Gadis yang sedang tidur. Wajah kecil itu begitu tenang sekaligus menjadi pengingat be