Ketegangan masih melingkupi raut gagah Rajendra. Lelaki itu menyetir dengan kencang, membuat istrinya tidak tahan untuk tidak berkomentar."Kenapa kekasihmu? Keguguran? Atau kesurupan?" ujarnya sambil tersenyum asimetris.Sontak saja Rajendra mengalihkan pandangannya yang sejak tadi tertuju ke jalan raya pada Livia."Jaga mulutmu, Liv. Hati-hati kalau bicara," ucapnya marah."Apa salah saya? Saya kan cuma bertanya," jawab Livia ringan."Kalau itu yang kamu sebut bertanya, sebaiknya kamu pikir-pikir lagi sebelum bicara," ucap Rajendra dengan nada yang dingin. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terdengar tegas, menyiratkan batas yang tidak boleh dilanggar.Livia tertawa kecil, nada geli dalam suaranya jelas terdengar. "Kamu jadi begitu sensitif. Kenapa? Memangnya ada yang perlu ditakutkan?"Rajendra mengepalkan tangan di setir, membiarkan beberapa detik berlalu dalam keheningan. Pertanyaan Livia, meski diucapkan dengan nada bercanda membuatnya sakit hati. Tanpa melihat ke arah Livia,
Di depan cermin, Livia dengan hati-hati mengaplikasikan sentuhan akhir pada riasannya, memastikan penampilannya terlihat sempurna namun alami.Wajahnya tampak berseri-seri dengan sedikit rona merah di pipinya dan lipstik yang juga berwarna merah. Di atas meja rias ada beberapa aksesoris hendak ia gunakan. Mungkin ia akan memilih anting kecil berkilau atau gelang tipis untuk melengkapi penampilannya.Kemudian Livia mengambil tas dan memeriksa isinya untuk memastikan ia memiliki semua barang yang ia butuhkan seperti ponsel dan dompet.Sesekali, ia melirik jam di dinding untuk memperkirakan kedatangan penjemputnya. Pandangannya sejenak melayang ke luar jendela, menikmati langit malam yang muncul dari balik kaca.Ia kemudian mengingat tujuan mereka dengan penuh minat. Ia pernah mendengar bahwa restoran itu terkenal dengan suasananya yang hangat dan makanannya yang lezat.Senyum tipis tersungging di wajah Livia saat membayangkan waktu santai yang akan ia habiskan bersama Ryuga malam ini.
"Maaf agak lama," kata Ryuga begitu bertemu muka dengan Livia."Oh nggak kok, on time banget malah," jawab Livia sambil tersenyum.Penampilan Livia malam itu membuat Ryuga terpukau. Dress berwarna lembut, rambut panjang digerai indah dengan aksen gelombang di bawahnya, plus lipstik berwarna merah seolah melambangkan seorang wanita yang lembut, elegan tapi berani. Livia begitu cantik. Andai saja kakinya tidak pincang perempuan itu akan begitu sempurna."Oh iya, Liv, Rajendra mana? Saya mau minta izin ke dia dulu untuk membawa kamu." Kepala Ryuga celingukan ke arah rumah."Dia ada di dalam, tapi tadi saya udah minta izin kok mau pergi sama kamu.""Berarti nggak apa-apa kalau kita pergi sekarang?"Livia menganggukkan kepalanya dan membatin, sopan sekali lelaki ini. Hanya untuk pergi makan malam saja harus meminta izin pada Rajendra.Ryuga membukakan pintu untuk Livia. Seperti biasa membiarkan perempuan itu masuk dan menutupkan pintu mobil setelahnya.Seperti biasa juga Rajendra mengintip
Livia dan Ryuga tiba di restoran. Sebuah restoran mewah dengan alunan musik jazz yang diputar pelan. Keduanya duduk di dekat jendela. Dari spot itu mereka bisa melihat pemandangan kota yang indah di kala malam.Ryuga menarikkan kursi untuk Livia sebelum kemudian lelaki itu duduk di seberangnya."Indah sekali ya tempat ini. Saya suka pemandangannya. Ini baru dinner with view," ujar Livia yang disambut senyuman kecil Ryuga.Ryuga menatap Livia dengan senyuman yang lebih dalam, ia memerhatikan cara perempuan itu menikmati pemandangan di luar jendela. "Saya senang kalau kamu suka. Berarti saya nggak salah memilih tempat ini," ucapnya pelan, matanya tetap tertuju pada wajah Livia, bukan pada pemandangan yang ia bicarakan.Livia terus menatap ke luar, berusaha mengabaikan tatapan intens Ryuga padanya."Ryuga, kamu sering makan di sini?" tanyanya memindahkan topik obrolan, juga beralih menatap pria itu."Nggak juga. Kalau boleh jujur ini memang tempat favorit saya. Dan saya ke sini hanya ber
"Shit!" Rajendra mengumpat dengan penuh kekesalan ketika menelepon Livia tapi ternyata istrinya yang cacat itu tidak bisa dihubungi. Dia mematikan teleponnya. Dia sengaja. Pasti."Ndra, mana susunya?" rengek Utary, sang kekasih, dari atas tempat tidur. Perempuan itu leyeh-leyeh di sana. Embusan napas panjang, keluar dari bibir Rajendra. Ditatapnya handphone yang masih berada di tangannya dengan perasaan jengkel yang mengubun-ubun.Ketika melihat ke ranjang, Utary dengan perutnya yang semakin besar membalas tatapan Rajendra dan semakin terlihat tidak sabar. “Ndra, gimana sih? Dari tadi aku minta susu kamu kok diam aja?" ucap perempuan itu jengkel karena tidak ada usaha apa pun yang dilakukan Rajendra. Sejak tadi pria itu sibuk dengan ponselnya.Setiap memandang cantiknya wajah Utary, Rajendra merasakan cinta dan harapan. Namun, setiap kali ingatan tentang Livia memenuhi kepalanya, ia bagai dijebak. Meskipun pengorbanan Livia begitu banyak, namun Rajendra tetap tidak bisa mencintainya
Suasana yang tadinya nyaman mendadak berubah tegang ketika Livia dan Ryuga menemukan Rajendra berdiri di hadapan mereka. Ryuga dengan cepat menarik tangannya dari atas meja, sedangkan Livia tampak sedikit gugup."Ndra ...," pelan suara Livia seolah tidak memiliki kekuatan untuk mengucapkannya.Ryuga tetap bersikap tenang. Ia berdiri guna menghargai Rajendra. Tapi ekspresi Rajendra tidak berubah. Tatapannya sedingin salju namun ada api amarah di balik matanya yang berusaha lelaki itu sembunyikan. "Jadi ini makan malam yang dimaksud?" suara Rajendra semakin dingin menyamai tatapannya.Livia mencoba menjelaskan dengan tetap tenang. Sekuat mungkin mencoba agar tidak gugup karena gugup sama artinya dengan bersalah. "Kami memang makan malam dan ngobrol biasa, Ndra.""Ngobrol biasa?" Rajendra menggulir matanya menatap Livia dan Ryuga bergantian. Rajendra tidak puas oleh jawaban itu. Baginya hal yang ia lihat tadi lebih dari sekadar makan malam dan ngobrol biasa. Apalagi dalam situasi yang m
Setibanya mereka di rumah, ternyata Utary sudah tertidur. Hal itu membuat beban Rajendra jadi berkurang. Lelaki itu mengembuskan napas lega. Ia masuk ke kamarnya dan menemukan Livia sedang mengganti pakaian.Rajendra menahan tangan Livia yang akan memasang pakaian ganti lalu mendorong istrinya itu ke tempat tidur hingga perempuan itu telentang di sana.Tidak membuang kesempatan Rajendra lekas melampiaskan amarahnya. Tangannya bergerak merangkum pipi Livia."Lepasin saya!" seru Livia tidak ingin disentuh."Oh, jadi aku tidak boleh menyentuhmu. Jadi hanya lelaki itu yang boleh?" Mendadak Rajendra menjadi emosi, terlebih ketika teringat bagaimana Ryuga memegang tangan Livia tadi dan perempuan itu tampak senang-senang saja. Tidak ada penolakan darinya.Rajendra menindih tubuh Livia. Tatapannya begitu dipenuhi amarah."Apa kamu tahu? Kamu itu wanita yang sudah menikah. Kamu istriku, Livia. Nggak sepantasnya kamu berbuat seperti tadi.""Lepasin saya, Ndra. Sakit!" Livia terus berontak. Raj
Livia terbangun di sofanya yang dingin dengan keadaan kepala sedikit berat. Hal pertama yang ia lihat adalah tempat tidur yang kosong. Agaknya suaminya benar-benar tidur di kamar kekasihnya kemarin malam.Dengan perasaan hampa, Livia mendekap selimutnya, mencoba mencari kehangatan yang entah mengapa tidak pernah ia temukan di rumah ini.Ditariknya napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang terasa semakin perih. Pikirannya masih berkecamuk memikirkan bagaimana ia sampai dalam situasi seperti ini, menikah dengan pria yang tidak mencintainya dan bahkan terang-terangan membiarkan kekasihnya tinggal di rumah mereka. Melangkah gontai, Livia menuju dapur. Tangannya mulai sibuk menyiapkan sarapan, mencuci sayuran dan menyalakan kompor, seolah semua aktivitas itu bisa mengusir rasa dingin yang mengisi setiap sudut di hatinya. Namun, ada momen-momen kecil di tengah kesibukannya, ketika ia mendapati dirinya termenung, menatap hampa ke arah panci yang mendidih, merasakan kenyataan pernikah
Javier turun dari mobilnya. Hari itu lelaki tersebut berpenampilan casual menggunakan celana jeans dan kaos Polo berwarna navy."Ada tamu, Liv?" tanya pria itu pada Livia yang menyambutnya.Livia mengangguk."Siapa?" Javier memandang ke arah rumah."Rajendra. Sekarang lagi mancing sama Gadis dan dua anak lainnya di belakang."Ekspresi Javier berubah dalam hitungan detik mendengar informasi itu."Kamu gimana sih, Liv? Katanya hari ini kita mau jalan ke mall.""Sorry, Jav. Aku juga nggak tahu kalau Rajendra bakal ke sini. Dia yang bikin janji sama Gadis. Dan Gadis nggak bilang ke aku."Javier berdecak kesal karena Rajendra merusak rencananya. Sejak lelaki itu hadir, hubungannya dengan Livia dan Gadis menjadi kacau."Sekarang panggil Gadis, kita pergi." Javier memerintah."Nggak bisa begitu, Jav. Gadis lagi quality time sama papanya. Aku nggak mungkin tiba-tiba ngerusak kebahagiaan dia. Dia lagi happy-happy-nya.""Kalau begitu kita pergi berdua.""Sorry, Jav. Aku nggak mungkin ninggalin
Pagi itu halaman rumah Livia diterpa cahaya matahari dengan hangat. Gadis asyik membantu Livia menyiram bunga di halaman.Ketika suara mobil terdengar berhenti di luar pagar awalnya Gadis tidak peduli siapa yang datang. Ia pikir teman Livia atau siapa. Namun ketika tahu itu Rajendra, Gadis langsung berseru riang. "Papa!" dan langsung berlari ke arah mobil Rajendra.Livia yang sedang membersihkan halaman rumah ikut memandang ke arah itu. Ia tidak tahu apa maksud kedatangan Rajendra hari ini. Apalagi dengan membawa Randu dan Lunetta."Papa kok ke sini nggak bilang-bilang Adis dulu?" Gadis mendongak penuh rasa penasaran."Kan Papa udah janji hari Minggu kita mau mancing di kolam belakang. Adis lupa ya?""Oh iya ya. Adis baru ingat." Gadis melompat kegirangan.Livia menghela napas pelan melihat Rajendra mengambil alat pancingnya dari bak belakang pick up double cabin. Apalagi lelaki itu juga membawa dua anaknya yang lain."Sini Adis bawa, Pa," ujar Gadis antusias.Rajendra memberi satu p
Ketika Javier berkata akan membantu mengurus perceraian, Livia hanya diam. Jemarinya saling bertautan di atas pangkuannya, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. Semestinya ia merasa lega. Perceraian tersebut adalah akhir dari segala keterikatan dengan Rajendra. Tapi kenapa hatinya justru terasa berat?Livia menatap ke luar jendela mobil dengan sorot kosong. Dadanya semakin terasa sesak."Aku akan bantu kamu bicara sama pengacara," kata Javier yang masih fokus menyetir.Livia mengambil napas dalam. "Javier ..." Ia menggigit bibir, merasa ragu untuk melanjutkan perkataannya."Ya.""Kamu yakin perceraian ini adalah jalan terbaik untukku?""Sure. Setelah semua derita yang kamu alami kamu berhak mendapatkan yang terbaik. Kamu sudah terlalu lama menderita."Terlalu lama menderita.Kalimat itu seharusnya menyadarkan Livia. Menjadi pengingat bahwa Rajendra pernah menyakitinya begitu dalam. Tapi kenapa di dalam hatinya ada suara yang membisikkan bahwa ia masih harus bertahan?Bahwa ia
Di dalam mobil Rajendra, Randu dan Gadis duduk di kursi belakang sambil bersenda gurau. Sementara Lunetta menatap keduanya dengan perasaan tidak senang. Lunetta tidak suka melihat kedekatan Randu dan Gadis. Gadis seolah sedang mengambil Randu darinya. Gadis yang baru saja masuk ke dalam hidup mereka kini seolah mengambil tempat Lunetta di hati Randu."Bang Randu mau nggak main ke rumah Adis?" tanya Gadis setelah mereka puas bersenda gurau. Ia tertawa kecil dengan mata dipenuhi binar. "Di belakang rumah Adis ada kolam ikan. Kita bisa ambil ikannya terus digoreng deh.""Oh ya?" Randu tampak tertarik.Gadis mengangguk-angguk. "Ikannya udah gede-gede lho, Bang. Dulu Om Jav yang beli bibitnya."Rajendra yang mendengar obrolan keduanya sejak tadi mengembuskan napas. Lagi-lagi Om Jav. Tampaknya Lelaki itu yang selalu berjasa dalam hidup Livia dan Gadis. Perannya begitu besar terutama dalam pertumbuhan Gadis."Terus gimana cara kita tangkap ikannya?" Randu tampak berpikir."Kan bisa dipancin
"Papa, kita ke mana? Kok jalannya bukan jalan ke sekolah?" tanya Lunetta begitu mereka berbelok ke sebelah kiri di perempatan lalu lintas. Biasanya jalan ke sekolah mereka adalah lurus."Kita jemput Gadis dulu ya," jawab Rajendra yang sedang menyetir.Lunetta berdecak mendengarnya. "Emang dia siapa sih, Pa? Kenapa harus pergi sekolah sama kita?""Lunetta, Papa kan udah bilang kalau Gadis itu saudara kalian juga. Dia juga anak Papa," kata Rajendra memberi pengertian.Lunetta langsung memberengut dan membuang pandangannya ke jalan."Jangan ngambek dong. Gadis itu anak baik. Kamu belum nyoba main sama dia kan?" Rajendra tersenyum sambil mengelus rambut Lunetta.Sementara Randu yang duduk di belakang tidak banyak protes. Ia tidak menganggap Gadis sebagai saingannya. Hanya merasa heran atas semua kejadian yang tiba-tiba ini. Tiba-tiba punya saudara, tiba-tiba menjadi keluarga.Mobil Rajendra berhenti tepat di depan rumah Livia. Dari arah berlawanan sebuah Range Rover hitam ikut berhenti. D
Livia baru saja menemani Gadis menggosok gigi dan mengganti piyama. Sekarang mereka berbaring di tempat tidur ditemani oleh lampu tidur yang redup. Gadis memeluk boneka Mashanya dengan erat."Bunda ...," panggil Gadis pelan."Iya, Sayang?" Livia menjawab sambil menyibak rambut Gadis yang menutupi sedikit wajahnya."Apa benar Papa Rajendra itu papanya Adis? Kenapa Bunda bilang kalau papanya Adis udah meninggal?"Livia terdiam sesaat. Pertanyaan tersebut datang lebih cepat dari yang ia kira. Matanya menatap wajah Gadis yang polos tapi penuh rasa ingin tahu. Gadis memang masih kecil. Tapi banyak pertanyaan-pertanyaannya yang tidak mampu Livia jawab."Bunda ..." Gadis menggoyangkan tangan Livia dengan pelan, menunggu jawaban.Livia menelan saliva lalu mencoba merangkai kata-kata. "Sayang, dulu Bunda kira Papa memang sudah meninggal soalnya Papa dan Bunda sangat lama berpisah, tapi ternyata Papanya Adis masih hidup.""Jadi Bunda bohongin Adis?" Gadis mengerutkan keningnya."Nggak, Sayang.
Livia dan Rajendra sama kagetnya melihat keberadaan Gadis. Entah apa yang membuat anak itu terbangun."Livia, please, jangan sampai kita bertengkar di depan Gadis," bisik Rajendra pelan sebelum kemudian tersenyum pada Gadis.Rajendra yang sejak tadi berdiri di sisi pintu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah Livia.Rajendra bersimpuh sambil mengembangkan tangannya untuk memeluk Gadis. Namun ketika melihat tatapan tajam sang bunda, Gadis yang juga hendak memeluk Rajendra mengurungkan niatnya. Anak itu masih berdiri kaku di tempatnya dan terlihat takut pada Livia.Livia melangkah mendekat kemudian bertanya pada Gadis. "Adis kenapa bangun? Ayo tidur lagi, Nak. ""Adis lapar, Nda. Adis mau makan." Gadis kecil itu memegang perutnya.Livia mengesahkan napas. Ia baru ingat tidak ada makanan untuk makan malam. Hari ini lantaran pekerjaannya terlalu banyak ia tidak sempat memasak."Kebetulan kalau gitu. Papa juga belum makan. Kita makan di luar yuk, Dis? Papa lapar nih," ucap Rajendra yan
Cukup lama Rajendra menanti sampai mobil Javier bergerak pergi dari rumah Livia."Shit! Entah apa yang dia lakukan di sana," umpat Rajendra memaki. Rasanya ia kesal sekali. Sudah sejak tadi ia menanti bermeter-meter dari rumah Livia, ia menunggu di bawah pohon rindang.Rajendra menarik hand brake. Kemudian mobilnya bergerak pelan menuju rumah Livia.Turun dari mobil, Rajendra mengedarkan matanya ke sekeliling. Suasana halaman rumah itu persis yang digambar Gadis di bukunya.Ragu-ragu tangan Rajendra terangkat hendak mengetuk pintu. Benaknya memetakan beberapa kemungkinan.Apa yang akan Livia lakukan jika nanti melihat Rajendralah yang datang?Apa nanti Livia akan mengusirnya? Mengata-ngatainya? Atau menerimanya dengan baik-baik?Atau sebaiknya ia menunggu waktu yang tepat untuk berkunjung ke rumah itu?Tidak. Ia tidak perlu menunda apa pun. Karena waktu yang tepat adalah saat ini. Semakin cepat akan semakin bagus.Maka yang kemudian Rajendra lakukan adalah memberanikan diri mengetuk p
Javier menarik napasnya dalam-dalam sebelum mulai bicara pada Livia."Liv, aku mohon kamu jujur. Sebenarnya siapa Rajendra?"Livia agak terkejut mendengar perkataan Javier. Jantungnya berdegup cepat.Tapi ia mencoba untuk tetap tenang seolah sesuatu yang barusan didengarnya adalah hal yang biasa."Rajendra mana ya, Jav?"Mendengarnya, Javier tersenyum asimetris. Ia salut pada Livia yang cukup pandai berpura-pura dalam hal ini."Rajendra Geraldy. Kompetitor bisnisku. Orang yang kita temui di hari pertama Gadis sekolah dan langsung mengenalmu tapi kamu pura-pura nggak kenal."Kata-kata 'pura-pura nggak kenal' membidik Livia tepat pada sasaran. Membuatnya merasa harus jujur mengenai semuanya pada Javier."Mungkin kamu ingin cerita sesuatu padaku mengenai Rajendra," pancing Javier.Livia terdiam cukup lama. Batinnya berkecamuk. Ia rasa tiada gunanya lagi menyembunyikan fakta itu dari Javier. Javier bukan orang bodoh. Lelaki itu tidak bisa lagi dikibuli."Rajendra adalah masa lalu yang sud