Suasana yang tadinya nyaman mendadak berubah tegang ketika Livia dan Ryuga menemukan Rajendra berdiri di hadapan mereka. Ryuga dengan cepat menarik tangannya dari atas meja, sedangkan Livia tampak sedikit gugup."Ndra ...," pelan suara Livia seolah tidak memiliki kekuatan untuk mengucapkannya.Ryuga tetap bersikap tenang. Ia berdiri guna menghargai Rajendra. Tapi ekspresi Rajendra tidak berubah. Tatapannya sedingin salju namun ada api amarah di balik matanya yang berusaha lelaki itu sembunyikan. "Jadi ini makan malam yang dimaksud?" suara Rajendra semakin dingin menyamai tatapannya.Livia mencoba menjelaskan dengan tetap tenang. Sekuat mungkin mencoba agar tidak gugup karena gugup sama artinya dengan bersalah. "Kami memang makan malam dan ngobrol biasa, Ndra.""Ngobrol biasa?" Rajendra menggulir matanya menatap Livia dan Ryuga bergantian. Rajendra tidak puas oleh jawaban itu. Baginya hal yang ia lihat tadi lebih dari sekadar makan malam dan ngobrol biasa. Apalagi dalam situasi yang m
Setibanya mereka di rumah, ternyata Utary sudah tertidur. Hal itu membuat beban Rajendra jadi berkurang. Lelaki itu mengembuskan napas lega. Ia masuk ke kamarnya dan menemukan Livia sedang mengganti pakaian.Rajendra menahan tangan Livia yang akan memasang pakaian ganti lalu mendorong istrinya itu ke tempat tidur hingga perempuan itu telentang di sana.Tidak membuang kesempatan Rajendra lekas melampiaskan amarahnya. Tangannya bergerak merangkum pipi Livia."Lepasin saya!" seru Livia tidak ingin disentuh."Oh, jadi aku tidak boleh menyentuhmu. Jadi hanya lelaki itu yang boleh?" Mendadak Rajendra menjadi emosi, terlebih ketika teringat bagaimana Ryuga memegang tangan Livia tadi dan perempuan itu tampak senang-senang saja. Tidak ada penolakan darinya.Rajendra menindih tubuh Livia. Tatapannya begitu dipenuhi amarah."Apa kamu tahu? Kamu itu wanita yang sudah menikah. Kamu istriku, Livia. Nggak sepantasnya kamu berbuat seperti tadi.""Lepasin saya, Ndra. Sakit!" Livia terus berontak. Raj
Livia terbangun di sofanya yang dingin dengan keadaan kepala sedikit berat. Hal pertama yang ia lihat adalah tempat tidur yang kosong. Agaknya suaminya benar-benar tidur di kamar kekasihnya kemarin malam.Dengan perasaan hampa, Livia mendekap selimutnya, mencoba mencari kehangatan yang entah mengapa tidak pernah ia temukan di rumah ini.Ditariknya napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang terasa semakin perih. Pikirannya masih berkecamuk memikirkan bagaimana ia sampai dalam situasi seperti ini, menikah dengan pria yang tidak mencintainya dan bahkan terang-terangan membiarkan kekasihnya tinggal di rumah mereka. Melangkah gontai, Livia menuju dapur. Tangannya mulai sibuk menyiapkan sarapan, mencuci sayuran dan menyalakan kompor, seolah semua aktivitas itu bisa mengusir rasa dingin yang mengisi setiap sudut di hatinya. Namun, ada momen-momen kecil di tengah kesibukannya, ketika ia mendapati dirinya termenung, menatap hampa ke arah panci yang mendidih, merasakan kenyataan pernikah
Livia berjalan menuju kamar mandi, merasakan air hangat mengalir membelai kulitnya. Saat mengusap sabun ke tubuhnya, pikirannya tidak bisa lepas dari suasana di ruang makan tadi. Senyuman Utary yang cerah, wajah bahagia Rajendra saat mengelus perut kekasihnya, semua itu menghujam hatinya lebih dalam."Kenapa harus aku yang mengalami semua ini?" desahnya pelan, suaranya teredam oleh suara air yang mengalir.Setelah selesai mandi, Livia menatap refleksinya di cermin. Rambutnya basah tergerai, wajahnya tampak lelah. Ia tidak mengenali dirinya sendiri yang terjebak dalam pernikahan yang penuh kepalsuan.Dengan enggan, ia mengenakan pakaian terbaik yang bisa ia temukan. Ketika melihat bayangannya, dia berharap bisa menemukan sosok kuat yang pernah ada dalam dirinya. Setelah beberapa saat, ia berhasil menarik napas dalam-dalam dan melangkah keluar dari kamar mandi.Di ruang tamu, suasana tetap ceria. Livia menahan diri untuk tidak memperhatikan betapa mesranya Rajendra dan Utary, berusaha m
Livia termenung lama sambil menunggu nama Utary dipanggil. Ia tidak mengerti pada dirinya sendiri. Kadang Livia merasa kuat untuk melawan Rajendra, namun di saat yang lain ia merasa begitu lemah sehingga menurut dan patuh pada apa pun kata-kata dan perintah lelaki itu.Lama menunggu, ponsel Livia berbunyi. Wajahnya yang tadi muram berubah ceria mengetahui nama langit tertera di layar. Senyum kecil terbit di bibirnya seolah Langit bisa membebaskannya dari segala masalah yang menghimpit Livia.Tanpa membiarkan dering berikutnya berbunyi Livia langsung menjawab panggilan telepon dari Langit."Halo, Langit." Livia menyapa dengan lembut."Hai, Liv, lagi di mana?""Saya di rumah sakit.""Siapa yang sakit? Kamu?" Tiba-tiba suara langit begitu penuh dengan kekhawatiran."Bukan. Tadi saya menemani Utary cek kandungan dan sekarang lagi nunggu obat di apotik.""Kenapa kamu ikut dengan mereka? Rajendra ada di sana?""Rajendra dan Utary sudah pergi. Saya yang diminta untuk mengambil obat karena Ut
Dua puluh menit kemudian Livia melihat Langit sedang melangkah ke arahnya. Pria itu mengenakan kaos oblong putih dan celana jeans. Ada rasa kasihan di matanya melihat Livia duduk bersama orang-orang lain yang juga sedang menanti antrian di apotik."Liv," sapa Langit yang berdiri di depan Livia. Kursi tunggu sudah pada penuh sehingga Langit tidak bisa duduk.Livia tersenyum. "Kenapa ke sini?" tanyanya."Buat meyakinkan diriku sendiri kalau kamu baik-baik saja," jawab Langit. Keresahan di hatinya tidak kunjung hilang. "Masih lama?""40 antrian lagi," jawab Livia sambil menunjukkan nomor antriannya.Langit mengerutkan dahinya melihat giliran Utary yang masih jauh. Sumpah, ia benar-benar kesal pada Rajendra."Ya udah sih, Liv, tinggalin dulu, nanti kita ke sini lagi," kata Langit mencetuskan ide. Lebih baik mereka pergi ke tempat lain untuk menyegarkan pikiran daripada ikut berkerumun di tempat sesak ini.Livia mengangguk setuju. Ia berdiri kemudian melangkah terpincang di sebelah Langit
Setiba di dalam mobil Livia dan Langit kembali melanjutkan percakapan. "Makasih atas nasihatnya, Lang. Saya sangat menghargai kamu," ucap Livia. "Saya akui semua yang kamu katakan itu benar, tapi entah mengapa saya masih berharap akan ada sedikit cinta dari Rajendra untuk saya.""Nggak ada yang salah dari sebuah harapan, Liv," jawab Langit sembari menyalakan mesin mobil. Kemudian lelaki itu menyambung perkataannya. "Tapi berharap dari sebuah ketidakpastian pasti sangat menyakitkan. Kamu berhak atas seseorang yang mencintai kamu, bukan hanya orang yang sekadar ada di dekat kamu.""Sayangnya nggak semua orang bisa memilih jatuh cinta pada siapa, Lang," timpal Livia mempertahankan pendapatnya."Itulah gunanya akal. Agar kita bisa berpikir dan memilih jatuh cinta pada siapa. Cinta seharusnya membuat kita bahagia bukannya menderita."Keduanya terus saja berdebat. Livia terus mempertahankan pendapatnya sedangkan Langit tak henti mengemukakan argumennya untuk mematahkan Livia."Tapi ya suda
Ketegangan antara Rajendra dan Langit terlihat dengan jelas.Rajendra tidak menyukai kehadiran Langit, apalagi Langit terlihat terlalu dekat dengan istrinya."Gue cuma nganterin Livia," ucap Langit santai, matanya tidak lepas dari ekspresi Rajendra.Rajendra mendengkus dengan sorot dingin. “Nggak perlu pake diantar. Ada yang namanya taksi."Langit hanya tersenyum, tidak ingin memperpanjang perdebatan dengan Rajendra. "Karena lo sepupu gue jadi Livia otomatis sepupu gue juga, Ndra.Nggak ada salahnya kalau gue peduli kan? Lagian gue kasihan ngeliat dia lo perlakukan kayak gitu."''Peduli?'' Rajendra mengikis jarak. Suaranya terdengar berbisik. "Gue cuma mau memastikan kepedulian lo itu nggak melampaui batas." Langit tertawa kecil dan tampak tidak terpengaruh oleh peringatan Rajendra. "Tenang, Ndra. Nggak semua orang jahat seperti yang ada di pikiran lo itu."Rajendra menggeram kesal, menahan amarah yang memuncak di dadanya. "Kalau udah nggak ada urusan lagi mending lo pergi sekarang,"
Livia sedang mengajak Randu jalan-jalan pagi di sekeliling rumah. Anak itu begitu anteng di dalam stroller. Semilir angin yang berembus membuat anak itu terkantuk-kantuk. Livia tersenyum melihatnya. "Ngantuk ya, Nak?" Livia mengecup pipi anak itu gemas.Tiba-tiba ponselnya berbunyi, membuat perhatian Livia teralihkan. Ia mengeluarkan benda itu dari dalam sakunya. Senyum terukir di bibirnya menyaksikan nama Langit tertera di layar.Livia jawab panggilan tersebut dengan nada ceria. "Iya, Lang. Tumben nelepon pagi-pagi?"Di seberang sana suara Langit juga terdengar riang. "Nggak boleh emang? Aku lagi kangen ngobrol sama kamu nih. Kamu ngapain?"Livia tertawa ringan. Diliriknya Randu yang sudah hampir tertidur di dalam stroller. "Saya lagi ajak Randu jalan-jalan ngelilingin rumah. Dia kayaknya udah mau tidur. Kalau kangen kenapa nggak ke sini aja?""Di sana herdernya galak, jadi takut kalau mau ke sana." Langit menjawab dengan nada bercanda. Livia tertawa lagi. Begitu tipis."Eh, Liv, n
Rajendra melangkah ke kamar Utary dengan berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalanya. Setelah pintu kamar ia buka, Rajendra mendapati Utary sedang leyeh-leyeh di atas tempat tidur sambil main hp.Melihat pemandangan itu Rajendra menghela napasnya."Tary," panggil Rajendra datar.Utary melihat sekilas kemudian kembali fokus pada ponselnya. "Ada apa, Ndra?" tanyanya acuh tak acuh sambil tetap memainkan ponselnya.Rajendra berdiri di sisi pintu, mengamati Utary dengan tatapan menusuk. "Kenapa bukan kamu yang mandiin Randu? Kenapa Livia?"Dengan malas Utary meletakkan ponselnya. "Kan udah aku bilang. Aku masih belum pulih, Ndra. Aku takut nanti Randu jadi kenapa-napa. Kalau dia jatuh saat aku mandiin gimana? Lagian Livia juga nggak keberatan. Dia happy-happy aja tuh."Rajendra membawa langkahnya mendekat. Hingga dirinya dan Utary saling berhadapan. "Tary, ini bukan soal happy atau enggak. Tapi soal kewajiban kamu sebagai ibu. Aku lihat Randu lebih dekat dengan Livia, bukannya dengan k
Perkataan Langit membuat langkah Rajendra terhenti. Rahangnya menegang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Langit seolah tahu caranya menusuk di tempat yang paling menyakitkan.Bersama napasnya yang menderu Rajendra memutar badan menghadap Langit. Tatapannya lebih tajam dari pisau, seakan hendak mengiris siapa pun yang berani menyakiti hatinya."Lo kalo ngomong hati-hati." Rajendra mengingatkan dengan nada penuh ancaman. Ia khawatir kalau saja ada orang yang berada di dekat mereka dan mendengar ucapan Langit tadi.Langit terkekeh. Tidak merasa gentar sama sekali. "Selow, Ndra. Gue kan cuma nanya. Kok lo jadi marah? Topiknya terlalu sensitif ya? Atau ..." Langit berhenti sesaat membiarkan pertanyaannya menggantung di udara. Kemudian ia kembali melanjutkan. "Lo mulai ngerasa bersalah sama Livia?"Geraman kecil keluar dari mulut Rajendra. Ia memang terusik mendengar nama Livia disebut. Tapi tidak mungkin ia menunjukkannya pada Langit."Urusannya apa sana lo?" Rajendra membalas de
Pagi hari saat Livia sedang bersiap-siap menyediakan sarapan ia mendengar tangisan Randu yang diiringi pekikan Utary."Ndraaa, bantuin aku dong! Randu nangis terus nih!"Tidak ada jawaban dari Rajendra karena pria itu juga sedang bersiap-siap di kamarnya untuk berangkat kerja."Rajendraaaa! Bantuin dong. Anak kamu nangis mulu nih!" Teriakan Utary menggema sekali lagi yang membuat Livia tidak tahan.Livia meninggalkan meja makan lalu meraih tongkatnya. Ia menuju kamar Utary.Livia menemukan Utary sedang duduk di tepi ranjang. Sedangkan si kecil Randu ia biarkan menangis di dalam box-nya."Tary, Randu kenapa?" tanya Livia baik-baik."Udah tahu nanya!" balas Utary sewot. "Lagian Rajendra yang aku panggil kenapa kamu yang ke sini?"Livia menahan napas sambil mencoba tetap bersabar menghadapi Utary meskipun kata-katanya terdengar kasar."Rajendra lagi siap-siap mau berangkat kerja. Mungkin sekarang baru selesai mandi."Kemudian Livia berjalan mendekat. Ia letakkan tongkatnya di samping tem
Utary telah kembali berada di rumah setelah dua hari dirawat di rumah sakit. Rumah menjadi lebih hidup oleh tangisan dan rengekan Randu. Rajendra juga jadi rajin pulang lebih cepat dari kantor. Hal pertama yang ia lakukan setiap kali tiba di rumah adalah mencari Randu. Ia menggendong anak itu dan menciuminya dengan kasih sayang.Hanya saja Livia merasa miris melihat Randu yang masih bayi tidak menerima ASI dari ibunya. Utary beralasan air susunya tidak ada. Padahal yang sebenarnya terjadi ia malas menyusui, begadang tengah malam dan khawatir bentuk payudaranya akan rusak.Setiap malam ketika tangisan keras Randu membangunkan seisi rumah, Utary selalu mengabaikannya. Perempuan itu tetap tidur atau beralasan kondisinya masih belum pulih dan dia berdalih harus banyak beristirahat.Rajendralah yang nengambil alih tugas Utary. Saat randu terbangun tengah malam ia yang mengurus sang putra sementara Utary tidur nyenyak karena mengaku kelelahan mengurus Randu saat siang.Mulai dari menggendon
Livia Mellanie duduk sendiri di bangku panjang lorong rumah sangkit. Tongkatnya ia sandarkan ke samping. Kedua tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuan. Pandangannya tertunduk menatap lantai putih rumah sakit. Ia berusaha menenangkan pikirannya yang kacau namun seribu tanya terus berputar-putar di kepalanya.Untuk apa aku di sini? Apa aku akan tetap bertahan? Sementara Rajendra sudah memiliki kehidupan yang lengkap dan begitu bahagia. Apakah ini saatnya untuk mundur? Apa lebih baik ia kabur saja ke tempat yang jauh?Derap langkah kaki yang mendekat membuat Livia mengangkat kepala dan memandang ke arah tersebut. Rajendra muncul. Ia tidak sendiri. Ada bayi mungil terbungkus selimut biru di dalam dekapannya. Livia bisa melihat dengan jelas betapa rona kebahagiaan menghiasi wajah Rajendra.Rajendra semakin mendekat ke arah Livia."Liv, ini anakku," ucapnya pelan sambil menunjukkannya pada Livia.Livia mengulas senyum. Dipandanginya Rajendra dan bayi yang sedang digendongnya. Bay
Livia yang masih terjaga dan asyik menciumi Rajendra tersentak ketika mendengar ketukan dan suara lirih di pintu. Semula ia mengira itu hanya halusinasinya lantaran terlalu lelah. Namun suara itu terus terdengar. Buru-buru Livia menjauhkan mulutnya dari kening Rajendra. Livia berdiri lalu berjalan menuju pintu dengan bantuan tongkatnya. Ketika daun pintu terbuka ia dibuat termangu oleh pemandangan yang dilihatnya.Kekasih suaminya sedang terbaring di lantai. Tubuhnya menggigil dan badannya basah oleh keringat. Sementara tangannya terus mengusap-usap perut."Tary!" seru Livia panik. "Kenapa begini?" Livia bersimpuh di dekat Utary mengamati keadaan wanita itu."Tolong ... aku, Liv. Perutku ... sakit ... banget ..." Utary merintih dengan suara putus-putus.Livia mencoba membantu Utary bangun namun ia juga tidak berdaya. Dengan segera ia kembali ke kamar untuk membangunkan Rajendra."Bangun, Ndra! Rajendra, bangun! Utary lagi kontraksi. Kayaknya dia bakal ngelahirin!" seru Livia panik. N
Livia dibuat termangu oleh permintaan Rajendra. Bibirnya setengah terbuka namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Livia menatap wajah Rajendra yang tampak lelah dengan mata yang hampir terpejam. Ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi ditelannya kembali.Jauh di dalam hatinya ada amarah yang mendidih, tetapi juga rasa sayang yang masih bertahta."Baik." Akhirnya Livia menjawab dengan suara yang hampir tak terdengar.Rajendra membalas dengan anggukan kepala, tidak menangkap perasaan apa pun yang terefleksi dari tatapan Livia. Ia segera menuju tempat tidur dan merebahkan tubuhnya. Dalam sekejap lelaki itu terlelap.Keluar dari kamar, Livia menujukan langkahnya ke kamar Utary. Diketuknya pintu dengan perlahan."Ngapain sih, Ndra, pake ketuk pintu segala?" Suara Utary terdengar dari dalam. Livia memutar gagang pintu dan mendorongnya. Tatapan Utary seketika berubah penuh kecurigaan ketika tahu Livialah yang datang. Tadinya ia pikir Rajendra."Rajendra mana?" Utary bertanya dengan nad
Livia terdiam memandangi Utary yang tersenyum dengan penuh kemenangan. Perkataan wanita itu menggema di kepalanya tanpa mampu ia singkirkan.Di sisi pahanya sebelah tangan Livia yang bebas terkepal. Dadanya terlalu sesak. Dengan keberanian yang mulai terkumpul Livia mengangkat dagu, mempertemukan tatapannya dengan mata Utary."Utary ..." Suara Livia begitu tenang. "Saya nggak akan peduli apa pun yang kamu katakan. Tapi satu hal yang jelas saya adalah istri Rajendra satu-satunya yang sah baik dari segi agama ataupun negara. Apa pun yang terjadi, posisi itu nggak akan berubah."Hati Utary panas mendengarnya namun perempuan itu menutupi dengan tawa. Tawa sinis yang terkesan meremehkan. "Kamu itu cuma istri di atas kertas, Livia. Sadar nggak sih? Sedangkan di hati Rajendra kamu bukan siapa-siapa."Puncak kemarahan Livia sudah sampai ubun-ubun tapi ia tetap berusaha menahan diri. "Dan apa kamu tahu apa yang nggak berubah dari Rajendra?"Dahi Utary berkerut. Ia bingung tapi tertarik ingin t