Rajendra terpaksa membawa istri yang dibencinya pergi memenuhi undangan makan malam dari papinya. Rajendra juga terpaksa meninggalkan kekasihnya di rumah karena tidak ingin papinya tahu. Ia hanya ingin orang-orang tahu bahwa hubungannya dengan Livia baik-baik saja dan mereka adalah suami istri yang bahagia.Di dalam mobil yang membelah jalan raya menuju rumah Erwin, suasana di antara Rajendra dan Livia dilingkupi oleh keheningan yang dalam. Rajendra menatap lurus ke depan, tangannya menggenggam kemudi dengan erat, sementara Livia duduk diam di sampingnya. Sesekali wanita itu melirik ke luar jendela dengan tatapan kosong. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya deru mesin yang terdengar samar-samar di antara mereka. Setiap kali Livia hendak membuka mulut untuk berbicara, ia ragu, takut kata-katanya hanya akan membuat suasana semakin tegang.Di sisi lain, Rajendra merasa tidak ada alasan untuk memulai percakapan. Baginya, kebersamaan mereka hanyalah sebuah kewajiban, bukan pilihan yang
Saat mobil mereka berhenti di halaman rumah Erwin, pandangan Rajendra menyapu deretan mobil yang terparkir rapi. Tanda bahwa saudara-saudaranya sudah tiba, membuatnya merasa semakin tertekan, karena harus mempertahankan citra pernikahan bahagia yang akan ia bangun di hadapan keluarga ayahnya.Rajendra melirik Livia dengan tatapan singkat yang penuh dengan rasa muak dan frustrasi yang dipendamnya. Di dalam hati ia bergumam penuh amarah, 'Bagaimana bisa hidupku berakhir dengan wanita cacat ini?'Bagi Rajendra, berada bersama Livia adalah beban yang harus ia tanggung, bukan pilihan yang ia inginkan.Rajendra menghela napas berat sebelum keluar dari mobil, mengumpulkan segenap ketenangan yang ia butuhkan untuk berpura-pura. Ia berjalan ke sisi mobil lalu membukakan pintu untuk Livia. Pria itu mengulurkan tangan, bukan karena peduli, tetapi semata-mata untuk menjaga image.Livia menerima uluran tangan Rajendra dengan senyum kecil yang dipaksakan, sadar bahwa bantuan itu tidak berasal dari
Rajendra sempat tertegun sejenak, menyadari bahwa semua mata kini tertuju padanya dan ponselnya. Sesaat itu pula obrolan yang ramai mendadak sunyi. Dengan ragu, Rajendra mengambil ponselnya dan menatap layar. Ia merasa jantungnya berdebar lebih kencang, mencoba menebak alasan Utary meneleponnya di tengah suasana makan malam ini. Padahal tadi saat di mobil kekasihnya itu juga sudah menelepon.Erwin, sang ayah yang duduk di seberangnya lantas berkata dengan nada bercanda. "Weekend begini siapa yang menelepon Pak CEO kita? Dari kantor?"Rajendra mencoba tertawa, meski suara tawanya terdengar sedikit tertekan. "Iya, mungkin urusan pekerjaan." Ia mereject panggilan dan menjawab ayahnya dengan nada santai, sambil berusaha keras untuk menutupi kegugupannya.Livia tetap diam. Ia memilih untuk tidak berkata apa-apa, hanya kembali berusaha menikmati hidangan di depannya, meski dalam hati ia merasa semakin jauh dari suaminya yang hanya berpura-pura.Hanya beberapa menit setelah panggilan pertama
Ketegangan masih melingkupi raut gagah Rajendra. Lelaki itu menyetir dengan kencang, membuat istrinya tidak tahan untuk tidak berkomentar."Kenapa kekasihmu? Keguguran? Atau kesurupan?" ujarnya sambil tersenyum asimetris.Sontak saja Rajendra mengalihkan pandangannya yang sejak tadi tertuju ke jalan raya pada Livia."Jaga mulutmu, Liv. Hati-hati kalau bicara," ucapnya marah."Apa salah saya? Saya kan cuma bertanya," jawab Livia ringan."Kalau itu yang kamu sebut bertanya, sebaiknya kamu pikir-pikir lagi sebelum bicara," ucap Rajendra dengan nada yang dingin. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terdengar tegas, menyiratkan batas yang tidak boleh dilanggar.Livia tertawa kecil, nada geli dalam suaranya jelas terdengar. "Kamu jadi begitu sensitif. Kenapa? Memangnya ada yang perlu ditakutkan?"Rajendra mengepalkan tangan di setir, membiarkan beberapa detik berlalu dalam keheningan. Pertanyaan Livia, meski diucapkan dengan nada bercanda membuatnya sakit hati. Tanpa melihat ke arah Livia,
Di depan cermin, Livia dengan hati-hati mengaplikasikan sentuhan akhir pada riasannya, memastikan penampilannya terlihat sempurna namun alami.Wajahnya tampak berseri-seri dengan sedikit rona merah di pipinya dan lipstik yang juga berwarna merah. Di atas meja rias ada beberapa aksesoris hendak ia gunakan. Mungkin ia akan memilih anting kecil berkilau atau gelang tipis untuk melengkapi penampilannya.Kemudian Livia mengambil tas dan memeriksa isinya untuk memastikan ia memiliki semua barang yang ia butuhkan seperti ponsel dan dompet.Sesekali, ia melirik jam di dinding untuk memperkirakan kedatangan penjemputnya. Pandangannya sejenak melayang ke luar jendela, menikmati langit malam yang muncul dari balik kaca.Ia kemudian mengingat tujuan mereka dengan penuh minat. Ia pernah mendengar bahwa restoran itu terkenal dengan suasananya yang hangat dan makanannya yang lezat.Senyum tipis tersungging di wajah Livia saat membayangkan waktu santai yang akan ia habiskan bersama Ryuga malam ini.
"Maaf agak lama," kata Ryuga begitu bertemu muka dengan Livia."Oh nggak kok, on time banget malah," jawab Livia sambil tersenyum.Penampilan Livia malam itu membuat Ryuga terpukau. Dress berwarna lembut, rambut panjang digerai indah dengan aksen gelombang di bawahnya, plus lipstik berwarna merah seolah melambangkan seorang wanita yang lembut, elegan tapi berani. Livia begitu cantik. Andai saja kakinya tidak pincang perempuan itu akan begitu sempurna."Oh iya, Liv, Rajendra mana? Saya mau minta izin ke dia dulu untuk membawa kamu." Kepala Ryuga celingukan ke arah rumah."Dia ada di dalam, tapi tadi saya udah minta izin kok mau pergi sama kamu.""Berarti nggak apa-apa kalau kita pergi sekarang?"Livia menganggukkan kepalanya dan membatin, sopan sekali lelaki ini. Hanya untuk pergi makan malam saja harus meminta izin pada Rajendra.Ryuga membukakan pintu untuk Livia. Seperti biasa membiarkan perempuan itu masuk dan menutupkan pintu mobil setelahnya.Seperti biasa juga Rajendra mengintip
Livia dan Ryuga tiba di restoran. Sebuah restoran mewah dengan alunan musik jazz yang diputar pelan. Keduanya duduk di dekat jendela. Dari spot itu mereka bisa melihat pemandangan kota yang indah di kala malam.Ryuga menarikkan kursi untuk Livia sebelum kemudian lelaki itu duduk di seberangnya."Indah sekali ya tempat ini. Saya suka pemandangannya. Ini baru dinner with view," ujar Livia yang disambut senyuman kecil Ryuga.Ryuga menatap Livia dengan senyuman yang lebih dalam, ia memerhatikan cara perempuan itu menikmati pemandangan di luar jendela. "Saya senang kalau kamu suka. Berarti saya nggak salah memilih tempat ini," ucapnya pelan, matanya tetap tertuju pada wajah Livia, bukan pada pemandangan yang ia bicarakan.Livia terus menatap ke luar, berusaha mengabaikan tatapan intens Ryuga padanya."Ryuga, kamu sering makan di sini?" tanyanya memindahkan topik obrolan, juga beralih menatap pria itu."Nggak juga. Kalau boleh jujur ini memang tempat favorit saya. Dan saya ke sini hanya ber
"Shit!" Rajendra mengumpat dengan penuh kekesalan ketika menelepon Livia tapi ternyata istrinya yang cacat itu tidak bisa dihubungi. Dia mematikan teleponnya. Dia sengaja. Pasti."Ndra, mana susunya?" rengek Utary, sang kekasih, dari atas tempat tidur. Perempuan itu leyeh-leyeh di sana. Embusan napas panjang, keluar dari bibir Rajendra. Ditatapnya handphone yang masih berada di tangannya dengan perasaan jengkel yang mengubun-ubun.Ketika melihat ke ranjang, Utary dengan perutnya yang semakin besar membalas tatapan Rajendra dan semakin terlihat tidak sabar. “Ndra, gimana sih? Dari tadi aku minta susu kamu kok diam aja?" ucap perempuan itu jengkel karena tidak ada usaha apa pun yang dilakukan Rajendra. Sejak tadi pria itu sibuk dengan ponselnya.Setiap memandang cantiknya wajah Utary, Rajendra merasakan cinta dan harapan. Namun, setiap kali ingatan tentang Livia memenuhi kepalanya, ia bagai dijebak. Meskipun pengorbanan Livia begitu banyak, namun Rajendra tetap tidak bisa mencintainya
Pagi itu Rajendra turun lebih awal ke dapur. Sebelum keduluan Tasia ia ingin membuat kopinya sendiri. Saat ia membuka lemari untuk mengambil cangkir, sebuah tangan tiba-tiba menyodorkan cangkir ke arahnya."Ini, Pak," kata Tasia dengan suara yang terdengar lembut.Rajendra menoleh dan menemukan Tasia berdiri sangat dekat dengannya."Kamu sudah bangun?" tanyanya sedikit terkejut.Tasia tersenyum kecil. "Saya memang selalu bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan. Bapak tahu kan saya suka memastikan semuanya berjalan lancar di rumah ini? Apalagi Ibu Livia lagi sakit."Rajendra menerima cangkir dari Tasia dan mengucapkan terima kasih.Ketika ia hendak menuangkan kopi Tasia dengan sengaja menyentuh tangannya. "Oh maaf," kata Tasia dengan tawa kecil. "Saya terlalu dekat ya?"Rajendra mundur sedikit tapi Tasia tetap berdiri di tempatnya."Saya senang melihat Bapak mulai rileks. Saya harap Bapak tahu kalau saya selalu ada kalau Bapak butuh seseorang untuk berbicara," katanya dengan nada l
Malam itu setelah meminum obat, Livia keluar dari kamar. Anak-anak sedang mengerjakan PR dengan Tasia, sedangkan Rajendra entah ke mana.Livia berjalan dan bermaksud duduk di beranda. Setelah pintu ia buka ternyata ia melihat Rajendra sedang duduk sendiri. Livia bermaksud kembali ke dalam rumah tapi Rajendra sudah terlanjur melihatnya."Sayang!" kata pria itu. "Mau ke mana?"Livia menghentikan langkahnya sejenak. Ia Ragu harus melangkah ke dalam atau tetap bertahan di tempat. Tapi ada sesuatu dalam nada suara pria itu yang terasa akrab dan hangat."Aku hanya ingin duduk sebentar di luar," jawab Livia pelan menghindari tetapan suaminya.Rajendra menggeser duduk. Ia memberi ruang di sebelahnya. "Duduk di sini Liv."Livia merasa ragu tapi kakinya justru melangkah mendekat. Hanya saja ia duduk di kursi yang lain, menjaga jarak dari Rajendra.Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Hanya ada suara angin yang berembus lembut dan desiran dedaunan yang bergerak pelan. "Sudah mera
Tasia jelas saja terkejut mendapat serangan dari Rajendra. "Maaf, Pak, saya tidak tahu kalau itu rahasia. Saya mengatakannya pada ibu Livia hanya agar ingatannya cepat kembali. Saya nggak ada maksud apa-apa."Rajendra menggelengkan kepalanya. Ia terlalu kecewa pada sikap Tasia. "Selama ini saya percaya sama kamu," lanjutnya dengan suara dingin. "Saya menganggap kamu sebagai orang yang bisa saya andalkan. Tapi ternyata kamu lebih memilih jadi pengadu domba."Tasia langsung melihatkan wajah sedih seolah perkataan Rajendra benar-benar menyakitinya. "Pak, saya hanya ingin membantu.""Membantu apa?" potong Rajendra sebelum perempuan itu melanjutkan kalimatnya. "Yang kamu lakukan justru menimbulkan kekacauan.""Tapi Bu Livia berhak tahu kenyataannya, Pak.""Itu bukan hak kamu buat kasih tahu dia!" bentak Rajendra. Emosinya benar-benar memuncak. "Apa kamu pikir saya nggak akan pernah bilang apa pun? Apa kamu pikir saya akan menyembunyikan hal itu selamanya? Lagian itu bukan urusan kamu. Tuga
Rajendra terkekeh pelan meski ada sedikit rasa sakit menusuk jiwa. "Red flag?" ulangnya."Iya, naluriku yang bilang begitu," jawab Livia.Rajendra teguk salivanya. Kalau naluri Livia saja sudah mengatakan bahwa ia adalah cowok red flag, berarti dulu Livia memang pernah terluka karena dirinya kan?"Aku nggak seburuk itu, Liv," kata Rajendra akhirnya. "Kalau aku memang red flag, kenapa kamu cinta sama aku?"Livia mengerutkan dahi. Ia ingin membantah tapi satu pun ingatan tentang perasaan terhadap Rajendra tak pernah bisa ia temukan. Itu yang membuatnya semakin ragu. "Apa aku benar-benar jatuh cinta sama kamu?" pandangnya tajam."Iya," jawab Rajendra mantap. "Kamu mencintaiku, Livia. Sama seperti aku mencintaimu."Livia membisu begitu lama. Sorot matanya tajam, seolah mencoba membaca kebenaran di balik kata-kata Rajendra."Kalau aku memang cinta sama kamu kenapa aku nggak bisa mengingat apa pun?" tanyanya pelan.Rajendra menelan ludah lalu menggenggam lembut tangan Livia. "Nggak apa-apa
Livia sudah bangun sejak tadi pagi. Tapi sampai detik ini ia masih berada di dalam kamar. Berbaring sambil bermenung sendiri. Sisa-sisa kesedihan masih berjejak di hatinya. Perasaan kecewa karena merasa dibohongi belum sepenuhnya pergi.Saat Livia sedang asyik merenung pintu kamarnya diketuk."Bunda! Bunda udah bangun?" Itu suara Gadis.Livia mengesah pelan."Nda, Adis boleh masuk nggak?"Livia menoleh ke arah pintu lalu dengan berat hati terpaksa mengatakan. "Masuk aja."Perlahan-lahan pintu terbuka, memperlihatkan seorang anak kecil yang sudah siap dengan seragam merah putihnya. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai bebas. Sebuah bandana berwarna pink lembut menghiasi kepalanya. Membuatnya tampak begitu manis dan menggemaskan.Dengan langkah kecilnya Gadis mendekati tempat tidur Livia lalu bicara pada perempuan yang masih berbaring itu. "Bunda, kenapa masih tiduran? Bunda sakit ya?" tanyanya sembari meraba kening Livia."Bunda cuma mau istirahat," lidah Livia kelu saat mengucapk
Livia berjalan tanpa arah. Malam semakin larut, udara dingin menusuk kulit, tapi ia tidak peduli. Kata-kata Astrid terus terngiang di telinganya.AKU ASTRID, ISTRI EVANJadi selama ini ia hanya tempat persinggahan sementara? Atau dirinyalah yang salah arah? Evan begitu baik padanya, begitu perhatian, tetapi pada akhirnya ia tetap pria yang sudah memiliki istri.Air mata yang ia tahan sejak tadi di akhirnya jatuh. Livia tertawa miris. Bodoh. Ia merasa sangat bodoh.Ponselnya bergetar berkali-kali. Nama Evan muncul di layar, tapi ia tidak ingin menjawab. Apalagi yang perlu dijelaskan? Semua fakta sudah ada di depan mata.Tanpa sadar hati membawanya kembali ke rumah Rajendra. Setelah masuk ia langsung menuju kamar tanpa menyapa siapa pun. Ia hanya ingin bersembunyi dari dunia yang terasa semakin menyakitkan. Namun Rajendra yang kehilangan Livia sejak tadi melihat semuanya. Wajah Livia yang muram, tatapan mata yang kosong dan langkahnya yang gontai.Rajendra tidak bisa tinggal diam. Denga
Saat jam kerja sudah selesai Evan mengajak Livia pulang. "Aku harus pulang ke mana?" Livia bertanya bingung."Ke rumah kamu. Rumah Rajendra. Biar aku yang antar."Livia menggeleng. "Harus berapa kali aku bilang kalau aku nggak nyaman tinggal di sana? Semua terasa asing.""Itu hanya perasaanmu, Liv. Nggak ada yang asing. Kasihan anakmu, Liv. Dia pasti kehilangan ibunya kalau kamu terus bersikap kayak gini. Aku antar ya? Besok kita ketemu lagi." Evan terus membujuk Livia agar mau pulang."Janji?" kata Livia kurang percaya."Janji." Evan mengangkat kelingkingnya.Livia ragu sejenak tapi akhirnya ia menyambut kelingking Evan dan mengaitkan dengan miliknya.Sepanjang perjalanan Livia lebih banyak diam. Matanya menerawang keluar jendela, mengamati lampu-lampu kota yang menyala seiring datangnya malam. Evan melirik ke arahnya sesekali."Livia," panggilnya."Ya?""Maaf kalau aku terlalu memaksamu. Tapi aku nggak mau kamu semakin jauh dari kehidupanmu yang sebenarnya."Livia hanya diam sampa
Evan menghela panjang setelah menatap Livia yang bersikeras tidak ingin pulang. Ia tahu situasi ini tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut. Maka ia mengambil ponselnya lalu meninggalkan Livia dengan alasan pergi ke toilet. Tiba di toilet ia menelepon Rajendra.Rajendra sedang berada di ruangannya ketika ponselnya bergetar di dalam saku. Ia mengambilnya dan melihat nama Evan ada di sana. Sebelumnya mereka memang sempat bertukar nomor telepon satu sama lain."Ada apa?" tanya Rajendra tanpa basa-basi."Livia ada di sini. Dia datang ke kantor gue sendiri dan bilang nggak mau pulang."Rajendra terkejut mendengarnya. Tadi Livia bilang akan merajut seharian di rumah. Namun ternyata ia tertipu."Dia juga bilang masih cinta sama gue," tambah Evan. "Sorry, Ndra."Rajendra terdiam. Dadanya begitu sesak. Rasa sakit menohoknya. "Gue paham," jawab Rajendra akhirnya. "Kalo dia mau di sana biarin aja dulu. Mungkin dia lagi kangen sama lo."Evan tidak menyangka bahwa jawaban Rajendra akan semudah itu
Livia melangkah masuk ke dalam gedung perkantoran dengan jantung berdebar kencang. Ia bahkan tidak tahu bagaimana bisa sampai di sini. Ia hanya mengikuti dorongan kuat dalam hatinya. Sesuatu di tempat itu terasa familier dengannya walaupun ingatannya tetap kabur.Saat ia tiba di depan resepsionis ia bertanya, "Pagi, Mbak, Evan Satria ada di sini?"Resepsionis menatapnya dengan ragu sejenak lalu menjawab, "Anda sudah anda janji dengan Pak Evan?"Livia menggeleng. "Nggak ada. Tapi tolong kasih tahu dia bahwa Livia ada di sini."Resepsionis tampak ragu tapi tak urung menghubungi seseorang. Tidak butuh waktu lama seorang lelaki berkemeja biru muncul."Livia!" Walau tadi sudah disampaikan resepsionis bahwa Livia yang menunggunya namun Evan tetap tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Livia tersenyum tipis lalu memeluk Evan penuh kerinduan. "Kangen banget sama kamu, Van."Evan yang merasa tidak enak melepaskan pelukan itu pelan-pelan."Ayo kita ke ruanganku, Liv," ajaknya.Livia menurut