Taksi yang membawa Livia menurunkannya tepat di depan Decamica Building. Bangunan tersebut adalah milik Bentala Group, perusahaan milik Rajendra. Namun di gedung puluhan lantai itu banyak perusahaan yang berkantor, di antaranya adalah PT. Cakrawala Hira, perusahaan yang dipimpin oleh Langit.Livia mengeluarkan ponselnya. Ia bermaksud menghubungi Langit untuk memberitahu mengenai kedatangannya."Halo, Livia." Langit langsung menjawab setelah deringan pertama."Pagi, Langit, saya sudah di lobi.""Langsung ke lantai 17 ya. Kantorku ada di sana.""Baik." Livia menutup telepon tersebut.Di lobi yang luas itu pemandangan hilir mudik orang-orang adalah hal yang biasa. Namun Livia yang melangkah terpincang-pincang dengan tongkatnya adalah hal yang aneh dan begitu menarik perhatian orang-orang. Otomatis atensi mereka tertuju pada Livia.Saat Livia melirik ke arah resepsionis, dua orang perempuan di sana terlihat sedang berbisik-bisik sambil tertawa. Mereka adalah orang yang sama saat Livia me
Langit tertegun beberapa detik mengetahui telepon tersebut dari Rajendra. Ia berpikir lebih baik nanti saja diterimanya telepon itu. Maka Langit mengembalikan ponselnya ke dalam saku."Kenapa nggak dijawab? Saya akan keluar kalau telepon itu penting," ujar Livia. "Saya nggak akan nguping."Langit terkekeh mendengar perkataan istri sepupunya. "Kalau kamu dengar juga nggak apa-apa. Masalahnya itu bukan telepon penting." Lalu Langit buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Oh ya, Livia, aku akan mengenalkanmu pada sekretarisku."Livia mengangguk.Langit mengangkat gagang telepon lalu meminta seseorang datang ke ruangannya."Sasa, ke ruangan saya sekarang," perintah pria itu tegas dan berwibawa.Tidak sampai satu menit sesosok perempuan muncul. Ia mengenakan blouse merah jambu dan rok selutut."Sasa, kenalkan ini Livia. Dia yang akan menggantikan posisi Sari. Tolong kamu tunjukkan padanya job desc-nya apa saja dan bantu jika ada kesulitan.""Baik, Pak Langit," jawab sekretaris Langit itu patuh
Pintu ruangan divisi pemasaran terbuka bersamaan dengan hadirnya sosok Langit. Mendadak semua yang ada di dalam ruangan tersebut menoleh ke arah yang sama, kecuali Livia. Livia sibuk dengan pekerjaannya menginput data."Nggak pada makan siang?" tanya Langit pada bawahannya."Iya, Pak, sebentar lagi." Poppy yang menjawab sembari berpura-pura sibuk menata kertas di atas meja. Begitu pun dengan Chika dan Linda, mendadak mereka jadi tampak sibuk padahal sesaat yang lalu ketiganya duduk santai di kursi masing-masing sambil mengobrol dan sesekali menyindir Livia."Makan siang aja dulu, udah jam istirahat. Nanti dilanjutkan kembali," suruh Langit."Baik, Pak."Ketiganya bangkit dari tempat duduk mereka lalu keluar satu demi satu setelah menyapa langit dengan sopan.Langit lantas menarik langkahnya mendekati Livia yang masih berada di kursinya."Liv, ayo makan siang dulu," ajaknya."Sebentar, Lang, tinggal dikit lagi. Nanggung." Livia menunjukkan sheet di layar komputer yang sedang dikerjakan
Seketika tubuh Livia membeku. Wajahnya pun memucat mengetahui siapa lelaki yang berada di hadapannya lalu masuk ke dalam lift, bergabung bersamanya dan Langit.Rajendra!"Hai, Ndra, nggak nyangka bakal ketemu di sini," sapa Langit dengan santai seolah tadi tidak terjadi perdebatan apa pun di antara mereka."Lift ini milik umum jadi siapa pun bisa menggunakannya," jawab Rajendra dingin. Lelaki itu lalu melirik ke arah Livia. Livia membalas tatapan tajam Rajendra. Saking tajamnya seolah akan membelah tubuh Livia.Selama beberapa saat suasana terasa canggung. Rajendra ingin memarahi Livia namun ada Langit di sana yang ia yakini pasti akan membela Livia."Ndra, gue sama Livia mau makan siang bareng. Lo mau gabung sekalian sama kita?" Langit memecah kebekuan dengan bertanya pada Rajendra."Gue udah ada janji sama Utary. Mau kontrol kandungan." Nada suara Rajendra masih sedingin tadi.Mendengar nama perempuan itu disebut Livia menelan salivanya. Rajendra pasti sedang berbahagia karena sebe
Livia masih termangu dengan handphone yang berada di tangannya.Apa Rajendra tidak salah menghubunginya? Tapi kenapa? Apa lelaki itu salah tujuan, salah pencet atau ketidaksengajaan lainnya?"Silakan diterima teleponnya dulu," kata Langit menyilakan kala melihat Livia tertegun menyaksikan layar ponselnya.Livia memberi jawaban anggukan kepala."Halo, Ndra," sapanya pelan."Kamu di mana?" Suara di ujung telepon bertanya tanpa berbasa-basi."Di luar.""Di luar itu banyak.""Masih di jalan mau pergi makan.” Livia mengatakan dengan jujur agar suaminya itu puas.“Jadi ini alasan kamu pengen kerja dan ngotot ngelawan aku biar bisa pergi sama laki-laki lain?" suara Rajendra meningkat drastis. Livia terdiam sebentar. Ia tidak paham kenapa Rajendra marah-marah padanya. Lantaran tidak ingin bertengkar Livia memutuskan untuk mengakhiri panggilan tersebut."Ndra, udah dulu ya." Tanpa menunggu jawaban dari suaminya langsung saja Livia memutuskan sambungan telepon yang membuat Rajendra kesal sete
Hari ini cukup menyenangkan bagi Livia. Ia mendapat pengalaman baru bekerja di kantor Langit yang juga mengurangi interaksinya dengan Utary."Biar aku yang mengantarmu pulang, Liv," suara itu terdengar kala Livia sedang menunggu taksi di depan lobi.Livia lantas menoleh dan mendapati Langit sudah berada di sebelahnya."Eh, Lang. Saya naik taksi saja," jawab Livia menolak. Tidak enak jika dilihat para pegawai yang lainnya."Ayolah, Liv, jangan menolak. Pada jam segini biasanya susah dapat taksi."Saat itu sore hari bertepatan dengan jam pulang kerja para pekerja kantoran. Livia pikir yang dikatakan Langit ada benarnya juga. Buktinya sejak tadi belum ada driver yang mengambil orderan Livia. Jadi ia pun menerima tawaran Langit yang ingin mengantarnya pulang.Ketika Livia akan masuk ke mobil Langit tanpa sengaja ia melihat trio julid sedang memerhatikannya. Entah apa yang ada di pikiran para perempuan itu."Gimana kerja hari ini?" Langit bertanya seiring roda mobil yang berputar di jalan
Livia disambut oleh tampang masam Rajendra ketika memasuki rumah. Livia pura-pura tidak melihat. Ia meneruskan gerakannya meletakkan tas dan membuka jam tangan. Ia bermaksud istirahat sebentar lalu mandi."Apa kamu nggak malu?" Suara Rajendra terdengar olehnya dan berhasil membuat Livia menoleh."Malu kenapa?""Kamu kerja di kantor dengan keadaan seperti itu," jawab Rajendra sambil melirik kaki Livia lalu beralih menatap tongkat perempuan itu. "Tolong pertimbangkan juga reputasiku.""Reputasi?" Livia tersenyum awkward. "Reputasi apa yang harus saya jaga jika kamu sendiri yang merusaknya."Rajendra menarik langkah lebih dekat dengan Livia. Tubuh menjulangnya berada tepat di depan wanita itu. Jarak mereka tidak lebih dari satu jengkal."Apa maksudmu?" Rajendra mendesis dingin."Apa kamu nggak berpikir? Dengan membawa kekasihmu tinggal bersama kita ke sini akan merusak nama baik dan reputasimu?""Aku nggak perlu memikirkan apa-apa. Sudah kubilang kan kalau Utary tanggung jawabku?""Ya su
"Maaf ya, Livia, saya sampai merepotkan kamu," ujar Ryuga setelah mereka berada di dalam mobil lelaki itu.Walau Rajendra melarang dengan keras Livia tetap teguh pada keinginannya. Apalagi mereka telah membuat kesepakatan. Rajendra boleh membawa Utary tinggal di rumah mereka dan Livia akan melayaninya seperti yang ia lakukan pada Rajendra dengan syarat Rajendra tidak menghalangi Livia untuk beraktivitas di luar."Nggak apa-apa, Ryuga, nggak repot kok." Livia malah senang ia bisa lebih sering pergi dari rumah sehingga tidak melihat kemesraan Rajendra dan Utary."Soal biaya saya akan bayar dua kali lipat. Nanti sisanya saya transfer ke rekening kamu ya. Tolong kirim via chat nomor rekening kamu." "Nggak perlu, Ryuga. Jangan ditambah lagi. Itu semua sudah cukup," jawab Livia menolak."Tapi waktu kamu jadi banyak terbuang, belum lagi untuk transportasi.""Bukan masalah. Saya malah senang daripada di rumah terus. Saya ada ide, gimana kalau ke depannya lesnya diadakan di rumah kamu? Jadi s
Rumah besar Livia dan Rajendra kini terasa sunyi. Anak-anak sudah besar dan berkeluarga. Tapi di setiap akhir pekan rumah mereka selalu ramai oleh tawa canda cucu dan cicit mereka. Anak-anak selalu menawarkan Rajendra dan Livia untuk tinggal bersama mereka tapi keduanya menolak. Mereka lebih memilih untuk tinggal berdua saja dan menghabiskan masa tua bersama.Rajendra dan Livia saat ini sedang berada di kamar mereka. Rajendra sudah berumur 90 tahun sedangkan Livia 3 tahun di bawahnya. Keduanya berbaring di tempat tidur."Hujannya lama ya, Ndra, dari tadi nggak berhenti-henti," kata Livia sembari memandang ke luar jendela, pada titik-titik hujan yang terus berjatuhan."Iya, Sayang. Sekarang kan lagi musim hujan.""Dingin ..." Rajendra merengkuh Livia, memberi lengannya untuk istrinya itu berbaring sedangkan satu tangannya lagi memeluk tubuh Livia. Meski rambut mereka sudah sepenuhnya memutih dan wajah mereka sudah keriput tapi cinta mereka begitu kuat.Livia tersenyum. "Berada di peluk
Hari-hari setelah kehamilannya terasa berat bagi Gadis. Setiap hari ia mengalami morning sickness yang menyebabkan susah makan.Randu yang biasanya pagi-pagi berangkat ke kedutaan kini harus mengurus Gadis lebih dulu sebelum pergi ke kantornya."Makan dikit ya, Abang bikinin sup hangat atau maunya roti coklat aja?" kata Randu sambil mengelus pundak Gadis yang terduduk lemas di sofa.Gadis menggelengkan kepalanya. "Adis nggak mau apa-apa, Bang. Adis nggak selera makan apa pun.""Tapi setidaknya Adis harus makan sedikit biar ada isi perutnya. Ingat, Dis, anak kita juga butuh asupan."Gadis tersenyum melihat perhatian Randu dan kepanikannya di waktu yang sama. "Ya udah, Adis mau minum teh hangat aja sama roti coklat," putusnya walau kemudian kembali berakhir dengan muntah.Malam harinya saat video call dan mengetahui keadaan Gadis, Livia langsung mengambil keputusan."Ndra, aku harus berangkat.""Ke mana?" tanya Rajendra."Ke Turki. Aku harus nemenin Gadis. Dia butuh aku saat ini. Ini ke
Gadis dan Randu memulai kehidupan mereka sebagai suami istri begitu tiba di Ankara, ibukota Turki. Kota itu terasa begitu berbeda dengan suasana di Indonesia. Udara dingin menusuk di musim gugur. Arsitektur Eropa bercampur dengan sentuhan Ottoman serta hiruk pikuk kehidupan yang begitu asing bagi Gadis.Randu sebagai diplomat muda langsung disibukkan dengan pekerjaannya di kedutaan besar Indonesia. Seringkali ia harus menghadiri rapat dengan pejabat Turki, menerima delegasi dari Indonesia, atau menghadiri acara-acara diplomatik. Sementara itu gadis masih beradaptasi dengan kehidupan barunya. Awalnya ia merasa canggung tinggal di negeri orang. Namun Randu selalu berusaha membuatnya nyaman. Mereka tinggal di sebuah apartemen yang luas dengan pemandangan kota Ankara yang indah.Setiap pagi Randu berangkat ke kedutaan, sementara gadis mulai membangun rutinitasnya sendiri. Ia mengambil kursus bahasa Turki agar bisa lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang sekitar. Selain itu ia juga se
Hari keberangkatan Gadis dan Randu ke Turki semakin dekat. Di rumah keluarga Rajendra suasana haru kian terasa.Livia sibuk memastikan semua keperluan Gadis sudah siap. Ia berulang kali memeriksa koper putrinya hanya demi memastikan tidak ada barang penting yang tertinggal."Adis, kamu yakin semuanya udah lengkap? Paspor, obat-obatan, udah?" tanya Livia dengan suara bergetar.Gadis tersenyum tipis, ia mencoba menenangkan perasaan ibunya. "Udah, Bunda. Tenang aja, Adis udah cek berkali-kali, sama kayak Bunda."Namun, Livia tetap terlihat cemas. Tangannya gemetar saat merapikan baju-baju Gadis di koper."Nda, udah. Jangan kayak gini. Nanti Adis bakal sering nelepon dan video call sama Bunda kok," kata Gadis menenangkan sang bunda.Livia mengangguk tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia belum siap berpisah dengan Gadis, namun juga tidak mungkin menahan Gadis agar tetap bersamanya karena Gadis sudah menikah.Rajendra juga mencoba untuk tegar. Ia diam saja, memerhatikan semua persiapan denga
Akad nikah Gadis dan Randu sudah selesai dilaksanakan. Acara disambung dengan resepsi pernikahan.Acara tersebut tampak meriah. Para tamu yang datang terlihat puas. Baik oleh penyelenggaraan acaranya maupun dari hidangan yang disajikan. Wedding singer yang berada di atas panggung yang berada tidak jauh dari pelaminan tidak ada hentinya menyanyikan lagu romantis, membuat atmosfer penuh cinta semakin terasa."Liv, aku mau nyanyi boleh nggak?" kata Rajendra tiba-tiba."Hah?" Mata Livia melebar mendengarnya. "Emang kamu bisa nyanyi?""Bisa dong walau suara aku pas-pasan," kekeh Rajendra.Livia ikut tertawa. "Ya udah gih, nyanyi sana biar anak-anak tahu kalau papanya ada bakat terpendam.""Kamu mau ikutan nyanyi sama aku?""Aku ngeliat dari sini aja."Rajendra berjalan ke belakang panggung, berbicara dengan seseorang lalu naik ke atas panggung. Mikrofon yang tadinya ada di tangan wedding singer berpindah ke tangan Rajendra."Bang, itu Papa mau ngapain?" tanya Gadis yang duduk di pelaminan
Begitu mendapatkan restu dari Erwin, persiapan pernikahan Gadis dan Randu segera disiapkan.Livia yang paling sibuk. Ia memastikan bahwa semua berjalan lancar dan sempurna untuk anak perempuannya. Begitu pula dengan Rajendra. Ia lebih disibukkan dengan urusan administratif.Gadis menginginkan pernikahan yang sederhana tapi tetap elegan. Setelah berdiskusi panjang akhirnya mereka memutuskan menyewa gedung yang memiliki nuansa taman di dalamnya dengan lampu-lampu gantung. Sementara untuk dekorasinya sendiri dihiasi nuansa putih dan hijau yang menyimbolkan kesan alami dan damai.Untuk pakaian pengantin Randu mengenakan beskap putih klasik. Sedangkan Gadis memilih gaun putih gading dengan detail bordir yang lembut. Saat pertama kali mencobanya ia termenung di depan cermin, menyadari bahwa sebentar lagi hidupnya akan berubah.Mengenai undangan mereka mencetak undangan simpel dengan desain minimalis. Gadis dan Randu memutuskan hanya mengundang orang-orang terdekat. Meskipun begitu Rajendra
"Yang benar aja kamu, Ndra. Nggak mungkin Gadis nikah sama Randu!" Begitu kata Erwin di saat Rajendra mengatakan tentang rencana menikahkan kedua anaknya."Aku dan Livia juga kaget, Pi. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka berdua saling mencintai," ujar Rajendra pada Erwin."Kayak nggak ada orang lain aja." Erwin terlihat tidak setuju atas rencana pernikahan keduanya."Ya mau gimana lagi, Pi. Namanya juga cinta."Erwin terdiam. Ia kehilangan kata untuk menjawab kata-kata Rajendra."Pi, kita restui saja mereka. Jangan dipersulit," pinta Rajendra." Aku nggak ingin melihat anakku menderita apalagi kalau mereka sampai kawin lari."Erwin menghela napasnya lalu bertanya, "Sejak kapan mereka pacaran?""Sudah cukup lama, Pi. Livia yang punya firasat itu tapi aku nggak percaya. Sampai akhirnya keduanya mengaku."Erwin terdiam lagi seolah sedang memikirkan perkataan Rajendra. "Kamu nggak lupa siapa orang tua Randu kan, Ndra? Jangan lupa dia anak Utary dan nggak tahu siapa bapaknya.""Aku udah lupakan
"Liv love, kamu ngeliat Gadis nggak?" tanya Rajendra setelah masuk ke ruangan Livia. Setelah semua yang terjadi Livia juga bekerja di kantor menjadi asisten pribadi Rajendra. Lagi pula anak-anak sudah besar."Paling pergi makan siang bareng Randu," jawab Livia sambil merapikan ikatan rambutnya."Makin hari mereka semakin dekat," komentar Rajendra."Iya. Aku pun ngeliatnya begitu." Livia menimpali. "Kamu ngerasa nggak sih, kalau hubungan mereka kayak udah nggak wajar?""Nggak wajar gimana?" Rajendra mengerutkan dahinya.Livia tampak ragu namun tak urung mengatakan. "Aku ngeliat mereka kayak orang lagi pacaran. Benar nggak?"Rajendra tertawa mendengarnya. "Kamu ada-ada aja, Sayang. Randu dan Gadis kan dari kecil sudah tumbuh bersama. Mereka itu kakak adik. Nggak mungkin mereka seperti yang kamu bilang."Livia terdiam. Yang dikatakan Rajendra ada benarnya. Tapi firasatnya berkata lain. Sebagai seorang ibu ia tahu persis ada yang berbeda dalam hubungan Randu dan Gadis. Cara Randu menatap
Waktu terus berlalu tanpa bisa dihentikan. Setiap detik yang terlewati bagaikan anak panah yang melesat dengan cepat.Anak-anak sekarang sudah dewasa. Randu sudah bekerja sebagai salah satu staff di Kemenlu. Sedangkan Gadis melanjutkan kerajaan bisnis Rajendra bersama dengan Livia. Hubungan Gadis dengan Randu sangat dekat. Bahkan tidak bisa lagi dibilang sebagai kakak adik biasa. Tumbuh bersama sejak kecil dan melewatkan berbagai hal berdua membuat mereka saling terikat satu sama lain. Meski tidak ada pernyataan cinta yang terucap namun keduanya menyadari bahwa mereka berdua saling mencintai. Hanya saja mereka tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Rajendra dan Livia menganggap keduanya saling menyayangi sebagai kakak dan adik. Tidak sedikit pun terbersit di pikiran mereka bahwa keduanya akan melewati batas itu."Dis, Abang pengen ngomong. Bisa nggak kita ketemuan makan siang nanti?" Itu pesan yang diterima Gadis dari Randu ketika ia sedang sibuk-sibuknya bekerja di kantor."Ha