Pintu ruangan divisi pemasaran terbuka bersamaan dengan hadirnya sosok Langit. Mendadak semua yang ada di dalam ruangan tersebut menoleh ke arah yang sama, kecuali Livia. Livia sibuk dengan pekerjaannya menginput data."Nggak pada makan siang?" tanya Langit pada bawahannya."Iya, Pak, sebentar lagi." Poppy yang menjawab sembari berpura-pura sibuk menata kertas di atas meja. Begitu pun dengan Chika dan Linda, mendadak mereka jadi tampak sibuk padahal sesaat yang lalu ketiganya duduk santai di kursi masing-masing sambil mengobrol dan sesekali menyindir Livia."Makan siang aja dulu, udah jam istirahat. Nanti dilanjutkan kembali," suruh Langit."Baik, Pak."Ketiganya bangkit dari tempat duduk mereka lalu keluar satu demi satu setelah menyapa langit dengan sopan.Langit lantas menarik langkahnya mendekati Livia yang masih berada di kursinya."Liv, ayo makan siang dulu," ajaknya."Sebentar, Lang, tinggal dikit lagi. Nanggung." Livia menunjukkan sheet di layar komputer yang sedang dikerjakan
Seketika tubuh Livia membeku. Wajahnya pun memucat mengetahui siapa lelaki yang berada di hadapannya lalu masuk ke dalam lift, bergabung bersamanya dan Langit.Rajendra!"Hai, Ndra, nggak nyangka bakal ketemu di sini," sapa Langit dengan santai seolah tadi tidak terjadi perdebatan apa pun di antara mereka."Lift ini milik umum jadi siapa pun bisa menggunakannya," jawab Rajendra dingin. Lelaki itu lalu melirik ke arah Livia. Livia membalas tatapan tajam Rajendra. Saking tajamnya seolah akan membelah tubuh Livia.Selama beberapa saat suasana terasa canggung. Rajendra ingin memarahi Livia namun ada Langit di sana yang ia yakini pasti akan membela Livia."Ndra, gue sama Livia mau makan siang bareng. Lo mau gabung sekalian sama kita?" Langit memecah kebekuan dengan bertanya pada Rajendra."Gue udah ada janji sama Utary. Mau kontrol kandungan." Nada suara Rajendra masih sedingin tadi.Mendengar nama perempuan itu disebut Livia menelan salivanya. Rajendra pasti sedang berbahagia karena sebe
Livia masih termangu dengan handphone yang berada di tangannya.Apa Rajendra tidak salah menghubunginya? Tapi kenapa? Apa lelaki itu salah tujuan, salah pencet atau ketidaksengajaan lainnya?"Silakan diterima teleponnya dulu," kata Langit menyilakan kala melihat Livia tertegun menyaksikan layar ponselnya.Livia memberi jawaban anggukan kepala."Halo, Ndra," sapanya pelan."Kamu di mana?" Suara di ujung telepon bertanya tanpa berbasa-basi."Di luar.""Di luar itu banyak.""Masih di jalan mau pergi makan.” Livia mengatakan dengan jujur agar suaminya itu puas.“Jadi ini alasan kamu pengen kerja dan ngotot ngelawan aku biar bisa pergi sama laki-laki lain?" suara Rajendra meningkat drastis. Livia terdiam sebentar. Ia tidak paham kenapa Rajendra marah-marah padanya. Lantaran tidak ingin bertengkar Livia memutuskan untuk mengakhiri panggilan tersebut."Ndra, udah dulu ya." Tanpa menunggu jawaban dari suaminya langsung saja Livia memutuskan sambungan telepon yang membuat Rajendra kesal sete
Hari ini cukup menyenangkan bagi Livia. Ia mendapat pengalaman baru bekerja di kantor Langit yang juga mengurangi interaksinya dengan Utary."Biar aku yang mengantarmu pulang, Liv," suara itu terdengar kala Livia sedang menunggu taksi di depan lobi.Livia lantas menoleh dan mendapati Langit sudah berada di sebelahnya."Eh, Lang. Saya naik taksi saja," jawab Livia menolak. Tidak enak jika dilihat para pegawai yang lainnya."Ayolah, Liv, jangan menolak. Pada jam segini biasanya susah dapat taksi."Saat itu sore hari bertepatan dengan jam pulang kerja para pekerja kantoran. Livia pikir yang dikatakan Langit ada benarnya juga. Buktinya sejak tadi belum ada driver yang mengambil orderan Livia. Jadi ia pun menerima tawaran Langit yang ingin mengantarnya pulang.Ketika Livia akan masuk ke mobil Langit tanpa sengaja ia melihat trio julid sedang memerhatikannya. Entah apa yang ada di pikiran para perempuan itu."Gimana kerja hari ini?" Langit bertanya seiring roda mobil yang berputar di jalan
Livia disambut oleh tampang masam Rajendra ketika memasuki rumah. Livia pura-pura tidak melihat. Ia meneruskan gerakannya meletakkan tas dan membuka jam tangan. Ia bermaksud istirahat sebentar lalu mandi."Apa kamu nggak malu?" Suara Rajendra terdengar olehnya dan berhasil membuat Livia menoleh."Malu kenapa?""Kamu kerja di kantor dengan keadaan seperti itu," jawab Rajendra sambil melirik kaki Livia lalu beralih menatap tongkat perempuan itu. "Tolong pertimbangkan juga reputasiku.""Reputasi?" Livia tersenyum awkward. "Reputasi apa yang harus saya jaga jika kamu sendiri yang merusaknya."Rajendra menarik langkah lebih dekat dengan Livia. Tubuh menjulangnya berada tepat di depan wanita itu. Jarak mereka tidak lebih dari satu jengkal."Apa maksudmu?" Rajendra mendesis dingin."Apa kamu nggak berpikir? Dengan membawa kekasihmu tinggal bersama kita ke sini akan merusak nama baik dan reputasimu?""Aku nggak perlu memikirkan apa-apa. Sudah kubilang kan kalau Utary tanggung jawabku?""Ya su
"Maaf ya, Livia, saya sampai merepotkan kamu," ujar Ryuga setelah mereka berada di dalam mobil lelaki itu.Walau Rajendra melarang dengan keras Livia tetap teguh pada keinginannya. Apalagi mereka telah membuat kesepakatan. Rajendra boleh membawa Utary tinggal di rumah mereka dan Livia akan melayaninya seperti yang ia lakukan pada Rajendra dengan syarat Rajendra tidak menghalangi Livia untuk beraktivitas di luar."Nggak apa-apa, Ryuga, nggak repot kok." Livia malah senang ia bisa lebih sering pergi dari rumah sehingga tidak melihat kemesraan Rajendra dan Utary."Soal biaya saya akan bayar dua kali lipat. Nanti sisanya saya transfer ke rekening kamu ya. Tolong kirim via chat nomor rekening kamu." "Nggak perlu, Ryuga. Jangan ditambah lagi. Itu semua sudah cukup," jawab Livia menolak."Tapi waktu kamu jadi banyak terbuang, belum lagi untuk transportasi.""Bukan masalah. Saya malah senang daripada di rumah terus. Saya ada ide, gimana kalau ke depannya lesnya diadakan di rumah kamu? Jadi s
Livia cukup terkejut mendengar perkataan Ryuga. Sampai-sampai ia merasa perlu untuk meraba telinganya sendiri demi meyakinkan diri bahwa ia tidak salah dengar."Tolong bilang sama dia mohon menunggu setengah jam lagi. Atau kalau terlalu lama suruh dia pulang duluan. Nanti saya akan pulang sendiri," kata Livia menjawab perkataan Ryuga.Ryuga mengangguk pelan lalu kembali ke beranda, tempat Rajendra menunggu. Ryuga tidak mungkin membiarkan Livia pulang sendiri. Jadi yang dikatakannya pada Rajendra adalah, "Livia harus mengajar setengah jam lagi. Dia bilang kalau terlalu lama menunggu silakan pulang dulu, nanti biar saya yang mengantarnya."Rajendra mengepalkan tangannya di sisi paha mendengar penolakan Livia yang disampaikan melalui Ryuga."Saya tunggu dia saja," putusnya."Silakan. Mau minum apa?" "Nggak usah, terima kasih."Ryuga ikut duduk di kursi dekat Rajendra. Mereka hanya dipisahkan oleh sebuah meja persegi sebagai pembatas."Rokok?" tawar Ryuga setelah mengeluarkan kotak rokok
Livia melangkah ke bagian tengah mobil karena biasanya disitulah ia duduk, tapi Rajendra menuntunnya ke arah depan. Lelaki itu membukakan pintu depan bagian kiri yang membuat Livia terheran-heran.Apa yang terjadi dengan Rajendra? Dia salah makan apa?Setelah membukakan dan menutupkan pintu untuk Livia, Rajendra melangkah cepat memutari mobil. Ia masuk ke bangku pengemudi.Baru saja roda mobil berputar Rajendra langsung memberi peringatan pada Livia."Jangan senang dulu atas apa yang kuucapkan tadi."Livia terdiam sebentar mencoba mencerna perkataan Rajendra. Sampai ia sadar bahwa segalanya hanya sandiwara."Ya, saya tahu kamu hanya berpura-pura. Tapi lain kali nggak usah repot-repot berbuat baik di depan orang lain. Nggak ada gunanya," jawab Livia ringan sambil tersenyum santai. Livia sudah lelah menghadapi Rajendra dengan kesedihan dan air mata. Jadi yang dilakukannya sekarang adalah menanggapi semuanya dengan santai, ringan dan tanpa beban.Rajendra mendengkus. Ia tidak suka mende
Test pack tersebut masih berada di tangan Livia. Dua garis merah di sana bagaikan sebuah mukjizat yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun di balik perasaan bahagia yang membuncah ada kekhawatiran yang menyelinap.Bagaimana sikap suaminya menanggapi hal besar ini?Apakah Rajendra akan menerima dengan senang hati atau justru sebaliknya? Livia tidak ingin kehadiran janin kecil di dalam rahimnya dianggap sebagai beban baru. Apalagi sudah ada Randu.Berbagai pikiran tersebut membuat Livia resah. Akan tetapi Livia juga menyadari bahwa berita ini adalah kesempatan untuk membuktikan dan mematahkan dugaan orang-orang. Ia ingin menunjukkan pada orang-orang yang menghinanya bahwa ia tidaklah serendah seperti yang mereka kira. Ia memiliki sesuatu yang berharga, yaitu janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.Lama menenangkan diri, Livia memutuskan untuk menyimpan kabar ini sementara waktu. Ia ingin memastikan bahwa dirinya siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi nantinya.
Livia terpincang ke kamarnya dengan pelan. Meskipun sudah pergi dan membelakangi Marina serta Utary, tetapi Livia masih merasakan tatapan tajam keduanya yang tertuju padanya.Setelah tiba di kamar Livia menutup pintu dengan pelan lalu merapatkan tubuhnya ke balik pintu tersebut. Livia merasa begitu lelah, baik secara fisik maupun emosional.Kemudian ia melangkah ke sofa dinginnya dan duduk di sana. Dalam kesendirian tersebut Livia meremas ujung bajunya.Perkataan Marina masih terus berputar-putar di kepalanya. Setiap kali terngiang, perasaan sakit yang ia rasakan semakin dalam.Istri yang mandul, tidak berguna, yang kerjanya hanya makan serta tidur.Livia menghela napas mencoba menguatkan diri. Namun dirinya justru semakin rapuh.Perasaan mual itu kembali datang. Kali ini disertai perasaan ingin muntah. Livia cepat meraih tongkatnya kemudian bergegas menuju kamar mandi.Livia menangkup di wastafel mengeluarkan segala isi perutnya sampai ia kehabisan tenaga. Ketika ia mengangkat wajah,
Setelah tiba di kamar mandi Livia menatap refleksinya di cermin. Wajahnya terlihat lebih pucat dari yang sudah-sudah. Tubuhnya juga terasa sangat lemah. Dipercikkannya air dingin ke wajahnya. Namun ternyata tidak bisa menghilangkan mual yang menerpanya.Mungkin aku terlalu kelelahan mengurus Randu, batinnya.Teringat Randu yang ia tinggalkan begitu saja ditambah lagi tangisan anak itu membuat Livia cepat-cepat keluar dari kamar mandi."Astaga, Randu sayang, maafin Mama, Nak, Mama nggak tahu kalau kamu udah bangun. Mama tadi lagi nyetrika baju kamu, Sayang." Livia mendengar suara Utary lalu melihatnya tergopoh-gopoh menuju stroller Randu dan menggendong anak itu. Utary tidak sendiri di sana tapi ada juga Marina, mertuanya."Bu Marina. Saya nggak tahu kalau Ibu datang," sapa Livia. Ia bermaksud menjabat tangan Marina sebagai tanda sopan santun pada mertuanya.Alih-alih akan menyambutnya wanita itu malah menyilangkan tangan di dada dan membiarkan tangan Livia menggantung di udara.Dengan
Livia sedang mengajak Randu jalan-jalan pagi di sekeliling rumah. Anak itu begitu anteng di dalam stroller. Semilir angin yang berembus membuat anak itu terkantuk-kantuk. Livia tersenyum melihatnya. "Ngantuk ya, Nak?" Livia mengecup pipi anak itu gemas.Tiba-tiba ponselnya berbunyi, membuat perhatian Livia teralihkan. Ia mengeluarkan benda itu dari dalam sakunya. Senyum terukir di bibirnya menyaksikan nama Langit tertera di layar.Livia jawab panggilan tersebut dengan nada ceria. "Iya, Lang. Tumben nelepon pagi-pagi?"Di seberang sana suara Langit juga terdengar riang. "Nggak boleh emang? Aku lagi kangen ngobrol sama kamu nih. Kamu ngapain?"Livia tertawa ringan. Diliriknya Randu yang sudah hampir tertidur di dalam stroller. "Saya lagi ajak Randu jalan-jalan ngelilingin rumah. Dia kayaknya udah mau tidur. Kalau kangen kenapa nggak ke sini aja?""Di sana herdernya galak, jadi takut kalau mau ke sana." Langit menjawab dengan nada bercanda. Livia tertawa lagi. Begitu tipis."Eh, Liv, n
Rajendra melangkah ke kamar Utary dengan berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalanya. Setelah pintu kamar ia buka, Rajendra mendapati Utary sedang leyeh-leyeh di atas tempat tidur sambil main hp.Melihat pemandangan itu Rajendra menghela napasnya."Tary," panggil Rajendra datar.Utary melihat sekilas kemudian kembali fokus pada ponselnya. "Ada apa, Ndra?" tanyanya acuh tak acuh sambil tetap memainkan ponselnya.Rajendra berdiri di sisi pintu, mengamati Utary dengan tatapan menusuk. "Kenapa bukan kamu yang mandiin Randu? Kenapa Livia?"Dengan malas Utary meletakkan ponselnya. "Kan udah aku bilang. Aku masih belum pulih, Ndra. Aku takut nanti Randu jadi kenapa-napa. Kalau dia jatuh saat aku mandiin gimana? Lagian Livia juga nggak keberatan. Dia happy-happy aja tuh."Rajendra membawa langkahnya mendekat. Hingga dirinya dan Utary saling berhadapan. "Tary, ini bukan soal happy atau enggak. Tapi soal kewajiban kamu sebagai ibu. Aku lihat Randu lebih dekat dengan Livia, bukannya dengan k
Perkataan Langit membuat langkah Rajendra terhenti. Rahangnya menegang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Langit seolah tahu caranya menusuk di tempat yang paling menyakitkan.Bersama napasnya yang menderu Rajendra memutar badan menghadap Langit. Tatapannya lebih tajam dari pisau, seakan hendak mengiris siapa pun yang berani menyakiti hatinya."Lo kalo ngomong hati-hati." Rajendra mengingatkan dengan nada penuh ancaman. Ia khawatir kalau saja ada orang yang berada di dekat mereka dan mendengar ucapan Langit tadi.Langit terkekeh. Tidak merasa gentar sama sekali. "Selow, Ndra. Gue kan cuma nanya. Kok lo jadi marah? Topiknya terlalu sensitif ya? Atau ..." Langit berhenti sesaat membiarkan pertanyaannya menggantung di udara. Kemudian ia kembali melanjutkan. "Lo mulai ngerasa bersalah sama Livia?"Geraman kecil keluar dari mulut Rajendra. Ia memang terusik mendengar nama Livia disebut. Tapi tidak mungkin ia menunjukkannya pada Langit."Urusannya apa sana lo?" Rajendra membalas de
Pagi hari saat Livia sedang bersiap-siap menyediakan sarapan ia mendengar tangisan Randu yang diiringi pekikan Utary."Ndraaa, bantuin aku dong! Randu nangis terus nih!"Tidak ada jawaban dari Rajendra karena pria itu juga sedang bersiap-siap di kamarnya untuk berangkat kerja."Rajendraaaa! Bantuin dong. Anak kamu nangis mulu nih!" Teriakan Utary menggema sekali lagi yang membuat Livia tidak tahan.Livia meninggalkan meja makan lalu meraih tongkatnya. Ia menuju kamar Utary.Livia menemukan Utary sedang duduk di tepi ranjang. Sedangkan si kecil Randu ia biarkan menangis di dalam box-nya."Tary, Randu kenapa?" tanya Livia baik-baik."Udah tahu nanya!" balas Utary sewot. "Lagian Rajendra yang aku panggil kenapa kamu yang ke sini?"Livia menahan napas sambil mencoba tetap bersabar menghadapi Utary meskipun kata-katanya terdengar kasar."Rajendra lagi siap-siap mau berangkat kerja. Mungkin sekarang baru selesai mandi."Kemudian Livia berjalan mendekat. Ia letakkan tongkatnya di samping tem
Utary telah kembali berada di rumah setelah dua hari dirawat di rumah sakit. Rumah menjadi lebih hidup oleh tangisan dan rengekan Randu. Rajendra juga jadi rajin pulang lebih cepat dari kantor. Hal pertama yang ia lakukan setiap kali tiba di rumah adalah mencari Randu. Ia menggendong anak itu dan menciuminya dengan kasih sayang.Hanya saja Livia merasa miris melihat Randu yang masih bayi tidak menerima ASI dari ibunya. Utary beralasan air susunya tidak ada. Padahal yang sebenarnya terjadi ia malas menyusui, begadang tengah malam dan khawatir bentuk payudaranya akan rusak.Setiap malam ketika tangisan keras Randu membangunkan seisi rumah, Utary selalu mengabaikannya. Perempuan itu tetap tidur atau beralasan kondisinya masih belum pulih dan dia berdalih harus banyak beristirahat.Rajendralah yang nengambil alih tugas Utary. Saat randu terbangun tengah malam ia yang mengurus sang putra sementara Utary tidur nyenyak karena mengaku kelelahan mengurus Randu saat siang.Mulai dari menggendon
Livia Mellanie duduk sendiri di bangku panjang lorong rumah sangkit. Tongkatnya ia sandarkan ke samping. Kedua tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuan. Pandangannya tertunduk menatap lantai putih rumah sakit. Ia berusaha menenangkan pikirannya yang kacau namun seribu tanya terus berputar-putar di kepalanya.Untuk apa aku di sini? Apa aku akan tetap bertahan? Sementara Rajendra sudah memiliki kehidupan yang lengkap dan begitu bahagia. Apakah ini saatnya untuk mundur? Apa lebih baik ia kabur saja ke tempat yang jauh?Derap langkah kaki yang mendekat membuat Livia mengangkat kepala dan memandang ke arah tersebut. Rajendra muncul. Ia tidak sendiri. Ada bayi mungil terbungkus selimut biru di dalam dekapannya. Livia bisa melihat dengan jelas betapa rona kebahagiaan menghiasi wajah Rajendra.Rajendra semakin mendekat ke arah Livia."Liv, ini anakku," ucapnya pelan sambil menunjukkannya pada Livia.Livia mengulas senyum. Dipandanginya Rajendra dan bayi yang sedang digendongnya. Bay