Anasera Renjani, cleaning service sederhana, tak pernah menduga hidupnya akan berubah drastis saat menerima tawaran dari Zayn Renola Wiratama, CEO perusahaan tempatnya bekerja. Terpaksa menikah karena keadaan yang mengimpitnya, Anasera mengira tugasnya hanya melahirkan anak Zayn. Namun, kenyataan jauh lebih rumit. Di balik sikap dingin suaminya, tersembunyi rahasia kelam yang tak pernah ia duga. Semakin dalam Anasera menyelami kehidupan barunya, semakin banyak pertanyaan yang muncul. Mengapa Zayn menikahinya? Apa arti tatapan penuh kebencian dari suami dan mertuanya? Di tengah kebingungan dan perlakuan tak bersahabat, Anasera bertekad mengungkap kebenaran. Namun, akankah pencarian ini membawanya pada jawaban yang ia harapkan, atau justru membuka kotak Pandora yang lebih berbahaya?
Lihat lebih banyakUdara di kamar hotel itu terasa mencekik. Dua pria dengan pistol teracung, masing-masing siap menarik pelatuk demi keyakinan yang mereka pegang—sementara di tengah mereka, Sera berdiri dengan hati yang tercabik."An, pergilah dari sini sekarang juga!" Suara Guntur pecah oleh keputusasaan. "Dia bukan lagi pria yang kamu pikir kamu cintai. Kebenciannya sudah mengalahkan segalanya!"Sera merasakan setiap kata itu menghujam jantungnya. Namun, ketika matanya bertemu dengan mata Zayn, dia melihat sesuatu yang berbeda—sebuah kenyataan yang membingungkan. Di balik kilatan kebencian yang begitu nyata, masih ada secercah cinta yang mencoba bertahan hidup, seperti api kecil yang menolak padam di tengah badai. Tapi kebencian itu juga tak bisa diabaikan—begitu pekat dan nyata, seperti racun yang perlahan-lahan menggerogoti cinta yang tersisa.
"Apa sebesar itu kebencian Mas pada saya?"Pertanyaan itu menggantung berat di udara yang pengap. Zayn tersenyum getir, rahangnya mengeras menahan badai emosi yang bergejolak dalam dadanya. Benci? Satu kata itu terasa terlalu sederhana untuk menggambarkan kedalaman perasaan yang menggerogoti jiwanya selama bertahun-tahun. Kebencian yang telah dia pupuk sejak hari naas itu—hari di mana dunianya hancur berkeping-keping."Apa Mas benar-benar berniat untuk membunuh saya?"Pertanyaan Sera yang bertubi-tubi bagaikan pisau yang menghujam tepat ke jantungnya, memaksa Zayn kembali berhadapan dengan realitas kelam yang selama ini coba dia kubur dalam-dalam. Setiap kata mengingatkannya akan rencana awalnya—rencana yang dia susun dengan teliti, dimulai dari mendekati gadis itu hingga menjebaknya dalam ikatan pernika
Lampu-lampu kristal hotel mewah itu berpendar redup, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di wajah Sera yang pucat. Di depan pintu kamar 2207, jantungnya berdegup begitu keras hingga dia yakin Guntur bisa mendengarnya. Tangannya yang gemetar terangkat ke udara, ragu-ragu sebelum mengetuk—setiap detik penantian terasa seperti siksaan yang tak berkesudahan."Kamu yakin ingin melakukan ini sendiri?" Guntur bertanya lagi, suaranya mengandung kekhawatiran yang tak tersembunyi. "Aku bisa—""Tidak," Sera memotong dengan suara yang lebih tegas dari yang dia rasakan. "Ini pertarunganku sendiri. Aku harus menghadapinya... apapun yang terjadi." Namun getaran dalam suaranya mengkhianati ketakutan yang dia coba sembunyikan.Ketika pintu akhirnya terbuka, waktu seakan membeku. Sosok Zayn yang berdiri di ambang pi
Kegelapan malam seolah menelan Sera bulat-bulat. Kakinya terus melangkah meski gemetar, sementara matanya mencari-cari tanda kehidupan di sepanjang jalan yang tampak tak berujung ini. Namun yang dia temui hanyalah kesunyian mencekam—tidak ada rumah, tidak ada kendaraan, bahkan tidak ada suara anjing menggonggong di kejauhan. Hanya ada deru angin dan detak jantungnya yang semakin liar.Guntur telah memilih tempat persembunyian dengan sangat cermat, Sera menyadari dengan getir. Setiap langkah terasa seperti siksaan; kepalanya berdenyut hebat seolah ada ribuan palu yang menghantam dari dalam tengkoraknya. Namun ketakutan akan tertangkap kembali memaksanya untuk terus bergerak.Lalu dia mendengarnya—suara yang membuat darahnya membeku. Deruman mobil dari kejauhan, semakin mendekat seperti predator yang mengendus mangsanya. Sera memaksa kakinya untuk ber
Waktu seolah membeku ketika Sera menatap wajah yang begitu familiar namun asing itu. Matanya mengunci pada sosok pria yang telah lama hilang dari hidupnya. Setiap detail wajahnya kini terasa seperti kepingan puzzle yang perlahan menemukan tempatnya, membentuk gambaran masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam."Maafkan aku, An. Maaf karena aku—""Cukup, tolong cukup!" Sera menjerit, tangannya gemetar saat menutup telinganya. Suaranya pecah oleh emosi yang tak terbendung, seperti vas kristal yang hancur berkeping-keping. Setiap kata yang keluar dari mulut Guntur terasa seperti paku yang menghujam ke dalam kepalanya, menggali keluar kenangan-kenangan yang seharusnya tetap terkubur.Udara di sekitarnya terasa menipis. Sera mencengkeram dadanya yang sesak, seolah paru-parunya menolak untuk bekerja sama. Dunianya y
Kesadaran menyeruak perlahan, membawa Arneta kembali ke dunia nyata yang lebih menyakitkan dari mimpi terburuknya. Kepalanya berdenyut hebat, seolah ribuan palu menghantam tanpa henti. Matanya terbuka, mengerjap lemah, hanya untuk bertemu dengan sepasang mata tajam yang menatapnya lekat - mata Gilang, pria yang kini menjadi sumber dari segala deritanya."Kamu sudah bangun?" Suara Gilang terdengar tenang, namun bagi Arneta, setiap kata yang keluar dari mulut pria itu bagaikan racun yang menyebar ke seluruh tubuhnya."Hampir saja mematahkan tangan dokter itu kalau kamu masih belum bangun juga," lanjut Gilang santai, seolah membicarakan cuaca. Kenyataan menghantam Arneta bagai ombak ganas - ini bukan mimpi. Ia telah kembali ke sangkar emasnya yang terkutuk, tempat di mana ia tak lebih dari boneka dalam genggaman Gilang.
Rintik hujan perlahan mereda, meninggalkan aroma basah yang mengambang di udara. Di hadapan rumah yang dulu penuh kehangatan, Arneta berdiri terpaku, seolah waktu membeku di sekelilingnya. Air mata mengalir tanpa henti, setiap tetesnya membawa serpihan kenangan indah yang kini terasa begitu jauh dan mustahil untuk diraih kembali.Bangunan yang dulu bernapas dengan tawa dan canda, kini berdiri sunyi, seakan ikut berkabung atas tragedi yang menimpa penghuninya. Arneta merasakan setiap detik yang berlalu bagaikan pisau yang mengiris jiwanya."Ayo, Ma. Ana pasti ketakutan di dalam," suara Adjie memecah keheningan, menarik Arneta kembali ke realita yang kejam.Nama putrinya bagaikan cambuk yang menghantam kesadaran Arneta. Dengan langkah tergesa, dia menghampiri pintu, jantungnya berdebar kencang. Namun, pintu terkunci r
Kesunyian yang mencekam merayap di sudut-sudut kamar, seolah menelan seluruh kehidupan yang tersisa. Di tengah ruangan itu, Arneta terduduk kaku, tatapannya kosong menembus jendela, menerawang jauh ke cakrawala yang tak terjangkau. Tiga hari telah berlalu sejak kepergian Adjie, namun bagi Arneta, waktu seakan berhenti, membeku dalam keputusasaan yang mencengkeram.Wajahnya yang dulunya berseri kini tampak pucat dan tirus. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang sayu, saksi bisu dari malam-malam tanpa tidur yang dilaluinya. Setiap tarikan napas terasa berat, seolah udara di sekitarnya telah berubah menjadi racun yang perlahan menggerogoti jiwanya.Suara ketukan lembut di pintu memecah keheningan, diikuti derit engsel yang membuka perlahan. Astuti, dengan langkah hati-hati, memasuki kamar membawa nampan berisi hidangan yang aromanya menguar menggoda. Namun bagi Ar
"Mau sampai kapan kita tinggal di sini, Ma?"Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan menyesakkan. Arneta, yang berdiri tak jauh dari putranya, hanya bisa terdiam. Tangannya terkepal erat, buku-buku jarinya memutih, seakan mencoba menahan seluruh beban dunia yang menghimpit dadanya. Dia ingin menjawab, ingin memeluk putranya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Namun lidahnya kelu, tertahan oleh rahasia kelam yang mengurung mereka di tempat terkutuk ini."Adjie nggak mau tinggal di sini, Ma! Adjie mau pulang!" Adjie berseru, suaranya bergetar antara amarah dan tangis yang ditahan. Matanya menatap lekat sosok ibunya, mencari secercah harapan yang mungkin tersisa.Namun Arneta tetap membisu. Ia melangkah menjauh, berusaha mengabaikan keluhan putranya yang terasa bagai belati yang menusuk jantungnya. S
"Permisi, Pak. Boleh saya masuk?"Suara lembut Sera terdengar dari balik pintu ruangan Zayn Renola Wiratama. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar memegang gagang pintu. Ini pertama kalinya ia berani mendatangi ruangan sang CEO."Masuk," jawab suara berat dari dalam.Sera melangkah perlahan, jemarinya saling bertaut karena gugup. Kontras sekali penampilan sederhana cleaning service ini dengan kemewahan ruang kerja Zayn yang didominasi warna hitam dan emas. Lukisan-lukisan mahal menghiasi dinding, sementara jendela besar memamerkan pemandangan kota Jakarta dari lantai 50.Zayn mengamati Sera dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seragam cleaning service berwarna biru muda tampak lusuh di tubuh rampingnya. Rambut hitamnya yang panjang diikat sederhana, berbeda dengan gaya rambut wanita-wanita kelas atas yang biasa ia temui."Ada perlu apa?" tanya Zayn, suaranya terdengar bosan.Sera menggigit bibir, menunduk dalam-dalam. "Maaf mengganggu waktu Bapak. Saya... saya sedang butuh ba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen