Menyewakan rahimnya untuk sepasang suami istri adalah jalan satu-satunya yang harus dilakukan oleh Sinar agar mendapatkan sejumlah uang untuk pengobatan adiknya. Namun, sebuah peraturan negara membuatnya harus menikah dengan Praba untuk menghindari masalah hukum di masa depan. Meskipun pada awalnya Praba menentang keras rencana tersebut, tetapi pada akhirnya dia justru merasa diuntungkan atas keberadaan Sinar. Hubungan yang tadinya hanya sebuah formalitas itu menjadikan sebuah hubungan rumit ketika Praba benar-benar jatuh cinta kepada Sinar. Tentu saja hal itu membuat istri pertamanya tak terima dan bersikeras memisahkan Praba dan Sinar. Meskipun Sinar juga mencintai Praba, dia memilih pergi dari lelaki itu. Lantas apakah Praba akan memperjuangkan cintanya, ataukah tetap bersama dengan istrinya pertamanya yang tidak pernah diinginkan? ***
Lihat lebih banyak“Penyakit adikmu sudah dalam tahap parah, Sinar. Akibat komplikasi, penanganan harus segera dilakukan terhadap organ tubuhnya sebelum kita bisa melakukan transplantasi sumsum tulang belakang. Perlu setidaknya 1 sampai 2 miliar untuk menuntaskan segalanya.”
Mendengar penjelasan dari dokter tentang kondisi adiknya, mata Sinar terbelalak lebar.
Semenjak kematian orang tuanya 7 tahun yang lalu, Sinar terbiasa hidup mandiri selagi merawat adik laki-laki satu-satunya, Surya. Dibantu dengan sejumlah peninggalan orang tua mereka, hidup Surya dan Sinar sangatlah cukup.
Namun, setelah Surya didiagnosis memiliki penyakit Thalasemia bawaan, lambat laun uang peninggalan itu habis dan Sinar bahkan harus bekerja paruh waktu sembari kuliah untuk bisa bertahan hidup.
Sekarang, dokter berkata penyakit adiknya semakin parah dan memerlukan setidaknya dua miliar untuk bisa ditangani? Sinar mau dapat dari mana uang sebanyak itu?
Dengan air mata tertahan dan dada yang sesak, Sinar langsung bertanya, “Apa … tidak ada keringanan, Dok?”
Dokter tersebut menggelengkan kepala. “Maaf, Sinar,” ucapnya, membuat Sinar menutup wajah dengan kedua tangan karena air mata yang langsung mengalir deras.
Tepat di saat Sinar mulai menangis, pintu mendadak dibuka oleh seseorang dari luar. “Arkana, aku … oh—” Melihat sang dokter memiliki tamu, wanita tersebut tampak terkejut. Dia mendapati dokter itu menggelengkan kepala dan langsung mengangguk. “Aku tunggu di luar.”
Setelah pintu kembali tertutup, Arkana—sang dokter—menatap Sinar dengan iba. Selaku dokter yang sedari awal menangani adik wanita tersebut, dia sudah tahu jelas mengenai kehidupan malang dua saudara tersebut. Alhasil, hatinya pun tak elak merasa sesak dan kasihan melihat kesulitan yang dihadapi Sinar.
“Sinar, kamu pikirkan baik-baik terlebih dahulu untuk langkah selanjutnya. Kalau memang masih kesulitan terkait uang, maka kita mulai dari yang paling sederhana, yaitu penanganan organ dalamnya,” jelas Arkana dengan lembut.
Namun, hal itu tidak mampu menghentikan tangisan Sinar. Lagi pula, pun dimulai dari penanganan organ, paling tidak perlu uang puluhan hingga ratusan juta sebagai biaya.
Tidak tahu harus bagaimana, Sinar pun berujung meminta waktu berpikir dan pergi meninggalkan ruangan dokter. Dia tidak ingin mengganggu dokter Arkana yang pastinya sangat sibuk.
Melangkah gontai keluar ruangan dokter, Sinar mencapai kursi taman rumah sakit. Di sana, dia menangis sejadi-jadinya memikirkan nasib sang adik yang begitu malang.
“Maafkan Kakak, Surya ... Kakakmu ini memang tidak berguna.” Air mata masih deras menuruni wajah Sinar.
Surya adalah satu-satunya adik Sinar dan sanak saudara terakhir yang wanita itu miliki di dunia ini. Tentunya, Sinar tidak ingin kehilangan pemuda tersebut.
Namun, apa daya dirinya tidak memiliki uang untuk membiayai pengobatan adiknya itu?
Tepat di saat kesedihan menggelungnya, ponsel Sinar berdering. Gadis itu cepat-cepat mengeluarkan benda pipih tersebut dan melihat siapa yang meneleponnya.
Ternyata, itu adalah sang adik.
Cepat-cepat, Sinar langsung menghapus air matanya dan menenangkan diri. Dia tidak ingin Surya tahu kalau dirinya baru saja menangis.
“Halo?”
“Kak, aku sudah selesai terapi.”
Mendengar suara tenang Surya, satu tetes air mata Sinar kembali mengalir. Adiknya yang malang itu terdengar begitu kuat, bahkan setelah bertahun-tahun berjuang melawan penyakit yang membuatnya menderita.
“Oke, kamu tunggu, ya. Kakak segera ke sana,” ucap Sinar.
Sebelum Sinar sempat mematikan panggilan, tiba-tiba dia mendengar Surya berkata, “Kakak habis menangis?”
Pertanyaan itu membuat Sinar membeku. Dari mana adiknya tahu? Apa suaranya separau itu?
“Enak saja. Memangnya Kakak umur berapa masih sembarangan menangis? Kamu kali,” balas Sinar, memaksakan senyuman untuk terlukis di bibirnya.
Selama sesaat, telepon di sisi lain hening. Kemudian, Sinar mendengar Surya kembali angkat bicara, “Kakak, sepertinya kelelahan, Kakak perlu istirahat. Jangan memaksakan diri.” Pemuda itu melanjutkan, “Kalau Surya hidup hanya sebagai beban untuk Kakak, maka Surya lebih baik ma—”
“Surya!” bentak Sinar, menghentikan ucapan sang adik. Dia tidak peduli berapa banyak orang yang menatapnya aneh karena berteriak sekencang itu. “Kamu jangan bicara sembarangan. Kakak nggak menangis. Kakak baik-baik saja. Sudah, kamu tunggu saja di sana. Kakak jemput sekarang.”
Tanpa menunggu balasan Surya, Sinar langsung mematikan telepon tersebut. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, menarik napas dalam untuk sedikit mendinginkan pikiran.
“Aku harus apa sekarang …?” gumam Sinar. Pikiran gadis itu mulai meliar. “Haruskah aku jual ginjal saja?”
Tepat di saat ini, sebuah suara berucap, “Tidak perlu.”
Sinar terkejut dan langsung mengangkat pandangan. Dia melihat sosok wanita berpakaian elegan yang berdiri di hadapan sembari tersenyum lembut kepada dirinya.
Walau samar, tapi Sinar ingat bahwa itu adalah wanita yang sempat berniat masuk ke ruangan Dokter Arkana saat dia masih ada di sana beberapa waktu lalu.
Alis Sinar tertaut, tampak bingung dengan maksud ucapan wanita itu. “Maaf, Anda … bicara dengan saya?” tanyanya ragu.
Perlahan, wajah wanita itu berubah serius dan dia berkata, “Saya bisa membantumu menanggung seluruh biaya pengobatan adikmu.”
Seketika, mata Sinar membola. “Apa?” Dia menelan ludah. Tidak ada hal di dunia yang gratis, jadi … Sinar langsung bertanya, “Apa syaratnya?”
“Sebelumnya, mari kita berkenalan lebih dulu.” Perempuan itu mengulurkan tangannya. “Talita.”
Sinar mengangguk dan menyambutnya. “Sinar.” Dia kembali bertanya, “Jadi, apa yang Ibu perlukan dari saya sehingga bersedia menawarkan biaya sebesar itu?”
Talita menarik ujung bibirnya membentuk sebuah seringai. Kemudian, dia berkata, “Pinjamkan rahimmu kepada saya.”
“Maaf?” Kening Sinar berkerut dalam. “Maksud Ibu apa?”
“Saya menginginkan seorang anak, tapi tidak mampu hamil. Jadi, saya ingin kamu hamil dan melahirkan anak untuk saya.”
***
Halaman belakang rumah besar Praba dipenuhi keceriaan yang luar biasa. Askara, Bhumi, dan Cherry berdiri di depan panggangan barbeque sambil sesekali saling menyenggol. Namun, kali ini tidak ada yang mencoba untuk melerainya.Para pekerja juga membantu mereka memanggang banyak makanan. Aroma makanan menguar tiada henti. Begitu nikmat luar biasa. Cherry pergi lebih dulu, lalu duduk dan bergabung dengan kedua orang tuanya.“Makan dulu, Bos.” Begitu katanya kepada sang ayah juga ibunya. “Ayo, Bunda makan dulu. Mengobrol juga butuh tenaga.”Ya, tidak ada yang salah dengan panggilan Cherry karena di sana memang ada Talita. Setelah obrolan Talita dan Sinar saat itu, hubungan dua perempuan itu lambat laun membaik. Mereka menekan ego mereka demi Askara.Begitu juga dengan Praba dan anak-anak mereka. Bhumi dan Cherry bahkan ikut-ikutan memanggil Talita dengan bunda. Jika dalam kondisi yang lalu, Talita pasti akan merasa keberatan, tetapi sekarang tentu berbeda. Dia bahkan merasa memiliki tiga
“Sebagai seorang ibu, kita adalah dua orang yang sama-sama menyayangi dan mencintai Askara. Dia memintaku untuk mempertimbangkan agar kita bisa berdamai.”Talita secara pribadi datang ke rumah Sinar dan membicarakan masalah tersebut setelah dia berpikir secara terus menerus. Dia menarik garis ke belakang dan memikirkan tentang masa lalu yang sudah terjadi. Jika dia menyalahkan Sinar sepenuhnya dan menganggap perempuan itu salah, maka itu tidak benar.Sinar dulu juga seorang korban. Dia juga perempuan yang sudah memberikan cintanya dengan penuh kepada Askara. Tidak sekalipun dia merasa terganggu dengan kehadiran putranya tersebut.“Selama ini saya tidak pernah ingin berseteru dengan Ibu secara terus menerus. Hanya saja, Ibu masih menganggap saya adalah orang yang harus Ibu musuhi.” Itu adalah jawaban yang diberikan oleh Sinar. “Melihat bagaimana hubungan kita selama ini, saya yakin itu menjadikan tekanan sendiri bagi Askara. Itulah kenapa dia ingin melihat kita berdamai.”Sinar menging
“Abang nggak jadi ke luar negeri, Ma.”Sinar yang sedang membuatkan sandwich untuk Askara itu segera mendongak menatap putranya yang tengah duduk di stole bar. Anggota keluarganya yang lain sedang sibuk sendiri-sendiri dan hanya ada Sinar dan Askara saja di sana.“Abang bicara banyak dengan Bunda. Bunda pun mengerti tentang keinginan Abang. Kalaupun toh nanti misalnya Abang ingin sekolah di sana, itu atas dasar keinginan Abang sendiri. Tapi, sampai sekarang, Abang belum ingin. Abang masih lebih suka di negeri sendiri.”Sinar meletakkan sandwich-nya ke atas piring lalu meletakkan di depan Askara. “Mama senang mendengar itu.” Perempuan itu duduk di samping putranya dan menemani makan.“Abang berharap, Mama dan Bunda bisa berbaikan.”Kalimat itu membuat Sinar segera menoleh ke arah putranya. Tatapan remaja itu penuh pengharapan. Dia tampaknya ingin melihat kedua orang yang disayanginya tidak lagi berselisih paham. Askara tentulah tahu jika sebenarnya yang selalu membuat masalah antara ke
Untuk pertama kalinya, Askara menghadiri acara keluarga Talita. Dia berusaha berbaur dengan keluarganya yang menerima Askara dengan sangat baik. Nenek dan kakeknya begitu bahagia melihat cucunya akhirnya datang dan berumpul dengan keluarga.“Nenek senang kamu ada di sini.” Askara menoleh dan mendapati seorang perempuan tua yang tampak masih begitu sehat. Tentu jika bersama dengan nenek dan kakeknya bukan pertama kalinya mereka bertemu, hanya saja dia selalu menolak untuk hadir ketika acara-acara seperti ini dilakukan.“Nenek sudah makan?” tanya Askara mencoba untuk perhatian. “Aku lihat, sejak tadi hanya mondar-mandir ke sana-kemari. Nenek harus menjaga kesehatan.”Perempuan tua itu tersenyum lembut. Menarik tangan Askara, lalu menggenggamnya. “Nenek senang kalau cucu-cucu Nenek berkumpul seperti ini, hati Nenek terasa bahagia sekali.”Askara menatap langit yang mucul sekumpulan bintang-bintang. Indah sekali. Sayangnya ini bukan bulan purnama. Jika bulan purnama, sekarang ibunya pasti
Kedua tangan Askara maupun Talita penuh dengan barang belanjaan. Talita benar-benar membeli banyak barang untuk dirinya sendiri dan juga Askara. Setelah keluarga bersama dengan Talita, melepaskan segala beban yang selama ini dirasakan, Askara sedikit luluh dengan sikap ibunya.“Terima kasih. Abang sudah bersedia berjalan-jalan dengan Bunda.”Mereka sudah sampai di rumah dan sama-sama melepas lelah dengan duduk di sofa. Askara segera membaringkan tubuhnya di sofa dan memeluk bantal sofa. Memainkan ponselnya sebentar sebelum meletakkannya kembali.“Kalau ngantuk, naik gih, tidur di kamar.” Talita menepuk kaki Askara, lalu mengelus pelan kaki tersebut.“Aku di sini aja. Jendelanya biarin kebuka aja, Bun. Nggak usah pakai AC.” Askara menutup matanya setelah itu. Dia sepertinya benar-benar lelah luar biasa.Talita membuka jendela-jendela lebar itu agar angin bisa masuk. Membuat Askara menjadi nyaman luar biasa. Lelaki itu segera saja terlelap dalam tidurnya. Jika Askara sudah memutuskan un
“Cerita Tante ternyata cukup rumit.” Tanggapan Bastian setelah itu. Menatap Askara setelah itu. “Bagaimana tanggapan lo tentang itu, Askara?”Askara menanggapi santai. “Gue udah pernah cerita itu dari Papa. Nggak beda jauh. Hanya beda sudut pandang.”“Papamu menceritakannya?” Talita mengernyit, lalu dia mengingat sesuatu. “Apa karena saat Bunba minta kamu bertanya tentang waktu itu ….”“Ya.” Askara memotong ucapan ibunya. “Papa sudah cerita semuanya.”“Lalu, apa tanggapanmu?” tanya Bastian lagi. “Menurut gue, ini terlalu rumit.”“Kehidupan orang tua selalu rumit dan gue benci itu.” Askara menarik napasnya panjang. “Bukankah keegoisan mereka sehingga membuat gue harus berada dalam masalah? Harus memilih di antara dua ibu.” Askara tersenyum kecil. “Percayalah, itu sangat menyebalkan.”Akhirnya, Askara mengungkapkan isi hatinya yang terpendam. Sejak kecil dia harus ditarik ke sana-kemari untuk hidup dan tinggal bersama mereka. Dia kesal luar biasa.Ruangan itu seketika hening karena keju
“Ma, Abang akan menginap di rumah Bunda,” pamit Askara kepada Sinar. Weekend ini dia ingin mencoba membuka hatinya untuk ‘melihat’ lebih dekat kehidupan yang dijalani oleh Talita. Seperti yang Bastian katakan, dia ingin benar-benar memahami posisi Talita.Dia selama ini selalu marah dan tertekan jika Talita memintanya untuk tinggal bersama dengannya. Baginya, Talita tidak seperti Sinar yang sangat dia sayangi. Sekarang, dia sudah berpikir lebih dingin dan dia ingin menjalani semuanya dengan lebih tenang.“Abang sudah bilang kepada Bunda kalau Abang mau datang?” tanya Nilam. “Biasanya Bunda yang akan menjemput Abang.”“Nanti pulang sekolah langsung diantar supir ke rumah Bunda, Ma. Aku udah bilang sama Bunda juga.”Sinar diam tak segera menanggapi karena dia merasa Askara sudah mulai terbuka dengan Talita. Ada rasa takut, tetapi dia juga tidak bisa menghentikan.“Ya sudah. Abang hati-hati. Kalau ada apa-apa langsung bilang ke Mama.” Sinar mengelus pundak putranya dengan lembut.“Iya, M
“Askara!”Panggilan itu membuat Askara menoleh. Dia mendapati seorang lelaki muda berdiri tak jauh darinya dan menatapnya. Lelaki itu tersenyum sebelum mendekat ke arahnya.“Gue udah lama nunggu.”Askara tidak mengenal lelaki itu. Oleh karena itu dia hanya memberi tatapan penuh tanya ke arah lelaki itu. Tahu jika dia harus memperkenalkan dirinya, lelaki itu lantas mengulurkan tangannya.“Gue Bastian. Sepupu lo.”Barulah Askara menyadari jika lelaki itu adalah lelaki yang dimaksud oleh bundanya. Sepupu yang kuliah di luar negeri. Askara menerima uluran tangan lelaki itu. “Askara.”Bastian tampak masih tersenyum. “Ada kafe di depan, kita ke sana? Sekalian ngobrol.” Askara tidak langsung menjawab dan tampak berpikir, tetapi Bastian segera bersuara. “Nanti gue antar pulang.”“Nggak perlu, gue bisa pulang sendiri. Gue nunggu sopir atau adik-adik gue buat pamit.” Askara menoleh ke sana-kemari untuk mencari keberadaan kedua adiknya, tetapi mereka tidak juga muncul.Lantas dia mengeluarkan po
“Kalau bukan karena dia, Talita masih tetap akan menjadi menantu keluarga kita.”“Cukup!” Dimas berteriak membentak Cindy. “Mama ini benar-benar, ya. Mau sampai kapan Mama terus memusuhi Sinar. Ini sudah lama sejak Praba dan Sinar menikah. Kehidupan mereka baik-baik saja sampai sekarang, tapi Mama masih bertahan dengan ego Mama.”“Kalau Oma nggak suka sama kami, sebenarnya nggak masalah.” Bhumi bersuara. “Tapi nggak perlu menjelekkan Mama. Mama adalah mama terbaik buat kami.”“Tahu apa kamu tentang ibumu? Ibumu adalah perempuan yang mengambil suami perempuan lain. Dia itu pelakor.” Cindy semakin tua mulutnya benar-benar luar biasa menyebalkan.“Kalau Mama terus saja menyebut istriku seperti itu, lebih baik Mama tidak perlu datang ke rumah ini.” Praba sudah muak dengan segala macam hinaan yang dikeluarkan Cindy kepada istrinya.Tidak sedikitpun Cindy merasa tersentuh dengan kebaikan Sinar selama ini. Bahkan suatu hari dia pernah dirawat di rumah sakit dan Sinar yang menjaganya sampai k
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen