“Melahirkan anak untuk Ibu?” Sinar mengeluarkan suaranya dengan bergetar.
Tatapannya tak lepas dari wajah cantik Talita. Otaknya terasa tak bisa diajak bekerja sama untuk mengurai segala macam penawaran Talita. Melahirkan anak untuk orang lain? Bagaimana mungkin?
“Menjadi ibu pengganti, sewa rahim, atau apa pun itu sebutannya.” Talita kembali bersuara. “Dengan cara bayi tabung.”
Sinar kali ini merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Kerja sama macam apa yang sedang ditawarkan oleh Talita kepadanya? Dia bahkan belum menikah dan belum memiliki anak. Dia belum tahu bagaimana rasanya hamil dan melahirkan. Lalu sekarang tiba-tiba seseorang menawar rahimnya dengan imbalan pengobatan adiknya.
Tidak! Sinar tidak bisa melakukannya. Dia tahu kondisinya sekarang ada dalam masa ‘kritis’ dan membutuhkan bantuan, tetapi bukan jenis bantuan dengan harga semahal itu.
Sinar menggeleng. “Maaf, Bu. Saya tidak bisa melakukannya.” Sinar menolak cepat.
Dia menatap Talita dengan tegas menunjukkan kesungguhannya. Masih ada cara lain yang lebih baik untuk mendapatkan uang dibandingkan dengan melakukan sesuatu di luar nuraninya.
“Kenapa kamu menolak di saat kamu tahu kondisi adikmu semakin melemah dan membutuhkan pertolongan?” Talita berucap lugas tanpa basa-basi. “Saya sudah mendengar semuanya dari Arkana dan kamu membutuhkan biaya cukup banyak untuk mengulur waktu agar adikmu bisa bertahan.”
Kebimbangan lantas menyerang pikiran Sinar dan terlihat dalam tatapan matanya. Dia tampak tidak fokus. Talita menyeringai ketika dia merasa berhasil memengaruhi Sinar.
“Sinar, seharusnya kamu lebih bijak dalam mengambil keputusan. Dia adalah adikmu satu-satunya, ‘kan? Dibandingkan dengan penyakitnya yang sekarang menggerogoti tubuhnya, penawaran saya cukup mudah untuk kamu lakukan.”
Perempuan kaya seperti Talita ini pastilah akan sangat mudah mengorek informasi yang dibutuhkan. Terlebih lagi dokter yang menangani adik Sinar adalah orang yang dekat dengannya. Sinar menutup bibirnya rapat. Segala ucapan yang dilontarkan oleh Talita adalah sebuah kebenaran.
Akan tetapi, tidak benar kalau dia harus melakukan ‘pekerjaan’ tersebut demi uang. Jika orang tuanya masih hidup, mereka juga pasti akan melarangnya.
“Apa tidak ada pekerjaan lain yang bisa saya lakukan selain itu, Bu?” tanya Sinar dengan suara bergetar, “saya memiliki pendidikan baik dan lulus dari universitas.”
“Kesempatan tidak datang dua kali, Sinar.” Talita tidak memberikan jawaban kepada Sinar atas pertanyaannya. “Kamu harus pahami satu hal, pengobatan adikmu tidak hanya cukup 500 juta. Kamu bahkan membutuhkan dua kali lipatnya. Sebelum saya memberikan penawaran itu, saya sudah bertanya banyak kepada Arkana.”
“Apa Dokter Arkana yang memberikan ide ini?” Sinar tiba-tiba saja memicingkan matanya. Jika jawabannya iya, dia benar-benar tidak terima.
“Tidak. Saya datang menemuimu atas inisiatif sendiri. Jadi, pikirkan. Ya, atau tidak. Setelah kita keluar dari rumah sakit ini, maka semua penawaran itu sudah tidak berarti lagi.”
Demi Tuhan, Sinar tampak begitu bimbang dengan keputusan yang akan diambilnya. Biaya pengobatan adiknya semakin lama semakin meningkat sejalan dengan kondisinya yang memburuk. Jika dua kali lipat dari biaya operasi, itu artinya dia harus memiliki 1 milyar.
Ingat! 1 milyar bukan jumlah yang sedikit dan bahkan dia tidak akan mampu mengumpulkan uang sebanyak itu selama hidupnya.
Talita tidak tampak tergesa ketika menunggu keputusan Sinar. Dia dengan tenang memberikan waktu kepada gadis itu untuk berpikir. Talita seolah paham jika Sinar akan menerima penawarannya.
Benar saja, setelah berpikir beberapa saat, Sinar akhirnya kembali bertanya tentang sewa rahim. “Bagaimana efek samping ketika saya melakukan itu?” Sinar buta tentang masalah ibu pengganti. “Saya belum menikah dan belum pernah memiliki anak.”
“Tidak ada efek samping. Jika memang kamu bersedia, kita akan bertemu dengan dokter agar dokter bisa menjelaskan lebih lanjut.”
Demi Tuhan, Sinar masih enggan menerima penawaran tak masuk akal tersebut. Namun, dia juga tak kuasa jika harus melihat adiknya meregang nyawa. Dia adalah seorang kakak, bukankah sudah sewajarnya kalau dia harus berkorban?
Ragu, Sinar mengangguk. “Bisa kita bertemu dengan dokter untuk menjelaskan tentang itu, Bu?”
“Dengan senang hati. Ayo, kita temui dokter sekarang.”
Sinar berjalan di belakang Talita dengan keraguan menggantung di setiap langkah kakinya. Segala pertanyaan muncul di dalam kepalanya dengan berisiknya. Bahkan ketika dia masuk ke dalam ruangan dokter pun, dia hanya mendengarkan penjelasan dokter tersebut dengan seksama. Intinya, itu tidak melibatkan hubungan badan atau apa pun.
“Bagaimana, Sinar? Keputusan ada di tanganmu. Kalau memang kamu menyayangi adikmu, maka harusnya kamu bersedia bekerja sama dengan saya.” Talita mengatakan itu ketika mereka sudah keluar dari ruangan dokter.
Tangan Sinar membulat kencang dan mengangguk kecil penuh keraguan. “Ya, saya bersedia membantu Ibu. Tapi, saya meminta agar Ibu tidak mengingkari janji Ibu. Ibu akan menanggung semua biaya pengobatan adik saya.”
“Saya pantang mengingkari janji yang sudah saya buat.” Talita lagi-lagi menarik sudut bibirnya. “Sekarang, ikutlah bersama saya. Kita akan menyelesaikan perjanjian itu hari ini juga.”
Sinar merasa tidak memiliki pilihan lain ketika dia terdesak dengan kebutuhan yang begitu besar. Banyak orang di luar sana yang melakukan apa pun demi keluarga yang dicintainya. Dia sekarang sedang melakukannya.
Lantas satu jam setelah itu, Sinar dan Talita sudah berada di sebuah rumah mewah. Sinar hanya seperti patung hidup yang bersedia dibawa ke sana-kemari oleh orang yang baru dikenalnya. Ketakutan dan kebimbangan bercampur menjadi satu di dalam hatinya.
“Duduklah.” Talita mempersilakan Sinar duduk di sofa mewah ruang tamu setelah masuk ke dalam rumah besar tersebut. Talita masuk lebih dalam sebelum keluar kembali bersama dengan seorang lelaki yang Sinar yakin itu adalah suaminya.
Sinar mengetahui nama lelaki itu adalah Praba setelah mereka berkenalan secara singkat. Lantas Talita bersuara untuk membagi hasil dari rencananya kepada sang suami.
“Ada hal yang ingin aku bicarakan kepada Mas.” Talita mengawali obrolan. “Ini tentang anak.” Rahang Praba seketika tampak menguat. Namun, tidak ada tanggapan apa pun yang keluar dari mulutnya.
“Mas, kita tahu aku nggak bisa hamil karena kondisi rahimku yang tidak kuat. Aku tadi bertemu lagi dengan dr. Wahyu dan dia memberikan opsi lain agar kita bisa memiliki anak.” Talita tersenyum. “Yaitu dengan cara meminjam rahim seseorang.”
“Apa?” Praba tampak menunjukkan keterkejutannya. “Kamu gila?” Ekspresi lelaki itu kaku luar biasa.
“Aku serius, Mas. Dan itulah kenapa ada Sinar di sini. Dia yang akan meminjamkan rahimnya untuk kita. Dia bersedia hamil anak kita.” Talita memasang senyum penuh arti.
Hal itu berbeda dengan Praba yang tampak menahan amarah. Lelaki itu bahkan menatap Sinar dan Talita bergantian dengan penuh emosi. Praba pasti tidak pernah menyangka kalau istrinya akan memiliki ide sejauh ini untuk mendapatkan anak.
“Mas … ini adalah jalan satu-satunya ….”
“Tidak!” jawab Praba tegas, “saya tidak akan melakukan tindakan bodoh seperti itu dengan alasan apa pun.”
***
“Mas, ini adalah satu-satunya cara agar kita bisa punya anak.” Talita menarik tangan Praba kemudian digenggamnya. “Aku hanya ingin keluarga kita ….” “Lupakan!” Praba memutus ucapan Talita. “Saya tidak akan melakukannya.” Praba beranjak dari tempat duduknya, melepaskan genggaman tangan Talita dengan kasar sebelum dia pergi dari ruang tamu. Langkah kakinya tegap mengayun dengan pasti. Sinar hanya bisa terpaku di tempatnya dengan menahan napasnya. ‘Jadi, Talita belum mendiskusikan ini kepada suaminya sebelumnya?’ tanya Sinar di dalam hati. Tentu hal wajar ketika suami Talita menolak ide tersebut. Sinar benar-benar merasa hidupnya jungkir balik hanya dalam beberapa jam saja. Talita beranjak dari sofa mengejar sang suami. Meninggalkan Sinar yang masih tenggelam dengan pikirannya sendiri. Seorang perempuan paruh baya tiba-tiba saja muncul dengan membawa minuman dan menyuguhkannya di depan Sinar.“Silakan minumannya, Mbak.” Sinar sempat kaget melihat keberadaan perempuan itu sebelum dia
“Pernikahan … menyangkut hukum?” tanya Sinar dengan suara terbata dan bergetar. Kekhawatiran itu merambat masuk ke dalam hatinya. “Kamu tidak tahu? Talita tidak mengatakannya?” tanya Praba balik. Sinar menggeleng cepat. “Bu Talita tidak mengatakan apa pun,” jawab Sinar dengan cepat. Praba tidak lagi menjawab. Memberikan tatapan kepada Sinar agar gadis itu keluar dari mobilnya dan tidak melanjutkan pembahasan tersebut. Sinar masih dihinggapi rasa penasaran di dalam hatinya tentang penjelasan praba, tetapi dia memilih untuk menurut dan keluar dari mobil. Mobil hitam itu segera meluncur pergi dan meninggalkan pertanyaan besar di dalam kepala Sinar. Jika sewa rahim menyangkut tentang hukum, itu artinya hal itu sangat sensitive. Harusnya dia memang tidak perlu meneruskan rencana tidak masuk akal tersebut. Di sepanjang Sinar bekerja, Sinar tidak fokus. Dia bahkan mendapatkan teguran dari chef karena kelalaiannya. “Kamu ini kenapa, Sinar?” tanya Gina saat makan siang. Dia adalah teman
“Kamu ini bicara apa sih, Mas?” Talita mencoba menahan garis wajahnya agar tidak terlihat terganggu. “Aku memberimu izin menikah hanya untuk formalitas. Jadi, mari kita kerja sama.”Sinar kali ini sepertinya sudah tidak bisa lagi mengelak. Ya, keputusan memang ada padanya. Dia bisa menolak dan mengurungkan semua ide gila dan dia terbebas. Lantas apakah akan cukup sampai di sana? Tentu saja tidak. Talita bisa saja memilih orang lain untuk menganggantikannya.Lalu dia? Sinar justru yang akan kelimpungan mencari uang untuk sang adik. Sinar memantapkan pilihan dan keputusannya. Apa pun yang terjadi kedepannya nanti, dia sudah siap. Ini adalah keputusan yang akan diambil.Praba berdiri. Menjejalkan tangannya ke dalam saku celananya. “Kalian atur saja kapan saya bisa menikah dengan Sinar.” Kali ini lelaki itu menatap Sinar penuh arti. “Dan saya harap kalian tidak pernah menyesalinya.”Setelah mengatakan itu, Praba pergi begitu saja meninggalkan dua perempuan tersebut di sana. Tidak lagi meno
“Bu Talita bilang, Ibu tidak diizinkan untuk melakukan pekerjaan rumah. Memasak juga tidak boleh.” Setelah semalaman Sinar hanya sanggup tertidur sebentar, dia memutuskan untuk pergi ke dapur dan memulai masak. Sebagai cook helper yang sudah lama digelutinya, memasak adalah salah satu keahlian Sinar. Sinar bahkan memiliki keinginan suatu saat nanti dia mampu memiliki bisnisnya sendiri berupa rumah makan kecil-kecilan. Namun, dia harus menunda segala keinginan itu dan memfokuskan dirinya pada kehidupannya yang tengah dihadapinya. “Bibi nggak perlu khawatir. Masak itu bukan pekerjaan yang sulit.” Sinar tersenyum kecil menatap Bibi. “Bibi di sini saja, dan Bibi bisa bantu saya.” “Tapi, Bu. Saya takut kalau Bu Talita tahu dan marah. Biar saya saja yang masak.” “Tolong buatkan saya kopi.” Suara berat milik Praba itu menghentikan perdebatan Sinar dan Bibi. Mereka menatap secara serentak ke arah yang sama di mana Praba berada. Lelaki itu tampak segar dengan rambut basahnya. Praba dudu
“Apa maksud Bapak mengatakan itu?” Sinar mundur dengan jantung terasa terguncang mendengar ucapan Praba pagi ini. Sungguh, ini sangat mengejutkan untuknya. Tiba-tiba saja Sinar mengelus perutnya seolah dia tengah melindungi janin yang ada di dalamnya. “Kalau Bapak tidak ingin memiliki anak dengan Bu Talita, kenapa … Bapak pada akhirnya menerima rencana itu?” Sinar sungguh merasa hampir gila karena pasangan tersebut. Ini baru berjalan beberapa hari, tetapi semua sudah seperti benang kusut yang semakin terpaku satu sama lain. “Dan inilah permainannya, Sinar.” Setelah mengatakan itu, Praba lantas pergi meninggalkan rumah satu lantai yang ditempati oleh Sinar itu menggunakan mobilnya. Sinar masih mematung di tempatnya dengan jantung yang masih berdetak dengan kencang. Dia mencoba untuk tidak mempercayai ucapan Praba. Akan tetapi jika dia mengingat bagaimana Praba dan Talita, bagaimana interaksi dua orang tersebut satu sama lain, Sinar merasa segala yang diucapkan oleh Praba adalah sebu
“Mohon maaf, Pak. Tapi, saya tidak bisa melakukan itu.” Sinar tidak ingin terombang-ambing dalam tekanan yang begitu kuat dari Praba maupun Talita. “Kalau Bapak mau tinggal di sini, silakan. Tapi, saya nggak bersedia berada di satu kamar dengan Bapak.”Sinar sungguh tidak ingin dirinya dijadikan alat untuk pelampiasan amarah pasangan suami istri itu untuk saling serang. Setelah dia memikirkan banyak hal tentang hubungan Praba dan Talita, dia memang merasa jika dua orang itu tidaklah seakur yang dibayangkan. Hubungan mereka tidak harmonis, dan dia tak ingin terseret terlalu jauh.Sayangnya, ucapan Sinar tidak memengaruhi Praba. Dia bukan sedang berdiskusi dengan Sinar, melainkan mengambil keputusannya sendiri.Mengerti situasi, Bibi hendak pergi dari hadapan dua orang yang mengeluarkan aura ketegangan. Namun, langkah Bibi dihentikan oleh suara Praba.“Bibi!” panggilnya dengan suara rendah nan dingin. “Tinggal pilih saja, barang saya yang dipindahkan di kamar Sinar, atau barang Sinar ya
Sinar mendorong tubuh Praba sampai rangkulan lelaki itu terlepas. Dia merasa jengah dengan sikap dua orang kaya yang ada di depannya. Praba bahkan sedikit terkejut ketika Sinar berhasil lepas dari rangkulannya. Sinar yang masih mengetatkan rahangnya itu segera berbicara. “Saya tidak ingin terlibat dengan masalah Ibu dan Bapak. Keberadaan saya di sini sudah cukup jelas. Saya harap, sampai bayi ini lahir, saya bisa hidup dengan tenang.” Sinar menatap Talita dan Praba dengan berani. “Tolong jangan libatkan saya dalam pertengkaran Ibu dan Bapak. Permisi.” Sinar memilih masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Dia duduk di pinggiran ranjang dengan tangan saling meremas. Mensugesti dirinya sendiri jika dia mampu melewati semuanya. Posisi dirinya dan Talita seharusnya sama. Sama-sama saling membutuhkan. Di luar ruangan, Praba dan Talita masih saling mengeluarkan aura permusuhan. Namun, seolah enggan untuk berhadapan dengan istrinya lebih jauh lagi, Praba memilih berbalik dan pergi ke k
“Saya tidak tahu seperti apa hubungan Ibu dan Pak Praba sebelum ini dan saya juga tidak berniat untuk tahu.” Suara Sinar memecah keheningan malam di halaman depan rumah satu lantai yang ditempatinya.“Tapi kalau Ibu berpikir saya begitu senang dengan sikap Pak Praba kepada saya, Ibu salah besar. Terlebih lagi ketika Ibu mengancam saya ingin mengatakan ‘pekerjaan’ saya yang sekarang kepada adik saya. Itu sungguh tidak bisa dibenarkan.”Setelah Sinar mendengar ucapan Talita tentang ancaman Sinar secara terselubung, Sinar sama sekali tidak menanggapi dan dia fokus pada kegiatannya membuat kopi. Setelah makan malam selesai, dia segera meminta kepada Talita untuk bicara berdua.“Dibandingkan dengan saya, Ibu tentu jauh lebih segalanya. Ibu benar, Pak Praba tidak akan mungkin menyukai saya kecuali semua sikapnya itu hanya untuk membuat Ibu marah. Ibu tentu setuju dengan saya, ‘kan?”Talita tidak menanggapi, tetapi tatapannya mengarah lurus pada Sinar dan tampak begitu dingin. Sinar seolah d
Halaman belakang rumah besar Praba dipenuhi keceriaan yang luar biasa. Askara, Bhumi, dan Cherry berdiri di depan panggangan barbeque sambil sesekali saling menyenggol. Namun, kali ini tidak ada yang mencoba untuk melerainya.Para pekerja juga membantu mereka memanggang banyak makanan. Aroma makanan menguar tiada henti. Begitu nikmat luar biasa. Cherry pergi lebih dulu, lalu duduk dan bergabung dengan kedua orang tuanya.“Makan dulu, Bos.” Begitu katanya kepada sang ayah juga ibunya. “Ayo, Bunda makan dulu. Mengobrol juga butuh tenaga.”Ya, tidak ada yang salah dengan panggilan Cherry karena di sana memang ada Talita. Setelah obrolan Talita dan Sinar saat itu, hubungan dua perempuan itu lambat laun membaik. Mereka menekan ego mereka demi Askara.Begitu juga dengan Praba dan anak-anak mereka. Bhumi dan Cherry bahkan ikut-ikutan memanggil Talita dengan bunda. Jika dalam kondisi yang lalu, Talita pasti akan merasa keberatan, tetapi sekarang tentu berbeda. Dia bahkan merasa memiliki tiga
“Sebagai seorang ibu, kita adalah dua orang yang sama-sama menyayangi dan mencintai Askara. Dia memintaku untuk mempertimbangkan agar kita bisa berdamai.”Talita secara pribadi datang ke rumah Sinar dan membicarakan masalah tersebut setelah dia berpikir secara terus menerus. Dia menarik garis ke belakang dan memikirkan tentang masa lalu yang sudah terjadi. Jika dia menyalahkan Sinar sepenuhnya dan menganggap perempuan itu salah, maka itu tidak benar.Sinar dulu juga seorang korban. Dia juga perempuan yang sudah memberikan cintanya dengan penuh kepada Askara. Tidak sekalipun dia merasa terganggu dengan kehadiran putranya tersebut.“Selama ini saya tidak pernah ingin berseteru dengan Ibu secara terus menerus. Hanya saja, Ibu masih menganggap saya adalah orang yang harus Ibu musuhi.” Itu adalah jawaban yang diberikan oleh Sinar. “Melihat bagaimana hubungan kita selama ini, saya yakin itu menjadikan tekanan sendiri bagi Askara. Itulah kenapa dia ingin melihat kita berdamai.”Sinar menging
“Abang nggak jadi ke luar negeri, Ma.”Sinar yang sedang membuatkan sandwich untuk Askara itu segera mendongak menatap putranya yang tengah duduk di stole bar. Anggota keluarganya yang lain sedang sibuk sendiri-sendiri dan hanya ada Sinar dan Askara saja di sana.“Abang bicara banyak dengan Bunda. Bunda pun mengerti tentang keinginan Abang. Kalaupun toh nanti misalnya Abang ingin sekolah di sana, itu atas dasar keinginan Abang sendiri. Tapi, sampai sekarang, Abang belum ingin. Abang masih lebih suka di negeri sendiri.”Sinar meletakkan sandwich-nya ke atas piring lalu meletakkan di depan Askara. “Mama senang mendengar itu.” Perempuan itu duduk di samping putranya dan menemani makan.“Abang berharap, Mama dan Bunda bisa berbaikan.”Kalimat itu membuat Sinar segera menoleh ke arah putranya. Tatapan remaja itu penuh pengharapan. Dia tampaknya ingin melihat kedua orang yang disayanginya tidak lagi berselisih paham. Askara tentulah tahu jika sebenarnya yang selalu membuat masalah antara ke
Untuk pertama kalinya, Askara menghadiri acara keluarga Talita. Dia berusaha berbaur dengan keluarganya yang menerima Askara dengan sangat baik. Nenek dan kakeknya begitu bahagia melihat cucunya akhirnya datang dan berumpul dengan keluarga.“Nenek senang kamu ada di sini.” Askara menoleh dan mendapati seorang perempuan tua yang tampak masih begitu sehat. Tentu jika bersama dengan nenek dan kakeknya bukan pertama kalinya mereka bertemu, hanya saja dia selalu menolak untuk hadir ketika acara-acara seperti ini dilakukan.“Nenek sudah makan?” tanya Askara mencoba untuk perhatian. “Aku lihat, sejak tadi hanya mondar-mandir ke sana-kemari. Nenek harus menjaga kesehatan.”Perempuan tua itu tersenyum lembut. Menarik tangan Askara, lalu menggenggamnya. “Nenek senang kalau cucu-cucu Nenek berkumpul seperti ini, hati Nenek terasa bahagia sekali.”Askara menatap langit yang mucul sekumpulan bintang-bintang. Indah sekali. Sayangnya ini bukan bulan purnama. Jika bulan purnama, sekarang ibunya pasti
Kedua tangan Askara maupun Talita penuh dengan barang belanjaan. Talita benar-benar membeli banyak barang untuk dirinya sendiri dan juga Askara. Setelah keluarga bersama dengan Talita, melepaskan segala beban yang selama ini dirasakan, Askara sedikit luluh dengan sikap ibunya.“Terima kasih. Abang sudah bersedia berjalan-jalan dengan Bunda.”Mereka sudah sampai di rumah dan sama-sama melepas lelah dengan duduk di sofa. Askara segera membaringkan tubuhnya di sofa dan memeluk bantal sofa. Memainkan ponselnya sebentar sebelum meletakkannya kembali.“Kalau ngantuk, naik gih, tidur di kamar.” Talita menepuk kaki Askara, lalu mengelus pelan kaki tersebut.“Aku di sini aja. Jendelanya biarin kebuka aja, Bun. Nggak usah pakai AC.” Askara menutup matanya setelah itu. Dia sepertinya benar-benar lelah luar biasa.Talita membuka jendela-jendela lebar itu agar angin bisa masuk. Membuat Askara menjadi nyaman luar biasa. Lelaki itu segera saja terlelap dalam tidurnya. Jika Askara sudah memutuskan un
“Cerita Tante ternyata cukup rumit.” Tanggapan Bastian setelah itu. Menatap Askara setelah itu. “Bagaimana tanggapan lo tentang itu, Askara?”Askara menanggapi santai. “Gue udah pernah cerita itu dari Papa. Nggak beda jauh. Hanya beda sudut pandang.”“Papamu menceritakannya?” Talita mengernyit, lalu dia mengingat sesuatu. “Apa karena saat Bunba minta kamu bertanya tentang waktu itu ….”“Ya.” Askara memotong ucapan ibunya. “Papa sudah cerita semuanya.”“Lalu, apa tanggapanmu?” tanya Bastian lagi. “Menurut gue, ini terlalu rumit.”“Kehidupan orang tua selalu rumit dan gue benci itu.” Askara menarik napasnya panjang. “Bukankah keegoisan mereka sehingga membuat gue harus berada dalam masalah? Harus memilih di antara dua ibu.” Askara tersenyum kecil. “Percayalah, itu sangat menyebalkan.”Akhirnya, Askara mengungkapkan isi hatinya yang terpendam. Sejak kecil dia harus ditarik ke sana-kemari untuk hidup dan tinggal bersama mereka. Dia kesal luar biasa.Ruangan itu seketika hening karena keju
“Ma, Abang akan menginap di rumah Bunda,” pamit Askara kepada Sinar. Weekend ini dia ingin mencoba membuka hatinya untuk ‘melihat’ lebih dekat kehidupan yang dijalani oleh Talita. Seperti yang Bastian katakan, dia ingin benar-benar memahami posisi Talita.Dia selama ini selalu marah dan tertekan jika Talita memintanya untuk tinggal bersama dengannya. Baginya, Talita tidak seperti Sinar yang sangat dia sayangi. Sekarang, dia sudah berpikir lebih dingin dan dia ingin menjalani semuanya dengan lebih tenang.“Abang sudah bilang kepada Bunda kalau Abang mau datang?” tanya Nilam. “Biasanya Bunda yang akan menjemput Abang.”“Nanti pulang sekolah langsung diantar supir ke rumah Bunda, Ma. Aku udah bilang sama Bunda juga.”Sinar diam tak segera menanggapi karena dia merasa Askara sudah mulai terbuka dengan Talita. Ada rasa takut, tetapi dia juga tidak bisa menghentikan.“Ya sudah. Abang hati-hati. Kalau ada apa-apa langsung bilang ke Mama.” Sinar mengelus pundak putranya dengan lembut.“Iya, M
“Askara!”Panggilan itu membuat Askara menoleh. Dia mendapati seorang lelaki muda berdiri tak jauh darinya dan menatapnya. Lelaki itu tersenyum sebelum mendekat ke arahnya.“Gue udah lama nunggu.”Askara tidak mengenal lelaki itu. Oleh karena itu dia hanya memberi tatapan penuh tanya ke arah lelaki itu. Tahu jika dia harus memperkenalkan dirinya, lelaki itu lantas mengulurkan tangannya.“Gue Bastian. Sepupu lo.”Barulah Askara menyadari jika lelaki itu adalah lelaki yang dimaksud oleh bundanya. Sepupu yang kuliah di luar negeri. Askara menerima uluran tangan lelaki itu. “Askara.”Bastian tampak masih tersenyum. “Ada kafe di depan, kita ke sana? Sekalian ngobrol.” Askara tidak langsung menjawab dan tampak berpikir, tetapi Bastian segera bersuara. “Nanti gue antar pulang.”“Nggak perlu, gue bisa pulang sendiri. Gue nunggu sopir atau adik-adik gue buat pamit.” Askara menoleh ke sana-kemari untuk mencari keberadaan kedua adiknya, tetapi mereka tidak juga muncul.Lantas dia mengeluarkan po
“Kalau bukan karena dia, Talita masih tetap akan menjadi menantu keluarga kita.”“Cukup!” Dimas berteriak membentak Cindy. “Mama ini benar-benar, ya. Mau sampai kapan Mama terus memusuhi Sinar. Ini sudah lama sejak Praba dan Sinar menikah. Kehidupan mereka baik-baik saja sampai sekarang, tapi Mama masih bertahan dengan ego Mama.”“Kalau Oma nggak suka sama kami, sebenarnya nggak masalah.” Bhumi bersuara. “Tapi nggak perlu menjelekkan Mama. Mama adalah mama terbaik buat kami.”“Tahu apa kamu tentang ibumu? Ibumu adalah perempuan yang mengambil suami perempuan lain. Dia itu pelakor.” Cindy semakin tua mulutnya benar-benar luar biasa menyebalkan.“Kalau Mama terus saja menyebut istriku seperti itu, lebih baik Mama tidak perlu datang ke rumah ini.” Praba sudah muak dengan segala macam hinaan yang dikeluarkan Cindy kepada istrinya.Tidak sedikitpun Cindy merasa tersentuh dengan kebaikan Sinar selama ini. Bahkan suatu hari dia pernah dirawat di rumah sakit dan Sinar yang menjaganya sampai k