Share

Part 8. Diantara Kedua Istri

“Mohon maaf, Pak. Tapi, saya tidak bisa melakukan itu.” Sinar tidak ingin terombang-ambing dalam tekanan yang begitu kuat dari Praba maupun Talita. “Kalau Bapak mau tinggal di sini, silakan. Tapi, saya nggak bersedia berada di satu kamar dengan Bapak.”

Sinar sungguh tidak ingin dirinya dijadikan alat untuk pelampiasan amarah pasangan suami istri itu untuk saling serang. Setelah dia memikirkan banyak hal tentang hubungan Praba dan Talita, dia memang merasa jika dua orang itu tidaklah seakur yang dibayangkan. Hubungan mereka tidak harmonis, dan dia tak ingin terseret terlalu jauh.

Sayangnya, ucapan Sinar tidak memengaruhi Praba. Dia bukan sedang berdiskusi dengan Sinar, melainkan mengambil keputusannya sendiri.

Mengerti situasi, Bibi hendak pergi dari hadapan dua orang yang mengeluarkan aura ketegangan. Namun, langkah Bibi dihentikan oleh suara Praba.

“Bibi!” panggilnya dengan suara rendah nan dingin. “Tinggal pilih saja, barang saya yang dipindahkan di kamar Sinar, atau barang Sinar yang dipindah di kamar saya.”

“Pak!” Sinar sedikit meninggikan suaranya dengan wajah merah padam. “Tolong! Tolong jangan seperti ini. Saya tahu saya salah karena tidak mendengarkan ucapan Bapak tempo hari. Tapi tolong jangan perlakukan saya begini!”

“Perlakukan seperti apa?” Suara itu membuat Praba dan Sinar mau tak mau menoleh pada sumber suara.

Mereka mendapati Talita berdiri sambil menatap Praba dan Sinar bergantian. Tampak tenang, tetapi ada kobaran api dalam tatapan matanya. Langkah kakinya memutus jarak, senyum kecilnya terukir di bibirnya. Berpura-pura tidak tahu apa yang baru saja didengar.

“Ibu.” Sinar seketika mundur dengan ekspresi ketakutan. Namun, Praba justru mencekal tangan Sinar dengan cepat untuk memertahankan posisi Sinar agar tidak menjauh darinya.

Talita menatap tangan Praba itu dengan tatapan tajam yang tidak bisa disembunyikan. “Sepertinya baru saja terjadi sesuatu.” Talita menatap Sinar dengan sinis. “Apa saya ketinggalan berita?” Ketika kata ‘saya’ digunakan oleh Talita untuk dirinya sendiri, itu berarti dia tengah bicara dengan Sinar.

Sinar seketika memberontak ingin melepaskan cekalan tangannya dari Praba. Dia tak ingin ada kesalah pahaman yang terjadi antara dirinya dengan Talita. Sinar juga memilih menatap Talita sambil menggelengkan kepalanya tanda jika semua yang dilihat ini tidak seperti yang dipikirkan.

“Ibu tolong jangan salah paham dengan apa yang Ibu lihat.” Sinar membuka suara. “Tidak terjadi apa pun antara saya dan Pak Praba.”

“Begitu? Lalu ada apa ini?” Talita lagi-lagi tersenyum, tetapi penuh dengan kemarahan di pancaran matanya. “Baru satu malam tinggal satu atap, kalian terlihat sudah sangat akrab.”

“Tidak ada alasan suami istri bersikap tidak akrab, bukan?” Praba menatap Sinar. “Bukan begitu Sinar?”

“Tidak.” Sinar menggeleng cepat. “Demi Tuhan, saya dan Pak Praba tidak … ini tidak seperti yang Ibu kira.” Sinar berusaha menjelaskan dengan sedikit terbata. Ada sedikit rasa putus asa dalam suaranya.

“Memangnya apa yang saya pikirkan, Sinar?” Talita menggeleng. “Saya percaya kepada Mas Praba jika dia lelaki yang bisa dipercaya. Benar, ‘kan, Mas?”

Praba mengedikkan bahunya. “Anggap saja begitu.”

Praba sama sekali tidak melepaskan cekalan tangannya dari tangan Sinar dan justru menggenggamnya semakin erat. Lelaki itu menatap Talita dengan penuh keyakinan. “Memiliki istri dua, ternyata tidak seburuk yang saya bayangkan.” Praba menyeringai kecil membuat Talita mengeratkan rahangnya.

“Pak, tolong lepaskan tangan saya.” Sinar lelah memberontak, meminta secara baik-baik agar Praba melepaskan tangannya. “Tolong jangan tempatkan saya di situasi yang sulit.”

“Sinar benar, Mas. Lepaskan dia. Sinar butuh istirahat.”

“Kamu Benar.” Praba menjawab. “Sinar, kita ke kamar sekarang.” Praba menarik tangan Sinar agar Sinar mengikutinya.

“Lepaskan Sinar, Mas!” Talita memberi peringatan. “Jangan buat hubungan kita semakit rumit.”

Tiga orang itu kini benar-benar bersitegang. Sinar terus memberontak, Praba semakin mengencangkan cekalannya, sedangkan Talita tampak sudah tidak sabar dengan sikap Praba.

“Malam ini aku juga akan menginap di sini.” Talita tampak menahan dirinya agar tidak mengeluarkan sumpah serapahnya melihat adegan menjijikkan di depannya.

Hal itu membuat Sinar menutup matanya dengan erat mendengar ucapan Talita. Dia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi malam ini. Pertengkaran dan pertikaian.

“Sinar, kamu nggak keberatan ‘kan kalau saya menginap di sini malam ini?” tanya Talita dengan gigi bergemelatuk.

“Tentu saja tidak, Bu. Ini adalah rumah Ibu. Ibu berhak menempatinya.” Bagi Sinar, ide itu sangat baik untuknya agar Praba tidak bersikap seperti sekarang.

Talita mengangguk. “Jadi, Mas, karena ada aku di sini, kita akan menempati kamar yang sama.”

Praba tidak segera menjawab. Dia justru hanya menatap Talita dengan ekspresi dingin. Lelaki itu lantas menggeleng.

“Kalau kamu mau menginap di sini, lakukan saja. Tapi, kita tetap tidak akan tidur satu kamar.”

Mata Talita seketika menatap tajam ke arah suaminya. Tatapan itu seolah menuntut Praba agar lelaki itu memeperjelas ucapannya. Sinar merasa dirinya terjepit dalam situasi yang begitu tidak menyenangkan.

“Jadi, kamu sekarang sedang menikmati peranmu menjadi seorang suami beristri dua, Mas?” Talita masih bersikap tenang.

“Anggap saja begitu.” Praba mengangguk setuju. Tatapannya kini beralih pada Sinar yang tampak tertekan. “Toh kamu dengan sukar rela meminta saya untuk menikahi Sinar.”

Tatapan Talita beralih pada Sinar yang tampak begitu sinis. Tentu saja dia tak senang jika pada akhirnya keinginannya untuk memiliki anak justru menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Keinginannya untuk mempertahankan Praba di sisinya justru membuat Praba memiliki alasan lepas dari tangannya.

Bukan ini yang Talita inginkan. Maka dari itu, satu-satunya cara adalah dengan menekan Sinar agar perempuan itu bersikap tegas.

“Ingat! Nasib Surya ada di tanganmu, Sinar.” Talita akhirnya memprofokasi. Perempuan itu tersenyum, tetapi penuh dengan kekejaman di dalamnya. “Berhati-hatilah dalam bertindak.”

“Kalau Ibu dan Bapak ingin berselisih, silakan lakukan di belakang saya.” Sinar akhirnya bersuara.

Sinar memang dalam keadaan terjepit. Dia juga tahu sekarang dia sedang dimanfaatkan oleh dua orang itu untuk mencapai tujuan mereka. Namun, dia bukan boneka yang bisa ditarik ke sana-kemari agar dirinya mengikuti keinginan salah satu dari mereka.

“Saya tidak akan mengulangi apa pun yang saya katakan.” Sinar menatap Talita dan Praba bergantian. Terserah kalau memang dia dianggap lancang dan teralu berani.

“Tolong jangan membuat saya tertekan.” Sinar kini menatap Talita. “Saya sedang hamil anak kalian dan kita sudah menandatangi perjanjian yang kita buat. Kita sama-sama membutuhkan di sini. Ibu membutuhkan saya dan saya membutuhkan Ibu. Pak Praba, saya paham Bapak sejak awal tidak menyutujui ide yang Bapak anggap gila, tapi anak ini sudah ada di dalam perut saya. Semua sudah terjadi. Jadi, tolong kerja samanya.”

“Sinar benar.” Talita menanggapi cepat. “Jadi, Mas, Mas tidak bisa mengelak lagi kalau sebentar lagi kita akan menjadi orang tua.”

“Saya tidak sedang mengelak.” Praba menarik Sinar sehingga membuat Sinar menempel pada tubuhnya. Dia lantas memeluk pundak Sinar di depan Talita. “Justru saya sedang berperan sebagai ayah dan suami yang baik. Setelah anak ini lahir, saya bisa menentukan dengan siapa saya akan bertahan dan membesarkan anak ini. Denganmu, dengan Sinar, atau bahkan tidak dengan keduanya.”

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Persada Mulia
bagus ceritanya, ada apa dg perkawinan praba dan talita, lnjt Thor semangat up nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status