“Mohon maaf, Pak. Tapi, saya tidak bisa melakukan itu.” Sinar tidak ingin terombang-ambing dalam tekanan yang begitu kuat dari Praba maupun Talita. “Kalau Bapak mau tinggal di sini, silakan. Tapi, saya nggak bersedia berada di satu kamar dengan Bapak.”
Sinar sungguh tidak ingin dirinya dijadikan alat untuk pelampiasan amarah pasangan suami istri itu untuk saling serang. Setelah dia memikirkan banyak hal tentang hubungan Praba dan Talita, dia memang merasa jika dua orang itu tidaklah seakur yang dibayangkan. Hubungan mereka tidak harmonis, dan dia tak ingin terseret terlalu jauh.
Sayangnya, ucapan Sinar tidak memengaruhi Praba. Dia bukan sedang berdiskusi dengan Sinar, melainkan mengambil keputusannya sendiri.
Mengerti situasi, Bibi hendak pergi dari hadapan dua orang yang mengeluarkan aura ketegangan. Namun, langkah Bibi dihentikan oleh suara Praba.
“Bibi!” panggilnya dengan suara rendah nan dingin. “Tinggal pilih saja, barang saya yang dipindahkan di kamar Sinar, atau barang Sinar yang dipindah di kamar saya.”
“Pak!” Sinar sedikit meninggikan suaranya dengan wajah merah padam. “Tolong! Tolong jangan seperti ini. Saya tahu saya salah karena tidak mendengarkan ucapan Bapak tempo hari. Tapi tolong jangan perlakukan saya begini!”
“Perlakukan seperti apa?” Suara itu membuat Praba dan Sinar mau tak mau menoleh pada sumber suara.
Mereka mendapati Talita berdiri sambil menatap Praba dan Sinar bergantian. Tampak tenang, tetapi ada kobaran api dalam tatapan matanya. Langkah kakinya memutus jarak, senyum kecilnya terukir di bibirnya. Berpura-pura tidak tahu apa yang baru saja didengar.
“Ibu.” Sinar seketika mundur dengan ekspresi ketakutan. Namun, Praba justru mencekal tangan Sinar dengan cepat untuk memertahankan posisi Sinar agar tidak menjauh darinya.
Talita menatap tangan Praba itu dengan tatapan tajam yang tidak bisa disembunyikan. “Sepertinya baru saja terjadi sesuatu.” Talita menatap Sinar dengan sinis. “Apa saya ketinggalan berita?” Ketika kata ‘saya’ digunakan oleh Talita untuk dirinya sendiri, itu berarti dia tengah bicara dengan Sinar.
Sinar seketika memberontak ingin melepaskan cekalan tangannya dari Praba. Dia tak ingin ada kesalah pahaman yang terjadi antara dirinya dengan Talita. Sinar juga memilih menatap Talita sambil menggelengkan kepalanya tanda jika semua yang dilihat ini tidak seperti yang dipikirkan.
“Ibu tolong jangan salah paham dengan apa yang Ibu lihat.” Sinar membuka suara. “Tidak terjadi apa pun antara saya dan Pak Praba.”
“Begitu? Lalu ada apa ini?” Talita lagi-lagi tersenyum, tetapi penuh dengan kemarahan di pancaran matanya. “Baru satu malam tinggal satu atap, kalian terlihat sudah sangat akrab.”
“Tidak ada alasan suami istri bersikap tidak akrab, bukan?” Praba menatap Sinar. “Bukan begitu Sinar?”
“Tidak.” Sinar menggeleng cepat. “Demi Tuhan, saya dan Pak Praba tidak … ini tidak seperti yang Ibu kira.” Sinar berusaha menjelaskan dengan sedikit terbata. Ada sedikit rasa putus asa dalam suaranya.
“Memangnya apa yang saya pikirkan, Sinar?” Talita menggeleng. “Saya percaya kepada Mas Praba jika dia lelaki yang bisa dipercaya. Benar, ‘kan, Mas?”
Praba mengedikkan bahunya. “Anggap saja begitu.”
Praba sama sekali tidak melepaskan cekalan tangannya dari tangan Sinar dan justru menggenggamnya semakin erat. Lelaki itu menatap Talita dengan penuh keyakinan. “Memiliki istri dua, ternyata tidak seburuk yang saya bayangkan.” Praba menyeringai kecil membuat Talita mengeratkan rahangnya.
“Pak, tolong lepaskan tangan saya.” Sinar lelah memberontak, meminta secara baik-baik agar Praba melepaskan tangannya. “Tolong jangan tempatkan saya di situasi yang sulit.”
“Sinar benar, Mas. Lepaskan dia. Sinar butuh istirahat.”
“Kamu Benar.” Praba menjawab. “Sinar, kita ke kamar sekarang.” Praba menarik tangan Sinar agar Sinar mengikutinya.
“Lepaskan Sinar, Mas!” Talita memberi peringatan. “Jangan buat hubungan kita semakit rumit.”
Tiga orang itu kini benar-benar bersitegang. Sinar terus memberontak, Praba semakin mengencangkan cekalannya, sedangkan Talita tampak sudah tidak sabar dengan sikap Praba.
“Malam ini aku juga akan menginap di sini.” Talita tampak menahan dirinya agar tidak mengeluarkan sumpah serapahnya melihat adegan menjijikkan di depannya.
Hal itu membuat Sinar menutup matanya dengan erat mendengar ucapan Talita. Dia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi malam ini. Pertengkaran dan pertikaian.
“Sinar, kamu nggak keberatan ‘kan kalau saya menginap di sini malam ini?” tanya Talita dengan gigi bergemelatuk.
“Tentu saja tidak, Bu. Ini adalah rumah Ibu. Ibu berhak menempatinya.” Bagi Sinar, ide itu sangat baik untuknya agar Praba tidak bersikap seperti sekarang.
Talita mengangguk. “Jadi, Mas, karena ada aku di sini, kita akan menempati kamar yang sama.”
Praba tidak segera menjawab. Dia justru hanya menatap Talita dengan ekspresi dingin. Lelaki itu lantas menggeleng.
“Kalau kamu mau menginap di sini, lakukan saja. Tapi, kita tetap tidak akan tidur satu kamar.”
Mata Talita seketika menatap tajam ke arah suaminya. Tatapan itu seolah menuntut Praba agar lelaki itu memeperjelas ucapannya. Sinar merasa dirinya terjepit dalam situasi yang begitu tidak menyenangkan.
“Jadi, kamu sekarang sedang menikmati peranmu menjadi seorang suami beristri dua, Mas?” Talita masih bersikap tenang.
“Anggap saja begitu.” Praba mengangguk setuju. Tatapannya kini beralih pada Sinar yang tampak tertekan. “Toh kamu dengan sukar rela meminta saya untuk menikahi Sinar.”
Tatapan Talita beralih pada Sinar yang tampak begitu sinis. Tentu saja dia tak senang jika pada akhirnya keinginannya untuk memiliki anak justru menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Keinginannya untuk mempertahankan Praba di sisinya justru membuat Praba memiliki alasan lepas dari tangannya.
Bukan ini yang Talita inginkan. Maka dari itu, satu-satunya cara adalah dengan menekan Sinar agar perempuan itu bersikap tegas.
“Ingat! Nasib Surya ada di tanganmu, Sinar.” Talita akhirnya memprofokasi. Perempuan itu tersenyum, tetapi penuh dengan kekejaman di dalamnya. “Berhati-hatilah dalam bertindak.”
“Kalau Ibu dan Bapak ingin berselisih, silakan lakukan di belakang saya.” Sinar akhirnya bersuara.
Sinar memang dalam keadaan terjepit. Dia juga tahu sekarang dia sedang dimanfaatkan oleh dua orang itu untuk mencapai tujuan mereka. Namun, dia bukan boneka yang bisa ditarik ke sana-kemari agar dirinya mengikuti keinginan salah satu dari mereka.
“Saya tidak akan mengulangi apa pun yang saya katakan.” Sinar menatap Talita dan Praba bergantian. Terserah kalau memang dia dianggap lancang dan teralu berani.
“Tolong jangan membuat saya tertekan.” Sinar kini menatap Talita. “Saya sedang hamil anak kalian dan kita sudah menandatangi perjanjian yang kita buat. Kita sama-sama membutuhkan di sini. Ibu membutuhkan saya dan saya membutuhkan Ibu. Pak Praba, saya paham Bapak sejak awal tidak menyutujui ide yang Bapak anggap gila, tapi anak ini sudah ada di dalam perut saya. Semua sudah terjadi. Jadi, tolong kerja samanya.”
“Sinar benar.” Talita menanggapi cepat. “Jadi, Mas, Mas tidak bisa mengelak lagi kalau sebentar lagi kita akan menjadi orang tua.”
“Saya tidak sedang mengelak.” Praba menarik Sinar sehingga membuat Sinar menempel pada tubuhnya. Dia lantas memeluk pundak Sinar di depan Talita. “Justru saya sedang berperan sebagai ayah dan suami yang baik. Setelah anak ini lahir, saya bisa menentukan dengan siapa saya akan bertahan dan membesarkan anak ini. Denganmu, dengan Sinar, atau bahkan tidak dengan keduanya.”
***
Sinar mendorong tubuh Praba sampai rangkulan lelaki itu terlepas. Dia merasa jengah dengan sikap dua orang kaya yang ada di depannya. Praba bahkan sedikit terkejut ketika Sinar berhasil lepas dari rangkulannya. Sinar yang masih mengetatkan rahangnya itu segera berbicara. “Saya tidak ingin terlibat dengan masalah Ibu dan Bapak. Keberadaan saya di sini sudah cukup jelas. Saya harap, sampai bayi ini lahir, saya bisa hidup dengan tenang.” Sinar menatap Talita dan Praba dengan berani. “Tolong jangan libatkan saya dalam pertengkaran Ibu dan Bapak. Permisi.” Sinar memilih masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Dia duduk di pinggiran ranjang dengan tangan saling meremas. Mensugesti dirinya sendiri jika dia mampu melewati semuanya. Posisi dirinya dan Talita seharusnya sama. Sama-sama saling membutuhkan. Di luar ruangan, Praba dan Talita masih saling mengeluarkan aura permusuhan. Namun, seolah enggan untuk berhadapan dengan istrinya lebih jauh lagi, Praba memilih berbalik dan pergi ke k
“Saya tidak tahu seperti apa hubungan Ibu dan Pak Praba sebelum ini dan saya juga tidak berniat untuk tahu.” Suara Sinar memecah keheningan malam di halaman depan rumah satu lantai yang ditempatinya.“Tapi kalau Ibu berpikir saya begitu senang dengan sikap Pak Praba kepada saya, Ibu salah besar. Terlebih lagi ketika Ibu mengancam saya ingin mengatakan ‘pekerjaan’ saya yang sekarang kepada adik saya. Itu sungguh tidak bisa dibenarkan.”Setelah Sinar mendengar ucapan Talita tentang ancaman Sinar secara terselubung, Sinar sama sekali tidak menanggapi dan dia fokus pada kegiatannya membuat kopi. Setelah makan malam selesai, dia segera meminta kepada Talita untuk bicara berdua.“Dibandingkan dengan saya, Ibu tentu jauh lebih segalanya. Ibu benar, Pak Praba tidak akan mungkin menyukai saya kecuali semua sikapnya itu hanya untuk membuat Ibu marah. Ibu tentu setuju dengan saya, ‘kan?”Talita tidak menanggapi, tetapi tatapannya mengarah lurus pada Sinar dan tampak begitu dingin. Sinar seolah d
Mata Sinar berbinar cerah ketika dia melihat sebuah mangga muda di depannya. Dia bahkan meneguk ludahnya hanya dengan membayangkan menggigit buah itu dan mencecapnya. Tanpa memedulikan keberadaan Praba di rumah ini di pagi hari, Sinar hanya fokus pada buah mangga yang tidak begitu besar tersebut. “Cuma satu, Bi?” tanya Sinar kepada Bibi. “Iya, Bu. Di pasar adanya yang udah matang. Jadi, saya mintakan ke orang desa.” Rumah yang ditempati Sinar adalah rumah pinggiran kota dan bukan berada di perumahan. Itu seperti sebuah desa yang tertata begitu indah. Jadi, kepedulian antara satu sama lain masihlah begitu kental. “Memang nggak papa, Bi?” tanya Sinar lagi. “Nggak papa, Bu. Bahkan kalau Ibu mau lagi, boleh ambil lagi.” Sinar tersenyum lebar mendengar penuturan Bibi. Mangga yang sudah diiris tanpa dikupas itu segera tersaji di depan Sinar. “Saya makan, ya, Bi,” kata Sinar dengan semangat. Mengambil sepotong kecil mangga dan memberinya garam yang ada di piring yang sama. Senyum Sin
[Kak, pihak rumah sakit mengatakan jika pengobatan untukku diberhentikan.]Pijar baru saja mau menyuapkan makan siang ke dalam mulutnya ketika Surya menelponnya. Hari ini adalah waktunya sang adik untuk melakukan terapi. Namun, kabar buruk itu justru didapatkan. Jantung Pijar tiba-tiba bertalu dengan kencang dan wajahnya tampak pucat. Matanya bergetar, pun dengan sekujur tubuhnya terasa kaku. “Surya, kamu sudah memastikannya lagi? Pengobatanmu sudah ditanggung dan tidak mungkin dibatalkan begitu saja tanpa konfirmasi.” [Aku nggak bohong, Kak. Memang itulah yang terjadi.] Sinar kali ini tidak bisa berkata-kata. Tangannya yang masih memegangi ponselnya itu terasa dingin luar biasa. Di dalam pikirannya, dia menduga jika Talita lah yang melakukannya. Jika tidak, maka semua ini tidak akan mungkin terjadi. Setelah Sinar pindah dari rumah, ini adalah kali kedua Surya berobat dengan uang Talita. Apa mungkin secepat itu Talita mengubah perjanjiannya? Apa semua ini karena kecemburuan Talit
Suara Praba di belakang Sinar itu mau tak mau menimbulkan gejolak emosi di dalam hatinya. Aroma amarah itu terasa begitu kental ketika Sinar berdiri dan menatap Praba dengan tatapan tajam. Dengan suara bergetar, dia lantas bersuara. “Bapak pikir ini lelucon? Bapak pikir nyawa adik saya adalah sebuah permainan yang begitu mudah Bapak permainkan begitu saja?” Sinar menggenggam ponselnya dengan kuat seolah dia ingin meremukkan benda tersebut menjadi abu. Selama ini dia hanya diam dan berusaha untuk menahan diri setiap ada perdebatan. Dia sudah mendapatkan peringatan keras dari Talita untuk menghindari Praba. Padahal, bukan Sinar yang mendekat melainkan Praba lah yang sengaja melakukannya untuk memancing kemarahan Talita. Di sisi lain, Praba melakukan hal yang sama dan kali ini lebih ekstrim. Lelaki itu bahkan langsung pada titik inti masalah. Yaitu mengulik langsung pada Surya yang otomatis membuat Sinar akan melemah. Mata Sinar berkaca-kaca menatap Praba yang tampak begitu tenang. Di
Talita praktis merasa kebenciannya melonjak begitu besar setelah Praba mengaku jika dia tertarik kepada Sinar. Memang dia tak mengucapkannya secara gamblang, tetapi Talita cukup paham dengan perasaan lelaki itu. Rencana yang dianggap berhasil itu nyatanya menjadi boomerang baginya. Dia memang akan segera memiliki anak, tetapi bukan tidak mungkin kalau dia justru akan kehilangan lelaki yang paling dicintainya. “Sialan!” Talita berteriak mengeluarkan segala rasa kesalnya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa perlu dia harus menjauhkan Praba dari Sinar agar perasaan lelaki itu tidak berkembang semakin pesat? Kenapa semuanya menjadi semakin rumit? Talita berjalan mondar-mandir di ruangan kerjanya dengan emosi yang membara. Dia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, kenapa sejak dulu Praba tidak pernah mencintainya? Kenapa sejak dulu Praba selalu mengabaikannya? Dia sudah melakukan segalanya, melewati segala rintangan yang ada di depannya. Semata hanya untuk satu nama, Prabaswara W
“Bu Talita sudah pergi. Tolong singkirkan tangan Bapak.” Sinar memecah keheningan setelah Talita pergi dari rumah yang ditempati Sinar. Setelah melihat adegan suami istri yang terlihat begitu harmonis, Talita pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Perempuan itu tampaknya tidak tahan dengan segala hal yang dilihat. Mungkin saja perempuan itu berpikir, di depannya saja Praba sanggup melakukan itu. Bagaimana kalau di belakangnya. “Bapak seharusnya mengejar Bu Talita. Dia sedang kacau dan kalau terjadi sesuatu dengannya, Bapak yang patut bertanggung jawab.” Sinar mengimbuhkan. “Tidak perlu mengajari saya bagaimana saya harus bertindak.” Setelah mengatakan itu, Praba pergi begitu saja dari hadapan Sinar. Masuk ke dalam kamar dan membanting pintu tersebut dengan kuat. Sinar hanya bisa menghela napasnya panjang setelah itu. Namun, memilih untuk tidak mengacuhkannya. Tampaknya, adegan malam itu memukul telak perasaan Talita sampai di relung hatinya. Sebab setelah itu, perempuan itu tid
Sinar pikir, ngidam tentang Praba sudah berakhir. Nyatanya, itu masih berlanjut dan membuatnya kelimpungan tak karuan. Bagaimana tidak, Sinar bahkan tidak bisa melepaskan tatapannya pada sosok Praba yang kini tengah sibuk dengan tabletnya. Bak remaja tanggung, dia seperti seorang gadis yang diam-diam tengah jatuh cinta kepada sang kakak kelas. Lantas mengambil kesempatan untuk melirik ketika pria itu ada di depannya. Sinar sudah mati-matian menahan diri agar tidak melemparkan tatapannya pada sosok Praba, sayangnya hanya dalam hitungan detik, lirikan itu kembali tertuju pada wajah lelaki itu. “Sekarang apa? Sejak tadi kamu mencuri pandang ke arah saya.” Sinar yang tertangkap basah melirik Praba itu terkejut ketika suara si empunya wajah bersuara. Praba masih sibuk dengan tabletnya, tetapi dia bahkan tahu jika Sinar sejak tadi terus saja melirik kepadanya. Sinar mengabaikan ucapan Praba dan berpura-pura sibuk dengan ponsel yang ada di genggamannya. Namun, ketika dia mengangkat waja