“Mohon maaf, Pak. Tapi, saya tidak bisa melakukan itu.” Sinar tidak ingin terombang-ambing dalam tekanan yang begitu kuat dari Praba maupun Talita. “Kalau Bapak mau tinggal di sini, silakan. Tapi, saya nggak bersedia berada di satu kamar dengan Bapak.”
Sinar sungguh tidak ingin dirinya dijadikan alat untuk pelampiasan amarah pasangan suami istri itu untuk saling serang. Setelah dia memikirkan banyak hal tentang hubungan Praba dan Talita, dia memang merasa jika dua orang itu tidaklah seakur yang dibayangkan. Hubungan mereka tidak harmonis, dan dia tak ingin terseret terlalu jauh.
Sayangnya, ucapan Sinar tidak memengaruhi Praba. Dia bukan sedang berdiskusi dengan Sinar, melainkan mengambil keputusannya sendiri.
Mengerti situasi, Bibi hendak pergi dari hadapan dua orang yang mengeluarkan aura ketegangan. Namun, langkah Bibi dihentikan oleh suara Praba.
“Bibi!” panggilnya dengan suara rendah nan dingin. “Tinggal pilih saja, barang saya yang dipindahkan di kamar Sinar, atau barang Sinar yang dipindah di kamar saya.”
“Pak!” Sinar sedikit meninggikan suaranya dengan wajah merah padam. “Tolong! Tolong jangan seperti ini. Saya tahu saya salah karena tidak mendengarkan ucapan Bapak tempo hari. Tapi tolong jangan perlakukan saya begini!”
“Perlakukan seperti apa?” Suara itu membuat Praba dan Sinar mau tak mau menoleh pada sumber suara.
Mereka mendapati Talita berdiri sambil menatap Praba dan Sinar bergantian. Tampak tenang, tetapi ada kobaran api dalam tatapan matanya. Langkah kakinya memutus jarak, senyum kecilnya terukir di bibirnya. Berpura-pura tidak tahu apa yang baru saja didengar.
“Ibu.” Sinar seketika mundur dengan ekspresi ketakutan. Namun, Praba justru mencekal tangan Sinar dengan cepat untuk memertahankan posisi Sinar agar tidak menjauh darinya.
Talita menatap tangan Praba itu dengan tatapan tajam yang tidak bisa disembunyikan. “Sepertinya baru saja terjadi sesuatu.” Talita menatap Sinar dengan sinis. “Apa saya ketinggalan berita?” Ketika kata ‘saya’ digunakan oleh Talita untuk dirinya sendiri, itu berarti dia tengah bicara dengan Sinar.
Sinar seketika memberontak ingin melepaskan cekalan tangannya dari Praba. Dia tak ingin ada kesalah pahaman yang terjadi antara dirinya dengan Talita. Sinar juga memilih menatap Talita sambil menggelengkan kepalanya tanda jika semua yang dilihat ini tidak seperti yang dipikirkan.
“Ibu tolong jangan salah paham dengan apa yang Ibu lihat.” Sinar membuka suara. “Tidak terjadi apa pun antara saya dan Pak Praba.”
“Begitu? Lalu ada apa ini?” Talita lagi-lagi tersenyum, tetapi penuh dengan kemarahan di pancaran matanya. “Baru satu malam tinggal satu atap, kalian terlihat sudah sangat akrab.”
“Tidak ada alasan suami istri bersikap tidak akrab, bukan?” Praba menatap Sinar. “Bukan begitu Sinar?”
“Tidak.” Sinar menggeleng cepat. “Demi Tuhan, saya dan Pak Praba tidak … ini tidak seperti yang Ibu kira.” Sinar berusaha menjelaskan dengan sedikit terbata. Ada sedikit rasa putus asa dalam suaranya.
“Memangnya apa yang saya pikirkan, Sinar?” Talita menggeleng. “Saya percaya kepada Mas Praba jika dia lelaki yang bisa dipercaya. Benar, ‘kan, Mas?”
Praba mengedikkan bahunya. “Anggap saja begitu.”
Praba sama sekali tidak melepaskan cekalan tangannya dari tangan Sinar dan justru menggenggamnya semakin erat. Lelaki itu menatap Talita dengan penuh keyakinan. “Memiliki istri dua, ternyata tidak seburuk yang saya bayangkan.” Praba menyeringai kecil membuat Talita mengeratkan rahangnya.
“Pak, tolong lepaskan tangan saya.” Sinar lelah memberontak, meminta secara baik-baik agar Praba melepaskan tangannya. “Tolong jangan tempatkan saya di situasi yang sulit.”
“Sinar benar, Mas. Lepaskan dia. Sinar butuh istirahat.”
“Kamu Benar.” Praba menjawab. “Sinar, kita ke kamar sekarang.” Praba menarik tangan Sinar agar Sinar mengikutinya.
“Lepaskan Sinar, Mas!” Talita memberi peringatan. “Jangan buat hubungan kita semakit rumit.”
Tiga orang itu kini benar-benar bersitegang. Sinar terus memberontak, Praba semakin mengencangkan cekalannya, sedangkan Talita tampak sudah tidak sabar dengan sikap Praba.
“Malam ini aku juga akan menginap di sini.” Talita tampak menahan dirinya agar tidak mengeluarkan sumpah serapahnya melihat adegan menjijikkan di depannya.
Hal itu membuat Sinar menutup matanya dengan erat mendengar ucapan Talita. Dia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi malam ini. Pertengkaran dan pertikaian.
“Sinar, kamu nggak keberatan ‘kan kalau saya menginap di sini malam ini?” tanya Talita dengan gigi bergemelatuk.
“Tentu saja tidak, Bu. Ini adalah rumah Ibu. Ibu berhak menempatinya.” Bagi Sinar, ide itu sangat baik untuknya agar Praba tidak bersikap seperti sekarang.
Talita mengangguk. “Jadi, Mas, karena ada aku di sini, kita akan menempati kamar yang sama.”
Praba tidak segera menjawab. Dia justru hanya menatap Talita dengan ekspresi dingin. Lelaki itu lantas menggeleng.
“Kalau kamu mau menginap di sini, lakukan saja. Tapi, kita tetap tidak akan tidur satu kamar.”
Mata Talita seketika menatap tajam ke arah suaminya. Tatapan itu seolah menuntut Praba agar lelaki itu memeperjelas ucapannya. Sinar merasa dirinya terjepit dalam situasi yang begitu tidak menyenangkan.
“Jadi, kamu sekarang sedang menikmati peranmu menjadi seorang suami beristri dua, Mas?” Talita masih bersikap tenang.
“Anggap saja begitu.” Praba mengangguk setuju. Tatapannya kini beralih pada Sinar yang tampak tertekan. “Toh kamu dengan sukar rela meminta saya untuk menikahi Sinar.”
Tatapan Talita beralih pada Sinar yang tampak begitu sinis. Tentu saja dia tak senang jika pada akhirnya keinginannya untuk memiliki anak justru menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Keinginannya untuk mempertahankan Praba di sisinya justru membuat Praba memiliki alasan lepas dari tangannya.
Bukan ini yang Talita inginkan. Maka dari itu, satu-satunya cara adalah dengan menekan Sinar agar perempuan itu bersikap tegas.
“Ingat! Nasib Surya ada di tanganmu, Sinar.” Talita akhirnya memprofokasi. Perempuan itu tersenyum, tetapi penuh dengan kekejaman di dalamnya. “Berhati-hatilah dalam bertindak.”
“Kalau Ibu dan Bapak ingin berselisih, silakan lakukan di belakang saya.” Sinar akhirnya bersuara.
Sinar memang dalam keadaan terjepit. Dia juga tahu sekarang dia sedang dimanfaatkan oleh dua orang itu untuk mencapai tujuan mereka. Namun, dia bukan boneka yang bisa ditarik ke sana-kemari agar dirinya mengikuti keinginan salah satu dari mereka.
“Saya tidak akan mengulangi apa pun yang saya katakan.” Sinar menatap Talita dan Praba bergantian. Terserah kalau memang dia dianggap lancang dan teralu berani.
“Tolong jangan membuat saya tertekan.” Sinar kini menatap Talita. “Saya sedang hamil anak kalian dan kita sudah menandatangi perjanjian yang kita buat. Kita sama-sama membutuhkan di sini. Ibu membutuhkan saya dan saya membutuhkan Ibu. Pak Praba, saya paham Bapak sejak awal tidak menyutujui ide yang Bapak anggap gila, tapi anak ini sudah ada di dalam perut saya. Semua sudah terjadi. Jadi, tolong kerja samanya.”
“Sinar benar.” Talita menanggapi cepat. “Jadi, Mas, Mas tidak bisa mengelak lagi kalau sebentar lagi kita akan menjadi orang tua.”
“Saya tidak sedang mengelak.” Praba menarik Sinar sehingga membuat Sinar menempel pada tubuhnya. Dia lantas memeluk pundak Sinar di depan Talita. “Justru saya sedang berperan sebagai ayah dan suami yang baik. Setelah anak ini lahir, saya bisa menentukan dengan siapa saya akan bertahan dan membesarkan anak ini. Denganmu, dengan Sinar, atau bahkan tidak dengan keduanya.”
***
Sinar mendorong tubuh Praba sampai rangkulan lelaki itu terlepas. Dia merasa jengah dengan sikap dua orang kaya yang ada di depannya. Praba bahkan sedikit terkejut ketika Sinar berhasil lepas dari rangkulannya. Sinar yang masih mengetatkan rahangnya itu segera berbicara. “Saya tidak ingin terlibat dengan masalah Ibu dan Bapak. Keberadaan saya di sini sudah cukup jelas. Saya harap, sampai bayi ini lahir, saya bisa hidup dengan tenang.” Sinar menatap Talita dan Praba dengan berani. “Tolong jangan libatkan saya dalam pertengkaran Ibu dan Bapak. Permisi.” Sinar memilih masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Dia duduk di pinggiran ranjang dengan tangan saling meremas. Mensugesti dirinya sendiri jika dia mampu melewati semuanya. Posisi dirinya dan Talita seharusnya sama. Sama-sama saling membutuhkan. Di luar ruangan, Praba dan Talita masih saling mengeluarkan aura permusuhan. Namun, seolah enggan untuk berhadapan dengan istrinya lebih jauh lagi, Praba memilih berbalik dan pergi ke k
“Saya tidak tahu seperti apa hubungan Ibu dan Pak Praba sebelum ini dan saya juga tidak berniat untuk tahu.” Suara Sinar memecah keheningan malam di halaman depan rumah satu lantai yang ditempatinya.“Tapi kalau Ibu berpikir saya begitu senang dengan sikap Pak Praba kepada saya, Ibu salah besar. Terlebih lagi ketika Ibu mengancam saya ingin mengatakan ‘pekerjaan’ saya yang sekarang kepada adik saya. Itu sungguh tidak bisa dibenarkan.”Setelah Sinar mendengar ucapan Talita tentang ancaman Sinar secara terselubung, Sinar sama sekali tidak menanggapi dan dia fokus pada kegiatannya membuat kopi. Setelah makan malam selesai, dia segera meminta kepada Talita untuk bicara berdua.“Dibandingkan dengan saya, Ibu tentu jauh lebih segalanya. Ibu benar, Pak Praba tidak akan mungkin menyukai saya kecuali semua sikapnya itu hanya untuk membuat Ibu marah. Ibu tentu setuju dengan saya, ‘kan?”Talita tidak menanggapi, tetapi tatapannya mengarah lurus pada Sinar dan tampak begitu dingin. Sinar seolah d
Mata Sinar berbinar cerah ketika dia melihat sebuah mangga muda di depannya. Dia bahkan meneguk ludahnya hanya dengan membayangkan menggigit buah itu dan mencecapnya. Tanpa memedulikan keberadaan Praba di rumah ini di pagi hari, Sinar hanya fokus pada buah mangga yang tidak begitu besar tersebut. “Cuma satu, Bi?” tanya Sinar kepada Bibi. “Iya, Bu. Di pasar adanya yang udah matang. Jadi, saya mintakan ke orang desa.” Rumah yang ditempati Sinar adalah rumah pinggiran kota dan bukan berada di perumahan. Itu seperti sebuah desa yang tertata begitu indah. Jadi, kepedulian antara satu sama lain masihlah begitu kental. “Memang nggak papa, Bi?” tanya Sinar lagi. “Nggak papa, Bu. Bahkan kalau Ibu mau lagi, boleh ambil lagi.” Sinar tersenyum lebar mendengar penuturan Bibi. Mangga yang sudah diiris tanpa dikupas itu segera tersaji di depan Sinar. “Saya makan, ya, Bi,” kata Sinar dengan semangat. Mengambil sepotong kecil mangga dan memberinya garam yang ada di piring yang sama. Senyum Sin
[Kak, pihak rumah sakit mengatakan jika pengobatan untukku diberhentikan.]Pijar baru saja mau menyuapkan makan siang ke dalam mulutnya ketika Surya menelponnya. Hari ini adalah waktunya sang adik untuk melakukan terapi. Namun, kabar buruk itu justru didapatkan. Jantung Pijar tiba-tiba bertalu dengan kencang dan wajahnya tampak pucat. Matanya bergetar, pun dengan sekujur tubuhnya terasa kaku. “Surya, kamu sudah memastikannya lagi? Pengobatanmu sudah ditanggung dan tidak mungkin dibatalkan begitu saja tanpa konfirmasi.” [Aku nggak bohong, Kak. Memang itulah yang terjadi.] Sinar kali ini tidak bisa berkata-kata. Tangannya yang masih memegangi ponselnya itu terasa dingin luar biasa. Di dalam pikirannya, dia menduga jika Talita lah yang melakukannya. Jika tidak, maka semua ini tidak akan mungkin terjadi. Setelah Sinar pindah dari rumah, ini adalah kali kedua Surya berobat dengan uang Talita. Apa mungkin secepat itu Talita mengubah perjanjiannya? Apa semua ini karena kecemburuan Talit
Suara Praba di belakang Sinar itu mau tak mau menimbulkan gejolak emosi di dalam hatinya. Aroma amarah itu terasa begitu kental ketika Sinar berdiri dan menatap Praba dengan tatapan tajam. Dengan suara bergetar, dia lantas bersuara. “Bapak pikir ini lelucon? Bapak pikir nyawa adik saya adalah sebuah permainan yang begitu mudah Bapak permainkan begitu saja?” Sinar menggenggam ponselnya dengan kuat seolah dia ingin meremukkan benda tersebut menjadi abu. Selama ini dia hanya diam dan berusaha untuk menahan diri setiap ada perdebatan. Dia sudah mendapatkan peringatan keras dari Talita untuk menghindari Praba. Padahal, bukan Sinar yang mendekat melainkan Praba lah yang sengaja melakukannya untuk memancing kemarahan Talita. Di sisi lain, Praba melakukan hal yang sama dan kali ini lebih ekstrim. Lelaki itu bahkan langsung pada titik inti masalah. Yaitu mengulik langsung pada Surya yang otomatis membuat Sinar akan melemah. Mata Sinar berkaca-kaca menatap Praba yang tampak begitu tenang. Di
Talita praktis merasa kebenciannya melonjak begitu besar setelah Praba mengaku jika dia tertarik kepada Sinar. Memang dia tak mengucapkannya secara gamblang, tetapi Talita cukup paham dengan perasaan lelaki itu. Rencana yang dianggap berhasil itu nyatanya menjadi boomerang baginya. Dia memang akan segera memiliki anak, tetapi bukan tidak mungkin kalau dia justru akan kehilangan lelaki yang paling dicintainya. “Sialan!” Talita berteriak mengeluarkan segala rasa kesalnya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa perlu dia harus menjauhkan Praba dari Sinar agar perasaan lelaki itu tidak berkembang semakin pesat? Kenapa semuanya menjadi semakin rumit? Talita berjalan mondar-mandir di ruangan kerjanya dengan emosi yang membara. Dia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, kenapa sejak dulu Praba tidak pernah mencintainya? Kenapa sejak dulu Praba selalu mengabaikannya? Dia sudah melakukan segalanya, melewati segala rintangan yang ada di depannya. Semata hanya untuk satu nama, Prabaswara W
“Bu Talita sudah pergi. Tolong singkirkan tangan Bapak.” Sinar memecah keheningan setelah Talita pergi dari rumah yang ditempati Sinar. Setelah melihat adegan suami istri yang terlihat begitu harmonis, Talita pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Perempuan itu tampaknya tidak tahan dengan segala hal yang dilihat. Mungkin saja perempuan itu berpikir, di depannya saja Praba sanggup melakukan itu. Bagaimana kalau di belakangnya. “Bapak seharusnya mengejar Bu Talita. Dia sedang kacau dan kalau terjadi sesuatu dengannya, Bapak yang patut bertanggung jawab.” Sinar mengimbuhkan. “Tidak perlu mengajari saya bagaimana saya harus bertindak.” Setelah mengatakan itu, Praba pergi begitu saja dari hadapan Sinar. Masuk ke dalam kamar dan membanting pintu tersebut dengan kuat. Sinar hanya bisa menghela napasnya panjang setelah itu. Namun, memilih untuk tidak mengacuhkannya. Tampaknya, adegan malam itu memukul telak perasaan Talita sampai di relung hatinya. Sebab setelah itu, perempuan itu tid
Sinar pikir, ngidam tentang Praba sudah berakhir. Nyatanya, itu masih berlanjut dan membuatnya kelimpungan tak karuan. Bagaimana tidak, Sinar bahkan tidak bisa melepaskan tatapannya pada sosok Praba yang kini tengah sibuk dengan tabletnya. Bak remaja tanggung, dia seperti seorang gadis yang diam-diam tengah jatuh cinta kepada sang kakak kelas. Lantas mengambil kesempatan untuk melirik ketika pria itu ada di depannya. Sinar sudah mati-matian menahan diri agar tidak melemparkan tatapannya pada sosok Praba, sayangnya hanya dalam hitungan detik, lirikan itu kembali tertuju pada wajah lelaki itu. “Sekarang apa? Sejak tadi kamu mencuri pandang ke arah saya.” Sinar yang tertangkap basah melirik Praba itu terkejut ketika suara si empunya wajah bersuara. Praba masih sibuk dengan tabletnya, tetapi dia bahkan tahu jika Sinar sejak tadi terus saja melirik kepadanya. Sinar mengabaikan ucapan Praba dan berpura-pura sibuk dengan ponsel yang ada di genggamannya. Namun, ketika dia mengangkat waja
Halaman belakang rumah besar Praba dipenuhi keceriaan yang luar biasa. Askara, Bhumi, dan Cherry berdiri di depan panggangan barbeque sambil sesekali saling menyenggol. Namun, kali ini tidak ada yang mencoba untuk melerainya.Para pekerja juga membantu mereka memanggang banyak makanan. Aroma makanan menguar tiada henti. Begitu nikmat luar biasa. Cherry pergi lebih dulu, lalu duduk dan bergabung dengan kedua orang tuanya.“Makan dulu, Bos.” Begitu katanya kepada sang ayah juga ibunya. “Ayo, Bunda makan dulu. Mengobrol juga butuh tenaga.”Ya, tidak ada yang salah dengan panggilan Cherry karena di sana memang ada Talita. Setelah obrolan Talita dan Sinar saat itu, hubungan dua perempuan itu lambat laun membaik. Mereka menekan ego mereka demi Askara.Begitu juga dengan Praba dan anak-anak mereka. Bhumi dan Cherry bahkan ikut-ikutan memanggil Talita dengan bunda. Jika dalam kondisi yang lalu, Talita pasti akan merasa keberatan, tetapi sekarang tentu berbeda. Dia bahkan merasa memiliki tiga
“Sebagai seorang ibu, kita adalah dua orang yang sama-sama menyayangi dan mencintai Askara. Dia memintaku untuk mempertimbangkan agar kita bisa berdamai.”Talita secara pribadi datang ke rumah Sinar dan membicarakan masalah tersebut setelah dia berpikir secara terus menerus. Dia menarik garis ke belakang dan memikirkan tentang masa lalu yang sudah terjadi. Jika dia menyalahkan Sinar sepenuhnya dan menganggap perempuan itu salah, maka itu tidak benar.Sinar dulu juga seorang korban. Dia juga perempuan yang sudah memberikan cintanya dengan penuh kepada Askara. Tidak sekalipun dia merasa terganggu dengan kehadiran putranya tersebut.“Selama ini saya tidak pernah ingin berseteru dengan Ibu secara terus menerus. Hanya saja, Ibu masih menganggap saya adalah orang yang harus Ibu musuhi.” Itu adalah jawaban yang diberikan oleh Sinar. “Melihat bagaimana hubungan kita selama ini, saya yakin itu menjadikan tekanan sendiri bagi Askara. Itulah kenapa dia ingin melihat kita berdamai.”Sinar menging
“Abang nggak jadi ke luar negeri, Ma.”Sinar yang sedang membuatkan sandwich untuk Askara itu segera mendongak menatap putranya yang tengah duduk di stole bar. Anggota keluarganya yang lain sedang sibuk sendiri-sendiri dan hanya ada Sinar dan Askara saja di sana.“Abang bicara banyak dengan Bunda. Bunda pun mengerti tentang keinginan Abang. Kalaupun toh nanti misalnya Abang ingin sekolah di sana, itu atas dasar keinginan Abang sendiri. Tapi, sampai sekarang, Abang belum ingin. Abang masih lebih suka di negeri sendiri.”Sinar meletakkan sandwich-nya ke atas piring lalu meletakkan di depan Askara. “Mama senang mendengar itu.” Perempuan itu duduk di samping putranya dan menemani makan.“Abang berharap, Mama dan Bunda bisa berbaikan.”Kalimat itu membuat Sinar segera menoleh ke arah putranya. Tatapan remaja itu penuh pengharapan. Dia tampaknya ingin melihat kedua orang yang disayanginya tidak lagi berselisih paham. Askara tentulah tahu jika sebenarnya yang selalu membuat masalah antara ke
Untuk pertama kalinya, Askara menghadiri acara keluarga Talita. Dia berusaha berbaur dengan keluarganya yang menerima Askara dengan sangat baik. Nenek dan kakeknya begitu bahagia melihat cucunya akhirnya datang dan berumpul dengan keluarga.“Nenek senang kamu ada di sini.” Askara menoleh dan mendapati seorang perempuan tua yang tampak masih begitu sehat. Tentu jika bersama dengan nenek dan kakeknya bukan pertama kalinya mereka bertemu, hanya saja dia selalu menolak untuk hadir ketika acara-acara seperti ini dilakukan.“Nenek sudah makan?” tanya Askara mencoba untuk perhatian. “Aku lihat, sejak tadi hanya mondar-mandir ke sana-kemari. Nenek harus menjaga kesehatan.”Perempuan tua itu tersenyum lembut. Menarik tangan Askara, lalu menggenggamnya. “Nenek senang kalau cucu-cucu Nenek berkumpul seperti ini, hati Nenek terasa bahagia sekali.”Askara menatap langit yang mucul sekumpulan bintang-bintang. Indah sekali. Sayangnya ini bukan bulan purnama. Jika bulan purnama, sekarang ibunya pasti
Kedua tangan Askara maupun Talita penuh dengan barang belanjaan. Talita benar-benar membeli banyak barang untuk dirinya sendiri dan juga Askara. Setelah keluarga bersama dengan Talita, melepaskan segala beban yang selama ini dirasakan, Askara sedikit luluh dengan sikap ibunya.“Terima kasih. Abang sudah bersedia berjalan-jalan dengan Bunda.”Mereka sudah sampai di rumah dan sama-sama melepas lelah dengan duduk di sofa. Askara segera membaringkan tubuhnya di sofa dan memeluk bantal sofa. Memainkan ponselnya sebentar sebelum meletakkannya kembali.“Kalau ngantuk, naik gih, tidur di kamar.” Talita menepuk kaki Askara, lalu mengelus pelan kaki tersebut.“Aku di sini aja. Jendelanya biarin kebuka aja, Bun. Nggak usah pakai AC.” Askara menutup matanya setelah itu. Dia sepertinya benar-benar lelah luar biasa.Talita membuka jendela-jendela lebar itu agar angin bisa masuk. Membuat Askara menjadi nyaman luar biasa. Lelaki itu segera saja terlelap dalam tidurnya. Jika Askara sudah memutuskan un
“Cerita Tante ternyata cukup rumit.” Tanggapan Bastian setelah itu. Menatap Askara setelah itu. “Bagaimana tanggapan lo tentang itu, Askara?”Askara menanggapi santai. “Gue udah pernah cerita itu dari Papa. Nggak beda jauh. Hanya beda sudut pandang.”“Papamu menceritakannya?” Talita mengernyit, lalu dia mengingat sesuatu. “Apa karena saat Bunba minta kamu bertanya tentang waktu itu ….”“Ya.” Askara memotong ucapan ibunya. “Papa sudah cerita semuanya.”“Lalu, apa tanggapanmu?” tanya Bastian lagi. “Menurut gue, ini terlalu rumit.”“Kehidupan orang tua selalu rumit dan gue benci itu.” Askara menarik napasnya panjang. “Bukankah keegoisan mereka sehingga membuat gue harus berada dalam masalah? Harus memilih di antara dua ibu.” Askara tersenyum kecil. “Percayalah, itu sangat menyebalkan.”Akhirnya, Askara mengungkapkan isi hatinya yang terpendam. Sejak kecil dia harus ditarik ke sana-kemari untuk hidup dan tinggal bersama mereka. Dia kesal luar biasa.Ruangan itu seketika hening karena keju
“Ma, Abang akan menginap di rumah Bunda,” pamit Askara kepada Sinar. Weekend ini dia ingin mencoba membuka hatinya untuk ‘melihat’ lebih dekat kehidupan yang dijalani oleh Talita. Seperti yang Bastian katakan, dia ingin benar-benar memahami posisi Talita.Dia selama ini selalu marah dan tertekan jika Talita memintanya untuk tinggal bersama dengannya. Baginya, Talita tidak seperti Sinar yang sangat dia sayangi. Sekarang, dia sudah berpikir lebih dingin dan dia ingin menjalani semuanya dengan lebih tenang.“Abang sudah bilang kepada Bunda kalau Abang mau datang?” tanya Nilam. “Biasanya Bunda yang akan menjemput Abang.”“Nanti pulang sekolah langsung diantar supir ke rumah Bunda, Ma. Aku udah bilang sama Bunda juga.”Sinar diam tak segera menanggapi karena dia merasa Askara sudah mulai terbuka dengan Talita. Ada rasa takut, tetapi dia juga tidak bisa menghentikan.“Ya sudah. Abang hati-hati. Kalau ada apa-apa langsung bilang ke Mama.” Sinar mengelus pundak putranya dengan lembut.“Iya, M
“Askara!”Panggilan itu membuat Askara menoleh. Dia mendapati seorang lelaki muda berdiri tak jauh darinya dan menatapnya. Lelaki itu tersenyum sebelum mendekat ke arahnya.“Gue udah lama nunggu.”Askara tidak mengenal lelaki itu. Oleh karena itu dia hanya memberi tatapan penuh tanya ke arah lelaki itu. Tahu jika dia harus memperkenalkan dirinya, lelaki itu lantas mengulurkan tangannya.“Gue Bastian. Sepupu lo.”Barulah Askara menyadari jika lelaki itu adalah lelaki yang dimaksud oleh bundanya. Sepupu yang kuliah di luar negeri. Askara menerima uluran tangan lelaki itu. “Askara.”Bastian tampak masih tersenyum. “Ada kafe di depan, kita ke sana? Sekalian ngobrol.” Askara tidak langsung menjawab dan tampak berpikir, tetapi Bastian segera bersuara. “Nanti gue antar pulang.”“Nggak perlu, gue bisa pulang sendiri. Gue nunggu sopir atau adik-adik gue buat pamit.” Askara menoleh ke sana-kemari untuk mencari keberadaan kedua adiknya, tetapi mereka tidak juga muncul.Lantas dia mengeluarkan po
“Kalau bukan karena dia, Talita masih tetap akan menjadi menantu keluarga kita.”“Cukup!” Dimas berteriak membentak Cindy. “Mama ini benar-benar, ya. Mau sampai kapan Mama terus memusuhi Sinar. Ini sudah lama sejak Praba dan Sinar menikah. Kehidupan mereka baik-baik saja sampai sekarang, tapi Mama masih bertahan dengan ego Mama.”“Kalau Oma nggak suka sama kami, sebenarnya nggak masalah.” Bhumi bersuara. “Tapi nggak perlu menjelekkan Mama. Mama adalah mama terbaik buat kami.”“Tahu apa kamu tentang ibumu? Ibumu adalah perempuan yang mengambil suami perempuan lain. Dia itu pelakor.” Cindy semakin tua mulutnya benar-benar luar biasa menyebalkan.“Kalau Mama terus saja menyebut istriku seperti itu, lebih baik Mama tidak perlu datang ke rumah ini.” Praba sudah muak dengan segala macam hinaan yang dikeluarkan Cindy kepada istrinya.Tidak sedikitpun Cindy merasa tersentuh dengan kebaikan Sinar selama ini. Bahkan suatu hari dia pernah dirawat di rumah sakit dan Sinar yang menjaganya sampai k