Share

Part 7. Layaknya Istri Sungguhan

“Apa maksud Bapak mengatakan itu?” 

Sinar mundur dengan jantung terasa terguncang mendengar ucapan Praba pagi ini. Sungguh, ini sangat mengejutkan untuknya. Tiba-tiba saja Sinar mengelus perutnya seolah dia tengah melindungi janin yang ada di dalamnya. 

“Kalau Bapak tidak ingin memiliki anak dengan Bu Talita, kenapa … Bapak pada akhirnya menerima rencana itu?” Sinar sungguh merasa hampir gila karena pasangan tersebut. Ini baru berjalan beberapa hari, tetapi semua sudah seperti benang kusut yang semakin terpaku satu sama lain. 

“Dan inilah permainannya, Sinar.” Setelah mengatakan itu, Praba lantas pergi meninggalkan rumah satu lantai yang ditempati oleh Sinar itu menggunakan mobilnya. 

Sinar masih mematung di tempatnya dengan jantung yang masih berdetak dengan kencang. Dia mencoba untuk tidak mempercayai ucapan Praba. Akan tetapi jika dia mengingat bagaimana Praba dan Talita, bagaimana interaksi dua orang tersebut satu sama lain, Sinar merasa segala yang diucapkan oleh Praba adalah sebuah kebenaran. 

Penolakan itu bukan karena Praba mencintai Talita, melainkan karena dia memang tidak mencintai istrinya. Lelaki itu tidak ingin memiliki anak dengan orang yang tidak dicintainya. Sebuah ingatan tentang pertengkaran Praba dan Talita malam itu membuat Sinar kembali mencerna. 

Sinar tidak salah mendengar jika Praba mengatakan dia tak akan pernah meninggalkan Talita meskipun perempuan itu tak bisa memberinya anak. Semuanya terasa seperti sebuah teka-teki bagi Sinar. 

“Bu Sinar.” 

Segala lamunan yang baru saja menggelung Sinar itu kini buyar begitu saja. Bibi mendekat dan menatap Sinar, memastikan jika majikannya baik-baik saja. 

“Ibu baik-baik saja?” tanya Bibi. “Ibu sudah berdiri di sini beberapa menit dan tidak bergerak.” 

“Saya baik-baik aja, Bi. Tolong apa pun yang terjadi pagi ini jangan kasih tahu Bu Talita, ya, Bi. Ucapan Pak Praba itu …” Sinar menarik napasnya panjang. “Birkan kita saja yang tahu.” 

Bibi mengangguk ragu. “Lalu bagaimana dengan Bu Talita, Bu? Kalau beliau tahu ibu mengerjakan pekerjaan rumah tangga meskipun itu hanya masak, saya yang akan mendapatkan teguran.” 

“Biarkan nanti saya yang bicara. Sebelum ini saya bekerja sebagai asisten chef dan memasak adalah hal yang sangat saya sukai. Dan mengurus suami tentu untuk pertama kali akan aku lakukan.” Kalimat terakhir itu tentu saja Sinar ucapkan di dalam hati. 

Apa pun yang baru saja didengar dari mulut Praba sebelumnya, dia akan menutupinya. Biarkan saja itu menjadi rahasianya. Yang penting baginya sekarang adalah dia bisa melindungi janin yang ada di dalam kandungannya. 

*** 

“Maaf, Bu, ini ada beberapa barang milik Pak Praba. Saya diminta mengantarkan ke rumah ini.” 

Sinar bisa melihat satu koper besar yang pasti berisi pakaian beserta tiga box barang yang Sinar tidak tahu apa isinya, diletakkan di tengah-tengah ruang tamu. Dia tadinya sedang beristirahat di dalam kamarnya ketika Bibi memberitahukan tentang kedatangan dua orang pengantar barang. 

Sinar bahkan tidak tahu harus bersikap seperti apa. Praba ternyata bersungguh-sungguh akan tinggal di rumah ini. Sinar pikir, mungkin saja lelaki itu akan membagi waktunya dengan tinggal di rumah ini dan di rumah Talita. 

“Terima kasih, Pak. Tolong bilang kepada Pak Praba kalau saya sudah menerimanya.” Pada akhirnya, Sinar bersuara dan memberikan senyum ramahnya. 

“Baik kalau begitu, Bu. Kami pamit dulu.” 

Sinar mengangguk dan memberikan jawaban singkat berupa, ‘Ya’ Sebelum dia menarik napasnya panjang. Meminta Bibi agar membawa barang-barang Praba ke dalam kamar yang ditempati lelaki itu. 

Jika sudah begini, maka yang harus dilakukan Sinar adalah bersabar menghadapi ‘suaminya’ tersebut dengan hati yang lapang. Belum lagi masalah Talita yang pasti akan membuatnya semakin sakit kepala. 

Hidup Sinar benar-benar berubah hanya dalam waktu satu bulan. Segalanya menjadi semakin rumit dan memusingkan. 

Deringan ponsel yang ada di genggaman Sinar bergetar dan memunculkan nama Surya di sana. Sinar sampai lupa mengabari adiknya setelah sampai di rumah barunya. 

“Sur.” Dia membuat nada bahagia agar adiknya tidak terdengar dia sedang banyak pikiran. 

[Kakak sepertinya bahagia di sana.] Suara Surya sedikit lemah seperti biasa. 

“Bagaimana dengan kamu? Kamu baik-baik saja, ‘kan?” Sinar menutup matanya dan bibirnya bergetar karena mengingat adiknya. Ada tangis yang ingin sekali keluar dari netranya yang berusaha ditahannya. 

[Keadaanku juga baik. Aku terus memikirkan Kakak. Kakak sudah berbuat begitu banyak buat aku.]

“Sudah seharusnya.” Sinar menjawab lembut. “Oh, ya, Kakak harus kembali bekerja. Nanti setelah Kakak pulang, Kakak telepon kamu lagi. Jangan lupa, bulan depan kita akan bertemu.” 

[Ya. Kakak selalu jaga kesehatan. Aku sayang Kakak.]

Sambungan itu terputus dan membuat Sinar tergugu di sofa ruang keluarga. Segalanya berubah hanya dalam waktu singkat. Sinar selalu mengatakan kepada dirinya sendiri jika semuanya akan baik-baik saja. Dia akan bertahan demi adik yang disayanginya. 

Tenggelam dalam kesedihan, membuat Sinar lupa waktu. Dia hanya terus melamun sampai matahari tengelam dan dia memutuskan untuk beranjak untuk membersihkan tubuhnya. Perutnya juga terasa lapar. Bayangan ayam pedas manis sudah menari di dalam kepalanya. 

Sinar memasak dibantu dengan Bibi dan Bibi selalu memastikan jika Sinar tidak kelelahan. “Bu Sinar kalau sudah capek, berhenti aja. Biar Bibi aja yang meneruskan.” Begitulah kata Bibi. 

Sinar hanya tersenyum kecil melihat kekhawatiran yang ditunjukkan Bibi kepadanya. “Saya baik-baik saja, Bi.” 

Sinar hanya mencoba untuk mengenyahkan segala pikiran buruk yang ada di dalam kepalanya. Setelah mendengar suara Surya, dia merasa ingin pulang dan menemui adiknya tersebut. Bagaimanapun, selama ini mereka tidak pernah terpisah kecuali saat Sinar sedang bekerja. 

Suara deruan mesin mobil membuat Sinar dan Bibi saling pandang, tak lama setelah itu, Praba masuk dengan wajah yang kusut dan tampak lelah. Sinar tidak ingin terlalu dekat dengan lelaki itu sehingga dia meminta Bibi untuk mendekat dan membawakan minuman. 

“Minumnya, Pak.” Begitu kata Bibi. 

“Kenapa Bibi yang bawakan? Saya punya istri dan seharusnya dia yang melayani saya.” Praba duduk dengan tenang di sofa sambil melepas jasnya. “Di mana Bibi meletakkan pakaian-pakaian saya?” tanya Praba lagi. 

“Di kamar yang Bapak tempati semalam.” Bibi sedikit bergetar ketika mendengar pertanyaan Praba. 

“Suami istri macam apa yang tidur di kamar terpisah?” Praba menoleh pada Bibi dengan ekspresi dingin. “Letakkan di kamar Sinar, saya akan tidur sekamar dengannya.” 

“Nggak!” Sinar yang mendengar pernyataan Praba itu segera mematikan kompor dan mendekati Praba setengah berlari. “Pak, tolong jangan memperumit saya. Saya sudah bilang ….” 

“Saya tidak butuh izin dari kamu dan saya tidak butuh persetujuan kamu, Sinar!” Praba memotong ucapan Sinar dengan tegas. “Mulai malam ini, kita akan tidur di kamar yang sama. Atau bahkan, lakukan tugasmu sebagai seorang istri.” 

Praba berjalan mendekati Sinar dan lagi-lagi menatap penuh pada gadis itu. “Melayani saya selayaknya seorang istri sungguhan.” 

*** 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status