“Apa maksud Bapak mengatakan itu?”
Sinar mundur dengan jantung terasa terguncang mendengar ucapan Praba pagi ini. Sungguh, ini sangat mengejutkan untuknya. Tiba-tiba saja Sinar mengelus perutnya seolah dia tengah melindungi janin yang ada di dalamnya.
“Kalau Bapak tidak ingin memiliki anak dengan Bu Talita, kenapa … Bapak pada akhirnya menerima rencana itu?” Sinar sungguh merasa hampir gila karena pasangan tersebut. Ini baru berjalan beberapa hari, tetapi semua sudah seperti benang kusut yang semakin terpaku satu sama lain.
“Dan inilah permainannya, Sinar.” Setelah mengatakan itu, Praba lantas pergi meninggalkan rumah satu lantai yang ditempati oleh Sinar itu menggunakan mobilnya.
Sinar masih mematung di tempatnya dengan jantung yang masih berdetak dengan kencang. Dia mencoba untuk tidak mempercayai ucapan Praba. Akan tetapi jika dia mengingat bagaimana Praba dan Talita, bagaimana interaksi dua orang tersebut satu sama lain, Sinar merasa segala yang diucapkan oleh Praba adalah sebuah kebenaran.
Penolakan itu bukan karena Praba mencintai Talita, melainkan karena dia memang tidak mencintai istrinya. Lelaki itu tidak ingin memiliki anak dengan orang yang tidak dicintainya. Sebuah ingatan tentang pertengkaran Praba dan Talita malam itu membuat Sinar kembali mencerna.
Sinar tidak salah mendengar jika Praba mengatakan dia tak akan pernah meninggalkan Talita meskipun perempuan itu tak bisa memberinya anak. Semuanya terasa seperti sebuah teka-teki bagi Sinar.
“Bu Sinar.”
Segala lamunan yang baru saja menggelung Sinar itu kini buyar begitu saja. Bibi mendekat dan menatap Sinar, memastikan jika majikannya baik-baik saja.
“Ibu baik-baik saja?” tanya Bibi. “Ibu sudah berdiri di sini beberapa menit dan tidak bergerak.”
“Saya baik-baik aja, Bi. Tolong apa pun yang terjadi pagi ini jangan kasih tahu Bu Talita, ya, Bi. Ucapan Pak Praba itu …” Sinar menarik napasnya panjang. “Birkan kita saja yang tahu.”
Bibi mengangguk ragu. “Lalu bagaimana dengan Bu Talita, Bu? Kalau beliau tahu ibu mengerjakan pekerjaan rumah tangga meskipun itu hanya masak, saya yang akan mendapatkan teguran.”
“Biarkan nanti saya yang bicara. Sebelum ini saya bekerja sebagai asisten chef dan memasak adalah hal yang sangat saya sukai. Dan mengurus suami tentu untuk pertama kali akan aku lakukan.” Kalimat terakhir itu tentu saja Sinar ucapkan di dalam hati.
Apa pun yang baru saja didengar dari mulut Praba sebelumnya, dia akan menutupinya. Biarkan saja itu menjadi rahasianya. Yang penting baginya sekarang adalah dia bisa melindungi janin yang ada di dalam kandungannya.
***
“Maaf, Bu, ini ada beberapa barang milik Pak Praba. Saya diminta mengantarkan ke rumah ini.”
Sinar bisa melihat satu koper besar yang pasti berisi pakaian beserta tiga box barang yang Sinar tidak tahu apa isinya, diletakkan di tengah-tengah ruang tamu. Dia tadinya sedang beristirahat di dalam kamarnya ketika Bibi memberitahukan tentang kedatangan dua orang pengantar barang.
Sinar bahkan tidak tahu harus bersikap seperti apa. Praba ternyata bersungguh-sungguh akan tinggal di rumah ini. Sinar pikir, mungkin saja lelaki itu akan membagi waktunya dengan tinggal di rumah ini dan di rumah Talita.
“Terima kasih, Pak. Tolong bilang kepada Pak Praba kalau saya sudah menerimanya.” Pada akhirnya, Sinar bersuara dan memberikan senyum ramahnya.
“Baik kalau begitu, Bu. Kami pamit dulu.”
Sinar mengangguk dan memberikan jawaban singkat berupa, ‘Ya’ Sebelum dia menarik napasnya panjang. Meminta Bibi agar membawa barang-barang Praba ke dalam kamar yang ditempati lelaki itu.
Jika sudah begini, maka yang harus dilakukan Sinar adalah bersabar menghadapi ‘suaminya’ tersebut dengan hati yang lapang. Belum lagi masalah Talita yang pasti akan membuatnya semakin sakit kepala.
Hidup Sinar benar-benar berubah hanya dalam waktu satu bulan. Segalanya menjadi semakin rumit dan memusingkan.
Deringan ponsel yang ada di genggaman Sinar bergetar dan memunculkan nama Surya di sana. Sinar sampai lupa mengabari adiknya setelah sampai di rumah barunya.
“Sur.” Dia membuat nada bahagia agar adiknya tidak terdengar dia sedang banyak pikiran.
[Kakak sepertinya bahagia di sana.] Suara Surya sedikit lemah seperti biasa.
“Bagaimana dengan kamu? Kamu baik-baik saja, ‘kan?” Sinar menutup matanya dan bibirnya bergetar karena mengingat adiknya. Ada tangis yang ingin sekali keluar dari netranya yang berusaha ditahannya.
[Keadaanku juga baik. Aku terus memikirkan Kakak. Kakak sudah berbuat begitu banyak buat aku.]
“Sudah seharusnya.” Sinar menjawab lembut. “Oh, ya, Kakak harus kembali bekerja. Nanti setelah Kakak pulang, Kakak telepon kamu lagi. Jangan lupa, bulan depan kita akan bertemu.”
[Ya. Kakak selalu jaga kesehatan. Aku sayang Kakak.]
Sambungan itu terputus dan membuat Sinar tergugu di sofa ruang keluarga. Segalanya berubah hanya dalam waktu singkat. Sinar selalu mengatakan kepada dirinya sendiri jika semuanya akan baik-baik saja. Dia akan bertahan demi adik yang disayanginya.
Tenggelam dalam kesedihan, membuat Sinar lupa waktu. Dia hanya terus melamun sampai matahari tengelam dan dia memutuskan untuk beranjak untuk membersihkan tubuhnya. Perutnya juga terasa lapar. Bayangan ayam pedas manis sudah menari di dalam kepalanya.
Sinar memasak dibantu dengan Bibi dan Bibi selalu memastikan jika Sinar tidak kelelahan. “Bu Sinar kalau sudah capek, berhenti aja. Biar Bibi aja yang meneruskan.” Begitulah kata Bibi.
Sinar hanya tersenyum kecil melihat kekhawatiran yang ditunjukkan Bibi kepadanya. “Saya baik-baik saja, Bi.”
Sinar hanya mencoba untuk mengenyahkan segala pikiran buruk yang ada di dalam kepalanya. Setelah mendengar suara Surya, dia merasa ingin pulang dan menemui adiknya tersebut. Bagaimanapun, selama ini mereka tidak pernah terpisah kecuali saat Sinar sedang bekerja.
Suara deruan mesin mobil membuat Sinar dan Bibi saling pandang, tak lama setelah itu, Praba masuk dengan wajah yang kusut dan tampak lelah. Sinar tidak ingin terlalu dekat dengan lelaki itu sehingga dia meminta Bibi untuk mendekat dan membawakan minuman.
“Minumnya, Pak.” Begitu kata Bibi.
“Kenapa Bibi yang bawakan? Saya punya istri dan seharusnya dia yang melayani saya.” Praba duduk dengan tenang di sofa sambil melepas jasnya. “Di mana Bibi meletakkan pakaian-pakaian saya?” tanya Praba lagi.
“Di kamar yang Bapak tempati semalam.” Bibi sedikit bergetar ketika mendengar pertanyaan Praba.
“Suami istri macam apa yang tidur di kamar terpisah?” Praba menoleh pada Bibi dengan ekspresi dingin. “Letakkan di kamar Sinar, saya akan tidur sekamar dengannya.”
“Nggak!” Sinar yang mendengar pernyataan Praba itu segera mematikan kompor dan mendekati Praba setengah berlari. “Pak, tolong jangan memperumit saya. Saya sudah bilang ….”
“Saya tidak butuh izin dari kamu dan saya tidak butuh persetujuan kamu, Sinar!” Praba memotong ucapan Sinar dengan tegas. “Mulai malam ini, kita akan tidur di kamar yang sama. Atau bahkan, lakukan tugasmu sebagai seorang istri.”
Praba berjalan mendekati Sinar dan lagi-lagi menatap penuh pada gadis itu. “Melayani saya selayaknya seorang istri sungguhan.”
***
“Mohon maaf, Pak. Tapi, saya tidak bisa melakukan itu.” Sinar tidak ingin terombang-ambing dalam tekanan yang begitu kuat dari Praba maupun Talita. “Kalau Bapak mau tinggal di sini, silakan. Tapi, saya nggak bersedia berada di satu kamar dengan Bapak.”Sinar sungguh tidak ingin dirinya dijadikan alat untuk pelampiasan amarah pasangan suami istri itu untuk saling serang. Setelah dia memikirkan banyak hal tentang hubungan Praba dan Talita, dia memang merasa jika dua orang itu tidaklah seakur yang dibayangkan. Hubungan mereka tidak harmonis, dan dia tak ingin terseret terlalu jauh.Sayangnya, ucapan Sinar tidak memengaruhi Praba. Dia bukan sedang berdiskusi dengan Sinar, melainkan mengambil keputusannya sendiri.Mengerti situasi, Bibi hendak pergi dari hadapan dua orang yang mengeluarkan aura ketegangan. Namun, langkah Bibi dihentikan oleh suara Praba.“Bibi!” panggilnya dengan suara rendah nan dingin. “Tinggal pilih saja, barang saya yang dipindahkan di kamar Sinar, atau barang Sinar ya
Sinar mendorong tubuh Praba sampai rangkulan lelaki itu terlepas. Dia merasa jengah dengan sikap dua orang kaya yang ada di depannya. Praba bahkan sedikit terkejut ketika Sinar berhasil lepas dari rangkulannya. Sinar yang masih mengetatkan rahangnya itu segera berbicara. “Saya tidak ingin terlibat dengan masalah Ibu dan Bapak. Keberadaan saya di sini sudah cukup jelas. Saya harap, sampai bayi ini lahir, saya bisa hidup dengan tenang.” Sinar menatap Talita dan Praba dengan berani. “Tolong jangan libatkan saya dalam pertengkaran Ibu dan Bapak. Permisi.” Sinar memilih masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Dia duduk di pinggiran ranjang dengan tangan saling meremas. Mensugesti dirinya sendiri jika dia mampu melewati semuanya. Posisi dirinya dan Talita seharusnya sama. Sama-sama saling membutuhkan. Di luar ruangan, Praba dan Talita masih saling mengeluarkan aura permusuhan. Namun, seolah enggan untuk berhadapan dengan istrinya lebih jauh lagi, Praba memilih berbalik dan pergi ke k
“Saya tidak tahu seperti apa hubungan Ibu dan Pak Praba sebelum ini dan saya juga tidak berniat untuk tahu.” Suara Sinar memecah keheningan malam di halaman depan rumah satu lantai yang ditempatinya.“Tapi kalau Ibu berpikir saya begitu senang dengan sikap Pak Praba kepada saya, Ibu salah besar. Terlebih lagi ketika Ibu mengancam saya ingin mengatakan ‘pekerjaan’ saya yang sekarang kepada adik saya. Itu sungguh tidak bisa dibenarkan.”Setelah Sinar mendengar ucapan Talita tentang ancaman Sinar secara terselubung, Sinar sama sekali tidak menanggapi dan dia fokus pada kegiatannya membuat kopi. Setelah makan malam selesai, dia segera meminta kepada Talita untuk bicara berdua.“Dibandingkan dengan saya, Ibu tentu jauh lebih segalanya. Ibu benar, Pak Praba tidak akan mungkin menyukai saya kecuali semua sikapnya itu hanya untuk membuat Ibu marah. Ibu tentu setuju dengan saya, ‘kan?”Talita tidak menanggapi, tetapi tatapannya mengarah lurus pada Sinar dan tampak begitu dingin. Sinar seolah d
Mata Sinar berbinar cerah ketika dia melihat sebuah mangga muda di depannya. Dia bahkan meneguk ludahnya hanya dengan membayangkan menggigit buah itu dan mencecapnya. Tanpa memedulikan keberadaan Praba di rumah ini di pagi hari, Sinar hanya fokus pada buah mangga yang tidak begitu besar tersebut. “Cuma satu, Bi?” tanya Sinar kepada Bibi. “Iya, Bu. Di pasar adanya yang udah matang. Jadi, saya mintakan ke orang desa.” Rumah yang ditempati Sinar adalah rumah pinggiran kota dan bukan berada di perumahan. Itu seperti sebuah desa yang tertata begitu indah. Jadi, kepedulian antara satu sama lain masihlah begitu kental. “Memang nggak papa, Bi?” tanya Sinar lagi. “Nggak papa, Bu. Bahkan kalau Ibu mau lagi, boleh ambil lagi.” Sinar tersenyum lebar mendengar penuturan Bibi. Mangga yang sudah diiris tanpa dikupas itu segera tersaji di depan Sinar. “Saya makan, ya, Bi,” kata Sinar dengan semangat. Mengambil sepotong kecil mangga dan memberinya garam yang ada di piring yang sama. Senyum Sin
[Kak, pihak rumah sakit mengatakan jika pengobatan untukku diberhentikan.]Pijar baru saja mau menyuapkan makan siang ke dalam mulutnya ketika Surya menelponnya. Hari ini adalah waktunya sang adik untuk melakukan terapi. Namun, kabar buruk itu justru didapatkan. Jantung Pijar tiba-tiba bertalu dengan kencang dan wajahnya tampak pucat. Matanya bergetar, pun dengan sekujur tubuhnya terasa kaku. “Surya, kamu sudah memastikannya lagi? Pengobatanmu sudah ditanggung dan tidak mungkin dibatalkan begitu saja tanpa konfirmasi.” [Aku nggak bohong, Kak. Memang itulah yang terjadi.] Sinar kali ini tidak bisa berkata-kata. Tangannya yang masih memegangi ponselnya itu terasa dingin luar biasa. Di dalam pikirannya, dia menduga jika Talita lah yang melakukannya. Jika tidak, maka semua ini tidak akan mungkin terjadi. Setelah Sinar pindah dari rumah, ini adalah kali kedua Surya berobat dengan uang Talita. Apa mungkin secepat itu Talita mengubah perjanjiannya? Apa semua ini karena kecemburuan Talit
Suara Praba di belakang Sinar itu mau tak mau menimbulkan gejolak emosi di dalam hatinya. Aroma amarah itu terasa begitu kental ketika Sinar berdiri dan menatap Praba dengan tatapan tajam. Dengan suara bergetar, dia lantas bersuara. “Bapak pikir ini lelucon? Bapak pikir nyawa adik saya adalah sebuah permainan yang begitu mudah Bapak permainkan begitu saja?” Sinar menggenggam ponselnya dengan kuat seolah dia ingin meremukkan benda tersebut menjadi abu. Selama ini dia hanya diam dan berusaha untuk menahan diri setiap ada perdebatan. Dia sudah mendapatkan peringatan keras dari Talita untuk menghindari Praba. Padahal, bukan Sinar yang mendekat melainkan Praba lah yang sengaja melakukannya untuk memancing kemarahan Talita. Di sisi lain, Praba melakukan hal yang sama dan kali ini lebih ekstrim. Lelaki itu bahkan langsung pada titik inti masalah. Yaitu mengulik langsung pada Surya yang otomatis membuat Sinar akan melemah. Mata Sinar berkaca-kaca menatap Praba yang tampak begitu tenang. Di
Talita praktis merasa kebenciannya melonjak begitu besar setelah Praba mengaku jika dia tertarik kepada Sinar. Memang dia tak mengucapkannya secara gamblang, tetapi Talita cukup paham dengan perasaan lelaki itu. Rencana yang dianggap berhasil itu nyatanya menjadi boomerang baginya. Dia memang akan segera memiliki anak, tetapi bukan tidak mungkin kalau dia justru akan kehilangan lelaki yang paling dicintainya. “Sialan!” Talita berteriak mengeluarkan segala rasa kesalnya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa perlu dia harus menjauhkan Praba dari Sinar agar perasaan lelaki itu tidak berkembang semakin pesat? Kenapa semuanya menjadi semakin rumit? Talita berjalan mondar-mandir di ruangan kerjanya dengan emosi yang membara. Dia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, kenapa sejak dulu Praba tidak pernah mencintainya? Kenapa sejak dulu Praba selalu mengabaikannya? Dia sudah melakukan segalanya, melewati segala rintangan yang ada di depannya. Semata hanya untuk satu nama, Prabaswara W
“Bu Talita sudah pergi. Tolong singkirkan tangan Bapak.” Sinar memecah keheningan setelah Talita pergi dari rumah yang ditempati Sinar. Setelah melihat adegan suami istri yang terlihat begitu harmonis, Talita pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Perempuan itu tampaknya tidak tahan dengan segala hal yang dilihat. Mungkin saja perempuan itu berpikir, di depannya saja Praba sanggup melakukan itu. Bagaimana kalau di belakangnya. “Bapak seharusnya mengejar Bu Talita. Dia sedang kacau dan kalau terjadi sesuatu dengannya, Bapak yang patut bertanggung jawab.” Sinar mengimbuhkan. “Tidak perlu mengajari saya bagaimana saya harus bertindak.” Setelah mengatakan itu, Praba pergi begitu saja dari hadapan Sinar. Masuk ke dalam kamar dan membanting pintu tersebut dengan kuat. Sinar hanya bisa menghela napasnya panjang setelah itu. Namun, memilih untuk tidak mengacuhkannya. Tampaknya, adegan malam itu memukul telak perasaan Talita sampai di relung hatinya. Sebab setelah itu, perempuan itu tid