“Bu Talita bilang, Ibu tidak diizinkan untuk melakukan pekerjaan rumah. Memasak juga tidak boleh.”
Setelah semalaman Sinar hanya sanggup tertidur sebentar, dia memutuskan untuk pergi ke dapur dan memulai masak. Sebagai cook helper yang sudah lama digelutinya, memasak adalah salah satu keahlian Sinar.
Sinar bahkan memiliki keinginan suatu saat nanti dia mampu memiliki bisnisnya sendiri berupa rumah makan kecil-kecilan. Namun, dia harus menunda segala keinginan itu dan memfokuskan dirinya pada kehidupannya yang tengah dihadapinya.
“Bibi nggak perlu khawatir. Masak itu bukan pekerjaan yang sulit.” Sinar tersenyum kecil menatap Bibi. “Bibi di sini saja, dan Bibi bisa bantu saya.”
“Tapi, Bu. Saya takut kalau Bu Talita tahu dan marah. Biar saya saja yang masak.”
“Tolong buatkan saya kopi.”
Suara berat milik Praba itu menghentikan perdebatan Sinar dan Bibi. Mereka menatap secara serentak ke arah yang sama di mana Praba berada. Lelaki itu tampak segar dengan rambut basahnya.
Praba duduk di meja makan lalu menyalakan tablet yang ada di tangannya. Bibi lantas mendekat.
“Maaf, Pak. Kopinya manis atau sedang?”
“Biarkan Sinar yang buatkan. Bibi bisa meneruskan pekerjaan yang lain.”
Bibi dan Sinar segera saja saling berpandangan ketika kalimat itu terlontar dari mulut Praba. Sinar yang masih di balik meja bar itu lantas mendekat, dan Bibi memilih berbalik dan meninggalkan tempat tersebut. Sinar juga menanyakan pertanyaan yang sama kepada Praba karena dia tak tahu selera Praba untuk secangkir kopi.
“Yang sedang. Manisnya hanya perlu terasa di ujung lidah.”
Itulah jawaban yang diberikan Praba kepada Sinar. Tidak ingin membuang waktu, Sinar membuat secangkir kopi untuk Praba. Dia bukan ahli kopi, tetapi dia pernah belajar bagaimana kopi itu terasa pas di lidah. Jika nanti Praba tidak suka, dia akan membuatkannya lagi. Begitulah yang dipikirkan oleh Sinar.
“Silakan, Pak.” Sinar meletakkan segelas kopi itu di depan Praba sebelum dia berbalik untuk memulai masak. Hanya membutuhkan waktu setengah jam ketika Sinar menyelesaikan masaknya.
Ruang makan itu terasa sepi ketika Bibi sudah tidak ada lagi di dapur. Hanya ditinggalkan berdua dengan Praba, membuat Sinar merasa kurang nyaman. Maka dia memilih untuk pergi, tetapi urung ketika Praba bersuara.
“Tetaplah duduk di tempatmu dan kita makan bersama.” Praba meletakkan tabletnya di atas meja sebelum mengambil omelet lalu meletakkan di piringnya.
Suapan demi suapan itu menghabiskan satu porsi omelet miliknya. Setelah itu dia beralih mengambil ayam bakar, lalu memakannya dengan lahap. Sinar hanya menatap lelaki itu tanpa berkomentar. Dia memilih menikmati sarapannya sendiri.
“Bibi!” panggil Praba sedikit meninggikan suaranya dan membuat perempuan paruh baya itu tergopoh untuk mendekat.
“Ya, Pak?” Bibi berdiri di samping Praba dengan kepala menunduk.
“Mulai hari ini, biarkan Sinar yang masak untuk saya.” Sinar hampir menyemburkan kembali makanan yang hampir ditelannya.
Melihat itu, Praba bahkan sama sekali tidak peduli. Memberikan minuman pun tidak. Bibi yang segera memberikan minuman kepada Sinar agar Sinar bisa segera meloloskan makanan yang barangkali terjebak di tenggorokan.
“Saat pagi, saya biasa minum kopi. Pun di malam hari. Untuk makanan, saya bisa makan apa saja.”
Bibi segera menjawab. “Tapi, Pak. Kata Bu Talita, Bu Sinar tidak diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan apa pun.”
Praba menatap Bibi dengan tatapan tajamnya membuat Bibi harus menunduk semakin dalam. Bisa dilihat dari wajahnya, perempuan itu tampak takut.
“Sinar adalah istri saya sekarang.” Ketika mengatakan itu, ada sebuah nada ejekan yang terdengar di telinga Sinar. “Jadi, saya ingin Sinar yang mengurus saya selama saya ada di sini. Terutama jika itu tentang makanan.”
Sinar seperti terjebak pada dua sisi mata uang yang bertolak belakang. Ini sangat membingungkannya. Di satu sisi, dia harus menuruti Talita, di sisi lain Praba tidak mau kalah dengan istrinya dan menggunakan statusnya sebagai suami untuk menekan Sinar.
Praba beranjak dari tempat duduknya, membawa tabletnya, lalu berlalu kembali ke kamar. Tak lama, dia keluar hendak pergi dari rumah. Tidak ingin masalah berlarut, Sinar segera mengejar Praba.
“Bisa kita bicara sebentar, Pak?” Sinar harus bisa bernegosiasi dan meluruskan semuanya.
Dia tak ingin masalah ini menjadi masalah besar dan lebih dari itu, dia tak ingin dianggap Talita menjadi perempuan perebut suami orang. Perjanjian tetaplah sebuah perjanjian yang harus dipatuhi. Satu hal yang menjadi ketakutan Sinar adalah nasib pengobatan adiknya. Jika dia melanggar aturannya, maka sudah bisa dipastikan, Talita akan menarik sebagian dari pengobatan tersebut.
“Pak, saya sadar betul kalau sekarang status kita adalah suami istri. Tapi, kita juga tahu kalau semua ini dilakukan demi janin yang saya kandung. Anak Pak Praba dan Bu Talita. Saya sudah menandatangi perjanjian itu dengan Bu Talita dan ini juga menyangkut nasib adik saya.”
Sinar menelan ludahnya untuk sekedar membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Setelahnya, dia kembali bersuara. “Tolong mengerti posisi saya dan tolong Bapak untuk tidak memperumit saya. Saya hanya ingin setelah anak ini lahir, kita bisa berpisah secara baik-baik.”
“Saya sudah peringatkan kamu sebelumnya, ‘kan? Masalah ini tidak sesimple yang kamu pikirkan. Kalau Talita bisa memanfaatkan kelemahan kamu, saya jauh pandai melakukan itu. Jadi, nikmati saja permainannya, Sinar.”
Bibir Praba tertarik membentuk seringaian tipis. “Kalau kamu pandai, seharusnya kamu mendengarkan saya jauh-jauh hari.”
Praba menatap Sinar yang tampak bergetar. Wajah Sinar bahkan terlihat memerah penuh dengan luapan emosi dalam hatinya. Dia benar-benar dimanfaatkan oleh sepasang suami istri kaya ini dengan sebuah tekanan dari dua belah pihak.
Kini Sinar merasa jika Praba melakukan ini karena kecewa kepada istrinya yang sudah mengambil keputusan untuk ini. Yang sialnya, Sinar lah yang harus menanggung semuanya.
“Kalau Bapak kecewa dengan Bu Talita, seharusnya Bapak tidak melampiaskan kepada saya.” Sinar akhirnya memberanikan diri untuk mengatakan isi kepalanya.
“Kamu mendukung dia melakukan sesuatu yang tidak masuk akal. Jadi, kamu juga bertanggung jawab untuk itu.”
“Bukankah seharusnya Bapak senang karena sebentar lagi Bapak bisa memiliki anak?” Sinar tidak ingin kalah. “Kenapa Bapak jadi tidak terima dengan semua pengorbanan yang dilakukan Bu Talita?”
Sinar menarik napasnya panjang mencoba untuk tidak mengeluarkan segala emosi yang memuncak di dalam kepalanya. Satu masalah tentang pengobatan Surya selesai, dia justru dihadapkan dengan sifat Praba yang tidak masuk akal menurutnya.
“Bu Talita pasti juga tidak ingin melakukan ini, Pak. Saya juga perempuan. Saya tahu bagaimana perasaan beliau yang tidak bisa memiliki anak sedangkan dia sangat menginginkannya. Itulah kenapa Bu Talita memilih jalan seperti ini.”
Sinar mencoba memberikan pengertian kepada Praba. Dia paham betul di dalam lubuk hati Talita juga pasti merasakan sakit yang luar biasa ketika harus membiarkan suaminya menikah dengan perempuan lain.
“Kamu tidak perlu mengajari saya.” Praba berujar sinis. “Karena kamu tidak tahu apa pun tentang kehidupan rumah tangga kami.” Praba lebih mendekat pada Sinar, menenggelamkan Sinar pada tatapan tajamnya, dan membisikkan satu kalimat, “Saya tidak pernah berharap memiliki anak dengannya.”
***
“Apa maksud Bapak mengatakan itu?” Sinar mundur dengan jantung terasa terguncang mendengar ucapan Praba pagi ini. Sungguh, ini sangat mengejutkan untuknya. Tiba-tiba saja Sinar mengelus perutnya seolah dia tengah melindungi janin yang ada di dalamnya. “Kalau Bapak tidak ingin memiliki anak dengan Bu Talita, kenapa … Bapak pada akhirnya menerima rencana itu?” Sinar sungguh merasa hampir gila karena pasangan tersebut. Ini baru berjalan beberapa hari, tetapi semua sudah seperti benang kusut yang semakin terpaku satu sama lain. “Dan inilah permainannya, Sinar.” Setelah mengatakan itu, Praba lantas pergi meninggalkan rumah satu lantai yang ditempati oleh Sinar itu menggunakan mobilnya. Sinar masih mematung di tempatnya dengan jantung yang masih berdetak dengan kencang. Dia mencoba untuk tidak mempercayai ucapan Praba. Akan tetapi jika dia mengingat bagaimana Praba dan Talita, bagaimana interaksi dua orang tersebut satu sama lain, Sinar merasa segala yang diucapkan oleh Praba adalah sebu
“Mohon maaf, Pak. Tapi, saya tidak bisa melakukan itu.” Sinar tidak ingin terombang-ambing dalam tekanan yang begitu kuat dari Praba maupun Talita. “Kalau Bapak mau tinggal di sini, silakan. Tapi, saya nggak bersedia berada di satu kamar dengan Bapak.”Sinar sungguh tidak ingin dirinya dijadikan alat untuk pelampiasan amarah pasangan suami istri itu untuk saling serang. Setelah dia memikirkan banyak hal tentang hubungan Praba dan Talita, dia memang merasa jika dua orang itu tidaklah seakur yang dibayangkan. Hubungan mereka tidak harmonis, dan dia tak ingin terseret terlalu jauh.Sayangnya, ucapan Sinar tidak memengaruhi Praba. Dia bukan sedang berdiskusi dengan Sinar, melainkan mengambil keputusannya sendiri.Mengerti situasi, Bibi hendak pergi dari hadapan dua orang yang mengeluarkan aura ketegangan. Namun, langkah Bibi dihentikan oleh suara Praba.“Bibi!” panggilnya dengan suara rendah nan dingin. “Tinggal pilih saja, barang saya yang dipindahkan di kamar Sinar, atau barang Sinar ya
Sinar mendorong tubuh Praba sampai rangkulan lelaki itu terlepas. Dia merasa jengah dengan sikap dua orang kaya yang ada di depannya. Praba bahkan sedikit terkejut ketika Sinar berhasil lepas dari rangkulannya. Sinar yang masih mengetatkan rahangnya itu segera berbicara. “Saya tidak ingin terlibat dengan masalah Ibu dan Bapak. Keberadaan saya di sini sudah cukup jelas. Saya harap, sampai bayi ini lahir, saya bisa hidup dengan tenang.” Sinar menatap Talita dan Praba dengan berani. “Tolong jangan libatkan saya dalam pertengkaran Ibu dan Bapak. Permisi.” Sinar memilih masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Dia duduk di pinggiran ranjang dengan tangan saling meremas. Mensugesti dirinya sendiri jika dia mampu melewati semuanya. Posisi dirinya dan Talita seharusnya sama. Sama-sama saling membutuhkan. Di luar ruangan, Praba dan Talita masih saling mengeluarkan aura permusuhan. Namun, seolah enggan untuk berhadapan dengan istrinya lebih jauh lagi, Praba memilih berbalik dan pergi ke k
“Saya tidak tahu seperti apa hubungan Ibu dan Pak Praba sebelum ini dan saya juga tidak berniat untuk tahu.” Suara Sinar memecah keheningan malam di halaman depan rumah satu lantai yang ditempatinya.“Tapi kalau Ibu berpikir saya begitu senang dengan sikap Pak Praba kepada saya, Ibu salah besar. Terlebih lagi ketika Ibu mengancam saya ingin mengatakan ‘pekerjaan’ saya yang sekarang kepada adik saya. Itu sungguh tidak bisa dibenarkan.”Setelah Sinar mendengar ucapan Talita tentang ancaman Sinar secara terselubung, Sinar sama sekali tidak menanggapi dan dia fokus pada kegiatannya membuat kopi. Setelah makan malam selesai, dia segera meminta kepada Talita untuk bicara berdua.“Dibandingkan dengan saya, Ibu tentu jauh lebih segalanya. Ibu benar, Pak Praba tidak akan mungkin menyukai saya kecuali semua sikapnya itu hanya untuk membuat Ibu marah. Ibu tentu setuju dengan saya, ‘kan?”Talita tidak menanggapi, tetapi tatapannya mengarah lurus pada Sinar dan tampak begitu dingin. Sinar seolah d
Mata Sinar berbinar cerah ketika dia melihat sebuah mangga muda di depannya. Dia bahkan meneguk ludahnya hanya dengan membayangkan menggigit buah itu dan mencecapnya. Tanpa memedulikan keberadaan Praba di rumah ini di pagi hari, Sinar hanya fokus pada buah mangga yang tidak begitu besar tersebut. “Cuma satu, Bi?” tanya Sinar kepada Bibi. “Iya, Bu. Di pasar adanya yang udah matang. Jadi, saya mintakan ke orang desa.” Rumah yang ditempati Sinar adalah rumah pinggiran kota dan bukan berada di perumahan. Itu seperti sebuah desa yang tertata begitu indah. Jadi, kepedulian antara satu sama lain masihlah begitu kental. “Memang nggak papa, Bi?” tanya Sinar lagi. “Nggak papa, Bu. Bahkan kalau Ibu mau lagi, boleh ambil lagi.” Sinar tersenyum lebar mendengar penuturan Bibi. Mangga yang sudah diiris tanpa dikupas itu segera tersaji di depan Sinar. “Saya makan, ya, Bi,” kata Sinar dengan semangat. Mengambil sepotong kecil mangga dan memberinya garam yang ada di piring yang sama. Senyum Sin
[Kak, pihak rumah sakit mengatakan jika pengobatan untukku diberhentikan.]Pijar baru saja mau menyuapkan makan siang ke dalam mulutnya ketika Surya menelponnya. Hari ini adalah waktunya sang adik untuk melakukan terapi. Namun, kabar buruk itu justru didapatkan. Jantung Pijar tiba-tiba bertalu dengan kencang dan wajahnya tampak pucat. Matanya bergetar, pun dengan sekujur tubuhnya terasa kaku. “Surya, kamu sudah memastikannya lagi? Pengobatanmu sudah ditanggung dan tidak mungkin dibatalkan begitu saja tanpa konfirmasi.” [Aku nggak bohong, Kak. Memang itulah yang terjadi.] Sinar kali ini tidak bisa berkata-kata. Tangannya yang masih memegangi ponselnya itu terasa dingin luar biasa. Di dalam pikirannya, dia menduga jika Talita lah yang melakukannya. Jika tidak, maka semua ini tidak akan mungkin terjadi. Setelah Sinar pindah dari rumah, ini adalah kali kedua Surya berobat dengan uang Talita. Apa mungkin secepat itu Talita mengubah perjanjiannya? Apa semua ini karena kecemburuan Talit
Suara Praba di belakang Sinar itu mau tak mau menimbulkan gejolak emosi di dalam hatinya. Aroma amarah itu terasa begitu kental ketika Sinar berdiri dan menatap Praba dengan tatapan tajam. Dengan suara bergetar, dia lantas bersuara. “Bapak pikir ini lelucon? Bapak pikir nyawa adik saya adalah sebuah permainan yang begitu mudah Bapak permainkan begitu saja?” Sinar menggenggam ponselnya dengan kuat seolah dia ingin meremukkan benda tersebut menjadi abu. Selama ini dia hanya diam dan berusaha untuk menahan diri setiap ada perdebatan. Dia sudah mendapatkan peringatan keras dari Talita untuk menghindari Praba. Padahal, bukan Sinar yang mendekat melainkan Praba lah yang sengaja melakukannya untuk memancing kemarahan Talita. Di sisi lain, Praba melakukan hal yang sama dan kali ini lebih ekstrim. Lelaki itu bahkan langsung pada titik inti masalah. Yaitu mengulik langsung pada Surya yang otomatis membuat Sinar akan melemah. Mata Sinar berkaca-kaca menatap Praba yang tampak begitu tenang. Di
Talita praktis merasa kebenciannya melonjak begitu besar setelah Praba mengaku jika dia tertarik kepada Sinar. Memang dia tak mengucapkannya secara gamblang, tetapi Talita cukup paham dengan perasaan lelaki itu. Rencana yang dianggap berhasil itu nyatanya menjadi boomerang baginya. Dia memang akan segera memiliki anak, tetapi bukan tidak mungkin kalau dia justru akan kehilangan lelaki yang paling dicintainya. “Sialan!” Talita berteriak mengeluarkan segala rasa kesalnya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa perlu dia harus menjauhkan Praba dari Sinar agar perasaan lelaki itu tidak berkembang semakin pesat? Kenapa semuanya menjadi semakin rumit? Talita berjalan mondar-mandir di ruangan kerjanya dengan emosi yang membara. Dia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, kenapa sejak dulu Praba tidak pernah mencintainya? Kenapa sejak dulu Praba selalu mengabaikannya? Dia sudah melakukan segalanya, melewati segala rintangan yang ada di depannya. Semata hanya untuk satu nama, Prabaswara W