“Kamu ini bicara apa sih, Mas?” Talita mencoba menahan garis wajahnya agar tidak terlihat terganggu. “Aku memberimu izin menikah hanya untuk formalitas. Jadi, mari kita kerja sama.”
Sinar kali ini sepertinya sudah tidak bisa lagi mengelak. Ya, keputusan memang ada padanya. Dia bisa menolak dan mengurungkan semua ide gila dan dia terbebas. Lantas apakah akan cukup sampai di sana? Tentu saja tidak. Talita bisa saja memilih orang lain untuk menganggantikannya.
Lalu dia? Sinar justru yang akan kelimpungan mencari uang untuk sang adik. Sinar memantapkan pilihan dan keputusannya. Apa pun yang terjadi kedepannya nanti, dia sudah siap. Ini adalah keputusan yang akan diambil.
Praba berdiri. Menjejalkan tangannya ke dalam saku celananya. “Kalian atur saja kapan saya bisa menikah dengan Sinar.” Kali ini lelaki itu menatap Sinar penuh arti. “Dan saya harap kalian tidak pernah menyesalinya.”
Setelah mengatakan itu, Praba pergi begitu saja meninggalkan dua perempuan tersebut di sana. Tidak lagi menoleh ke belakang.
Talita tampak tidak menghiraukan Praba dan dia hanya fokus pada Sinar. Menunggu perempuan itu bicara. Sinar akhirnya menarik napasnya panjang. Dia harus segera bersuara dan mengatakan keputusannya.
“Saya … bersedia, Bu,” ucap Sinar masih dengan keraguan yang sama, “tapi saya mohon, adik saya ….”
“Tidak perlu khawatir. Setelah kamu hamil, semua biaya pengobatan adikmu akan saya tanggung. Sepenuhnya sampai dia siap untuk dioperasi.”
Pada akhirnya, Sinar meluruh menyerah pada takdir hidupnya. Ya, jika ini memang salah di mata Tuhan, biarlah dia menanggung semua dosanya. Satu hal yang pasti, dia hanya ingin adiknya tetap hidup bersamanya.
“Baiklah, Bu. Saya terima tawaran Ibu. Tapi, tolong rahasiakan masalah ini. Saya tidak ingin adik saya mengetahuinya. Atau bahkan rekan kerja saya.”
“Kamu bisa mempercayai saya.”
Malam itu akhirnya perjanjian dilakukan. Talita akan mengurusnya dan Sinar hanya perlu mempersiapkan diri untuk pernikahan dan hamil anak Talita dan Praba.
Takdir yang membawa Sinar menempuh jalan seperti sekarang. Dia akan menerimanya sebagai perjalanan hidup. Dia tak memiliki niat apa pun kecuali untuk adiknya.
***
Hanya membutuhkan waktu satu minggu untuk mengadakan pernikahan antar Sinar dan Praba. Dan hanya membutuhkan waktu tiga minggu Sinar bisa hamil. Proses itu begitu cepat dan tidak ada drama tambahan sama sekali.
Selama ini, Praba sangat bisa diajak bekerja sama dan dia seolah patuh dengan apa pun yang dikatakan oleh sang istri. Kebahagiaan itu muncul di wajah Talita ketika Sinar dinyatakan hamil.
Sebuah rumah satu lantai di pinggiran kota pun sudah disiapkan untuk tempat tinggal Sinar selama dia hamil. Sinar berbohong kepada adiknya jika dia sudah pindah kerja di sebuah kantor yang bisa memberinya gaji tinggi. Seorang perawat pun sudah disiapkan untuk menemani Surya di rumah.
Segalanya benar-benar sudah direncanakan matang oleh Talita. Sinar hanya perlu menurut dan hidupnya aman.
“Hiduplah dengan tenang di rumah ini, Sinar. Sebulan sekali kamu akan diantarkan sopir untuk periksa kandungan. Dan saat itu, kamu juga bisa bertemu dengan adikmu. Selama perutmu belum terlihat membuncit.”
Mereka kini sudah berada di sebuah rumah baru yang akan ditempati Sinar. Talita dan Praba yang mengantarnya langsung. Meskipun hubungan Praba dan Sinar adalah suami istri, tetapi mereka seperti orang asing satu sama lain.
“Ya, Bu. Terima kasih atas bantuannya.”
Meskipun imbalan yang dituntut oleh Talita juga besar menurut Sinar, tetapi tetap saja dia merasa lega karena setidaknya Surya sudah terjamin pengobatannya.
“Sama-sama. Mulai sekarang, kamu tidak perlu lagi memikirkan apa pun kecuali kesehatanmu. Karena janin itu membutuhkan kamu yang sehat.”
Sebelum mereka melakukan inseminasi, Sinar diminta untuk cek kesehatan secara menyeluruh dan dinyatakan sehat. Tidak ada penyakit apa pun yang dimiliki sehingga semuanya berjalan dengan lancar.
“Saya mengerti, Bu.” Sinar mengangguk patuh.
Talita lantas berdiri mengajak Praba untuk pergi dari rumah tersebut, tetapi Praba menolaknya.
“Saya akan menginap di sini. Kalau kamu mau pulang, sopir yang akan mengantarmu.”
Kali ini bukan hanya Talita yang terkejut, tetapi Sinar juga. Selama ini lelaki itu tampak diam dan menurut kepada sang istri, tetapi saat ini terasa sangat berbeda.
“Mas, ayo kita pulang.” Talita mengulangi. Kali ini wajahnya tampak tidak bersahabat.
Praba tidak memberikan jawaban, tetapi netranya mengarah lurus pada sang istri. Ekspresinya dingin luar biasa. “Saya sudah menuruti semua keinginanmu. Sekarang, jangan menuntut apa pun ke saya.”
Praba berdiri dari sofa. Tanpa mengatakan apa pun, lelaki itu pergi ke salah satu kamar dan menguncinya dari dalam. Hal itu semakin membuat Sinar berpikir, jika hubungan Talita dan Praba sebenarnya tidak baik-baik saja.
“Sinar.” Talita memanggil sambil menutupi ekspresi kakunya. “Biarkan Mas Praba beristirahat dulu.” Talita menoleh sekali lagi ke arah kamar di mana Praba berada.
“Ingat, pernikahanmu dengan Mas Praba hanyalah sebuah formalitas sebagai sebuah syarat untuk tujuan kita. Jadi, kamu tidak boleh jatuh cinta kepadanya atau berharap lebih atas hubungan kalian.” Talita memeringatkan kepada Sinar. “Karena Mas Praba juga tidak akan jatuh cinta kepadamu.”
Dengan segala ucapan itu, Talita terlihat hanya ingin menutupi kedundahannya. Namun, Sinar juga hanya mengangguk. Sinar bahkan tidak memiliki tujuan apa pun selain kerja sama yang sudah terjalin.
“Ibu tenang saja, saya tidak akan melanggar janji apa pun yang sudah kita sepakati bersama.” Sinar dengan yakin memberikan jawaban kepada Talita dan memastikan posisinya tidak akan mengganggu hubungan perempuan itu dengan Praba.
“Baiklah, saya percaya dengan ucapanmu. Saya juga sangat mempercayai Mas Praba. Kalau begitu, saya permisi.”
Sinar hanya mengangguk dan mengikuti Talita dari belakang untuk mengantarkan perempuan itu sampai di halaman rumah. Tak lama, mobil yang membawa Talita itu meluncur meninggalkan kediaman baru Sinar.
Sinar berbalik untuk masuk ke dalam rumah dan tampak terkejut ketika Praba sudah duduk di sofa ruang keluarga. Sinar hanya sanggup meneguk ludahnya ketika dia memutuskan untuk tidak menyapa dan ingin berlalu dari sana. Namun, suara Praba menghentikannya.
“Duduklah! Saya perlu bicara.”
Sinar bimbang ketika bertanya. “Bapak, bicara dengan saya?”
“Apa ada manusia lain di ruangan ini?” Praba mengatakan dengan dingin.
Tidak ingin membuat masalah, Sinar akhirnya duduk di depan Praba. Menundukkan kepalanya dengan dalam. Menunggu Praba bersuara.
“Saya akan sering berada di rumah ini mulai hari ini. Menginap di sini, dan menghabiskan waktu di sini.”
Sinar mendongak menatap netra hitam Praba yang kali ini menatapnya dengan tajam. Tidak ingin menjadi ‘bulan-bulanan’ Talita dan Praba dalam waktu yang bersamaan, Sinar akhirnya menjawab.
“Tidak! Bapak tidak boleh berada di sini tanpa Bu Talita. Saya tidak ingin Bu Talita salah paham.”
“Saya tidak sedang meminta izin darimu. Saya hanya memberitahumu.” Praba tidak melepaskan tatapannya pada Sinar. “Lagi pula, kita ini suami istri, ‘kan.”
“Tapi, itu hanya sebuah ….”
“Saya tidak peduli.” Praba menjawab dinging. “Permainan sedang dimulai, Sinar.”
***
“Bu Talita bilang, Ibu tidak diizinkan untuk melakukan pekerjaan rumah. Memasak juga tidak boleh.” Setelah semalaman Sinar hanya sanggup tertidur sebentar, dia memutuskan untuk pergi ke dapur dan memulai masak. Sebagai cook helper yang sudah lama digelutinya, memasak adalah salah satu keahlian Sinar. Sinar bahkan memiliki keinginan suatu saat nanti dia mampu memiliki bisnisnya sendiri berupa rumah makan kecil-kecilan. Namun, dia harus menunda segala keinginan itu dan memfokuskan dirinya pada kehidupannya yang tengah dihadapinya. “Bibi nggak perlu khawatir. Masak itu bukan pekerjaan yang sulit.” Sinar tersenyum kecil menatap Bibi. “Bibi di sini saja, dan Bibi bisa bantu saya.” “Tapi, Bu. Saya takut kalau Bu Talita tahu dan marah. Biar saya saja yang masak.” “Tolong buatkan saya kopi.” Suara berat milik Praba itu menghentikan perdebatan Sinar dan Bibi. Mereka menatap secara serentak ke arah yang sama di mana Praba berada. Lelaki itu tampak segar dengan rambut basahnya. Praba dudu
“Apa maksud Bapak mengatakan itu?” Sinar mundur dengan jantung terasa terguncang mendengar ucapan Praba pagi ini. Sungguh, ini sangat mengejutkan untuknya. Tiba-tiba saja Sinar mengelus perutnya seolah dia tengah melindungi janin yang ada di dalamnya. “Kalau Bapak tidak ingin memiliki anak dengan Bu Talita, kenapa … Bapak pada akhirnya menerima rencana itu?” Sinar sungguh merasa hampir gila karena pasangan tersebut. Ini baru berjalan beberapa hari, tetapi semua sudah seperti benang kusut yang semakin terpaku satu sama lain. “Dan inilah permainannya, Sinar.” Setelah mengatakan itu, Praba lantas pergi meninggalkan rumah satu lantai yang ditempati oleh Sinar itu menggunakan mobilnya. Sinar masih mematung di tempatnya dengan jantung yang masih berdetak dengan kencang. Dia mencoba untuk tidak mempercayai ucapan Praba. Akan tetapi jika dia mengingat bagaimana Praba dan Talita, bagaimana interaksi dua orang tersebut satu sama lain, Sinar merasa segala yang diucapkan oleh Praba adalah sebu
“Mohon maaf, Pak. Tapi, saya tidak bisa melakukan itu.” Sinar tidak ingin terombang-ambing dalam tekanan yang begitu kuat dari Praba maupun Talita. “Kalau Bapak mau tinggal di sini, silakan. Tapi, saya nggak bersedia berada di satu kamar dengan Bapak.”Sinar sungguh tidak ingin dirinya dijadikan alat untuk pelampiasan amarah pasangan suami istri itu untuk saling serang. Setelah dia memikirkan banyak hal tentang hubungan Praba dan Talita, dia memang merasa jika dua orang itu tidaklah seakur yang dibayangkan. Hubungan mereka tidak harmonis, dan dia tak ingin terseret terlalu jauh.Sayangnya, ucapan Sinar tidak memengaruhi Praba. Dia bukan sedang berdiskusi dengan Sinar, melainkan mengambil keputusannya sendiri.Mengerti situasi, Bibi hendak pergi dari hadapan dua orang yang mengeluarkan aura ketegangan. Namun, langkah Bibi dihentikan oleh suara Praba.“Bibi!” panggilnya dengan suara rendah nan dingin. “Tinggal pilih saja, barang saya yang dipindahkan di kamar Sinar, atau barang Sinar ya
Sinar mendorong tubuh Praba sampai rangkulan lelaki itu terlepas. Dia merasa jengah dengan sikap dua orang kaya yang ada di depannya. Praba bahkan sedikit terkejut ketika Sinar berhasil lepas dari rangkulannya. Sinar yang masih mengetatkan rahangnya itu segera berbicara. “Saya tidak ingin terlibat dengan masalah Ibu dan Bapak. Keberadaan saya di sini sudah cukup jelas. Saya harap, sampai bayi ini lahir, saya bisa hidup dengan tenang.” Sinar menatap Talita dan Praba dengan berani. “Tolong jangan libatkan saya dalam pertengkaran Ibu dan Bapak. Permisi.” Sinar memilih masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Dia duduk di pinggiran ranjang dengan tangan saling meremas. Mensugesti dirinya sendiri jika dia mampu melewati semuanya. Posisi dirinya dan Talita seharusnya sama. Sama-sama saling membutuhkan. Di luar ruangan, Praba dan Talita masih saling mengeluarkan aura permusuhan. Namun, seolah enggan untuk berhadapan dengan istrinya lebih jauh lagi, Praba memilih berbalik dan pergi ke k
“Saya tidak tahu seperti apa hubungan Ibu dan Pak Praba sebelum ini dan saya juga tidak berniat untuk tahu.” Suara Sinar memecah keheningan malam di halaman depan rumah satu lantai yang ditempatinya.“Tapi kalau Ibu berpikir saya begitu senang dengan sikap Pak Praba kepada saya, Ibu salah besar. Terlebih lagi ketika Ibu mengancam saya ingin mengatakan ‘pekerjaan’ saya yang sekarang kepada adik saya. Itu sungguh tidak bisa dibenarkan.”Setelah Sinar mendengar ucapan Talita tentang ancaman Sinar secara terselubung, Sinar sama sekali tidak menanggapi dan dia fokus pada kegiatannya membuat kopi. Setelah makan malam selesai, dia segera meminta kepada Talita untuk bicara berdua.“Dibandingkan dengan saya, Ibu tentu jauh lebih segalanya. Ibu benar, Pak Praba tidak akan mungkin menyukai saya kecuali semua sikapnya itu hanya untuk membuat Ibu marah. Ibu tentu setuju dengan saya, ‘kan?”Talita tidak menanggapi, tetapi tatapannya mengarah lurus pada Sinar dan tampak begitu dingin. Sinar seolah d
Mata Sinar berbinar cerah ketika dia melihat sebuah mangga muda di depannya. Dia bahkan meneguk ludahnya hanya dengan membayangkan menggigit buah itu dan mencecapnya. Tanpa memedulikan keberadaan Praba di rumah ini di pagi hari, Sinar hanya fokus pada buah mangga yang tidak begitu besar tersebut. “Cuma satu, Bi?” tanya Sinar kepada Bibi. “Iya, Bu. Di pasar adanya yang udah matang. Jadi, saya mintakan ke orang desa.” Rumah yang ditempati Sinar adalah rumah pinggiran kota dan bukan berada di perumahan. Itu seperti sebuah desa yang tertata begitu indah. Jadi, kepedulian antara satu sama lain masihlah begitu kental. “Memang nggak papa, Bi?” tanya Sinar lagi. “Nggak papa, Bu. Bahkan kalau Ibu mau lagi, boleh ambil lagi.” Sinar tersenyum lebar mendengar penuturan Bibi. Mangga yang sudah diiris tanpa dikupas itu segera tersaji di depan Sinar. “Saya makan, ya, Bi,” kata Sinar dengan semangat. Mengambil sepotong kecil mangga dan memberinya garam yang ada di piring yang sama. Senyum Sin
[Kak, pihak rumah sakit mengatakan jika pengobatan untukku diberhentikan.]Pijar baru saja mau menyuapkan makan siang ke dalam mulutnya ketika Surya menelponnya. Hari ini adalah waktunya sang adik untuk melakukan terapi. Namun, kabar buruk itu justru didapatkan. Jantung Pijar tiba-tiba bertalu dengan kencang dan wajahnya tampak pucat. Matanya bergetar, pun dengan sekujur tubuhnya terasa kaku. “Surya, kamu sudah memastikannya lagi? Pengobatanmu sudah ditanggung dan tidak mungkin dibatalkan begitu saja tanpa konfirmasi.” [Aku nggak bohong, Kak. Memang itulah yang terjadi.] Sinar kali ini tidak bisa berkata-kata. Tangannya yang masih memegangi ponselnya itu terasa dingin luar biasa. Di dalam pikirannya, dia menduga jika Talita lah yang melakukannya. Jika tidak, maka semua ini tidak akan mungkin terjadi. Setelah Sinar pindah dari rumah, ini adalah kali kedua Surya berobat dengan uang Talita. Apa mungkin secepat itu Talita mengubah perjanjiannya? Apa semua ini karena kecemburuan Talit
Suara Praba di belakang Sinar itu mau tak mau menimbulkan gejolak emosi di dalam hatinya. Aroma amarah itu terasa begitu kental ketika Sinar berdiri dan menatap Praba dengan tatapan tajam. Dengan suara bergetar, dia lantas bersuara. “Bapak pikir ini lelucon? Bapak pikir nyawa adik saya adalah sebuah permainan yang begitu mudah Bapak permainkan begitu saja?” Sinar menggenggam ponselnya dengan kuat seolah dia ingin meremukkan benda tersebut menjadi abu. Selama ini dia hanya diam dan berusaha untuk menahan diri setiap ada perdebatan. Dia sudah mendapatkan peringatan keras dari Talita untuk menghindari Praba. Padahal, bukan Sinar yang mendekat melainkan Praba lah yang sengaja melakukannya untuk memancing kemarahan Talita. Di sisi lain, Praba melakukan hal yang sama dan kali ini lebih ekstrim. Lelaki itu bahkan langsung pada titik inti masalah. Yaitu mengulik langsung pada Surya yang otomatis membuat Sinar akan melemah. Mata Sinar berkaca-kaca menatap Praba yang tampak begitu tenang. Di