Share

Part 5. Permainan Dimulai

“Kamu ini bicara apa sih, Mas?” Talita mencoba menahan garis wajahnya agar tidak terlihat terganggu. “Aku memberimu izin menikah hanya untuk formalitas. Jadi, mari kita kerja sama.”

Sinar kali ini sepertinya sudah tidak bisa lagi mengelak. Ya, keputusan memang ada padanya. Dia bisa menolak dan mengurungkan semua ide gila dan dia terbebas. Lantas apakah akan cukup sampai di sana? Tentu saja tidak. Talita bisa saja memilih orang lain untuk menganggantikannya.

Lalu dia? Sinar justru yang akan kelimpungan mencari uang untuk sang adik. Sinar memantapkan pilihan dan keputusannya. Apa pun yang terjadi kedepannya nanti, dia sudah siap. Ini adalah keputusan yang akan diambil.

Praba berdiri. Menjejalkan tangannya ke dalam saku celananya. “Kalian atur saja kapan saya bisa menikah dengan Sinar.” Kali ini lelaki itu menatap Sinar penuh arti. “Dan saya harap kalian tidak pernah menyesalinya.”

Setelah mengatakan itu, Praba pergi begitu saja meninggalkan dua perempuan tersebut di sana. Tidak lagi menoleh ke belakang.

Talita tampak tidak menghiraukan Praba dan dia hanya fokus pada Sinar. Menunggu perempuan itu bicara. Sinar akhirnya menarik napasnya panjang. Dia harus segera bersuara dan mengatakan keputusannya.

“Saya … bersedia, Bu,” ucap Sinar masih dengan keraguan yang sama, “tapi saya mohon, adik saya ….”

“Tidak perlu khawatir. Setelah kamu hamil, semua biaya pengobatan adikmu akan saya tanggung. Sepenuhnya sampai dia siap untuk dioperasi.”

Pada akhirnya, Sinar meluruh menyerah pada takdir hidupnya. Ya, jika ini memang salah di mata Tuhan, biarlah dia menanggung semua dosanya. Satu hal yang pasti, dia hanya ingin adiknya tetap hidup bersamanya.

“Baiklah, Bu. Saya terima tawaran Ibu. Tapi, tolong rahasiakan masalah ini. Saya tidak ingin adik saya mengetahuinya. Atau bahkan rekan kerja saya.”

“Kamu bisa mempercayai saya.”

Malam itu akhirnya perjanjian dilakukan. Talita akan mengurusnya dan Sinar hanya perlu mempersiapkan diri untuk pernikahan dan hamil anak Talita dan Praba.

Takdir yang membawa Sinar menempuh jalan seperti sekarang. Dia akan menerimanya sebagai perjalanan hidup. Dia tak memiliki niat apa pun kecuali untuk adiknya.

***

Hanya membutuhkan waktu satu minggu untuk mengadakan pernikahan antar Sinar dan Praba. Dan hanya membutuhkan waktu tiga minggu Sinar bisa hamil. Proses itu begitu cepat dan tidak ada drama tambahan sama sekali.

Selama ini, Praba sangat bisa diajak bekerja sama dan dia seolah patuh dengan apa pun yang dikatakan oleh sang istri. Kebahagiaan itu muncul di wajah Talita ketika Sinar dinyatakan hamil.

Sebuah rumah satu lantai di pinggiran kota pun sudah disiapkan untuk tempat tinggal Sinar selama dia hamil. Sinar berbohong kepada adiknya jika dia sudah pindah kerja di sebuah kantor yang bisa memberinya gaji tinggi. Seorang perawat pun sudah disiapkan untuk menemani Surya di rumah.

Segalanya benar-benar sudah direncanakan matang oleh Talita. Sinar hanya perlu menurut dan hidupnya aman.

“Hiduplah dengan tenang di rumah ini, Sinar. Sebulan sekali kamu akan diantarkan sopir untuk periksa kandungan. Dan saat itu, kamu juga bisa bertemu dengan adikmu. Selama perutmu belum terlihat membuncit.”

Mereka kini sudah berada di sebuah rumah baru yang akan ditempati Sinar. Talita dan Praba yang mengantarnya langsung. Meskipun hubungan Praba dan Sinar adalah suami istri, tetapi mereka seperti orang asing satu sama lain.

“Ya, Bu. Terima kasih atas bantuannya.”

Meskipun imbalan yang dituntut oleh Talita juga besar menurut Sinar, tetapi tetap saja dia merasa lega karena setidaknya Surya sudah terjamin pengobatannya.

“Sama-sama. Mulai sekarang, kamu tidak perlu lagi memikirkan apa pun kecuali kesehatanmu. Karena janin itu membutuhkan kamu yang sehat.”

Sebelum mereka melakukan inseminasi, Sinar diminta untuk cek kesehatan secara menyeluruh dan dinyatakan sehat. Tidak ada penyakit apa pun yang dimiliki sehingga semuanya berjalan dengan lancar.

“Saya mengerti, Bu.” Sinar mengangguk patuh.

Talita lantas berdiri mengajak Praba untuk pergi dari rumah tersebut, tetapi Praba menolaknya.

“Saya akan menginap di sini. Kalau kamu mau pulang, sopir yang akan mengantarmu.”

Kali ini bukan hanya Talita yang terkejut, tetapi Sinar juga. Selama ini lelaki itu tampak diam dan menurut kepada sang istri, tetapi saat ini terasa sangat berbeda.

“Mas, ayo kita pulang.” Talita mengulangi. Kali ini wajahnya tampak tidak bersahabat.

Praba tidak memberikan jawaban, tetapi netranya mengarah lurus pada sang istri. Ekspresinya dingin luar biasa. “Saya sudah menuruti semua keinginanmu. Sekarang, jangan menuntut apa pun ke saya.”

Praba berdiri dari sofa. Tanpa mengatakan apa pun, lelaki itu pergi ke salah satu kamar dan menguncinya dari dalam. Hal itu semakin membuat Sinar berpikir, jika hubungan Talita dan Praba sebenarnya tidak baik-baik saja.

“Sinar.” Talita memanggil sambil menutupi ekspresi kakunya. “Biarkan Mas Praba beristirahat dulu.” Talita menoleh sekali lagi ke arah kamar di mana Praba berada.

“Ingat, pernikahanmu dengan Mas Praba hanyalah sebuah formalitas sebagai sebuah syarat untuk tujuan kita. Jadi, kamu tidak boleh jatuh cinta kepadanya atau berharap lebih atas hubungan kalian.” Talita memeringatkan kepada Sinar. “Karena Mas Praba juga tidak akan jatuh cinta kepadamu.”

Dengan segala ucapan itu, Talita terlihat hanya ingin menutupi kedundahannya. Namun, Sinar juga hanya mengangguk. Sinar bahkan tidak memiliki tujuan apa pun selain kerja sama yang sudah terjalin.

“Ibu tenang saja, saya tidak akan melanggar janji apa pun yang sudah kita sepakati bersama.” Sinar dengan yakin memberikan jawaban kepada Talita dan memastikan posisinya tidak akan mengganggu hubungan perempuan itu dengan Praba.

“Baiklah, saya percaya dengan ucapanmu. Saya juga sangat mempercayai Mas Praba. Kalau begitu, saya permisi.”

Sinar hanya mengangguk dan mengikuti Talita dari belakang untuk mengantarkan perempuan itu sampai di halaman rumah. Tak lama, mobil yang membawa Talita itu meluncur meninggalkan kediaman baru Sinar.

Sinar berbalik untuk masuk ke dalam rumah dan tampak terkejut ketika Praba sudah duduk di sofa ruang keluarga. Sinar hanya sanggup meneguk ludahnya ketika dia memutuskan untuk tidak menyapa dan ingin berlalu dari sana. Namun, suara Praba menghentikannya.

“Duduklah! Saya perlu bicara.”

Sinar bimbang ketika bertanya. “Bapak, bicara dengan saya?”

“Apa ada manusia lain di ruangan ini?” Praba mengatakan dengan dingin.

Tidak ingin membuat masalah, Sinar akhirnya duduk di depan Praba. Menundukkan kepalanya dengan dalam. Menunggu Praba bersuara.

“Saya akan sering berada di rumah ini mulai hari ini. Menginap di sini, dan menghabiskan waktu di sini.”

Sinar mendongak menatap netra hitam Praba yang kali ini menatapnya dengan tajam. Tidak ingin menjadi ‘bulan-bulanan’ Talita dan Praba dalam waktu yang bersamaan, Sinar akhirnya menjawab.

“Tidak! Bapak tidak boleh berada di sini tanpa Bu Talita. Saya tidak ingin Bu Talita salah paham.”

“Saya tidak sedang meminta izin darimu. Saya hanya memberitahumu.” Praba tidak melepaskan tatapannya pada Sinar. “Lagi pula, kita ini suami istri, ‘kan.”

“Tapi, itu hanya sebuah ….”

“Saya tidak peduli.” Praba menjawab dinging. “Permainan sedang dimulai, Sinar.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status