Suara Praba di belakang Sinar itu mau tak mau menimbulkan gejolak emosi di dalam hatinya. Aroma amarah itu terasa begitu kental ketika Sinar berdiri dan menatap Praba dengan tatapan tajam. Dengan suara bergetar, dia lantas bersuara. “Bapak pikir ini lelucon? Bapak pikir nyawa adik saya adalah sebuah permainan yang begitu mudah Bapak permainkan begitu saja?” Sinar menggenggam ponselnya dengan kuat seolah dia ingin meremukkan benda tersebut menjadi abu. Selama ini dia hanya diam dan berusaha untuk menahan diri setiap ada perdebatan. Dia sudah mendapatkan peringatan keras dari Talita untuk menghindari Praba. Padahal, bukan Sinar yang mendekat melainkan Praba lah yang sengaja melakukannya untuk memancing kemarahan Talita. Di sisi lain, Praba melakukan hal yang sama dan kali ini lebih ekstrim. Lelaki itu bahkan langsung pada titik inti masalah. Yaitu mengulik langsung pada Surya yang otomatis membuat Sinar akan melemah. Mata Sinar berkaca-kaca menatap Praba yang tampak begitu tenang. Di
Talita praktis merasa kebenciannya melonjak begitu besar setelah Praba mengaku jika dia tertarik kepada Sinar. Memang dia tak mengucapkannya secara gamblang, tetapi Talita cukup paham dengan perasaan lelaki itu. Rencana yang dianggap berhasil itu nyatanya menjadi boomerang baginya. Dia memang akan segera memiliki anak, tetapi bukan tidak mungkin kalau dia justru akan kehilangan lelaki yang paling dicintainya. “Sialan!” Talita berteriak mengeluarkan segala rasa kesalnya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa perlu dia harus menjauhkan Praba dari Sinar agar perasaan lelaki itu tidak berkembang semakin pesat? Kenapa semuanya menjadi semakin rumit? Talita berjalan mondar-mandir di ruangan kerjanya dengan emosi yang membara. Dia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, kenapa sejak dulu Praba tidak pernah mencintainya? Kenapa sejak dulu Praba selalu mengabaikannya? Dia sudah melakukan segalanya, melewati segala rintangan yang ada di depannya. Semata hanya untuk satu nama, Prabaswara W
“Bu Talita sudah pergi. Tolong singkirkan tangan Bapak.” Sinar memecah keheningan setelah Talita pergi dari rumah yang ditempati Sinar. Setelah melihat adegan suami istri yang terlihat begitu harmonis, Talita pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Perempuan itu tampaknya tidak tahan dengan segala hal yang dilihat. Mungkin saja perempuan itu berpikir, di depannya saja Praba sanggup melakukan itu. Bagaimana kalau di belakangnya. “Bapak seharusnya mengejar Bu Talita. Dia sedang kacau dan kalau terjadi sesuatu dengannya, Bapak yang patut bertanggung jawab.” Sinar mengimbuhkan. “Tidak perlu mengajari saya bagaimana saya harus bertindak.” Setelah mengatakan itu, Praba pergi begitu saja dari hadapan Sinar. Masuk ke dalam kamar dan membanting pintu tersebut dengan kuat. Sinar hanya bisa menghela napasnya panjang setelah itu. Namun, memilih untuk tidak mengacuhkannya. Tampaknya, adegan malam itu memukul telak perasaan Talita sampai di relung hatinya. Sebab setelah itu, perempuan itu tid
Sinar pikir, ngidam tentang Praba sudah berakhir. Nyatanya, itu masih berlanjut dan membuatnya kelimpungan tak karuan. Bagaimana tidak, Sinar bahkan tidak bisa melepaskan tatapannya pada sosok Praba yang kini tengah sibuk dengan tabletnya. Bak remaja tanggung, dia seperti seorang gadis yang diam-diam tengah jatuh cinta kepada sang kakak kelas. Lantas mengambil kesempatan untuk melirik ketika pria itu ada di depannya. Sinar sudah mati-matian menahan diri agar tidak melemparkan tatapannya pada sosok Praba, sayangnya hanya dalam hitungan detik, lirikan itu kembali tertuju pada wajah lelaki itu. “Sekarang apa? Sejak tadi kamu mencuri pandang ke arah saya.” Sinar yang tertangkap basah melirik Praba itu terkejut ketika suara si empunya wajah bersuara. Praba masih sibuk dengan tabletnya, tetapi dia bahkan tahu jika Sinar sejak tadi terus saja melirik kepadanya. Sinar mengabaikan ucapan Praba dan berpura-pura sibuk dengan ponsel yang ada di genggamannya. Namun, ketika dia mengangkat waja
Sinar memilih tidak menanggapi ucapan Praba dan keluar dari kamarnya. Membanting pintu dengan kuat merasa gejolak amarah yang begitu besar di dalam hatinya. Sekeras apa pun dia berusaha, dia tak akan pernah bisa menang dari Praba. Percuma saja membuang tenaganya dengan cuma-cuma. Membaringkan tubuhnya di sofa ruang keluarga, Sinar akhirnya tidur di sana. Dia bisa tidur di mana pun selama berada di dalam rumah. Bahkan tidak membutuhkan waktu lama, dia sudah terbuai oleh alam mimpi. Tengah malam, dia terbangun merasa perutnya melilit dan rasa lapar seakan menguasainya. Namun, dia ingin sekali makan sesuatu yang sedikit menyulitkan. Dia kini berada di desa, cukup sulit mencari makan di jam malam seperti ini. “Nak, ini udah malam. Ke mana kita mencari pecel malam-malam begini.” Sinar tengah mondar-mandir di ruang keluarga sambil mengelus perutnya yang masih rata. Lampu ruangan tersebut temaram karena lampu utama sudah dimatikan. Sinar sengaja tidak menyalakan lampu utama dan lebih nyam
“Terima kasih atas syaratnya. Tapi saya tidak tertarik, Pak.” Sinar tahu diri siapa dia.Untuk mendapatkan penthouse seperti yang dimiliki oleh Praba, rasanya tidak mungkin. Dia pun tidak muluk-muluk dalam menghadapi hidupnya. Melihat adiknya sehat saja sudah menjadi sebuah kebanggan tersendiri baginya.Sinar mengabaikan tatapan Praba yang tiba-tiba memicing. Dia memilih duduk di sofa mewah yang ada di sana, lalu menyandarkan punggungnya dengan nyaman. Jaket milik Praba pun masih memeluk tubuhnya dan dia tak berniat untuk melepaskan.“Saya akan beristirahat. Jam berapa Bapak besok akan mengantarkan saya?”Praba dihinggapi rasa kesal karena tidak berhasil menarik perhatian Sinar. Namun, ditekannya perasaan kesal itu dalam-dalam.“Suka-suka saya,” jawabnya sebelum pergi meninggalkan Sinar ke lantai dua di mana kamarnya berada.Sinar berbaring di sofa sambil menatap langit-langit kamar. Keheningan itu merayap sebelum menguasai ruangan. Ada banyak hal yang dipikirkan oleh Sinar yang membua
Praba menghentikan mobilnya di sebuah tempat yang jauh dari keramaian. Sepanjang jalan, dia sudah menahan diri agar tidak memaki Talita dengan segala hal yang sudah dilakukan kepada Sinar beberapa waktu lalu. Tangannya menggenggam setir mobil dengan kuat hanya untuk menahan amarah yang siap meledak.“Kamu ingin saya menggugat cerai lebih dulu, atau kamu yang melakukannya.”Suara Praba dingin dan tajam. Memecah keheningan yang melingkupi dirinya dengan Talita. Perempuan yang duduk di samping kirinya itu segera menoleh dan mengeratkan rahangnya kuat.“Kamu bilang apa, Mas? Kamu membicarakan perceraian setelah kejadian hari ini?”“Jangan ganggu Sinar!” Tidak menanggapi ucapan Talita, Praba melanjutkan ucapannya. “Saya sudah muak dengan segala sikap kamu dan ini yang terakhir kalinya kamu berbuat seperti ini kepada Sinar.”“Mas membela dia?”“Ya! Saya membela dia.”Dilemparkanlah tatapan penuh amarah itu kepada Talita sampai perempuan itu diam tak berkutik. Praba tampaknya benar-benar mara
“Siapkan makan siang!”Praba baru saja sampai di kantor dan bejalan melewati meja sekretarisnya ketika memberikan perintah. Lina yang cepat tanggap itu segera berdiri dan mengikuti Praba dari belakang. Setelah Praba duduk di singgasananya, barulah perempuan bertanya.“Makan siang apa yang Bapak ingin makan?” tanya Lina dengan sopan. Sebuah tablet sudah ada di tangannya dan sepertinya ada banyak hal yang perlu Praba kerjakan hari ini.Diam-diam, Praba mendesah kesal. Suasana hatinya sedang tidak baik dan dia ingin menghindari apa pun. Namun, dia tidak ingin menyulitkan Lina dengan membuat ulang jadwalnya.“Apa jadwal saya hari ini?” tanya Praba alih-alih menjawab pertanyaan Lina.Segera, sederet jadwal yang sudah tersusun itu segera Lina bacakan. Seharusnya pagi tadi dia juga ada sebuah pertemuan penting yang harus dihadiri. Sayangnya, Praba tidak bisa dihubungi dan membuat Lina harus kalang kabut untuk reschedule.Satu tarikan napas panjang keluar dari mulut Praba. Rasa lelah itu tiba-