Sinar pikir, ngidam tentang Praba sudah berakhir. Nyatanya, itu masih berlanjut dan membuatnya kelimpungan tak karuan. Bagaimana tidak, Sinar bahkan tidak bisa melepaskan tatapannya pada sosok Praba yang kini tengah sibuk dengan tabletnya. Bak remaja tanggung, dia seperti seorang gadis yang diam-diam tengah jatuh cinta kepada sang kakak kelas. Lantas mengambil kesempatan untuk melirik ketika pria itu ada di depannya. Sinar sudah mati-matian menahan diri agar tidak melemparkan tatapannya pada sosok Praba, sayangnya hanya dalam hitungan detik, lirikan itu kembali tertuju pada wajah lelaki itu. “Sekarang apa? Sejak tadi kamu mencuri pandang ke arah saya.” Sinar yang tertangkap basah melirik Praba itu terkejut ketika suara si empunya wajah bersuara. Praba masih sibuk dengan tabletnya, tetapi dia bahkan tahu jika Sinar sejak tadi terus saja melirik kepadanya. Sinar mengabaikan ucapan Praba dan berpura-pura sibuk dengan ponsel yang ada di genggamannya. Namun, ketika dia mengangkat waja
Sinar memilih tidak menanggapi ucapan Praba dan keluar dari kamarnya. Membanting pintu dengan kuat merasa gejolak amarah yang begitu besar di dalam hatinya. Sekeras apa pun dia berusaha, dia tak akan pernah bisa menang dari Praba. Percuma saja membuang tenaganya dengan cuma-cuma. Membaringkan tubuhnya di sofa ruang keluarga, Sinar akhirnya tidur di sana. Dia bisa tidur di mana pun selama berada di dalam rumah. Bahkan tidak membutuhkan waktu lama, dia sudah terbuai oleh alam mimpi. Tengah malam, dia terbangun merasa perutnya melilit dan rasa lapar seakan menguasainya. Namun, dia ingin sekali makan sesuatu yang sedikit menyulitkan. Dia kini berada di desa, cukup sulit mencari makan di jam malam seperti ini. “Nak, ini udah malam. Ke mana kita mencari pecel malam-malam begini.” Sinar tengah mondar-mandir di ruang keluarga sambil mengelus perutnya yang masih rata. Lampu ruangan tersebut temaram karena lampu utama sudah dimatikan. Sinar sengaja tidak menyalakan lampu utama dan lebih nyam
“Terima kasih atas syaratnya. Tapi saya tidak tertarik, Pak.” Sinar tahu diri siapa dia.Untuk mendapatkan penthouse seperti yang dimiliki oleh Praba, rasanya tidak mungkin. Dia pun tidak muluk-muluk dalam menghadapi hidupnya. Melihat adiknya sehat saja sudah menjadi sebuah kebanggan tersendiri baginya.Sinar mengabaikan tatapan Praba yang tiba-tiba memicing. Dia memilih duduk di sofa mewah yang ada di sana, lalu menyandarkan punggungnya dengan nyaman. Jaket milik Praba pun masih memeluk tubuhnya dan dia tak berniat untuk melepaskan.“Saya akan beristirahat. Jam berapa Bapak besok akan mengantarkan saya?”Praba dihinggapi rasa kesal karena tidak berhasil menarik perhatian Sinar. Namun, ditekannya perasaan kesal itu dalam-dalam.“Suka-suka saya,” jawabnya sebelum pergi meninggalkan Sinar ke lantai dua di mana kamarnya berada.Sinar berbaring di sofa sambil menatap langit-langit kamar. Keheningan itu merayap sebelum menguasai ruangan. Ada banyak hal yang dipikirkan oleh Sinar yang membua
Praba menghentikan mobilnya di sebuah tempat yang jauh dari keramaian. Sepanjang jalan, dia sudah menahan diri agar tidak memaki Talita dengan segala hal yang sudah dilakukan kepada Sinar beberapa waktu lalu. Tangannya menggenggam setir mobil dengan kuat hanya untuk menahan amarah yang siap meledak.“Kamu ingin saya menggugat cerai lebih dulu, atau kamu yang melakukannya.”Suara Praba dingin dan tajam. Memecah keheningan yang melingkupi dirinya dengan Talita. Perempuan yang duduk di samping kirinya itu segera menoleh dan mengeratkan rahangnya kuat.“Kamu bilang apa, Mas? Kamu membicarakan perceraian setelah kejadian hari ini?”“Jangan ganggu Sinar!” Tidak menanggapi ucapan Talita, Praba melanjutkan ucapannya. “Saya sudah muak dengan segala sikap kamu dan ini yang terakhir kalinya kamu berbuat seperti ini kepada Sinar.”“Mas membela dia?”“Ya! Saya membela dia.”Dilemparkanlah tatapan penuh amarah itu kepada Talita sampai perempuan itu diam tak berkutik. Praba tampaknya benar-benar mara
“Siapkan makan siang!”Praba baru saja sampai di kantor dan bejalan melewati meja sekretarisnya ketika memberikan perintah. Lina yang cepat tanggap itu segera berdiri dan mengikuti Praba dari belakang. Setelah Praba duduk di singgasananya, barulah perempuan bertanya.“Makan siang apa yang Bapak ingin makan?” tanya Lina dengan sopan. Sebuah tablet sudah ada di tangannya dan sepertinya ada banyak hal yang perlu Praba kerjakan hari ini.Diam-diam, Praba mendesah kesal. Suasana hatinya sedang tidak baik dan dia ingin menghindari apa pun. Namun, dia tidak ingin menyulitkan Lina dengan membuat ulang jadwalnya.“Apa jadwal saya hari ini?” tanya Praba alih-alih menjawab pertanyaan Lina.Segera, sederet jadwal yang sudah tersusun itu segera Lina bacakan. Seharusnya pagi tadi dia juga ada sebuah pertemuan penting yang harus dihadiri. Sayangnya, Praba tidak bisa dihubungi dan membuat Lina harus kalang kabut untuk reschedule.Satu tarikan napas panjang keluar dari mulut Praba. Rasa lelah itu tiba-
Praba tidak mendapatkan jawaban apa pun dari Talita seolah perempuan itu tidak mendengarkan ucapan Praba. Kulitnya bahkan sudah mengerut karena kedinginan. Meskipun dia merasa marah, Praba tetap harus mengeluarkan Talita dari kolam renang. Air dingin itu terasa menusuk tulang Praba ketika dia masuk ke dalam kolam renang. Menarik tangan Talita agar dia bisa membawa perempuan itu ke tepi. “Jangan pedulikan aku.” Talita memberontak sekuat yang dia bisa, tetapi tubuhnya sudah mulai melemah sehingga dengan mudah Praba mengangkatnya dan membawanya ke pinggir kolam. Bibi membawa handuk kering untuk Praba dan Talita dengan wajah panik. Bibir Talita bergetar dan bahkan tidak bisa berdiri. Tanpa banyak kata, Praba menggendong istrinya itu dan membawanya ke dalam rumah. Meminta Bibi mengikutinya agar bisa mengganti baju Talita. Perempuan itu berada di bawah selimut tebal ketika Praba masuk ke dalam kamarnya. Wajahnya tampak semakin pucat seperti tak ada darah yang mengalir ke sana. Praba meng
“Maaf, tapi sepertinya Bapak salah paham.” Lelaki itu segera bersuara untuk menjelaskan. “Saya Galih, Pak. Saya pemilik toko buku. Kebetulan, Mbak Sinar waktu itu mencari buku yang stoknya sudah tidak ada. Jadi saya mengirimkan setelah saya mendapatkannya.”Beberapa hari tidak melihat Praba, entah kenapa tiba-tiba saja membuat Sinar merasa ada debaran aneh di hatinya. Ada sebuah lonjakan kebahagiaan yang muncul dengan cepat. Tidak ada yang berubah dari wajah Praba, lelaki itu masih tetap tampan dan berwibawa.Sayangnya, Praba terlalu menyebalkan. Lihat saja sekarang, dia bahkan tidak menjawab ucapan Galih sama sekali. Agar Galih tidak merasa tersinggung, maka Sinar yang akhirnya mengambil alih untuk menjawab.“Terima kasih, Mas Galih. Nanti kalau pesanan buku saya yang lain sudah datang, langsung antarkan saja.” Galih yang tadinya terlihat sedikit canggung itu akhirnya kembali santai.“Tidak perlu.” Praba bersuara untuk menjawab Sinar. “Biar nanti supir atau Bibi yang ambil bukunya di
“Tolong berhenti,” gumam Sinar dengan suara serak. Tubuh Sinar bergetar. Kedua tangannya meremas sisi celananya. Kepalanya seakan kosong tanpa isi.Dalam kondisi normal, seharusnya Sinar memberikan tamparan keras di wajah Praba karena telah mengambil ciuman pertamanya. Namun, tubuhnya seakan kaku tak bisa digerakkan. Lagi pula, akan menjadi kesalahannya ketika dia melakukan itu. Bagaimanapun, apa pun sebutannya, dia adalah istri sah Praba. Lelaki itu berhak melakukannya.Praba menjauhkan wajahnya dari wajah Sinar dengan napas masih menderu hangat. Tatapan Sinar sayu luar biasa dan entah kenapa itu justru membuat Praba merasa digoda habi-habisan oleh gadis itu.Tanpa memedulikan ekspresi lingung Sinar, Praba justru memeluk istri keduanya itu dan menenggelamkan wajahnya pada bahu Sinar dan menghirup wangi gadis itu.‘Sial, apa yang kamu semprotkan di tubuhmu, Sinar?’ Praba bergumam di dalam hati. Merutuki dirinya sendiri karena terbuai dengan aroma manis dari tubuh istri mudanya.Tidak i