“Tolong berhenti,” gumam Sinar dengan suara serak. Tubuh Sinar bergetar. Kedua tangannya meremas sisi celananya. Kepalanya seakan kosong tanpa isi.Dalam kondisi normal, seharusnya Sinar memberikan tamparan keras di wajah Praba karena telah mengambil ciuman pertamanya. Namun, tubuhnya seakan kaku tak bisa digerakkan. Lagi pula, akan menjadi kesalahannya ketika dia melakukan itu. Bagaimanapun, apa pun sebutannya, dia adalah istri sah Praba. Lelaki itu berhak melakukannya.Praba menjauhkan wajahnya dari wajah Sinar dengan napas masih menderu hangat. Tatapan Sinar sayu luar biasa dan entah kenapa itu justru membuat Praba merasa digoda habi-habisan oleh gadis itu.Tanpa memedulikan ekspresi lingung Sinar, Praba justru memeluk istri keduanya itu dan menenggelamkan wajahnya pada bahu Sinar dan menghirup wangi gadis itu.‘Sial, apa yang kamu semprotkan di tubuhmu, Sinar?’ Praba bergumam di dalam hati. Merutuki dirinya sendiri karena terbuai dengan aroma manis dari tubuh istri mudanya.Tidak i
Praba mendorong tubuh Talita. Sorot matanya tajam mengarah pada perempuan itu. Rahang lelaki itu bahkan mengetat erat. Kepalan tangannya membulat. Jika dia tak mengingat Talita adalah istrinya, mungkin tangannya sudah melayang di wajah perempuan tersebut.Meskipun sikap Praba tak sesuai harapan, tetapi Talita masih bertahan memegangi pinggang lelaki itu.“Kita pulang sekarang,” ucap Praba“Apa aku benar-benar tidak akan mendapatkannya?” Talita tidak beralih ke mana pun. Menatap pada Praba dengan penuh permohonan. “Aku istri Mas. Kita udah lama tidak menghabiskan waktu bersama. Aku, benar-benar merindukan kamu, Mas.” Talita masih terus merayu.Inilah yang dilakukan oleh Talita selama ini untuk bertahan dengan Praba. Dia yang gencar untuk mendekat dan mengambil kesempatan. Praba tidak sekalipun memiliki inisiatif untuk melakukannya lebih dulu.Praba tetap bergeming. Rayuan yang diberikan oleh Talita seolah tidak bisa menyentuh relung hatinya. Dia kini hanya terus menatap Talita dengan da
Praba berdiri menimbulkan kursi beroda yang didudukinya itu terdorong ke belakang. Rahangnya mengetat dan ekpresinya dingin luar biasa. Seseorang yang tengah berbicara di depan itu seketika berhenti.“Maaf, apa Bapak membutuhkan sesuatu?” sekretaris Praba mendekat untuk memastikan sesuatu.“Lanjutkan saja meetingnya!” Hanya itu yang dikatakan sebelum dia berlari keluar dari ruangan tersebut membuat semua orang yang ada di dalam sana terdiam tak bisa mengatakan apa pun.Praba memacu mobilnya dengan cepat berharap dia bisa segera sampai di rumah sakit tempat Sinar dirawat. Dalam hati dia bertanya, seberapa parah luka yang didapat Sinar? Apakah gadis itu baik-baik saja? Lalu bagaimana dengan janin yang ada di dalam kandungannya?Praba sungguh tak bisa tenang sampai dia bisa melihat keadaan Sinar secara langsung. Mengutuk jarak yang ditempuh harus membutuhkan berjam-jam perjalanan. Tiba-tiba saja pikirannya memunculkan ide, akan lebih baik kalau Sinar tetap berada di kota sehingga akan mem
Bayinya baik-baik saja. Kandungannya juga tidak bermasalah. Itu ‘kan yang terpenting bagimu?” Praba mengatakan itu setelah berdiri di sisi lain ranjang yang ditempati Sinar. “Jadi, berhentilah marah-marah.”Praba lantas menatap Sinar sekali lagi, memastikan tidak ada luka yang serius yang didapatkan oleh perempuan itu. Praba juga sudah bertemu dengan dokter dan meminta penjelasan tentang kondisi Sinar yang sebenarnya.Melihat Praba begitu serius menatap Sinar, Talita lantas berdehem keras. Perempuan itu bersedekap di depan dada sebelum bersuara.“Bisa kita bicara, Mas? Berdua.”Praba yang tadinya menatap Sinar itu pada akhirnya mengalihkan tatapannya pada Talita. Lelaki itu mengangguk dan pergi ke luar ruangan. Hal itu membuat Sinar akhirnya bisa bernapas lega. Dikelilingi Praba dan Talita dalam waktu bersamaan, membuat Sinar merasa seperti dikurung dalam sebuah penjara. Menyesakkan.Sinar bahkan waspada dengan sikap Talita kalau-kalau dia akan kembali mendapatkan tamparan dari perempu
Praba membuktikan ucapannya. Lelaki itu memperlakukan Sinar seperti seorang tahanan rumahan. Dia tidak diizinkan oleh Praba pergi ke mana pun. Semua keinginannya hanya perlu dikatakan dan seseorang akan mendapatkan untuknya.Praba ternyata membawa Sinar dan Bibi ke penthouse yang pernah Sinar datangi malam itu. Dia pikir, Praba akan membawanya ke rumah Talita dan hidup satu atap dengan istri pertamanya. Namun, anggapan Sinar ternyata salah. Praba tetap menjauhkannya dengan Talita.Terhitung sudah hampir satu bulan dia tinggal di apartemen dan sejauh ini tidak ada huru-hara apa pun. Praba seolah benar-benar menjauhkan Sinar dari segala sesuatu yang akan menjadikannya beban pikiran.“Bapak mau saya kirimkan makan siang untuk Bapak siang nanti?”Sinar kini benar-benar menyadari jika Praba akan menginap di apartemen secara terjadwal. Seperti ada sebuah pembagian waktu antara dirinya dengan Talita. Setidaknya itulah yang Sinar simpulkan.“Kalau Bapak mau, biar nanti sopir yang mengirimkanny
‘Selamat beristirahat, Nak.’Tiga kata itu seolah mengusik ketenangan Sinar malam ini sampai dia tak bisa tidur. Tangan besar Praba nan hangat itu masih terasa di perutnya. Ini kali kedua Praba melakukan itu. Namun, saat itu ada Talita di depan mereka dan Praba melakukannya hanya untuk membuat istri pertamanya itu marah.Lalu bagaimana dengan sekarang? Tidak ada siapun kecuali mereka berdua, tetapi Praba melakukannya dan membuat hati Sinar berdesir tak karuan.Sinar tidak akan lupa bagaimana dulu Praba menolak rencana sewa rahim. Namun, sekarang justru Praba lah sangat peduli dengan bayi mereka. Hal itu berbanding terbalik dengan sikap Talita.“Papamu benar-benar menyayangimu, Sayang.” Sinar mengusap perutnya yang bulat. “Berjanjilah kalau kamu akan membuat orang tuamu bangga.”Malam ini Sinar mencoba untuk memaksa matanya untuk tidur atau dia akan terus memikirkan sikap Praba. Bagaimanapun, dia adalah seorang perempuan yang memiliki hati yang lembut. Dia takut terlena dan justru jatuh
Sekitar pukul sepuluh malam, mereka akhirnya memutuskan pulang. Seperti yang Praba katakan kepada Sinar, hari ini adalah hari Sinar. Ke mana pun gadis itu ingin pergi, maka Praba akan mengikuti dan mengantarnya.“Kamu yakin kuat jalan sampai ke mobil?” tanya Praba menatap Sinar dengan napas yang ikut memberat.Mereka sedang berjalan-jalan dan menikmati keindahan kota. Sinar juga menyempatkan membeli benang rajut untuk stoknya di rumah.“Kuat sih, Pak. Cuma jangan cepat-cepat. Perut saya agak berat dan saya rasa susah bergerak.”Sinar tidak berbohong. Perut Sinar yang besar membatasi pergerakannya. Namun, dia tak pernah sekalipun mengeluh. Dia juga bersyukur, bayinya tak merepotkan sama sekali kecuali di awal-awal kehamilannya dulu.Tanpa aba-aba, Praba menarik tubuh Sinar, lalu memberikan pelukan di bahunya. Lagi. Hal itu otomatis membuat Sinar harus berpacu dengan napas dan jantung yang bedebum keras.“Bapak nggak perlu pegangi saya. Saya bisa jalan sendiri. Nggak enak kalau dilihat o
“Bapak tidak perlu khawatir, Saya berjanji tidak akan menyebarkan apa pun tentang Sinar. Dan akan menutup rapat tentang itu.” Gina mengimbuhi. “Saya tidak akan mengkhianati persahabatan kami.”“Bagus kalau begitu.” Praba mengangguk dan memberikan kepercayaan kepada gadis yang baru saja dilihatnya tersebut.Kejujuran adalah hal yang terbaik. Sinar bersyukur ketika dia mengatakan kondisinya kepada Gina, gadis itu mempercayainya dan tidak menyalahkannya. Sebab itulah yang dibutuhkan oleh Sinar.Terkadang dia masih merasa semua yang dilakukan ini adalah sebuah kesalahan besar. Namun, ketika dia mengingat tentang Surya, maka yang dilakukan ini benar. Ini adalah cara satu-satunya yang harus dilakukan untuk adiknya.Kejadian malam itu tidak lagi menjadi pembahasan. Baik itu Praba maupun Sinar tidak ada yang menguliknya.Untuk beberapa minggu ini, baik kehidupan Praba maupun Sinar terasa damai. Tidak ada emosi apa pun yang membuat pertikaian. Namun, tidak dengan hari ini ketika Praba tengah be
Halaman belakang rumah besar Praba dipenuhi keceriaan yang luar biasa. Askara, Bhumi, dan Cherry berdiri di depan panggangan barbeque sambil sesekali saling menyenggol. Namun, kali ini tidak ada yang mencoba untuk melerainya.Para pekerja juga membantu mereka memanggang banyak makanan. Aroma makanan menguar tiada henti. Begitu nikmat luar biasa. Cherry pergi lebih dulu, lalu duduk dan bergabung dengan kedua orang tuanya.“Makan dulu, Bos.” Begitu katanya kepada sang ayah juga ibunya. “Ayo, Bunda makan dulu. Mengobrol juga butuh tenaga.”Ya, tidak ada yang salah dengan panggilan Cherry karena di sana memang ada Talita. Setelah obrolan Talita dan Sinar saat itu, hubungan dua perempuan itu lambat laun membaik. Mereka menekan ego mereka demi Askara.Begitu juga dengan Praba dan anak-anak mereka. Bhumi dan Cherry bahkan ikut-ikutan memanggil Talita dengan bunda. Jika dalam kondisi yang lalu, Talita pasti akan merasa keberatan, tetapi sekarang tentu berbeda. Dia bahkan merasa memiliki tiga
“Sebagai seorang ibu, kita adalah dua orang yang sama-sama menyayangi dan mencintai Askara. Dia memintaku untuk mempertimbangkan agar kita bisa berdamai.”Talita secara pribadi datang ke rumah Sinar dan membicarakan masalah tersebut setelah dia berpikir secara terus menerus. Dia menarik garis ke belakang dan memikirkan tentang masa lalu yang sudah terjadi. Jika dia menyalahkan Sinar sepenuhnya dan menganggap perempuan itu salah, maka itu tidak benar.Sinar dulu juga seorang korban. Dia juga perempuan yang sudah memberikan cintanya dengan penuh kepada Askara. Tidak sekalipun dia merasa terganggu dengan kehadiran putranya tersebut.“Selama ini saya tidak pernah ingin berseteru dengan Ibu secara terus menerus. Hanya saja, Ibu masih menganggap saya adalah orang yang harus Ibu musuhi.” Itu adalah jawaban yang diberikan oleh Sinar. “Melihat bagaimana hubungan kita selama ini, saya yakin itu menjadikan tekanan sendiri bagi Askara. Itulah kenapa dia ingin melihat kita berdamai.”Sinar menging
“Abang nggak jadi ke luar negeri, Ma.”Sinar yang sedang membuatkan sandwich untuk Askara itu segera mendongak menatap putranya yang tengah duduk di stole bar. Anggota keluarganya yang lain sedang sibuk sendiri-sendiri dan hanya ada Sinar dan Askara saja di sana.“Abang bicara banyak dengan Bunda. Bunda pun mengerti tentang keinginan Abang. Kalaupun toh nanti misalnya Abang ingin sekolah di sana, itu atas dasar keinginan Abang sendiri. Tapi, sampai sekarang, Abang belum ingin. Abang masih lebih suka di negeri sendiri.”Sinar meletakkan sandwich-nya ke atas piring lalu meletakkan di depan Askara. “Mama senang mendengar itu.” Perempuan itu duduk di samping putranya dan menemani makan.“Abang berharap, Mama dan Bunda bisa berbaikan.”Kalimat itu membuat Sinar segera menoleh ke arah putranya. Tatapan remaja itu penuh pengharapan. Dia tampaknya ingin melihat kedua orang yang disayanginya tidak lagi berselisih paham. Askara tentulah tahu jika sebenarnya yang selalu membuat masalah antara ke
Untuk pertama kalinya, Askara menghadiri acara keluarga Talita. Dia berusaha berbaur dengan keluarganya yang menerima Askara dengan sangat baik. Nenek dan kakeknya begitu bahagia melihat cucunya akhirnya datang dan berumpul dengan keluarga.“Nenek senang kamu ada di sini.” Askara menoleh dan mendapati seorang perempuan tua yang tampak masih begitu sehat. Tentu jika bersama dengan nenek dan kakeknya bukan pertama kalinya mereka bertemu, hanya saja dia selalu menolak untuk hadir ketika acara-acara seperti ini dilakukan.“Nenek sudah makan?” tanya Askara mencoba untuk perhatian. “Aku lihat, sejak tadi hanya mondar-mandir ke sana-kemari. Nenek harus menjaga kesehatan.”Perempuan tua itu tersenyum lembut. Menarik tangan Askara, lalu menggenggamnya. “Nenek senang kalau cucu-cucu Nenek berkumpul seperti ini, hati Nenek terasa bahagia sekali.”Askara menatap langit yang mucul sekumpulan bintang-bintang. Indah sekali. Sayangnya ini bukan bulan purnama. Jika bulan purnama, sekarang ibunya pasti
Kedua tangan Askara maupun Talita penuh dengan barang belanjaan. Talita benar-benar membeli banyak barang untuk dirinya sendiri dan juga Askara. Setelah keluarga bersama dengan Talita, melepaskan segala beban yang selama ini dirasakan, Askara sedikit luluh dengan sikap ibunya.“Terima kasih. Abang sudah bersedia berjalan-jalan dengan Bunda.”Mereka sudah sampai di rumah dan sama-sama melepas lelah dengan duduk di sofa. Askara segera membaringkan tubuhnya di sofa dan memeluk bantal sofa. Memainkan ponselnya sebentar sebelum meletakkannya kembali.“Kalau ngantuk, naik gih, tidur di kamar.” Talita menepuk kaki Askara, lalu mengelus pelan kaki tersebut.“Aku di sini aja. Jendelanya biarin kebuka aja, Bun. Nggak usah pakai AC.” Askara menutup matanya setelah itu. Dia sepertinya benar-benar lelah luar biasa.Talita membuka jendela-jendela lebar itu agar angin bisa masuk. Membuat Askara menjadi nyaman luar biasa. Lelaki itu segera saja terlelap dalam tidurnya. Jika Askara sudah memutuskan un
“Cerita Tante ternyata cukup rumit.” Tanggapan Bastian setelah itu. Menatap Askara setelah itu. “Bagaimana tanggapan lo tentang itu, Askara?”Askara menanggapi santai. “Gue udah pernah cerita itu dari Papa. Nggak beda jauh. Hanya beda sudut pandang.”“Papamu menceritakannya?” Talita mengernyit, lalu dia mengingat sesuatu. “Apa karena saat Bunba minta kamu bertanya tentang waktu itu ….”“Ya.” Askara memotong ucapan ibunya. “Papa sudah cerita semuanya.”“Lalu, apa tanggapanmu?” tanya Bastian lagi. “Menurut gue, ini terlalu rumit.”“Kehidupan orang tua selalu rumit dan gue benci itu.” Askara menarik napasnya panjang. “Bukankah keegoisan mereka sehingga membuat gue harus berada dalam masalah? Harus memilih di antara dua ibu.” Askara tersenyum kecil. “Percayalah, itu sangat menyebalkan.”Akhirnya, Askara mengungkapkan isi hatinya yang terpendam. Sejak kecil dia harus ditarik ke sana-kemari untuk hidup dan tinggal bersama mereka. Dia kesal luar biasa.Ruangan itu seketika hening karena keju
“Ma, Abang akan menginap di rumah Bunda,” pamit Askara kepada Sinar. Weekend ini dia ingin mencoba membuka hatinya untuk ‘melihat’ lebih dekat kehidupan yang dijalani oleh Talita. Seperti yang Bastian katakan, dia ingin benar-benar memahami posisi Talita.Dia selama ini selalu marah dan tertekan jika Talita memintanya untuk tinggal bersama dengannya. Baginya, Talita tidak seperti Sinar yang sangat dia sayangi. Sekarang, dia sudah berpikir lebih dingin dan dia ingin menjalani semuanya dengan lebih tenang.“Abang sudah bilang kepada Bunda kalau Abang mau datang?” tanya Nilam. “Biasanya Bunda yang akan menjemput Abang.”“Nanti pulang sekolah langsung diantar supir ke rumah Bunda, Ma. Aku udah bilang sama Bunda juga.”Sinar diam tak segera menanggapi karena dia merasa Askara sudah mulai terbuka dengan Talita. Ada rasa takut, tetapi dia juga tidak bisa menghentikan.“Ya sudah. Abang hati-hati. Kalau ada apa-apa langsung bilang ke Mama.” Sinar mengelus pundak putranya dengan lembut.“Iya, M
“Askara!”Panggilan itu membuat Askara menoleh. Dia mendapati seorang lelaki muda berdiri tak jauh darinya dan menatapnya. Lelaki itu tersenyum sebelum mendekat ke arahnya.“Gue udah lama nunggu.”Askara tidak mengenal lelaki itu. Oleh karena itu dia hanya memberi tatapan penuh tanya ke arah lelaki itu. Tahu jika dia harus memperkenalkan dirinya, lelaki itu lantas mengulurkan tangannya.“Gue Bastian. Sepupu lo.”Barulah Askara menyadari jika lelaki itu adalah lelaki yang dimaksud oleh bundanya. Sepupu yang kuliah di luar negeri. Askara menerima uluran tangan lelaki itu. “Askara.”Bastian tampak masih tersenyum. “Ada kafe di depan, kita ke sana? Sekalian ngobrol.” Askara tidak langsung menjawab dan tampak berpikir, tetapi Bastian segera bersuara. “Nanti gue antar pulang.”“Nggak perlu, gue bisa pulang sendiri. Gue nunggu sopir atau adik-adik gue buat pamit.” Askara menoleh ke sana-kemari untuk mencari keberadaan kedua adiknya, tetapi mereka tidak juga muncul.Lantas dia mengeluarkan po
“Kalau bukan karena dia, Talita masih tetap akan menjadi menantu keluarga kita.”“Cukup!” Dimas berteriak membentak Cindy. “Mama ini benar-benar, ya. Mau sampai kapan Mama terus memusuhi Sinar. Ini sudah lama sejak Praba dan Sinar menikah. Kehidupan mereka baik-baik saja sampai sekarang, tapi Mama masih bertahan dengan ego Mama.”“Kalau Oma nggak suka sama kami, sebenarnya nggak masalah.” Bhumi bersuara. “Tapi nggak perlu menjelekkan Mama. Mama adalah mama terbaik buat kami.”“Tahu apa kamu tentang ibumu? Ibumu adalah perempuan yang mengambil suami perempuan lain. Dia itu pelakor.” Cindy semakin tua mulutnya benar-benar luar biasa menyebalkan.“Kalau Mama terus saja menyebut istriku seperti itu, lebih baik Mama tidak perlu datang ke rumah ini.” Praba sudah muak dengan segala macam hinaan yang dikeluarkan Cindy kepada istrinya.Tidak sedikitpun Cindy merasa tersentuh dengan kebaikan Sinar selama ini. Bahkan suatu hari dia pernah dirawat di rumah sakit dan Sinar yang menjaganya sampai k